tag:blogger.com,1999:blog-85160984653715328862023-11-15T05:37:29.452-08:00Kasus Kasus PajakUnknownnoreply@blogger.comBlogger35125tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-34835979767924063132011-06-30T22:40:00.000-07:002011-06-30T22:40:37.346-07:00PENGISIAN SSBP SURAT SETORAN BUKAN PAJAKNomor diisi dengan nomor internal 3 digit /nomor satkerpenerima/bulan 2 digit/tahun 4 digitUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-71520857622305078872010-04-21T19:47:00.000-07:002010-11-04T23:19:24.090-07:00SE - 08/PJ.5/1995Peraturan Terkait<br />
11 TAHUN 1994 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
597/KMK.04/1994 SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN, PENGHITUNGAN, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA<br />
<br />
Peraturan Detail : <br />
Print <br />
<br />
Perihal : SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN, PENGHITUNGAN, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA (SERI PPN 7-95)<br />
<br />
Tanggal Terbit : Jumat, 17 Maret 1995<br />
<br />
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />
___________________________________________________________________________________________<br />
17 Maret 1995<br />
<br />
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />
NOMOR SE - 08/PJ.5/1995<br />
<br />
TENTANG<br />
<br />
SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK <br />
DARI LUAR DAERAH PABEAN, PENGHITUNGAN, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, <br />
DAN PELAPORANNYA (SERI PPN 7-95)<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
<br />
Sehubungan dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 597/KMK.04/1994 tanggal <br />
21 Desember 1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Atau Jasa Kena <br />
Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya, <br />
maka untuk pelaksanaannya diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />
<br />
1. Pengertian Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean<br />
1.1. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak hanya disebut sebagai berasal dari <br />
luar Daerah Pabean apabila orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau <br />
berkedudukan di luar Daerah Pabean menyerahkannya ke dalam Daerah Pabean tidak <br />
melalui atau tidak atas nama Bentuk Usaha Tetapnya yang berada di dalam Daerah Pabean. <br />
Apabila penyerahannya dilakukan melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap yang berada <br />
di dalam Daerah Pabean, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas <br />
penyerahan dalam negeri.<br />
<br />
1.2. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dapat berupa hak-hak seperti <br />
hak paten, hak oktroi, hak cipta, dan hak menggunakan merek dagang, yang dimanfaatkan <br />
oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun <br />
yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah Pabean Indonesia.<br />
<br />
1.3. Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dapat berupa jasa-jasa sebagai berikut :<br />
a. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk <br />
barang tidak bergerak yang berada dalam Daerah Pabean dan dimanfaatkan oleh <br />
orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak <br />
maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah <br />
Pabean Indonesia. Misalnya jasa perencanaan atau penggambaran bangunan.<br />
<br />
b. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk <br />
barang bergerak yang berada atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean dan <br />
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha <br />
Kena Pajak maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dala <br />
Daerah Pabean Indonesia. Misalnya jasa persewaan rig atau pengeboran minyak dan <br />
jasa persewaan alat-alat berat.<br />
<br />
c. Jasa yang dilakukan secara phisik di dalam Daerah Pabean.<br />
Misalnya jasa konsultan, jasa pengacara, jasa akuntan, dan jasa surveyor.<br />
<br />
2. Saat terutang PPN dan saat dimulainya pemanfaatan<br />
<br />
2.1. Saat terutangnya pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena <br />
Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-<br />
undang No. 11 Tahun 1994, terjadi pada saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa <br />
Kena Pajak tersebut mulai dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean Indonesia.<br />
<br />
2.2. Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari <br />
luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa <br />
sebagai berikut :<br />
<br />
a. Saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak secara nyata <br />
dimanfaatkan, meskipun belum didukung bukti-bukti formal seperti kontrak atau <br />
perjanjian tertulis. Pengertian pemanfaatan secara nyata dapat diartikan antara <br />
lain telah digunakannya Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak <br />
sesuai dengan tujuannya. Misalnya, dalam hal pemanfaatan merek dagang, telah <br />
dibuat label dan dijahit atau ditempel pada Barang Kena Pajak yang diproduksi.<br />
<br />
b. Saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak <br />
dinyatakan sebagai utang, yang didukung antara lain dengan adanya surat pengakuan <br />
utang atau telah dicatat dalam pembukuan sebagai utang, maupun berdasarkan <br />
bukti-bukti lain.<br />
<br />
c. Saat Harga Jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Penggantian Jasa Kena <br />
Pajak ditagih oleh pihak yang menyerahkan, yaitu antara lain didukung dengan bukti <br />
penagihan, baik tertulis maupun tidak tertulis, dari pihak yang menyerahkan kepada <br />
pihak yang memanfaatkan.<br />
<br />
d. Saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak <br />
dibayar, baik sebagian atau seluruhnya, oleh pihak yang memanfaatkan.<br />
<br />
2.3. Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena <br />
Pajak dari luar Daerah Pabean tidak diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang <br />
Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut adalah tanggal ditandatanganinya <br />
kontrak atau perjanjian.<br />
<br />
3. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang<br />
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau <br />
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dihitung sesuai dengan keadaannya, dengan salah satu <br />
cara diantara cara-cara penghitungan sebagai berikut :<br />
3.1. 10 % x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang <br />
menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak, <br />
apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.<br />
<br />
Contoh : jumlah yang dibayarkan = Rp 110.000.000<br />
PPN yang terutang = 10% x Rp 110.000.000 = Rp 11.000.000<br />
<br />
3.2. 10/110 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang <br />
menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak,<br />
apabila berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis diketahui bahwa jumlah <br />
tersebut sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.<br />
<br />
Contoh : Jumlah yang dibayarkan (termasuk PPN) = Rp 110.000.000<br />
PPN yang terutang = 10/110 x Rp 110.000.000 = Rp 10.000.000<br />
<br />
3.3. 10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang <br />
menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak, <br />
dalam hal :<br />
a. tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk <br />
pembayaran termaksud, atau<br />
b. ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak <br />
dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau <br />
perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.<br />
<br />
Contoh : Jumlah yang dibayarkan = Rp 110.000.000<br />
PPN yang terutang = 10% x Rp 110.000.000 = Rp 11.000.000<br />
<br />
4. Kewajiban orang pribadi atau badan uang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau <br />
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean Indonesia<br />
<br />
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 dipungut oleh orang <br />
pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia yang <br />
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena dari luar Daerah Pabean.<br />
<br />
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena <br />
Pajak dari luar Daerah Pabean harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak untuk memperoleh <br />
Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang berwenang atas wilayah tempat <br />
tinggal atau tempat kedudukan orang pribadi atau badan tersebut.<br />
<br />
5. Penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut<br />
5.1. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam butir 4, harus <br />
disetorkan ke Kas Negara selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah <br />
bulan terjadinya pemungutan. Tempat penyetoran dimaksud adalah Kantor Pos dan Giro, atau <br />
bank-bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran sebagai bank persepsi.<br />
<br />
5.2. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut harus disetorkan oleh pihak yang memanfaatkan <br />
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan <br />
menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menyerahkan <br />
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Surat <br />
Setoran Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud <br />
atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean diperlakukan sebagai Faktur Pajak sepanjang <br />
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak <br />
Nomor KEP-54/PJ/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan PPN yang tercantum didalam Faktur <br />
Pajak tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sesuai ketentuan yang berlaku.<br />
<br />
Dalam mengisi SSP untuk penyetoran PPN yang dipungut oleh pihak yang memanfaatkan <br />
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ini perlu <br />
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :<br />
<br />
a. pada huruf A kolom "Nama Wajib Pajak" dan "Alamat" diisi nama dan alamat orang <br />
pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar Daerah Pabean <br />
yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak ke <br />
dalam Daerah Pabean.<br />
<br />
b. pada huruf B untuk kolom "NPWP" diisi dengan angka 0 (nol) pada 8 (delapan) digit <br />
pertama dan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan Barang <br />
Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak<br />
<br />
c. pada kotak " Wajib Pajak/Penyetor" di sudut kiri bawah diisi nama dan NPWP pihak <br />
yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak.<br />
<br />
5.3. Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor harus <br />
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak <br />
terjadinya penyetoran. Dalam hal pembayaran PPN tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha <br />
yang terutang PPN, maka PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. <br />
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tersebut diperlakukan sebagai laporan <br />
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud <br />
atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.<br />
<br />
5.4. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak Wajib melaporkan pemungutan <br />
dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir 4 dan 5 <br />
selambat-lambatnya pada tanggal 20 dari bulan dilakukannya penyetoran, dengan <br />
mempergunakan lembar ke-3 Surat Setoran Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat <br />
orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak.<br />
<br />
Demikian untuk disebarluaskan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />
<br />
ttd<br />
<br />
FUAD BAWAZIER<br />
<br />
<br />
<script type="text/javascript" src="http://radarurl.com/js/radarurl_widget.js"></script><script type="text/javascript">radarurl_call_radar_widgetv2({edition:"Dynamic",location:"bottomright"})</script><noscript><a href="http://radarurl.com/">website trackers</a></noscript>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-55646427191831200372010-04-21T19:46:00.000-07:002010-04-21T19:47:27.536-07:00PPN ATAS DOWNLOAD SOFTWARE DARI INTERNET INVOICE LUAR NEGRIPeraturan Terkait<br />11 TAHUN 1994 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />597/KMK.04/1994 SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN, PENGHITUNGAN, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA<br /><br />Peraturan Detail : <br />Print <br /><br />Perihal : SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN, PENGHITUNGAN, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA (SERI PPN 7-95)<br /><br />Tanggal Terbit : Jumat, 17 Maret 1995<br /><br /> DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />___________________________________________________________________________________________<br /> 17 Maret 1995<br /><br /> SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR SE - 08/PJ.5/1995<br /><br /> TENTANG<br /><br /> SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK <br /> DARI LUAR DAERAH PABEAN, PENGHITUNGAN, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, <br /> DAN PELAPORANNYA (SERI PPN 7-95)<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Sehubungan dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 597/KMK.04/1994 tanggal <br />21 Desember 1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Atau Jasa Kena <br />Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya, <br />maka untuk pelaksanaannya diberikan penjelasan sebagai berikut :<br /><br />1. Pengertian Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean<br /> 1.1. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak hanya disebut sebagai berasal dari <br /> luar Daerah Pabean apabila orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau <br /> berkedudukan di luar Daerah Pabean menyerahkannya ke dalam Daerah Pabean tidak <br /> melalui atau tidak atas nama Bentuk Usaha Tetapnya yang berada di dalam Daerah Pabean. <br /> Apabila penyerahannya dilakukan melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap yang berada <br /> di dalam Daerah Pabean, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas <br /> penyerahan dalam negeri.<br /><br /> 1.2. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dapat berupa hak-hak seperti <br /> hak paten, hak oktroi, hak cipta, dan hak menggunakan merek dagang, yang dimanfaatkan <br /> oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun <br /> yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah Pabean Indonesia.<br /><br /> 1.3. Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dapat berupa jasa-jasa sebagai berikut :<br /> a. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk <br /> barang tidak bergerak yang berada dalam Daerah Pabean dan dimanfaatkan oleh <br /> orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak <br /> maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah <br /> Pabean Indonesia. Misalnya jasa perencanaan atau penggambaran bangunan.<br /><br /> b. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk <br /> barang bergerak yang berada atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean dan <br /> dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha <br /> Kena Pajak maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dala <br /> Daerah Pabean Indonesia. Misalnya jasa persewaan rig atau pengeboran minyak dan <br /> jasa persewaan alat-alat berat.<br /><br /> c. Jasa yang dilakukan secara phisik di dalam Daerah Pabean.<br /> Misalnya jasa konsultan, jasa pengacara, jasa akuntan, dan jasa surveyor.<br /><br />2. Saat terutang PPN dan saat dimulainya pemanfaatan<br /><br /> 2.1. Saat terutangnya pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena <br /> Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-<br /> undang No. 11 Tahun 1994, terjadi pada saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa <br /> Kena Pajak tersebut mulai dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean Indonesia.<br /><br /> 2.2. Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari <br /> luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa <br /> sebagai berikut :<br /> <br /> a. Saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak secara nyata <br /> dimanfaatkan, meskipun belum didukung bukti-bukti formal seperti kontrak atau <br /> perjanjian tertulis. Pengertian pemanfaatan secara nyata dapat diartikan antara <br /> lain telah digunakannya Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak <br /> sesuai dengan tujuannya. Misalnya, dalam hal pemanfaatan merek dagang, telah <br /> dibuat label dan dijahit atau ditempel pada Barang Kena Pajak yang diproduksi.<br /><br /> b. Saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak <br /> dinyatakan sebagai utang, yang didukung antara lain dengan adanya surat pengakuan <br /> utang atau telah dicatat dalam pembukuan sebagai utang, maupun berdasarkan <br /> bukti-bukti lain.<br /><br /> c. Saat Harga Jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Penggantian Jasa Kena <br /> Pajak ditagih oleh pihak yang menyerahkan, yaitu antara lain didukung dengan bukti <br /> penagihan, baik tertulis maupun tidak tertulis, dari pihak yang menyerahkan kepada <br /> pihak yang memanfaatkan.<br /><br /> d. Saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak <br /> dibayar, baik sebagian atau seluruhnya, oleh pihak yang memanfaatkan.<br /><br /> 2.3. Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena <br /> Pajak dari luar Daerah Pabean tidak diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang <br /> Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut adalah tanggal ditandatanganinya <br /> kontrak atau perjanjian.<br /><br />3. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang<br /> Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau <br /> Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dihitung sesuai dengan keadaannya, dengan salah satu <br /> cara diantara cara-cara penghitungan sebagai berikut :<br /> 3.1. 10 % x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang <br /> menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak, <br /> apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.<br /><br /> Contoh : jumlah yang dibayarkan = Rp 110.000.000<br /> PPN yang terutang = 10% x Rp 110.000.000 = Rp 11.000.000<br /><br /> 3.2. 10/110 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang <br /> menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak,<br /> apabila berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis diketahui bahwa jumlah <br /> tersebut sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.<br /><br /> Contoh : Jumlah yang dibayarkan (termasuk PPN) = Rp 110.000.000<br /> PPN yang terutang = 10/110 x Rp 110.000.000 = Rp 10.000.000<br /><br /> 3.3. 10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang <br /> menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak, <br /> dalam hal :<br /> a. tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk <br /> pembayaran termaksud, atau<br /> b. ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak <br /> dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau <br /> perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.<br /><br /> Contoh : Jumlah yang dibayarkan = Rp 110.000.000<br /> PPN yang terutang = 10% x Rp 110.000.000 = Rp 11.000.000<br /><br />4. Kewajiban orang pribadi atau badan uang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau <br /> Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean Indonesia<br /><br /> Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 dipungut oleh orang <br /> pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia yang <br /> memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena dari luar Daerah Pabean.<br /><br /> Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena <br /> Pajak dari luar Daerah Pabean harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak untuk memperoleh <br /> Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang berwenang atas wilayah tempat <br /> tinggal atau tempat kedudukan orang pribadi atau badan tersebut.<br /><br />5. Penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut<br /> 5.1. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam butir 4, harus <br /> disetorkan ke Kas Negara selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah <br /> bulan terjadinya pemungutan. Tempat penyetoran dimaksud adalah Kantor Pos dan Giro, atau <br /> bank-bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran sebagai bank persepsi.<br /><br /> 5.2. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut harus disetorkan oleh pihak yang memanfaatkan <br /> Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan <br /> menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menyerahkan <br /> Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Surat <br /> Setoran Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud <br /> atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean diperlakukan sebagai Faktur Pajak sepanjang <br /> memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak <br /> Nomor KEP-54/PJ/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan PPN yang tercantum didalam Faktur <br /> Pajak tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sesuai ketentuan yang berlaku.<br /><br /> Dalam mengisi SSP untuk penyetoran PPN yang dipungut oleh pihak yang memanfaatkan <br /> Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ini perlu <br /> diperhatikan hal-hal sebagai berikut :<br /><br /> a. pada huruf A kolom "Nama Wajib Pajak" dan "Alamat" diisi nama dan alamat orang <br /> pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar Daerah Pabean <br /> yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak ke <br /> dalam Daerah Pabean.<br /><br /> b. pada huruf B untuk kolom "NPWP" diisi dengan angka 0 (nol) pada 8 (delapan) digit <br /> pertama dan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan Barang <br /> Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak<br /><br /> c. pada kotak " Wajib Pajak/Penyetor" di sudut kiri bawah diisi nama dan NPWP pihak <br /> yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak.<br /><br /> 5.3. Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor harus <br /> dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak <br /> terjadinya penyetoran. Dalam hal pembayaran PPN tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha <br /> yang terutang PPN, maka PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. <br /> Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tersebut diperlakukan sebagai laporan <br /> pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud <br /> atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.<br /><br /> 5.4. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak Wajib melaporkan pemungutan <br /> dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir 4 dan 5 <br /> selambat-lambatnya pada tanggal 20 dari bulan dilakukannya penyetoran, dengan <br /> mempergunakan lembar ke-3 Surat Setoran Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat <br /> orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak.<br /><br />Demikian untuk disebarluaskan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.<br /><br /><br /><br /><br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /><br />ttd<br /><br />FUAD BAWAZIERUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-1623658152356185052010-04-20T19:31:00.000-07:002010-04-20T19:32:21.185-07:00PER 6 PJ 2009 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN DALAM BENTUK ELEKTRONIKDEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR 6 /PJ/2009<br />TENTANG<br />TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN<br />DALAM BENTUK ELEKTRONIK<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka memperlancar penatausahaan pelaporan pajak yang<br />diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak Madya termasuk Kantor<br />Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak<br />Jakarta Khusus dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah<br />Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, perlu menetapkan Peraturan<br />Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penyampaian Surat<br />Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik;<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan<br />Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun<br />1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia<br />Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan<br />Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik<br />Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Nomor 4740);<br />2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk<br />dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian,<br />Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan;<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA<br />PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN DALAM BENTUK<br />ELEKTRONIK.<br />Pasal 1<br />Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:<br />1. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut KPP adalah Kantor<br />Pelayanan Pajak Madya termasuk Kantor Pelayanan Pajak di<br />lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus<br />dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat<br />Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar.<br />2. Wajib Pajak adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP sebagaimana<br />dimaksud pada angka 1.<br />3. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah Surat<br />Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan, Surat Pemberitahuan<br />Tahunan Pajak Penghasilan, dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak<br />Pertambahan Nilai.<br />4. e-SPT adalah data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang<br />dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang<br />disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.<br />5. e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT atau Pemberitahuan<br />Perpanjangan SPT Tahunan yang dilakukan secara on-line yang real<br />time melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider<br />(ASP).<br />6. Penyampaian SPT dalam bentuk elektronik yang selanjutnya disebut<br />penyampaian e-SPT adalah Penyampaian SPT ke KPP dalam bentuk<br />media elektronik.<br />Pasal 2<br />(1) Wajib Pajak wajib menyampaikan SPT dalam bentuk elektronik<br />(e-SPT).<br />(2) Saat dimulainya penyampaian e-SPT sebagaimana dimaksud pada<br />ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:<br />a. Bagi Wajib Pajak yang telah ditetapkan terdaftar di KPP<br />berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berlaku<br />sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini ditetapkan,<br />terhitung sejak tanggal 1 Juli 2009.<br />b. Bagi Wajib Pajak yang ditetapkan terdaftar di KPP berdasarkan<br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berlaku setelah<br />berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, terhitung sejak<br />awal bulan keenam setelah bulan Wajib Pajak ditetapkan.<br />(3) Wajib Pajak yang dalam menyampaikan SPT:<br />a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />dan ayat (2); atau<br />b. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan<br />ayat (2) tetapi tidak melampirkan keterangan dan/atau dokumen<br />lain yang harus dilampirkan sesuai dengan ketentuan yang<br />berlaku,<br />dianggap tidak menyampaikan SPT dan dikenakan sanksi sesuai<br />dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.<br />(4) Wajib Pajak dapat menyampaikan e-SPT sebelum tanggal yang<br />ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dikehendaki<br />oleh Wajib Pajak.<br />Pasal 3<br />(1) Penyampaian e-SPT oleh Wajib Pajak ke KPP tempat Wajib Pajak<br />terdaftar dapat dilakukan:<br />a. secara langsung atau melalui pos/perusahaan jasa ekspedisi/kurir<br />dengan bukti pengiriman surat dengan membawa atau<br />mengirimkan formulir Induk SPT Masa PPh dan/atau SPT Masa<br />PPN dan/atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan e-SPT yang telah<br />ditandatangani dan file data SPT yang tersimpan dalam bentuk<br />elektronik serta dokumen lain yang wajib dilampirkan; atau<br />b. melalui e-Filing sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />(2) Penyampaian e-SPT dilaksanakan dengan prosedur sebagaimana<br />ditetapkan dalam Lampiran yang tak terpisahkan dari Peraturan<br />Direktur Jenderal Pajak ini.<br />Pasal 4<br />(1) Pembetulan atas SPT yang telah disampaikan dalam bentuk<br />elektronik (e-SPT), wajib disampaikan dalam bentuk elektronik<br />(e-SPT).<br />(2) Pembetulan atas SPT yang telah disampaikan dalam bentuk kertas<br />(hardcopy), dapat disampaikan dalam bentuk elektronik (e-SPT) atau<br />dalam bentuk bentuk kertas (hardcopy).<br />Pasal 5<br />Bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan SPT dalam bentuk elektronik<br />(e-SPT) sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini tetap<br />menyampaikan SPT dalam bentuk elektronik.<br />Pasal 6<br />Tata cara penyampaian Surat Pemberitahuan dalam bentuk digital atau<br />elektronik yang tidak sesuai dengan ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku.<br />Pasal 7<br />Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal<br />ditetapkan.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman<br />Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam<br />Berita Negara Republik Indonesia.<br />Lampiran<br />Peraturan Direktur Jenderal Pajak<br />Nomor : PER-6/PJ/2009<br />Tanggal : 20 Januari 2009<br />PROSEDUR PENYAMPAIAN e-SPT<br />SPT dalam bentuk Elektronik (e-SPT) beserta lampiran-lampirannya dilaporkan dengan<br />menggunakan media elektronik (CD, disket, flash disk dan lain-lain) ke KPP dimana Wajib Pajak<br />terdaftar. Aplikasi e-SPT merupakan aplikasi SPT yang diberikan secara cuma-cuma oleh Direktorat<br />Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak.<br />Dengan menggunakan aplikasi e-SPT Wajib Pajak dapat merekam, memelihara, dan men-generate<br />data Elektronik SPT serta mencetak SPT beserta lampirannya.<br />Prosedur Penyampaian e-SPT adalah sebagai berikut :<br />1. Wajib Pajak melakukan instalasi aplikasi e-SPT pada sistem komputer yang digunakan untuk<br />keperluan administrasi perpajakannya;<br />2. Wajib Pajak menggunakan aplikasi e-SPT untuk merekam data-data perpajakan yang akan<br />dilaporkan, yaitu antara lain:<br />a. Data Identitas Wajib Pajak Pemotong/Pemungut dan Identitas Wajib Pajak yang<br />dipotong/dipungut seperti NPWP, Nama, Alamat, Kode Pos, Nama KPP, Pejabat<br />Penandatangan, Kota, Format Nomor Bukti Potong/Pungut, Nomor awal bukti<br />Potong/Pungut, Kode Kurs Mata Uang yang Digunakan;<br />b. Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh;<br />c. Faktur Pajak;<br />d. Data perpajakan yang terkandung dalam SPT;<br />e. Data Surat Setoran Pajak (SSP), Seperti: Masa Pajak, Tahun Pajak, tanggal setor, NTPN,<br />kode Akun/KJS, dan jumlah pembayaran pajak;<br />3. Wajib Pajak yang telah memiliki sistem administrasi keuangan/perpajakan sendiri dapat<br />melakukan proses impor data dari sistem yang dimiliki Wajib Pajak ke dalam aplikasi e-SPT<br />dengan mengacu kepada format data yang sesuai dengan aplikasi e-SPT;<br />4. Wajib Pajak mencetak Bukti Pemotongan/Pemungutan dengan menggunakan aplikasi e-SPT<br />dan menyampaikannya kepada pihak yang dipotong/dipungut;<br />5. Wajib Pajak mencetak formulir Induk SPT Masa PPh dan/atau SPT Masa PPN dan/atau SPT<br />Tahunan PPh menggunakan aplikasi e-SPT;<br />6. Wajib Pajak menandatangani formulir Induk SPT Masa PPh dan/atau SPT Masa PPN dan/atau<br />SPT Tahunan PPh hasil cetakan aplikasi e-SPT;<br />7. Wajib Pajak membentuk file data SPT dengan menggunakan aplikasi e-SPT dan disimpan<br />dalam media elektronik;<br />8. Wajib Pajak Menyampaikan e-SPT ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan cara:<br />a. secara langsung atau melalui pos/perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman<br />surat, dengan membawa atau mengirimkan formulir Induk SPT Masa PPh dan/atau SPT<br />Masa PPN dan/atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan e-SPT yang telah ditandatangani dan<br />file data SPT yang tersimpan dalam bentuk elektronik serta dokumen lain yang wajib<br />dilampirkan; atau<br />b. melalui e-Filing sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />9. a. Atas penyampaian e-SPT secara langsung diberikan tanda penerimaan surat dari TPT<br />sedangkan penyampaian e-SPT melalui pos atau jasa ekspedisi/kurir bukti pengiriman surat<br />dianggap sebagai tanda terima SPT.<br />b. Atas penyampaian melalui e-Filing diberikan bukti penerimaan elektronik.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-24632991373205553682010-04-20T19:24:00.000-07:002010-04-20T19:36:20.675-07:00PER-31/PJ/2009 TENTANG PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN,DEPARTEMEN KEUANGANREPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />PERATURAN DIREKTUR JENDERALPAJAK NOMOR:PER-31/PJ/2009 <br /><br />TENTANG <br /><br />PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL26 <br />SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, <br /><br />PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, DAN PELAPORAN JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br /><br />Menimbang: <br />bahwa sebagai pelaksanaanketentuanpasal 24 peraturan Menteri Keuangan <br />Nomor 252/PMK.03/2008tentang Petunjuk pelaksanaanpemotongan pajak <br />atas Penghasilan Sehubungandenganpekerjaan,Jasa, dan Kegiatan Orang <br />Pribadi, dan ketentuan Pasal 4 peraturan Menterj Keuangan Nomor <br /><br />2541PMK.O312008<br /><br />tentang Penetapan BagianpenghasilanSehubungan dengan <br />Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta pegawai Tidak Tetap <br /><br />Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan pajak penghasilan, perlu <br />menetapkanPeraturanDirekturJenderal Pajak tentang pedoman Teknis Tata <br />Cara Pemotongan, Penyetorandan Pelaporan Pajak penghasilan pasal 21 <br />dan/atau Pajak PenghasilanPasal26 Sehubungan Denganpekerjaan,Jasa, <br />dan Kegiatan Orang Pribadi; <br /><br />Mengingat: 1. Undang-Undang <br />Umum dan Tata <br /><br />Nomor6 Tahun lg83 tentang Ketentuan <br />Cara Perpajakan NegaraRepubliklndonesiaTahun 1983 Nomor <br /><br />(Lembaran <br />49, Tambahan LembaranNegara Republiklndonesia Nomor 3262)<br /><br />sebagaimanatelahbeberapakalidiubah terakhir dengan Undang-Undang <br />Nomor16 Tahun 2009(LembaranNegaraRepublikIndonesiaTahun 2009 <br />Nomor62, Tambahan LembaranNegaraRepubiikIndonesiaNomor4999); <br /><br />Undang-UndangNomor7 Tahun 1983 tentangPajakPenghasilan<br /><br />(LembaranNegaraRepublikIndonesiaTahun 1983 Nomor50,TambahanLembaran <br />Negara Republik Indonesia telah beberapa <br /><br />Nomor3263)sebagaimana kali <br />diubah terakhir denganUndang-Undang (Lembaran<br /><br />Nomor36 Tahun 2OOB <br />NegaraRepublikIndonesiaTahun2008 Nomor 138, Tambahan Lembaran <br />NegaraBepublikIndonesiaNomor4893); <br /><br />PeraturanMenteriKeuanganNomor 1841PMK.O312007 <br /><br />tentang Penentuan <br />TanggalJatuhTempoPembayarandan PenyetoranPajak, Penentuan <br />Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetorandan <br />PelaporanPajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan <br />Pembayaran<br /><br />Pajak: <br /><br />Peraturan Menteri KeuanganNomor 250/Pl\,4K.03/2008 <br /><br />tentang Besarnya <br />BiayaJabatanatau Biaya Pensiun yangDapat Dikurangkan <br /><br />dari Penghasilan <br />BrutoPegawaiTetapatau Pensiunan; <br /><br />5-PeraturanMenteriKeuangan Nomor 2521PMK.03|2OOB<br /><br />tentang Petunjuk <br />PelaksanaanPemolonganPajakatas Penghasilan Sehubungandengan <br />Pekerjaan, Orang Pribadi; <br /><br />Jasa, dan Kegiatan <br /><br />Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2'4|PMK.Oz|ZOOA <br /><br />tentangPenetapan <br />Bagian Penghasilan dengan Pekerjaan Harian<br /><br />Sehubungan dari Pegawai <br />dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap LainnyayangTidakDikenakan <br />Pemotongan<br /><br />Pajak Penghasilan; <br /><br /> <br />[/EMUTUSKAN: <br /><br />MenetaDkan:PERATURAN JENDERAL <br />TEKNIS<br /><br />DIREKTUR PAJAK TENTANG PEDOMAN <br />TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK <br />PENGHASILANPASAL21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 <br />SEHUBUNGANDENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG <br />PRIBADI. <br /><br />BAB I <br /><br />KETENTUAN<br /><br />UMUI\iI <br /><br />Pasal 1 <br />Dalam Peraturan DirekturJenderalPajak ini, yangdimaksuddengan: <br /><br /><br />PajakPenghasilan Nomor 7 Tahun 1983 <br />tentang Pajak Penghasilan telah beberapa <br /><br />1. <br />Undang-Undang adalah Undang-Undang <br />sebagaimana kalidiubahierakhir dengan <br />Undang-Undang 36 Tahun 2008. <br /><br />Nomor <br /><br />2. <br />P4ak Penghasilan denganpekerjaan,<br />sehubungan jasa,dan kegiatan yangdilakukan <br />oleh Wajib Pajak orang pribadiSubjek Pajak dalamnegeri,yangselanjutnya<br /><br />disebut <br />PPh Pasal 21, adalah pa.iakatas penghasilanberupagaji, upah, honorarium, <br />danpembayaran<br /><br />tunjangan, laindengannama dan dalam bentuk apapunsehubungan <br />denganpekerjaanataujabatan,jasa,dan kegiatan yangdilakukanoleh orang pribadi <br /><br />Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dalam Pasal 21 Undang-Undang <br /><br />dimaksud <br />PajakPenghasilan. <br /><br /><br />3. <br />PajakPenghasilan denganpekerjaan, yangdilakukan<br />sehubungan jasa,dan kegiatan <br />oleh Wajib Pajak orangpribadiSubjek Pajak luar negeri, yangselanjutnya PPh<br /><br />disebut <br />Pasal 26, adalah pajakataspenghasilan tunjangan,<br /><br />berupagaji,upah, honorarium, dan <br />pembayaranlain dengan namadan dalam bentuk apapun sehubungan denganpekerjaanataujabatan,jasa,dan kegiatan yangdilakukanoleh orang pribadiSubjek <br />Pajakluar negeri, sebagaimanadimaksuddalam Pasal 26 Undang-Undang <br /><br />Pajak <br />Penghasilan. <br /><br />4. <br />PemotongPPh Pasal 21 danlatau PPhPasal 26 adalah Waiib Pajak orang pribadiatau <br />Wajib Pajak badan,termasukbentuk usaha tetap,yangmempunyaikewajibanuntuk <br />melakukanpemotongan sehubungan jasa,<br />pajakataspenghasilan denganpekerjaan, <br />dan kegiatan orangpribadisebagaimana dalam Pasal 21 dan Pasal 26 <br /><br />dimaksud <br />Undang-Undang<br /><br /><br />Pajak Penghasilan. <br /><br />dimaksud <br />Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan <br />sebagaimana kalidiubah terakhir Nomor 16 <br /><br />5. <br />Badanadalah badan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang <br />telahbeberapa dengan Undang-Undang <br />Tahun 2009. <br /><br /><br />6. <br />Penyelenggara adalah Wajib Pajak orang pribadi<br />Kegiatan <br />atauWajib Pajak badan <br /><br />sebagaipenyelenggarakegiatantertentuyang melakukanpembayaranimbalan <br />dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadisehubungandengan <br />pelaksanaan<br /><br />kegiatantersebut. <br /><br />7. <br />PenerimaPenghasilanyangDipotongPPh Pasal21 adalah orang pribadidengan <br />status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerimaatau memperoleh <br />penghasilandengannamadan dalam bentuk apapun, sepanjangtidak dikecualikan <br />dalamPeraturanDirekturJenderalPajak ini, dari Pemotong PPhPasal 21 dan/atau <br />PPh Pasal 26 sebagai imbalansehubungan jasaataukegialan<br />denganpekerjaan, yang <br />dilakukan baik dalam hubungannya sebagaipegawaimaupun bukan pegawai, <br />termasukpenerimapensiun. <br /><br />P <br /><br /> <br />o <br /><br />10. <br />11. <br />13. <br />14. <br />to. <br /><br />17. <br />18. <br />19. <br />yangDipotongPPh Pasal 26 adalah orang pribadidengan <br />statussebagai Subjek Pajak luar negeriyangmenerimaatau memperoleh <br /><br />PenerimaPenghasilan <br /><br />penghasilan <br /><br />dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjangtidak dikecualikandalam <br />PeraturanDirekturJenderalPaiak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh <br />Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan denganpekerjaan,jasaatau kegiatan yang <br />dilakukanbaik dalam hubungannya sebagaipegawaimaupunbukanpegawai, <br /><br />termasukpenerimapensiun. <br /><br />Pegawaiadalah orang pribadiyangbekerjapada pemberi kerja,baik sebagai pegawal <br />tetap atau pegawaitidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkanperianjianatau <br />kesepakatan tertulis tidaktertulis,untukmelaksanakansuatu<br /><br />keria baik secara maupun <br />pekerjaandalamjabatanatau kegiatan tertentudenganmemperolehimbalanyang <br />dibayarkanberdasarkan tertentu, pekerjaan,atau ketentuan lain<br /><br />periode penyelesaian <br />yangditetapkanpemberikerja,termasukorangpribadi yang melakukanpekerjaan <br />dalamjabatannegeriatau badan usaha milik negara ataubadan usaha milik daerah. <br /><br />yangmenerima penghasilan <br />jumlahtertentusecarateratur,termasukanggotadewan komisaris dan anggota dewan <br />pengawasyangsecara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatanperusahaan <br /><br />sertapegawai berdasarkan <br /><br />Pegawaitetap adalah pegawai ataumemperoleh dalam <br /><br />secaralangsung, yangbekerja kontrakuntuksuatujangka <br />waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutanbekerjapenuh(fu timeldalam <br />pekerjaan<br /><br />tersebut-<br /><br />Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima <br />penghasilanapabilapegawai yang bersangkutan iumlahhari<br /><br />bekerja, berdasarkan <br />bekerja,jumlahunit hasil pekerjaanyangdihasilkanataupenyelesaian<br /><br />suatujenis <br />pekerjaanyangdimintaolehpemberikerja. <br /><br />PenerimaPenghasilan adalah orang pribadiselainpegawaitetap dan <br /><br />Bukan Pegawai <br />pegawaitidak tetap/tenaga penghasilan nama<br /><br />kerja lepas yangmemperoleh dengan <br />dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 danlatau PPh Pasal 26 <br />sebagai imbalan atas pekerjaan,jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan <br />berdasarkanperintahataupermintaandaripemberi penghasilan. <br /><br />Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibatdalam suatu kegiatantertenlu, <br />termasukmengikuti rapat, sidang,seminar, lokakarya (workshop'1,<br /><br />pendidikan, <br />pertunjukan, atau kegiatan danmenerimaataumemperolehimbalan<br /><br />olahraga, lainnya <br />sehubungan dalamkegiatan<br /><br />dengan keikutsertaannya tersebul. <br /><br />Penerimapensiunadalahorangpribadiatau ahli warisnyayang menerimaatau <br /><br />memperolehimbalan untuk pekerjaanyangdilakukandi masa lalu, termasuk orang <br /><br />pribadiatau ahli warisnya yangmenerimatunjanganhari tua atau jaminanhari tua. <br /><br />Penghasilan TetapyangBersifat bagipegawai<br /><br />Pegawai Teraturadalahpenghasilan <br />tetap berupa gajiatau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama <br />apapunyangdiberikansecara berdasarkan yangditetapkanoleh<br /><br />periodik ketentuan <br />pemberikerja,termasukuang lembur. <br /><br />PenghasilanPegawai Teiap yangBersifat Tidak Teratur adalah penghasilanbagi <br />pegawaitetap selain penghasilanyangbersifatteratur,yangditerimasekali dalam satu <br />tahun atau periodelainnya,antaralain berupa bonus,TunjanganHari Raya (THR),jasa <br />produksi,tantiem, atau imbalan lainnya nama<br /><br />gratifikasi, sejenis dengan apapun. <br /><br />Upahharian adalah upah atau imbalan yangditerimaataudiperolehpegawaiyang <br />terutangatau dibayarkan secaraharian. <br /><br />Upahmingguanadalahupah atau imbalan yangditerimaatau diperoleh pegawaiyang <br /><br />terutangatau dibayarkan mingguan.<br /><br />secara <br /><br />Upah satuan adalah upah atau imbalan yangditerimaataudiperolehpegawaiyang <br /><br />terutangataudibayarkan jumlah yangdihasilkan<br /><br />berdasarkan unit hasil pekerjaan <br /><br /> <br />Upah borongan adalahupah atau imbalan yangditerima atau diperoleh pegawai yang <br />terutang atau dibayarkanberdasarkanpenyelesaiansuatujenispekerjaantertentu. <br /><br />21. <br />lmbalankepada bukan pegawaiadalahpenghasilandengan nama dan dalam bentuk <br />apapun yang terutangatau diberikan kepada bukan pegawaisehubungan dengan <br />pekerjaan,jasa,atau kegiatan yangdilakukan,antara lain berupa honorarium, komisi, <br />fee,danpenghasilansejenislainnya. <br /><br />lmbalan kepada bukan pegawaiyang bersifatberkesinambunganadalah imbalan <br />kepadabukanpegawaiyang dibayaratau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun <br />kalendersehubungandenganpekerjaan,jasa,atau kegiatan. <br /><br />23. <br />lmbalan kepada pesertakegiatanadalahpenghasilandengan nama dan dalam bentuk <br />apapun yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatantertentu, antara lain <br />oerupa uang sal(u, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau <br />penghargaan,danpenghasilansejenis lainnya. <br />24. <br />lvlasa Pajak terakhiradalah masa Desember atau masa pajaktertentu di mana pegawai <br />tetap berhenti bekeria. <br />BAB II <br /><br />PEMOTONGPPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 <br /><br />Pasal 2 <br /><br />(1) <br />PemotongPPhPasal21 danlatau PPhpasal26, meliputi: <br />a. <br />pemberikerjayangterdiridariorangpribadidan badan, baik merupakan pusat <br />maupuncabang,perwakilanatau unityangmembayargaji,upah, honorarium, <br />tunjangan,danpembayaranlaihdengannama dan dalam bentukapapun,sebagai<br />imbalansehubungan <br />ataujasayangdilakukan atau<br /><br />denganpekerjaan olehpegawaibukanpegawai; <br /><br />b. bendaharaataupemegang termasuk ataupemegang<br />kaspemerintah, bendahara <br />kas padaPemerintahPusattermasuk institusi TNI/POLR|,pemerintahDaerah,<br />instansiatau lembaga lembaga-lembaga<br /><br />pemerintah, negaralainnya,dan Kedutaan <br />BesarRepubllkIndonesia yangmembayarkan<br /><br />di luar negeri, gaji,upah, honorarium, <br />tunjangan,dan pembayaranlain dengan nama dan dalam bentuk apapun <br />sehubungandenganpekerjaanataujabatan,jasa,dan kegiatan; <br /><br />badanpenyelenggara sosial <br />lainyangmembayaruangpensiundan tunjangan hari tua atau jaminanhari tua; <br /><br />c. <br />danapensiun, jaminan tenaga kerja, dan badan-badan <br />d. <br />orangpribadiyangmelakukankegiatanusahaataupekerjaanbebas serta badan <br />yangmembayar: <br />1. honorariumataupembayaranlain sebagai imbaian sehubungandenganjasa <br />dan/ataukegiatanyangdilakukanoleh orang pribadidenganstatusSubjekPajakdalamnegeri,termasukjasatenagaahliyangmelakukanpekerjaanbebas dan <br />bertindakuntukdan atas namanvasendiri. bukan untuk dan atas nama <br />persekutuannya; <br />2. honorariumataupembayaranlainsebagai sehubungan<br />imbalan dengan kegiatan <br />danjasayangdilakukanoleh orang pribadidengan status Subjek Pajak luar <br />negeri; <br /><br />3. honorariumatau imbalan lain kepada pesertapendidikan,pelatihan,dan <br />magang; <br /> <br />penyelenggara<br /><br />e. <br />kegiatan,termasuk badan pemerintah,organisasiyang bersifat <br />perkumpulan,<br />nasionaldan internasional, orangpribadiserta lembaga lainnyayang <br />menyelenggarakankegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau <br />penghargaan<br /><br />dalam bentuk apapunkepada Wajib Pajak orang pribadidalam negeri <br />berkenaandengansuatukegiatan. <br /><br />(2) <br />Tidaktermasuksebagaipemberikerjayangmempunyaikewajibanuntuk melakukan <br />pemotongan dimaksud<br />pajaksebagaimana padaayat(1)hurufa adalah: <br /><br />perwakilan asing;<br /><br />a. <br />kantor negara <br />b. organisasi-organisasi sebagaimana dalamPasal3 ayat(1)<br />internasional dimaksud <br />hurufc Undang-Undang yangtelah ditetapkan <br /><br />Pajak Penghasilan, oleh Menteri <br />Keuangan; <br /><br />c. <br />pemberikerjaorangpribadiyangtidak melakukan kegiatanusaha atau pekerjaan <br />bebasyangsemata-mata orangpribadi pekerjaan<br />mempekerjakan untuk melakukan <br />rumahtanggaataupekerjaanbukan dalam rangka melakukankegiatanusahaatau <br />pekerjaanbebas. <br /><br />(3) <br />Dalamhal organisasi internasional ketentuan dimaksud<br />tidak memenuhi sebagaimana<br />padaayat(2)huruf b, organisasiinternasionaldimaksud pemberi<br /><br /><br />merupakan kerjayang <br />berkewajibanmelakukanpemotongan<br /><br />pajak. <br /><br />BAB III <br /><br />PENERIMAPENGHASILAN <br />PPh PASAL <br /><br />YANGDIPOTONG 21 <br />DAN/ATAUPPh PASAL 26 <br /><br />Pasal 3 <br /><br />PenerimaPenghasilan<br /><br />yangDipotongPPhPasal 21 danlatau PPh Pasal 26 adalah orangpribadiyangmerupakan: <br /><br />a. <br />pegawai; <br />b. <br />penerimauangpesangon,pensiunatau uang manfaat pensiun,tunjanganhari tua, atau <br />jaminanharitua, termasuk ahli warisnya; <br />c. <br />bukanpegawaiyangmenerimaataumemperolehpenghasilansehubungandenganpekerjaan,<br />jasa,atau kegiatan, antaralain meliputi: <br /><br />1. <br />tenagaahli yang melakukanpekerjaanbebas,yangterdiri dari pengacara, <br />akuntan,arsitek, notaris, dan aktuaris; <br />doKer,konsultan, penilai, <br /><br />2. pemainmusik,pembawaacara,penyanyi,pelawak,bintangfilm, bintang sinetron, <br />bintang iklan, sutradara,kru film, {oto model, peragawan/peragawati,<br />pemain <br />drama,penari,pemahat,pelukis,dan seniman lainnya; <br /><br />3. <br />olahragawan; <br />4. <br />penasihat, pelatih, penyuluh,dan moderator; <br />pengajar, penceramah, <br /><br />peneliti,<br /><br />5. <br />pengarang, danpenerjemah; <br />6. <br />pemberi jasa dalamsegala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem <br />aplikasinya,telekomunikasi, fotografi, ekonomi dan sosial serta<br />elektronika, <br />pemberijasakepadasuatu kepanitiaan; <br /><br /><br />7. <br />agen iklan; <br />8. <br />pengawasataupengelolaproyek; <br />9. <br />pembawapesananatau yang menemukan langganan atau yang meniadi <br />perantara; <br />10. <br />petugaspenjaiabarangdagangan; <br />11. <br />petugasdinas luar asuransi;<br />'f2. distributorperusahaanmultilevelmarketingatau direct selling dan kegiatan sejenis <br />lainnya; <br /><br />t <br /><br /> <br />d. <br />pesertakegiatanyangmenerimaatau memperoleh sehubungan<br />penghasilan dengankeikutsertaannya<br /><br />dalamsuatukegiatan,antaralain meliputi: <br /><br />1. <br />pesertaperlombaan lainperlombaan<br />dalamsegala bidang, antara olah raga, seni, <br />ketangkasan, teknologi lainnya;<br /><br />ilmupengetahuan, danperlombaan <br /><br />2. <br />pesettarapat,konferensi, pertemuan, kerja;<br />sidang, atau kunjungan <br /><br />3. <br />pesertaatau anggota sebagaipenyelenggara<br />dalamsuatu kepanitiaan kegiatan <br />tertentu; <br /><br />4. <br />peserta pelatihan,<br />pendidikan, dan magang; <br /><br />5. <br />pesertakegiatanlainnya. <br />Pasal4 <br /><br />Tidak termasuk dalampengertianPenerimaPenghasilanyangDipotongpph pasal 21 <br />dan/atauPPhPasal 26, sebagaimana dalampasal3 adalah: <br /><br />dimaksud <br /><br />a. <br />pejabatperwakilandiplomatikdan konsulat ataupejabatlain dari negara asing, dan <br />orang-orangyangdiperbantukan<br />kepadamerekayangbekerjapadadan bertempat <br />tinggalbersamamereka,dengansyaratbukanwarga negara Indonesiadan di Indonesia <br />tidak menerima atau memperoleh penghasilan ataupekerjaannya<br /><br />laindi luar jabatan <br />tersebut,serta negara yangbersangkutan perlakuan<br /><br /><br />memberikan timbalbalik; <br /><br />b. <br />pejabatperwakilan internasional dimaksud<br />organisasi sebagaimana dalampasalO ayat <br /><br />PajakPenghasilan, oleh Menteri <br />Keuangan,dengansyaratbukanwarganegaraIndonesia usaha <br /><br />(1) hurufc Undang-Undang <br />yangtelah ditetapkan <br />dan tidak menjalankan <br />atau kegiatan ataupekeriaanlain untuk memperoleh dari Indonesia. <br /><br /><br />penghasilan <br /><br />BAB IV <br /><br />PENGHASILANYANGDIPOTONGPPhPASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 <br /><br />Pasal5 <br /><br />(1) <br />Penghasilanyangdipotong PPh Pasal 21 daniataupph pasal 26 adalah: <br />a. <br />penghasilanyangditerimaatau diperoleh pegawaitetap,baik berupa penghasilan <br />yang bersifat teratur maupuntidak teratur; <br />b. <br />penghasilanyangditerimaataudiperolehpenerimapensiunsecara teratur berupa <br />uangpensiunataupenghasilansejenisnya; <br />c. <br />penghasilansehubungandengan pemutusanhubungan kerja dan penghasilan <br />sehubungandengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang <br />pesangon,uangmanfaatpensiun,tunjanganhari tua atau jaminanhari tua, dan <br />pembayaranlain sejenis; <br />d. <br />penghasilanpegawaitidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupaupah harian, <br />upahmingguan,upahsatuan, upah borongan atau upah yangdibayarkansecara <br />bulanan; <br />e. <br />imbalankepadabukanpegawai,antara lain berupa honorarium, komisi,fee, dan <br />imbalansejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan <br />sehubungan dengan pekerjaan,jasa,dan kegiatan yangdilakukan; <br />f. <br />imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang <br />representasi,uangrapat, honorarium, hadiahataupenghargaandengannama dan <br />dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. <br /> <br />(2) <br />P€nghasilanyang dipotongPPh Pasal 21 danlataupph pasal 26 sebagaimana<br />dimaksudpada ayat ('1)termasukpula penerimaandalam bentuk natura dan/atau <br />kenikmatanlainnyadengan nama dandalam bentuk apapunyangdiberikan oleh: <br /><br />a. <br />bukanWajib Pajak; <br />b. Wajib Pajak yangdikenakanPajakpenghasilanyangbersifatfinal; atau <br />c. <br />Wa.iibPajakyang dikenakanPajakPenghasilanberdasarkannormapenghltungan <br />khusus (d e e m ed profit]'. <br />Pasal6 <br /><br />(1) <br />Penghasilansebagaimanadimaksuddalampasal5 yangdjterimaatau diperoleh orang<br />pribadiSubjek Pajak dalamnegerimerupakanpenghasilanyang dipotongpph pasal <br />21. <br />(2) <br />Penghasilansebagaimanadimaksuddalampasal5 yangditerimaatau diperoleh orang<br />-<br /><br />pribadiSubjek Pajak luarnegerimerupakanpenghasitanyangdipotongpph pasal 26. <br /><br />Pasal 7 <br /><br />(1) <br />PenghitunganPPh Pasal 21 danlalau pph pasal 26 atas penghasilanberupapenerimaandalambentuknaturadan/atau kenikmatan lainnyasebagalmanadimaksud <br />dalam Pasal5 ayat (2) didasarkanpada harga pasar atas barang yang diberikanatau <br />nilaiwajar atas pemberiankenikmatanyangdiberikan. <br /><br />(2) <br />D_alamhal penghasilansebagaimanadimaksuddalampasal 5 ayat (1) diterimaatau <br />diperolehdalammatauangasing,penghitunganpph pasal zl aailatii pph pasal 26 <br />didasarkanpadanilaitukar(kurs) yang ditetapkanoleh Menteri Keuanganyangberlaku <br />padasaatpembayaranpenghasilantersebutataupadasaat dibebankan sebagai biaya. <br />PasalI <br /><br />(1) <br />Tidaktermasukdalampengertianpenghasilanyangdipotongpph pasal 21 adalah: <br />a. <br />pembayaran manfaat atau <br />santunan asuransi dari perusahaan asuransi <br />sehubungandengan asuransikesehatan,asuransikecelakaan,asuransi iiwa,<br />asuransidwiguna,danasuransibeasiswa: <br />penerimaan natura kenikmatan<br /><br />b. <br />dalambentuk dan/atau dalambentukapapunyangdiberikanolehWajib Pajak ataupemerintah,kecualipenghasilansebagaimanidimaksuddalamPasalS ayat (2); <br />c. <br />iuranpensiunyangdibayarkankepadadanapensiunyang pendiriannya <br />telah <br />disahkanoleh Menteri Keuangan,iurantunjanganhari tua atau iuranjaminanhari <br />tua kepadabadanpenyelenggara<br /><br />tunjanganharitua atau badan penyelenggarajaminansosialtenagakerjayangdibayarolehpemberikerja; <br /><br />d. zakatyangditerimaolehorangpribadiyangberhakdari badan atau lembaga amil <br />olehpemerintah,<br /><br />zakatyangdibentukataudisahkan <br />atau sumbangan keagamaan <br /><br />yangsifatnyawajibbagipemelukagamayangdiakuidi Indonesia yangditerima <br />olehorangpribadiyangberhakdarilembaga keagamaan yangdibentukatau <br />disahkanoleh Pemerintahsepanjangtidak ada hubungan dengan usaha, <br />pekerjaan,kepemilikan, antara<br /><br />ataupenguasaan di pjhak-pihak yang <br />bersangkutan; <br /><br />sebagaimana <br />Pajak Penghasilan. <br /><br /><br />e. <br />beasiswa dimaksuddalam Pasal a ayat(3)huruf I Undang-Undang <br />yangditanggung kerja, <br />Pemerintah, penerimaan sebagaimana <br /><br /><br />(2) <br />Pajak Penghasilan olehpemberi termasukyangditanggungoleh <br />merupakan dalambentukkenikmatan dimaksud <br />padaayat(1)hurufb. <br /><br /> <br />BAB V <br /><br />DASARPENGENAAN<br /><br />DANPEMOTONGAN <br />PPhPASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 <br /><br />PasalI <br /><br />danpemotongan<br /><br />(1) <br />Dasarpengenaan PPh Pasal 21 adalah sebagaiberikut: <br />a. PenghasilanKena Pajak, yangberlakubagi: <br />,. yegawa' LeuP! <br /><br />2. penerima pensiun berkala; <br />3. pegawaitidak tetap yang penghasilannyadibayarsecarabulananataujumlah <br />kumulatifpenghasilanyang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah <br />melebihi Rp1.320.000,00 (satujutatiga ratus dua puluhribu rupiah); <br /><br />4. bukanpegawaisebagaimanadimaksuddalam Pasal 3 huruf c selain tenaga <br />ahli,yangmenerimaimbalanyangbersifat berkesinambungan. <br />b. Jumlahpenghasilanyang melebihi Rp150.000,00 (seratuslimapuluhribu) sehari, <br />yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah <br />mrngguan,upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilankumulatif <br />yangditerima dalam 1 (satu)bulan kalender belum melebihi Rp1.320.000,00 (satu <br />jutatigaratusduapuluhribu rupiah); <br />c. <br />50% (lima puluh persen) darijumlahpenghasilanbruto,yang berlaku bagi tenaga <br />ahli yang melakukanpekerjaanbebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 <br />hurufc angka 1; <br /><br />d. <br />Jumlah penghasilanbruto, yang berlaku bagj penerima penghasilan selain <br />penerima penghasilan sebagaimanadimaksudpadahurufa, b, dan huruf c. <br />(21 <br />DasarpengenaandanpemotonganPPh Pasal 26 adalahjumlahpenghasilanbruto. <br /><br />Pasal 1 0 <br /><br />(1) <br />Jumlahpenghasilanbrutoyang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan yang <br />DipotongPPh Pasal 21 danlalau PPh pasal 26 adalah seluruh jumlahpenghasilan <br />sebagaimanadimaksuddalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu <br />periodeataupadasaatdibayarkan. <br />(21 <br />PenghasilanKena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hurul a <br />adalah sebagai berikut: <br /><br />a. <br />bagi pegawaitetap dan penerimapensiunberkala, sebesar penghasilanneto <br />dikurangi Penghasilan TidakKena Pajak (PTKP); <br />b. <br />bagipegawaitidak tetap, sebesarpenghasilanbruto dikurangi PTKP; <br />c. <br />bagi bukan pegawai,sebesarpenghasilanbruto dikurangi PTKP yang dihitung <br />secarabulanan. <br />(3) <br />Besarnyapenghasilannetobagi pegawaitetapyangdipotong PPh Pasal 21 adalah <br />jumlahseluruhpenghasilanbrutodikurangi dengan: <br />a. <br />biayajabatan,sebesar 5% (limapersen)daripenghasilanbruto, setinggi-tingginya <br />Rp500.000,00(limaratus ribu rupiah) sebulan atau Rp6.000.000,00 (enamjuta <br />rupiah) setahun; <br />b. <br />iuranyangterkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawaikepada dana pensiun <br />yang pendiriannyatelah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan <br />penyelenggaratunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan <br />dengan dana pensiunyang pendiriannya telah disahkan oleh MenteriKeuangan. <br />t <br /><br /><br /> <br />(4) <br />(5) <br />(6) <br />(1) <br />(21 <br /><br />(3) <br />(4) <br />Besarnyapenghasilan <br />pensiun yangdipotongpph pasal <br /><br />neto bagi penerima berkala <br />21adalahseluruhjumlahpenghasilan<br /><br /><br />bruto dikurangi dengan biaya pensiun,sebesar <br />5% (lima persen) daripenghasilan Rp2OO.O0O,OO<br /><br />bruto, setinggi-tingginya (duaratus <br />ribu rupiah) sebulan (duajutaempatratus ribu rupiah) <br /><br /><br />atau Rp2.a00.000,00 <br />setahun. <br /><br />Dalamhal bukan pegawaisebagaimana dalamPasal tenaga<br /><br />dimaksud 3 huruf c selain <br />ahli memberikan jasakepada Pemotong PPh Pasal 21 danlatau PPh Pasal 26: <br /><br />a. <br />mempekerjakanorang lain sebagai pegawainyamaka besarnya jumlah <br />penghasilanbruto sebagaimana padaayat(1)adalah sebesar <br />dimaksud jumlahpembayaransetelahdikurangidenganbagiangajiatauupah dari pegawaiyangdipekerjakantersebut,kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat <br />dipisahkanbagiangajiatauupah dari pegawai yang dipekerjakantersebutmaka <br />besarnyapenghasilan jumlah<br /><br />brutotersebutadalahsebesar yangdibayarkan; <br /><br />material jumlahpenghasilanbrutosebagaimanadimaksudpadaayat(1)hanya atas pemberianjasanyasaja,<br />kecualiapabila tidak dapat dipisahkan <br /><br />b. melakukanpenyerahan atau barang maka besarnya <br />dalamkontrak/perjanjian antarapemberianjasa dengan material atau barang maka besarnyapenghasilanbruto tersebut <br />termasukpemberian<br /><br />jasadan material atau barang. <br />Dalamhaljumlahpenghasilan dimaksud<br /><br />bruto sebagaimana padaayat(1)dibayarkankepadadokteryangmelakukanpraktikdi rumah sakit dan/atauklinik maka besarnya <br />jumlahpenghasilan sebesar yangdibayarolehpasienmelalui<br /><br />bruto adalah jasadokter <br />rumahsakitdan/ataukliniksebelum biaya-biaya<br /><br />dipotong atau bagi hasil oleh rumah <br />sakitdan/atauklinik. <br /><br />Pasal 1 1 <br /><br />BesarnyaPTKPpertahunadalahsebagaiberikut: <br /><br />(limabelasjutadelapan untukdiri <br />WajibPajakorangpribadi; <br /><br />a. <br />Rp15.840.000,00 ratusempatpuluhribu rupiah) <br />(saiujutatiga ratus duapuluhribu rupiah) <br />Pajakyangkawin; <br /><br /><br />b. Rp1.320.000,00 <br />tambahanuntuk Wajib <br />c. <br />Rp1.320.000,00<br />(satujutatiga ratus duapuluhribu rupiah) tambahanuntuk setiap <br />anggotakeluargasedarah dan keluargasemendadalamgarisketurunanlurus <br />serta anak angkat,yangmenjadi sepenuhnya, 3 (tiga)<br /><br />tanggungan palingbanyak<br />orang untuk setiap keluarga. <br /><br /><br />dimaksud <br />pertahun sebagaimana padaayat(1)dibagi12(duabelas),sebesar: <br /><br />PTKPperbulansebagaimana dalam Pasal 1O ayat (2)hurufc adalah PTKP <br /><br />dimaksud <br /><br />a. <br />Rp1.320.000,00<br />(satujutatiga ratus dua puluhriburupiah)untuk diri Wajib pajak <br />orangpribadi; <br /><br />b. Rp110.000,00<br />(seratussepuluhribu rupiah) tambahanuntuk Wajib Pajak yang <br />kawin; <br /><br />c. <br />Rp1 10.000,00 (seratussepuluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota <br />keluargasedarahdan keluarga semendadalamgariskelurunanlurus serta anak <br />angkat,yangmenjadi sepenuhnya, 3 (tiga)orang untuk <br />tanggungan palingbanyak<br />setiapkeluarga. <br /><br /><br />BesarnyaPTKP bagi karyawatiberlaku ketentuan sebagai berikut: <br /><br />a. <br />bagi karyawati kawin,sebesarPTKP untuk dirinyasendiri; <br />b. <br />bagi karyawati tidakkawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP <br />untuk keluarga yangmenjadi sepenuhnya.<br />tanggungan <br /><br />Dalam hal karyawati kawindapat menunjukkan keterangantertulis dari Pemerintah <br />Daerah setempat serendah-rendahnyakecamatanyangmenyatakanbahwasuaminya <br />tidakmenerimaataumemperoleh besarnya<br /><br />penghasilan, PTKP adalah PTKP untuk <br />dirinyasendiri ditambah PTKPuntuk status kawin dan PTKP untuk keluargayang <br />menjaditanggungan<br /><br />sepenuhnya. <br /><br />,1, <br /><br /><br /> <br />(5) <br />(6) <br />(1) <br />(2) <br />(3) <br />(4) <br />(5) <br />(6) <br />(1) <br />(2) <br />BesarnyaPTKP ditentukan berdasarkankeadaan pada awaltahun kalender. <br /><br />Dikecualikandari ketentuan sebagaimanadimaksudpadaayat (5), besarnyapTKp <br /><br />untuk pegawaiyang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun <br /><br />kalenderditentukanberdasarkankeadaanpadaawal bulan dari baoian tahun kalender <br /><br />yangbersangkUtan. <br /><br />Pasal 12 <br /><br />Atas penghasilanbagi pegawaitidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar <br /><br />secara bulanan ataujumlahkumulatifnyadalam i (satu)bulan kalender belum melebihi <br /><br />Rp1.320.000,00(satujutatiga ratus duapuluhriburupiah), berlaku ketentuan sebagai <br /><br />berikut: <br /><br />a. <br />tidak dilakukan pemotonganPPh Pasal 21, dalam hal penghasilansehari atau rata-<br />rata penghasilansehari belum melebihiRp150.000,00(seratuslima puluh ribu <br />rupiah); <br />b. dilakukan pemotongan PPh Pasal21, dalam hal penghasilansehariatau rata-rata <br />penghasilanseharimelebihi Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), dan <br />jumlahsebesarRp150.000,00(seratuslimapuluhribu rupiah) tersebut merupakan <br />jumlahyangdapat dikurangkan daripenghasilanbruto. <br />Rata-ratapenghasilanseharisebagaimanadimaksudpadaayat (1) adalah rata-rata <br />upah mingguan,upah satuan,atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang <br />digunakan. <br /><br />Dalamhalpegawaitidaktetap telah memperoleh penghasilan kumulatifdalamI (satu) <br /><br />bulan kalender melebihiRp1.320.000,00(satujuta tiga ratus dua puluhribu rupiah) <br /><br />maka jumlahyang dapat dikurangkandari penghasilanbruto adalah sebesarpTKp <br /><br />yangsebenarnya. <br /><br />PTKPyang sebenarnyasebagaimanadimaksudpadaayat (3)adalah sebesar pTKp <br /><br />untukiumlahharikerjayangsebenarnya. <br /><br />PTKPsehari sebagai dasaruntukmenetapkanpTKp yangsebenarnyaadalah sebesar <br />PTKPpertahunsebagaimanadimaksud datam Pasal 11 ayat (1)dibagi 360 (tigaratus <br />enampuluh)hari. <br /><br />Dalamhal berdasarkan ketentuandi bidang ketenagakerjaandiatur kewajiban untuk <br />mengikutsertakan<br /><br />pegawaitidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam programjaminan <br />haritua atau lunjangan haritua, maka iuraniaminanhari tua atau iuran tunjangan hari <br />tuayangdibayar sendiri olehpegawaitidak tetap kepada badanpenyelenggarajaminan <br />sosialtenagakerja atau badanpenyelenggaratunjangan hari tua, dapat dikurangkan<br /><br />daripenghasilanbruto. <br /><br />Pasal13 <br /><br />Penerimapenghasilanbukanpegawaisebagaimanadimaksuddalampasal9 ayat (l) <br />huruf a angka 4 dapat memperolehpenguranganberupa PTKP sepanjang yang <br />bersangkutantelah mempunyai Nomor Pokok Wajjb Pajak dan hanya memperoleh <br />penghasilandari hubungan kerjadengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal <br />26serta tidak memperoleh penghasilanlainnya. <br /><br />Untuk dapat memperoleh penguranganberupa PTKP sebagaimana dimaksud pada <br />ayat (1), penerima penghasilanbukan pegawaiharus menyerahkan fotokopi kartu <br />Nomor Pokok Wajib Pajak,dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu <br />NomorPokok Wajib Pajaksuami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga. <br /><br />t <br /><br /><br /> <br />BAB VI <br />TARIF PEMOTONGAN DANPENERAPANNYA<br /><br />PAJAK <br /><br />Pasal14 <br /><br />(1) Tarif berdasarkan Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undangditerapkanatas Penghasilan KenaPajak dari: <br /><br />a. <br />pegawaitetap; <br />b. <br />penerimapensiunberkalayangdibayarkan<br />secarabulanan; <br /><br />c. pegawaitidak tetap atau tenaga kerja lepas yangdibayarkansecarabulanan. <br />(2) <br />UntukperhitunganPPh Pasal 21yangharusdipotong setiap masa paiak,kecualimasa <br />pajakterakhir,tarif diterapkan atasperkiraanpenghasilanyangakan diperoleh selama <br />1 (satu)tahun,dengan ketentuan sebagai berikut: <br />a. <br />perkiraanataspenghasilanyangbersifatteratur adalah jumlahpenghasilanteratur <br />dalam1 (satu)bulandikalikan12(duabelas); <br />b. <br />dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka <br />perkiraanpenghasilanyangakan diperoleh selama 1 (satu)tahun adalah sebesar <br />iumlahpadahurufa ditambah denganjumlahpenghasilanyangbersifattidak <br />teratur. <br />(3) <br />Jumlah PPh Pasal 21 yangharusdipotonguntuk setiap masapajaksebagaimanadimaksudpadaayal(2)adalah: <br />a. <br />ataspenghasilanyangbersifatteratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang <br />atasjumlahpenghasilan dimaksud<br />sebagaimana padaayat(2)hurufa dibagi 12 <br />(duabelas); <br /><br />b. <br />ataspenghasilanyangbersifattidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak <br />Penghasilanyangterutangatasjumlahpenghasilan dimaksudpada<br />sebagaimana <br />ayat(2)hurufb dengan Pajak Penghasilan atasjumlahpenghasilan<br /><br />yangterutang<br />sebagaimanadimaksudpadaayat(2)huruf a. <br /><br /><br />(4) <br />Dalamhal pegawaitetapmempunyai kewajiban pajaksubjektff terhitung sejak awal <br />tahun kelender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang <br />sebelumnyabekerjapadapemberikerja lain, banyaknyabulanyangmenjadi faktor <br />pengalisebagaimanadimaksudpadaayat (2) atau laktor pembagisebagaimanadimaksudpadaayat(3)adalahjumlahbulan tersisa dalam tahun kalender sejakyang <br />bersangkutan<br /><br />mulai bekerja. <br /><br />(5) <br />Besarnya PPh Pasal 21 yangharus dipotong untuk masa pajakterakhiradalah selisih <br />antara Pajak Penghasilanyangterutangatas seluruh penghasilankenapajakselama 1 <br />(satu)tahunpajakatau bagian tahunpaiakdengan PPh Pasal 21 yangtelah dipotong <br />padamasa-masa dalam yangbersangkutan.<br /><br />sebelumnya tahunpajak <br /><br />(6) <br />Dalamhal pegawaitetap kewajiban pajaksubjektifnyahanyameliputi bagian tahun <br />pajakmakaperhitungan<br />PPhPasal21yangterutanguntuk bagian tahunpajaktersebut <br />dihitungberdasarkan kenapajak yang disetahunkan, dengan<br /><br />penghasilan sebandingjumlahbulan dalam bagiantahunpajak yang bersangkutan. <br /><br />(71 Dalam hal pegawaitetap berhenti bekerjasebelumbulan Desember danjumlahPPh <br />Pasal 21 yangtelah dipotong dalam yangbersangkutan<br /><br />tahun kalender lebih besar dari <br />PPhPasal 21 yangterutanguntuk1 (satu)tahunpaiakmaka kelebihan PPh Pasal 21 <br />yangtelah dipotong tersebut dikembalikan kepadapegawaitetapyangbersangkutan <br />bersamaandenganpemberian PPh Pasal 21, palinglambat akhir <br /><br />buKipemotongan <br />bulan berikutnya setelahberhentibekeria. <br /><br /><br />(8) <br />Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapantarif Pasal 17 ayat (1) <br />huruf a Undang-UndangPajak Pengfrasilan sebagaimanadimaksudpada ayat (1) <br />dibulatkanke bawah hinggaribuanpenuh. <br /> <br />Pasal 15 <br /><br />(1) <br />Atas penghasilanyangditerimaatau diperoleh pegawaitidak tetap atau tenaga kerja <br />lepasberupaupah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang <br />saku harian, sepanjangpenghasilantidak dibayarkansecara bulanan, tarif lapisan <br />pertamasebagaimana dalam Pasal 17 ayat (1)huruf a Undang-Undang <br />dimaksud <br />Pajak Penghasilan diterapkanatas: <br /><br /><br />a. jumlahpenghasilanbrutosehariyangmelebihi (seratus<br />Rp150.000,00 limapuluh <br />ribu rupiah); atau <br /><br />b. iumlahpenghasilanbruto dlkurangi PTKP yangsebenarnyadalam hal jumlah <br />penghasilankumulatifdalam 1 (satu) bulan kalender ielah melebihi Rp1.320.000,00(satujutatiga ratus duapuluhriburupiah). <br />(2) <br />Dalamhal jumlahpenghasilankumulatifdalam satu bulan kalendertelah metebihi <br />Rp6.000.000,00(enamjutarupiah),PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif <br />Pasal 17 ayat(1)hurufa Undang-Undang atasjumlahPenghasilan<br />Pajak Penghasilan <br />Kena Pajak yangdisetahunkan. <br /><br /><br />Pasal 16 <br /><br />(1) <br />Tarif berdasarkan Pasal17 ayat (1) hurufa Undang-Undang <br />Pajak Penghasilan <br />dilerapkanatasjumlahkumulatifdari: <br /><br />a. <br />Penghasilan jumlahpenghasilan PTKP,yang<br />Kena Pajak sebesar bruto dikurangi <br />diterimaataudiperolehbukanpegawaisebagaimanadimaksuddalam Pasal 9 ayat <br /><br />(1)hurufa angka 4 yangmemenuhi sebagaimana dalam Pasal <br />ketentuan dimaksud <br />13ayat(1), yang dihitungsetiapbulan; <br /><br />b. 50%(lima puluh persen) darijumlahpenghasilan <br />atau<br />brutoyang yang diterima <br />diperolehtenagaahliyangmelakukan bebassebagaimana<br /><br />pekerjaan dimaksud <br />dalam Pasal 3 huruf c angka 1; <br /><br />c. <br />brutountuk setiap pembayaran kepada<br />iumlahpenghasilan imbalan bukanpegawai <br />yangbersifat berkesinambungan yangtidak memenuhi ketentuansebagaimana <br />dimaksuddalamPasal 13 ayat(1); <br /><br />d. <br />jumlahpenghasilanbruto berupa honorariumatau imbalan yang bersifat tidak <br />teratur yang diterimaatau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan <br />pengawasyangtidak merangkap sebagaipegawaitetappada perusahaan yang <br />sama; <br /><br />e. jumlahpenghasilanbrutoberupajasa produksi,tantiem,gratifikasi,bonus atau <br />imbalan lain yang bersifatiidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan <br />pegawai;atau <br /><br />f. <br />jumlahpenghasilanbrutoberupapenarikandanapensiunolehpesertaprogram <br />pensiun yang masih berstatussebagai pegawai,dari dana pensiun yang <br />pendiriannyatelah disahkan oleh Menteri Keuangan. <br />(2) Tarif berdasarkanPasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan <br />diteraokanatas: <br /><br />a. jumlahpenghasilan <br />imbalan bukanpegawai<br />bruto untuk setiap pembayaran kepada <br />yangtidak bersifat berkesinambungan; <br /><br />b. <br />jumlahpenghasilanbruto untuk setiap kali pembayaranyangbersifat utuh dan tidak <br />dipecah,yangditerimaolehpesertakegiatan. <br />Pasal 17 <br /><br />PengenaanPPh Pasal 21 bagi pejabatnegara,pegawainegeri sipil, anggotaTentaraNasional <br />Indonesia,anggotaKepolisianNegara Republik Indonesia, atas<br /><br />sertapara pensiunannya <br />penghasilanyangmenjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran <br />Pendapatandan Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuanyang ditetapkankhusus <br />menoenaihal dimaksud. <br /><br />,l<br /><br /><br /> <br />Pasal 18 <br /><br />PsngenaanPPh Pasal 21 bagi pegawaiatasuangpesangon,uangmanfaatpensiun,tunjangan <br />haritua, atau jaminanharitua yangdibayarkansecarasekaligus,diatur berdasarkan ketentuan <br />yangditetapkankhususmengenaihaldimaksud. <br /><br />Pasal1 9 <br /><br />(1) <br />Tarif PPh Pasal 26 sebesar20%(dua puluh persen) dan bersifat finalditerapkanatas <br />penghasilan ataudiperoleh imbalanataspekerjaan,jasa,<br />brutoyangditerima sebagaidan kegiatan yangdilakukanoleh orang pribadidenganstatusSubjekPa.jakluar negeri <br />dengan memperhatikan ketentuanPersetujuan Pajak Berganda <br /><br />Penghindaran yangberlakuantara Republik lndonesiadengannegara domisili Subjekpajakluar negeri <br />tersebut. <br /><br />dimaksud <br />pribadisebagaiWajibPajak luar negeri tersebut berubahstatus menjadi Wajib pajak <br />dalamneoeri. <br /><br />(21 PPhPasal 26 sebagaimana padaayat(1)tidak bersifat final dalam hal orang <br /><br />BAB VII <br /><br />TARIFPEMOTONGAN 21 BAGI PENERIMA YANG TIDAK <br /><br />PPh PASAL PENGHASILAN <br />MEIVIPUNYAINOMORPOKOKWAJIB PAJAK <br /><br />Pasal20 <br /><br />yangDipotong Nomor <br />PokokWajib Paiak, dikenakanpemotongan <br /><br />(1) <br />BagiPenerimaPenghasilan PPh Pasal 21 yangtidak memitiki <br />PPh Pasat 21 dengantarif lebih tinggi 20% <br />(dua puluh persen)daripadatarifyangditerapkanterhadapWajibpajakyangmemiliki <br />Nomor Pokok WajibPajak. <br /><br />(2) <br />Jumlah PPh Pasal 21 yangharus dipotong sebagaimana padaayat(1)<br />dimaksud <br />adalahsebesar 120% (seratus dua puluh persen) darijumlahpph pasat 2t yang <br />seharusnya dalam hal yangbersangkutan NomorpokokWajibpajak.<br /><br />dipotong <br />memiliki <br /><br />(3) <br />Pemotongan dimaksud untuk<br />PPh Pasal 21 sebagaimana padaayat(1)hanya berlaku <br />pemotonganPPhPasal21yangbersifattidak final. <br /><br />(4) <br />Dalamhalpegawaitetapataupenerimapensiunberkalasebagaipenerimapenghasilan <br />yangtelah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarifyanglebih tinggi sebagaimana <br />dimaksud <br />padaayat(1),mendaftarkan NomorPokok Waiib Pajak dalam <br /><br />diriuntuk memperoleh <br />tahun kalender yangbersangkutan pemotongan<br /><br /><br />palinglama sebelum pph pasal 21 <br />untukmasapajakDesember,PPh Pasal 21yangtelahdipotongatas selisih pengenaan <br />tarif sebesar 20o/" (dua puluhpersen)lebih tinggi tersebutdiperhitungkan<br /><br />dengan PPh <br />Pasal 21 yangterutanguntukbulan-bulan setelah Nomor Pokok <br /><br />selanjutnya memiliki <br />WajibPajak. <br /><br /><br />BAB VIII <br /><br />SAAT TERUTANG PPh PASAL 2.I DAN/ATAU PPh PASAL 26 <br /><br />Pasal21 <br /><br />(1) <br />PPh Pasal 21 danlatau PPh Pasal 26 terutang bagiPenerimaPenghasilanpadasaat <br />dilakukanpembayaranataupadasaat terutangnya penghasilanyangbersangkutan, <br />(2) <br />PPh Pasal 2'l danlalau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPhPasal 21 danlalau <br />PPh Pasal 26 untuk setiapmasapaiak. <br />(3) Saat terutang untuk setiap masa pajaksebagaimanadimaksudpadaayai (2) adalah <br />akhirbulan dilakukannya penghasilanpembayaran<br /><br />ataupadaakhir bulan terutangnya <br />yangbersangkutan. <br /><br /><br />t <br /><br /><br /> <br />BAB IX <br /><br />HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONGPPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 <br />SERTA PENERIMA PENGHASILANYANG DIPOTONG PAJAK <br /><br />Pasal 22 <br /><br />(1) PemotongPPh Pasal 21 danlatau PPh Pasal 26 dan penerimapenghasilanyang <br />DipotongPPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor pelayanan pajak sesuai <br />denganketentuanyangberlaku. <br />(2) Pegawai,penerima pensiun berkala,sertabukanpegawaisebagaimanadimaksud dalam <br />Pasal9 ayat (1) hurula angka 4 wajib membuat surat pernyataanyang berisijumlah <br />tanggungankeluargapadaawal tahun kalender atau padasaat mulai menjadi SubjekPajakdalamnegeri sebagai dasarpenentuanPTKPdan wajib menyerahkannya kepada <br />PemotongPPh Pasal 21 danlalaupph pasal 26 padasaat mulai bekerja atau mulai <br />pensiun. <br /><br />(3) Dalam hal terjadiperubahantanggungankeluargabagi pegawai, penerima pensiun <br />berkaladan bukan pegawaisebagaimanadimaksuddalam pasal 9 ayat (1) huruf a <br />angka 4 wajib membuatsuratpernyataanbarudan menyerahkannya kepadapemotong <br />PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 palinglama sebelum mulai tahun kalender <br />berikutnya. <br /><br />(4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau pph pasal 26 wajib menghitung, memotong, <br />menyetorkandan melaporkan PPh Pasal 21 danlalau pph pasal 26 yangterutanguntuk <br />setiapbulan kalender, <br />(5) Pemotong PPh Pasal 21 danlalau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas <br />kerjaperhitunganPPh Pasal 21 danlalau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima <br />penghasilan,yangmenjadidasarpelaporanPPh Pasal 21 danlalau PPh pasal26 yang <br />terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja <br />perhitungantersebutsesuai dengan ketentuanyangberlaku. <br />(6) Ketentuanmengenaikewajibanuntuk melaporkan pemotonganpph pasal 21 dan/atau <br />PPh Pasal 26 untuk setiapbulan kalender sebagaimanadimaksudpadaayat (4)tetap <br />berlaku,dalam hal jumlahpajakyangdipotongpadabulanyangbersangkutannihil. <br />(7) Dalam hal dalam suatu bulanterjadi kelebihan penyetoranpajakatas pph pasal 21 <br />dan/atau PPh Pasal 26 yangterutangoleh pemotongpph pasal 21 danlalau pph pasal <br />26, kelebihan penyetoran tersebutdapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau <br />PPh Pasal 26 yangterutang pada bulanberikutnyamelaluiSurat Pemberitahuan lvlasa <br />PPh Pasal 21 dan/atau PPhpasal26. <br /><br /><br />Pasal 23 <br /><br />(1) <br />PemotongPPhPasal 2l dan/atauPPh Pasal 26 harus memberikanbuktipemotongan <br />PPh Pasal 21 atas penghasilanyang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau <br />penerimapensiunberkalapalinglama 1 (satu)bulansetelah tahun kalender berakhir. <br />(2) <br />Dalamhalpegawaitetapberhenti bekerja sebelum bulan Desember, buktipemotongan <br />PPh Pasal 21 sebagaimanadimaksudpada ayat (1) harus diberikan palinglama 1 <br />(satu)bulansetelahyangbersangkutanberhenti bekerja. <br />(3) <br />PemotongPPh Pasal 21 danlatau PPh Pasal 26 harus memberikan buktipemotongan <br />PPh Pasal 21 atas pemotonganPPh Pasal 21 selainpegawaitetap dan penerima <br />pensiunberkalasebagaimanadimaksudpadaayat (1),serta bukti pemotonganPPh <br />Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21 danlatauPPh Pasal 26. <br />(4) <br />Dalamhal dalam I (satu)bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan <br />lebih dari 1 (satu)kali pembayaran penghasilan, buktipemolonganPPh Pasal 21 <br />dan/atauPPh Pasal 26 sebagaimanadimaksudpadaayat(3)dapat dibuat sekali untuk <br />1 (satu)bulankalender. <br /><br />(5) <br />BentukformulirpemotonganPPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ditetapkan dengan <br />PeraturanDirekturJenderal Paiak tersendiri. <br />& <br /><br /> <br />Pasal24 <br /><br />(1) <br />PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal26 yang dipotongoleh pemotongpph pasal 2t <br />dan/atauPPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor pos atau bank <br />yangditunjukoleh Menteri Keuangan,palinglama 10 (sepuluh)hari setelah Masa pajak <br />berakhir. <br /><br />(2) <br />PemotongPPh Pasal 21 danlalau PPh Pasal 26 wajib melaporkan pemotongandan <br />penyetoran PPh Pasal 2'l danlatau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa pajak yang <br />dilakukanmelaluipenyampaianSurat Pemberitahuan l\,4asapph pasal 21 dan/atau pph <br />Pasal 26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pph pasal 21 dan/atau pph <br />Pasal26 terdaftar, palinglama 20 (dua puluh) harisetelah Masa pajak berakhir. <br /><br />(3) <br />Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran pph pasat Zj danlatau pph pasal 26 <br />sebagaimanadimaksudpada ayat (1) dan batas waktu pelaporanpph pasal 21 <br />dan/atauPPh Pasal 26 sebagaimana dimaksudpada ayat (2) bertepatan dengan hari <br />liburtermasukhariSabtu atau hari libur nasional, penyetorandanpelaporanpph pasal <br />21 danlatau PPh Pasal26 dapat dilakukanpadahari kerja berikutnya. <br /><br />Pasal 25 <br /><br />(1) <br />Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima<br />penghasilanyang dikenakanpemotonganuntuk tahun pajak yang bersangkutan, <br />kecuali PPh Pasal21yangbersifatfinal. <br /><br />(2) <br />Jumlahpemotongan penerapan 20%(dua puluh <br />PPhPasal21 atas selisih taril sebesar <br />persen)lebihtinggibagi pegawaitetap atau penerimapensiunberkala sebelum <br />memilikiNomorPokokWajibPajakyangtelah diperhitungkan <br /><br />denganpph pasal 21 <br />terutanguntukbulan-bulan padatahun kalender sebagaimana<br /><br />selanjutnya berikutnyadimaksuddalamPasal 20 ayat(4,tidak termasuk dimaksud<br /><br />kreditpajaksebagaimana<br /><br />padaayat(1). <br /><br />(3) <br />Dalam hal Wajib Pajak yangtelah dipotong Pphpasal21dengantarifyanglebih tinggi <br />sebagaimana diri untuk memperoleh<br />dimaksuddalamPasal20 ayat (1)mendaftarkan <br />NomorPokokWajib Pajak makaPPh Pasal 21 yangtelahdipotongtersebutdapatdikreditkandalamSurat Pemberitahuan Wajibpajak<br /><br />TahunanPajakpenghasilan <br />Orang Pribadi untuktahunpajakyangbersangkutan. <br /><br /><br />(4) <br />Dalamhal Wajib Pajaksebagaimanadimaksudpadaayat(3)menyampaikan<br />Surat <br />PemberitahuanTahunanPajakPenghasilanyangmenyatakanjumlahlebih bayar <br />makapenyampaiannyaharus dilakukan dalamjangkawaktupalinglamag (tiga)tahun <br /><br />sejak berakhirnya tahunpajakyangbersangkutan. <br /><br />(5) <br />Dalamhal Surat PemberitahuanTahunanPajakPenghasilan jumlah<br />yangmenyatakanlebihbayar sebagaimana padaayat(4)disampaikan 3 (tiga)tahun<br /><br />dimaksud setelah <br />sesudahberakhirnya danWajibpajaktelah ditegur <br /><br />tahunpalakyangbersangkutan <br />secara tertulis, tidak dianggapsebagaiSurat pemberitahuanTahunanpajak <br />Penghasilan. <br /><br />Pasal26 <br /><br />Petuniukumum dan contohpenghitunganpemotonganPPh Pasal 21 danlatau PPh Pasal 26 <br />adalahsebagaimanatercantumdalam Lampiran yangtidak terpisahkan dari Peraturan <br />DirekturJenderalPaiakini. <br /><br /> <br />BAB X <br /><br />KETENTUANPENUTUP <br /><br />Pasal 27 <br />DenganberlakunyaPeraturanDirekturJenderalPajakini, Keputusan DirekturJenderalPajakNomorKEP-5451PJ|2O0O Pemotongan,penyetoran,dan<br /><br />tentangPetunjuk Pelaksanaan <br />PelaporanPajakPenghasilan denganpekerjaan,Jasa,<br /><br />Pasal21 dan Pasal 26 Sehubungan <br />dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana DirekturJenderal<br /><br />telah diubah dengan Peraturan <br />PajakNomor PER-15/PJ/2006, <br /><br />dicabutdan dinvatakan tidak berlaku. <br /><br />Pasal28 <br /><br />PeraturanDirekturJenderalPajakini mulai berlakupadatanggali Januari2009. <br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkanpengumumanperaturanDirektur <br />JenderalPajak ini denganpenempatannya Indonesia.<br /><br />dalam Berita Negara Republik <br /><br />Ditetapkandi Jakarta <br />padatanggal 25 Mai ro <br /><br /> <br />LAMPIHANPERATURANDIRFKTUR JENDEML <br />PAJAKNOMOR PER- 31 /PJ/2009 TENTANG <br />PEDOMANTEKNISTATA CABA PEMOTONGAN, <br />PENYETOMN DAN PELAPORAN PAJAK <br />PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK <br />PENGHASILAN DENGAN<br /><br />PASAL 26 SEHUBUNGAN <br /><br />PEKERJMN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG <br /><br />PRIBADI <br /><br />PETUNJUKUMUM DAN CONTOHPENGHITUNGAN <br />PEMOTONGANPPh PASAL 21 DAN/ATAU PPhPASAL 26 <br /><br />BAGIANPEHTAMA:PETUNJUKUMUM PENGHITUNGAN <br />PPh<br /><br />PPh PASAL 21 DAN/ATAU <br />PASAL 26 <br /><br />PETUNJUKUMUM PENGHITUNGAN <br /><br />PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TETAP DAN <br /><br />PENERIMAPENSIUNBERKALA <br /><br />PenghitunganPPh Pasal 21 untuk pegawaitetap dan penerimapensiunberkaladibedakan <br />menjadi2 (dua), yaitu: <br /><br />'1. Penghitunganmasa atau bulananyangmenjadidasarpemotongan<br /><br />pph pasal 21yang <br />terutanguntuksetiap pajak, dalamSpTMasapph pasal 21, selain <br /><br />masa yangdilaporkan <br />masapajakDesemberatau masa pajakdi mana pegawaitetap berhenti bekerja;<br /><br />'172'lA2 dan <br /><br />2. PenghitungankembalisebagaidasarpengisianFotm 1721 Aj atau <br />pemotonganPPhPasal21yangterutang untuk masapajakDesemberatau masa pajak<br />di mana pegawaitetap berhenti bekerja. <br />Penghitungankembaliini dilakukan pada: <br /><br /><br />a. bulandimanapegawaitetap berhenti bekerjaataupenstun; <br />b. bulanDesemberbagipegawaitetapyangbekerja sampai akhir tahun kalender dan <br />bagipenerimapensiunyangmenerimauangpensiunsampaiakhir tahun kalender. <br />l.l. <br />PenghitunganMasaatau Bulanan Selain Masa paiakDesemberatau Masa paiakdi <br />manapegawaitetap berhenfl bekeria: <br />a.PenghitunganPPh Pasal 21 atas penghasilanTeratur <br />b.PenghitunganPPhPasal21atasPenghasilanTtdak Teratur <br />l.'1.a.PenghitunganPPhPasal21 atas penghasilanTeratur <br /><br />1.1.a.1.PenghitunganPPh Pasal 2t atasPenghasilanTeratur bagi Pegawai <br />Tetap: <br />'1. <br /><br /><br />a. Untuk menghitung <br />pegawai<br />PPh Pasal 21 atas penghasilan <br />tetap,terlebih dahulu dihitungseluruhpenghasilanbrutoyang <br />diterimaatau diperoleh selama sebulan, yangmeliputiseluruh <br />gaji,segalajenistunjangandan pembayaranteratur lainnya, <br />termasukuanglembur(overtime)danpembayaransejenisnya. <br /><br />b. Untuk perusahaanyang masuk programJamsostek,premi <br />Jaminan Kecelakaan Kerja(JKK), premi JaminanKematian(JK) <br />danpremiJaminanPemeliharaan (JPl9yangdibayar<br />Kesehatan <br />oleh pemberikerja merupakan penghasilanbagi pegawai. <br />Ketentuanyangsama diberlakukan <br /><br />juga bagi premiasuransi <br />kesehatan,asuransi kecelakaan kerja,asuransijiwa,asuransi <br />dwiguna,dan asuransi bea siswa yangdibayarkanolehpemberi <br />kerja untuk pegawaikepadaperusahaan lainnya.<br /><br />asuransi Dalam <br />menghitungPPh Pasal 21, premitersebut dengan<br /><br />digabungkanpenghasilanbrutoyangdibayarkanolehpemberikerja kepada <br />Deqawai. <br /><br />t <br /><br /> <br />c. <br />Selanjutnyadihitung jumlah penghasilanneto sebulan yang <br />diperolehdengan cara mengurangi penghasilanbruto sebulan <br />denganbiayajabatan,serta iuran pensiun,iuranJamlnan Hari <br />Tua,dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayarsendiri oleh <br />pegawaiyang bersangkutanmelaluipemberikerja kepada Dana <br />Pensiunyang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan <br />atau kepada Badan Penyelenggara ProgramJamsostek. <br />a. <br />Selanjutnyadihitung penghasilanneto setahun, yaitu jumlah <br />penghasilannetosebulandikalikan 12. <br />b. <br />Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak <br />subjektifnyasebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak <br />awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka <br />penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikanpenghasilanneto sebulan dengan banyaknya bulan sejak <br />pegawaiyang bersangkutanmulaibekerja sampai dengan bulan <br />Desember. <br /><br />c. <br />Selan.iutnyadihitung PenghasilanKena Pajak sebagai dasar <br />penerapanTarif Pasal 17 ayal(11hurufa UU PPh, yaitusebesar <br />Penghasilanneto setahun padahurufa atau b di atas, dikurangl <br />dengan PTKP. <br />d. <br />Setelahdiperoleh PPh terutangdengan menerapkan Tarifpasal <br />17 ayat (1) hurufa UU PPh terhadap Penghasilan Kena pajak <br />sebagaimanadimaksudpada huruf c, selanjutnya dihitung PPh <br />Pasal 21 sebulan,yang harusdipotong dan/atau disetor ke kas <br />negara,yaitusebesar: <br />1) jumlahPPh Pasal 21 setahun ataspenghasilansebagaimana <br />dimaksudpadahuru{a dibagi dengan 12; atau <br /><br />2) <br />.iumlahPPh Pasal 21 setahunataspenghasilansebagaimana <br />dimaksudpadahurufb dibagi banyaknya bulan yang menjadi <br />faktorpengalisebagaimanadimaksudpadahuruf b. <br /><br />3. <br />a. Apabilapajak yang terutangoleh pemberikerja tidak didasarkan <br />atasmasagajisebulan,maka untuk penghitunganPPh Pasal 21, <br />iumlahpenghasilantersebutterlebih dahulu dijadikanpenghasilan <br />bulanandenganmempergunakanfaktorperkaliansebagai berikut: <br />1) Gaji untuk masaseminggudikatikandengan 4; <br />2) Gaji untuk masa sehari dikalikandengan 26. <br />b. <br />Selanjutnyadilakukan penghitunganPPh Pasal 21 sebulan <br />dengancara seperti dalam angka 2 di atas. <br />c. <br />PPh Pasal 21 atas penghasilanseminggudihitung berdasarkan <br />PPh Pasal21 sebulan dalam huruf b dibagi 4, sedangkan Pph <br />Pasal21 ataspenghasilansehari dihitung berdasarkanPPhPasal <br />21 sebulan dalamhuruf b dibagi 26. <br /><br />Jika kepada pegawaidi samping dibayar gaji bulananjuga dibayar <br /><br />kenaikangaji yang berlaku surut (rapel),misalnya untuk 5 (tima) <br /><br />bulan,makapenghitunganPPh Pasal 21 atas rapel tersebut adalah <br /><br />sebagaiberikut: <br /><br />a. <br />rapeldibagi dengan banyaknya bulan perolehanrapel tersebut <br />(dalamhalini 5 bulan); <br />b. <br />hasil pembagianrapel tersebut ditambahkanpada gaji setiap <br />bulan sebelum adanya kenaikangaji, yang sudah dikenakan <br />pemotonganPPh Pasal 21 ; <br />c. <br />PPh Pasal 21 atasgaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, <br />dihitungkembaliatas dasar gajibaru setelah ada kenaikan; <br />d. <br />PPh Pasal 2l lerutang atas tambahan gali untuk bulan-bulan <br />dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung <br />berdasarkanhurufc dikurangi jumlahpajak yang telah dipotong <br />sebagaimanadisebutpadahuruf b. <br /> <br />5. Apabilakepadapegawaidi samping dibayargali yang didasarkan <br />masagaiikurang dari satu bulan jugadibayargajilainmengenai <br />masayanglebihlama dari satu bulan(rapel)seperti tersebut dalam <br />angka4, maka carapenghitungan<br />Pphpasal21-nya adalah sesuai <br />denganyangtelah ditetapkan dalam angka 4 dengan memperhatikan <br />ketentuandalamangka3. <br /><br />1.1,a,2,PenghitunganPPh Pasal 2t ataspenghasilanTeratur bagi penerima <br />PenslunBerkala <br /><br />1. PenghitunganPPh Pasal 21 atas uang pensiunbulananyangditerima <br />ataudiperolehpenerimapensiun pada tahunpertama pensiun adalah <br />sebagaiberikut: <br />a. terlebihdahulu penghasilan yangdiperoleh<br />dihitung neto sebulan <br />dengancara mengurangi penghasilanbruto dengan biaya <br />pensiun,kemudiandikalikanbanyaknyabulan seiak pegawai <br />yang bersangkutanmenerimapensiunsampai dengan bulan <br />Desember; <br /><br />b. <br />penghasilan tersebutpadahuruf a <br />netopensiunsebagaimana <br />ditambah dengan penghasilanneto dalam tahun yang <br />bersangkutanyang diterimaatau diperoleh dari pemberikerja<br /><br />sebelumpegawaiyang bersangkutan<br /><br />pensiunsesuai dengan <br />yangtercantumdalam bukti pemotonganPPhpasal21 sebelum <br />pensiun; <br /><br />c. <br />untukmenghitung Kenapajak,jumjahpenghasilan<br />Penghasilan <br />padahurufb tersebut dikurangidenganpTKp,dan selanjutnya <br />dihitungPPh Pasal 21 atas Penghasilan Kenapajaktersebut; <br /><br />d. PPhPasal 21 atas uang pensiundalamtahunyangbersangkutandihitungdengancaramengurangiPPh Pasal 21 dalam huruf c <br />dengan PPh Pasal21yangterutangdaripemberikerjasebelum <br />pegawaiyang bersangkutanpensiunsesuai denganyang <br />tercantumdalam bukti pemotonganPPh Pasal 21 sebelum <br />pensiun; <br /><br />e. <br />PPhPasal 21 atas uang pensiunbulananadalah sebesar pph <br />Pasal 21 seperti tersebut dalam huruf d dibagi dengan banyaknyabulansebagaimana<br />dimaksuddalamhurufa. <br /><br />2. Penghitungan<br />PPh Pasal 21 atas uang pensiunbulananuntuktahun <br />keduadanselanjutnyaadalahsebagai berikut: <br /><br />a. terlebihdahulu penghasilan<br />dihitung neto sebulan yangdiperolehdengancara mengurangi penghasilanbruto dengan biayapensiun; <br /><br />b. selanjutnyaPPh Pasal 21 dihitung dengan carapenghitungan <br />untukpegawaitetappadabutir 1.1.a.1. <br />angka 2 huruf a, c, dan d. <br /><br />1.1.b.PenghitunganPPhPasal 21 atasPenghasilanTidak Teratur bagi Pegawai <br />Tetap <br />1. <br />Apabila kepada pegawaitetap diberikan iasa produksi,tantiem,gratifikasi, <br />bonus,premi,lunjanganhari raya, danpenghasilan ituyang<br />lain semacam <br />sifatnyatidaktetapdan biasanya dibayarkan sekalisetahun, maka PPh Pasal <br />21 dihitung dan dipotong dengancarasebagaiberikut: <br /><br />a. <br />dihitungPPh Pasal 21 atas penghasilanteraturyang disetahunkan <br />ditambahdenganpenghasilan berupa tantiem, <br />tidakteratur jasaproduksi, <br />dansebagainya. <br /><br />/" <br /><br /> <br />b. dihitungPPhPasal 21 atas penghasilanteraturyangdisetahunkan<br />tanpa <br />tantiem,jasaproduksi,dan sebagainya. <br /><br />penghitungan <br />adalah PPh Pasal 21 ataspenghasilantidak teratur berupa tantiem, jasa <br />produksi,dan sebagainya. <br /><br />c. <br />selisihantara PPh Pasal 21 menurut huruf a dan huruf b <br />2. <br />Dalam hal pegawaitetapyangkewajibanpajaksubjektifnyasudah ada sejak <br />awal tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari,maka PPh Pasal <br />21 atas penghasilanyang tidak teratur tersebut dihitung dengan cara <br />sebagaimanapada butir 1 dengan memperhatikan <br />ketentuan mengenai <br />Penghitungan Teraturpadabutir<br /><br />PPhPasal 21 Bulanan atas Penghasilan <br /><br />1.1.a.1.angka2 huruf b, c dan d di atas. <br />PenghitunganPPh Pasal 21 Terutang Pada Bulan Desember atau Masa Paiak <br />Tertentuuntuk Pegawai Tetap yangBerhenti Bekeria Sebelum Bulan Desember. <br /><br />PPhPasal 21 terutang padabulan Desember <br />untukpegawaitetapyangberhentibekerjasebelumbulan Desember adalahsebagaiberikut: <br /><br />1. Penghitungan <br />atau bulan tertentu <br />a. <br />Hitung PPh Pasal 21 terutang atasseluruhpenghasilanyangditerimaatau <br />diperolehdaripemotongpajakdalamtahun kalender baik<br />yangbersangkutan,<br />penghasilan<br /><br />yangteraturmaupunyangtidakteratur. <br />b-PPh Pasal 21 terutangyangharusdipotonguntuk bulan Desember atau bulan <br />tertentuuntukpegawaitetapyangberhenti bekerja sebelum bulan Desember <br />adalahsebesarselisihantaraPPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan <br />teratur dan tidak teratur yangditerimadaripemotongpajakdalam tahun kalender <br />yangbersangkutan, dimaksud<br /><br />sebagaimana dalamhuruf a, dengan PPh Pasal <br />21yangtelahdipotongdalam yangbersangkutan<br /><br />tahun kalender sampai dengan <br />bulan sebelumnya. <br /><br />c. <br />DalamhaljumlahPPh Pasal 21 yangtelah dipotong sampai dengan bulan <br />sebelumnya<br />tersebutlebih besar daripadaPPh Pasal 21 terutangatas seluruh <br />penghasilanteratur dan tidak teratur yangditerima dari pemotong pajak dalam <br />tahun kalender yangbersangkutan, dalamhalpegawai bekerja<br /><br />misalnya berhenti <br />padapertengahantahun,atas kelebihan pemolonganPPh Pasal 21 tersebut <br />dikembalikankepadapegawaitetapyangberhenti bekerja bersamaan denganpemberianbuktipemotongan pemotongan<br /><br />PPhPasal 21. Atas kelebihan PPh <br />Pasal 21 untuk pegawaitetap yang bersangkutan,pemotong pajak dapatmemperhitungkan<br /><br />dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan pegawai <br />tetaplainnyadalammasapajak yang sama,sehinggajumlahPPh Pasal 21yang <br />harus disetor oleh pemotong pajak untuk masa pajak tersebut telah <br />mempertimbangkan pemotonganPPh Pasal 21 yangtelah<br /><br />jumlahkelebihan <br />diberikanolehpemotongpajakkepadapegawailetapyangberhentibekerja. <br /><br />2. Perhitungan PPhPasal 21 ierutang atas seluruh penghasilan atauyangditerlma <br />diperolehdari pemotongpajak dalam tahun kalender yang bersangkutansebagaimana dalam angka t huruf a adaiah sebagaiberikut:dimaksud <br /><br />a. <br />Untukpegawaitetapyangkewajibanpajaksubjektilnyasudah ada sejak awal <br />tahun,namunmulai bekerja setelahbulan Januari atau berhenti bekerjasebelum <br />bulan Desember, PPh Pasal 2l terutang berdasarkan<br />dihitung jumlahseluruh <br />penghasilanyangditerimaatau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun <br />tidak teratur, selamapegawaitetapyangbersangkutanbekerjapada pemotong <br />palaK. <br /><br />b. Sedangkanuntukpegawaitetapyangkewajibanpajaksubjektifnyabaru dimulai <br />setelahbulanJanuariatauberakhirsebelumbulanDesember,PPh Pasal 21 <br />terutangdihitung berdasarkan jumlahseluruhpenghasilanyangditerima atau <br />diperoleh,baikyangbersifatteraturmaupuntidak teratur, yangdisetahunkan. <br />/" <br /><br /> <br />II. PETUNJUKUMUM PENGHITUNGAN PEGAWAITIDAK TETAP PPh PASAL 21 UNTUK <br />ATAU TENAGA KERJALEPAS, <br /><br />11.1. <br />PegawaiTidak Tetap atauTenagaKeria Lepas, pemagangdan Calon pegawai <br />yangMenerimaUpahHarian,Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, <br />UangSaku Harian atau Mingguan: <br />1. <br />Tentukanjumlahupah/uangsaku harian, atau rata-rata upah/uang sakuyang <br />diterimaatau diperoleh dalam sehari: <br />saku mingguan <br />hari bekerja <br /><br />a. <br />upah/uang dibagi banyaknya dalam seminggu; <br />b. upahsatuandikalikandenganjumlahrata-ratasatuanyangdihasilkan<br />dalam <br />sehari; <br /><br />c. <br />upah borongandibagi dengan jumlah hari yang digunakanuntuk <br />menyelesaikan borongan.<br />pekerjaan <br /><br />2. <br />Dalam hal upah/uangsaku harian atau rata-rata upah/uangsaku harian belum <br />melebihiRp150.000,00, kumulatif atau diperoleh dalam<br />danjumlah yangditerima <br />bulan kalender yangbersangkutan Rp1.320.000,00,<br /><br />belummelebihi maka tidak <br />ada PPh Pasal2l yangharus dipotong. <br /><br />3. Dalamhal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uangsaku harian telah <br />melebihiRp150.000,00,<br />dan sepanjang jumlahkumulatifyangditerimaatau <br />diperolehdalam bulan kalenderyang bersangkutanbelum melebihi <br />Rp1.320.000,00,<br /><br />makaPPh Pasal 21 yangharusdipotong adalah sebesar <br />upah/uangsakuharianatau rata-rata upah/uangsaku harian setelah dikurangi <br />Rp150.000,00, 5%.<br /><br />dikalikan <br /><br />4. <br />Dalam hal jumlahupah kumulatif yangditerimaatau diperoleh dalambulan <br />kalenderyangbersangkutan dan kurang dari<br />telahmelebihi Rp1.920.000,00 <br />Rp6.000.000,00,<br /><br />makaPPh Pasal 21 yangharus dipotong adalah sebesar <br />upah/uangsakuharian atau rata-rata upah/uangsaku harian setelah dikurangi <br />PTKP sehari, dikalikanS%. <br /><br />5. Dalamhaljumlahupahkumulatifyangditerimaatau diperoleh dalamsatu bulan <br />kalendertelahmelebihi maka PPh pasal21 dihitung dengan<br />Rp6.000.000,00, <br />menerapkanTarifPasal 17 ayat(1)huruta UU pPhatasjumlahupahbruto <br />dalamsatubulanyangdisetahunkan dikurangi<br /><br />setetah pTKp,danpph pasal 21 <br />yangharusdipotongadalah sebesar tersebut<br /><br />PPhPasal 21 hasil perhitungandibagi12. <br /><br />I.2. <br />PegawalTidakTelapalau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon pegawai <br />yangMenerimaUpahyangOibayarkanSecaraBulanan: <br />PPhPasal 21 dihitungdenganmenerapkan<br /><br />TarifPasal 17 ayat (1)hurufa UU PPh <br />atasjumlahupah bruto yangdisetahunkansetelahdikurangiPTKP,danPPhPasal <br />21 yangharusdipotongadalahsebesar tersebut<br /><br />PPh Pasal 21 hasil perhitungan <br />dibaoi12. <br /><br />t <br /><br /><br /> <br />. PETUNJUKUMUM PENGHITUNGAN<br /><br />PPh PASAL 21 BAGI ANGGOTA DEWAN <br />PENGAWASATAU DEWAN KOMISARISYANG TIDAK MERANGKAPSEBAGAI <br />PEGAWAITETAP, MANTAN PEGAWAIYANG MENERIMA JASA PFODUKSI, <br />TANTIEM,GRATIFIKASI,BONUSATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK <br />TERATUR,DAN PESERTA PROGRAMPENSIUNYANGMASIH BERSTATUS SEBAGAI <br />PEGAWAIYANG MENARIK DANAPENSIUN <br /><br />lll.1. PenghitunganPPh Pasal21 untuk Anggota Dewanpengawasatau Dewan <br />KomisarisYangTidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap <br />PPh Pasal 21 dihitung denganmenerapkan<br /><br />Tarif Pasal i7 ayat(1)huruf a UU pph <br />ataskumulatiijumlahpenghasilan<br /><br />brutoyangditerimaatau diperoleh selama I (satu)<br />tahunkalender. <br /><br />lll,2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan pegawaiyangMenerimapenghasilan <br /><br />BerupaJasa Produksi, Tantlem,Gratifikasi,Bonus atau lmbalan Lain yang<br /><br />Bersifat Tidak Teratur <br /><br />PPh Pasal 21 dihitung dengancara menerapkan <br /><br />Tarif Pasal 1Z ayat (1)huruf a UU <br />PPh atas kumulatifjumlahpenghasilan atau diperoleh <br /><br />brutoyangditerima selama 1 <br />(satu)tahun kalender. <br /><br />fff.3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi peserta program pensiun yang Masih <br />BerstatusSebagaiPegawaiyangMenarikDanapensiun <br /><br />PPhPasal21 dihitung denganmenerapkan<br /><br />Tarifpasal17 ayat (1)huruf a UU pph <br />dari kumulatif.iumlahpenghasilanbrutoyangdibayarkanselama 1 (satu)tahun <br />kalender. <br /><br />tv. PETUNJUKUMUMPENGHITUNGAN<br /><br />PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG <br /><br />BERSTATUSSEBAGAIBUKANPEGAWAI <br /><br />1V.1. Pemotongan PPhPasal21 Bagi Tenaga AhliyangMelakukanpekeriaanBebas <br /><br />PPh Pasal 21 atas penghasilan kepada ahliyangmelakukan<br /><br />yangdibayarkan tenagapekerjaanbebas dengancara menerapkan a UU<br /><br />dihitung <br />tarif Pasal 1Z ayat(1)huruf <br /><br />PPhatasjumlahkumulatif50%(lima puluh persen) darijumlahpenghasilanbruto <br />yangdibayarkanatauterutangdalam I (salu)tahun kalender. <br />Dalamhaltenaga ahli tersebutadalah doher yangmelakukanpraktikdi rumah sakit <br />dan/atau klinik makabesarnya.iumlahpenghasilanbruto adalah sebesarjasadokter <br /><br />yangdibayarkanpasienmelalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya<br /><br /><br />biayaatau bagi hasiloleh rumah sakit dan/atau klinik. <br /><br />1V,2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi OrangpribadiDalam Negeri Bukan pegawai, <br />Selain Tenaga Ahli,atas lmbalan yangBersifatBerkesinambungan <br /><br />1V.2.1, <br />BagiyangTelahMemiliki NPWP dan Hanya Menerima penghasitanDari <br />PemotongPaiakyangBersangkutan <br /><br />PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan <br />UU<br /><br />tarif Pasal 17 ayat (1)huruf.a <br />PPhatasjumlahkumulatifpenghasilan penghasilan<br /><br />kenapajak.Besarnya <br />kenapajakadalahsebesar bruto dikurangi <br /><br />penghasilan PTKPperbulan. <br /><br />lV,2,2. Bagi yangTidakMemiliki NPWP atauMenerimaPenghasilanDariSelain <br />PemotongPaiakyangBersangkutan <br /><br />dengan menerapkan <br />PPhatasjumlahkumulatifpenghasilanbruto dalam tahun kalender yang <br />bersangkutan. <br /><br />PPhPasal21dihitung <br />tarif Pasal 17 ayat(1)hurufa UU <br /><br />,..l. <br /><br /><br /> <br />1V.3. <br />PemotonganPPhPasal21 Bagi OrangpribadiDalamNegeri Bukan pegawai, <br />Selain Tenaga Ahli,atas lmbalan yangTidak Bersitat Berkesinambungan. <br /><br />PPhPasal 21 dihitungdengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)huruf a UU pph <br /><br />atasiumlahpenghasilanbruto. <br /><br />v. PETUNJUKUMUM PENGHITUNGAN <br />PPhPASAL 21 BAGI PESERTAKEGIATAN <br /><br />PPh Pasal 2l dihitung dengan menerapkan <br /><br />tarif Pasal 17 ayat (1)huruf a UU pph atasjumlah penghasilanbruto untuksetiap kali pembayaranyang bersifatutuh dan tidak <br /><br />dipecah,yangditerimaolehpesertakegiatan. <br /><br />PETUNJUKUMUM PENGHITUNGAN <br /><br />PPh PASAL 26 BAGI ORANG PRIBADI YANG <br />BEBSTATUSSEBAGAISUBJEKPAJAK LUAR NEGERI. <br /><br />1. DasarpengenaanPPhPasal 26 adalahdarijumlahpenghasilan<br />bruto. <br /><br />2. Dikenakantarif PPh Pasal 26 sebesar 20% denganmemperhatikanketentuanyangdiatur dalam PerjaniianPenghindaranPajak Berganda (p3B),dalam hal orangpribadi <br />yangmenerimapenghasilanadalahsubiekpajakdalam negeri dari negarayangtelah <br />mempunyaiP3BdenganIndonesia. <br />. <br />l <br /><br />k_[<br /><br />-<br /><br /> <br />BAGIANKEDUA:CONTOHPENGHITUNGAN<br /><br />PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 <br /><br />I. <br />PENGHITUNGANPEMOTONGANPPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN <br />PEGAWAITETAP <br />I.1 DENGANGAJIBULANAN <br />1.1.1 Ahmad Zakaria padatahun 2009 bekerja <br />PT Zamrud <br />pada perusahaan Abadi <br />denganmemperolehgaji sebulan Rp 2.500.000,00 dan membayariuran <br />pensiunsebesarRp 100.000,00. tetapi belum mempunyai <br /><br />Ahmad menikah <br />anak. Penghitungan 21 adalah berikut:<br /><br />PPh Pasal sebagai <br /><br />Gaji sebulan <br />Rp 2.500.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1. BiayaJabatan: <br />5% X Rp 2.500.000,00 Rp 125.000,00 <br />2. luranpensiun Rp 100.000,00 <br />Rp 225.000,00 <br /><br />neto sebulan <br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.275.000,00 <br /><br />Penghasilan adalah<br /><br />neto setahun <br />12x Rp 2.275.000,00 Rp 27.300.000,00 <br /><br />PTKPsetahun <br /><br />-<br /><br />untukWP sendiri <br />Rp15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanWP kawin Rp 1.320.000,00 <br />Rp 17.160.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak setahun <br />Rp 10. 140.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutang <br />57ox Rp 10.140.000,00 = Rp 507.000,00 <br /><br />PPhPasal 21 sebulan <br />Rp507.000,00:12 = Rp 42.250,00 <br /><br />Catatan: <br /><br />a. BiayaJabatan adalah biaya untuk mendapatkan, dan memelihara <br />menagihpenghasilanyangdapat dikurangkan daripenghasilansetiap orang yang <br />bekerjasebagaipegawaitetap tanpa memandang mempunyai jabatan <br />ataupuntidak. <br /><br />b. Contohdi atas berlaku apabilapegawaiyangbersangkutan<br />sudah memiliki <br />NPWP.Dalamhal pegawaiyangbersangkutan NPWP,<br /><br />belummemiliki <br />makajumlahPPh Pasal 21yangharusdipotongadalahsebesar: <br />120/"x Rp 42.250,00 = Rp 50.700,00. <br /><br />selanjutnya penerima yang <br />dipotongPPh Pasal 21 sudah memilikiNPWP, kecuali disebutlaindalam <br />contohtersebut. <br /><br />c. Untuk contoh-contoh diasumsikan penghasilan <br />t" <br /><br /><br /> <br />l.'l-2 <br />BambangYuliawanpegawaipada perusahaan pT yasa Buana,menikah <br />tanpaanak, memperoleh gajisebulan Rp 2.000.000,00.<br /><br /><br />PT Yasa Buana <br />mengikutiprogramJamsostek,premiJaminanKecelakaanKerja dan premi <br />JaminanKematiandibayarolehpemberikerja dengan jumlahmasing-masing0,50% dan 0,30% darj gaji.PT Yasa Buana menanggung Hari<br /><br />iuranJaminan <br />Tua setiap bulansebesar 3,700/" datigaji sedangkanBambangyuliawan <br />membayariuranJaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaiisetiap bulan. <br />Disampingitu PT Yasa Buanajuga mengikutiprogram pensiun untuk <br />pegawatnya_ <br /><br />PTYasa Buana membayariuranpensiununtuk Bambang yuliawanke dana <br />pensiun,yangpendiriannya oleh Menteri keuangan, setiap<br /><br />telah disahkan <br />bulansebesalRp 100.000,00, sedangkanBambangyuliawanmembayariuranpensiunsebesarRp50.000,00. <br />Penghitungan 21<br /><br />PPh Pasal <br />Gaji sebulan Rp 2.000.000,00PremiJaminanKecelakaan<br /><br />Kerja Rp 10.000,00PremiJaminanKematian Rp 6.000,00 <br /><br />bruto<br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.016.000,00 <br /><br />Pengurangan <br /><br />1.Biayajabatan <br />5olox Rp 2.016.000,00 Bp 100.800,00 <br />2.IuranPensiun Rp 50.000,00 <br />3.luranJaminanHariTua Rp 4O.OO0,0O <br />Rp <br />190.800,00 <br /><br />Penghasilannetosebulan <br />Rp 1.825.200,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />netosetahun <br />12 x Rp 1.825.200,00 Rp 21.902.400,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri Bp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanWPkawin Rp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 17.160.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />KenaPajaksetahun Rp 4.742.400,00 <br />Pembulatan Rp 4.742.OOO,Q0 <br /><br />PPhPasal21 terutang <br />5% x Rp 4.742.000,00 Rp 237.100,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 2l sebulan <br />Rp237.100,00: Rp 19.758,00 <br /><br /><br />12 <br /><br />1.1.3 <br />EndangVidyawatiadalahseorangkaryawatidengan status menikah tanpa <br />anak, bekerja pada PT Ventura Entiti dengan gaji sebulan sebesar Rp2.500.000,00. membayar ke dana pensiun<br />EndangVidyawati iuran pensiun <br />yang pendiriannyatelah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp <br />50.000,00sebulan. surat keterangan tempat Endang <br /><br />Berdasarkan dari Pemda <br />Vidyawatiberdomisiliyangdiserahkankepadapemberikerja, diketahui bahwa <br />suaminyatidak mempunyai apapun.<br /><br />penghasilan <br /><br />/ <br /><br /> <br />Penghitungan 21<br /><br />PPh Pasal <br /><br />Gaji sebulan Rp 2.500.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1. BiayaJabatan <br />s% x Rp 2.500.000,00 Rp 125.000,00 <br />= <br /><br />2. luranpensiun Rp 50.000,00 <br />Rp 175.000,00 <br /><br />neto sebulan <br /><br />Penghasilan Rp 2.325.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto setahun <br />12 x Rp 2.325.000,00 Rp27.900.000,00<br /><br />= <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 17.160.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak setahun Rp 10.740.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 setahun <br /><br />5% x Rp 10.740.000,00 Rp 537.000,00 <br /><br />= <br /><br />PPh Pasal 21 sebulan <br /><br />Rp 537.000,00: = 44.750,00<br /><br />12 Rp <br /><br />1.1.4 Firma Utami karyawati dengan menikah anakstatus tetapi belum mempunyai <br />bekerjapada PT Unggul Farmindo. Firma Utaml menerimagaji Rp <br />3.000.000,00sebulan.PTUnggul Farmindo mengikuti programpensiundan <br /><br />jamsostek.Perusahaan iuranpensiunkepada yang<br /><br />membayar danapensiun <br />pendiriannya oleh lvlenteri sebesarRp 40.000,00 <br /><br />telah disahkan Keuangan, <br />sebulan. <br /><br /><br />FirmaUtamijugamembayariuranpensiunsebesarRp 30.000,00sebulan, <br />disampingiluperusahaanmembayarkaniuranJaminanHari Tua karyawannya <br />setiap bulan sebesar3,70% dari gaji,sedangkanFirma Utami membayariuran <br />Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00"/"datigaji.Berdasarkan<br /><br />surat <br />keteranganPemdatempat Firma Utami bertempat tinggal diketahui bahwa <br />suami Firma Utami tidak mempunyai penghasilanapapun.PremiJaminan <br />Kecelakaan<br /><br />Keria dan JaminanKematiandibayarolehpemberikerja dengan <br />jumlahmasing-masingsebesar1,00%dan 0,30% darigaji <br /><br />Penghitungan 21 : <br /><br />PPhPasal <br /><br />Gaji sebulan Rp 3.000.000,00 <br /><br /><br />PremiJaminan Kerja 30.000,00<br /><br /><br />Kecelakaan Rp <br />PremiJaminanKematian Rp 9.000,00 <br /><br /><br />Penghasilan Rp 3.039.000,00 <br /><br /><br />bruto sebulan <br /><br />,*<br /><br />10 <br /><br /> <br />Pengurangan: <br /><br />1 . Biaya jabatan <br />5% x Rp 3.039.000,00 Rp 151.950,00 <br />= <br /><br />2.luranPensiun <br />RD 30.000.00 <br />3.luranJaminanHari Tua Rp 60.000,00 <br />Rp 241.950,00 <br /><br />netosebulan <br />Penghasilannelo setahun <br />12x Rp 2.797.050,00 Rp33.564.600,00 <br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.797.0s0,00 <br /><br />= <br /><br />PTKP <br />-<br /><br /><br />untukWP sendiri Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah RD 1.320.000.00 <br /><br />Rp 17.160.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />Kena Pajak adalah Rp 16.404.600,00 <br />Pembutatan Ro 16.404.000.00 <br /><br />PPh Pasal 21 setahun <br />5%xRp 16.404.000,00Rp 820.200,00<br /><br /><br />= <br /><br />PPhPasal21 sebutan <br />Rp 820.200,00:12 = Rp 68.350,00 <br /><br /><br />Catatan: <br />Apabilasuami Firma Ulami bekerja, besarnyapTKp FirmaUtami adalah <br />PTKPuntukdiri sendiri sebesarRp15.840.000.00. <br /><br /><br />1.2 DENGANGAJI MINGGUAN DANGAJI HARIAN <br />Contoh-contohperhitunganberikut ini hanya berlakubagipegawaitetap(bukanpegawal tidak tetap atau tenaga kerja lepas) yang gaiinya dibayar secara <br /><br />mingguanatauharian. <br /><br />1.2.1 <br />GagukTrimanto,menikahdengansatu anak, bekerja sebagaj pegawaitetappadaPerusahaan menerimagaji yang dibayar mingguan <br />PT Teguh Gemilang<br />sebesarRp600.000,00 <br /><br /><br />Penghitungan<br /><br />PPh Pasal 21 : <br /><br />Gaii sebulan adalah <br />4 x Rp 600.000,00 Rp 2.400.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br />BiayaJabatan <br /><br /><br />'1<br /><br />5% x Rp 2.400.000,00 <br />Rp 20.000,00 <br /><br />netosebulan<br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.280.000,00 <br /><br />Penghasilanneto setahun <br />12 x Rp 2.280.000,00 Rp 27.360.000,00 <br /><br />/<br /><br />11 <br /><br /> <br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWP sendiri <br />Bp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanuntukI anak Rp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 18.480.000,00 <br /><br />Kena Paiak <br />Rp<br /><br />Penghasilan setahun <br />8.880.000,00 <br /><br />PPhPasal21 <br />5% x Rp 8.880.000,00Rp 444.000,00 <br /><br /><br />= <br /><br />PPh Pasal 21 sebulan <br />Rp 444.000,00: = 97.000,00<br /><br /><br />12 Rp <br /><br />PPh Pasal 21atasgaji/upahmingguan <br /><br />-<br /><br />Rp 37.000,00:4 Rp 9.250,00 <br /><br />1.2.2 <br />Harun Santosopegawaipada perusahaan PT Segara Hurip dengan <br />memperolehgaji mingguansebesar Rp 500.000,00. Harun kawin dan <br />mempunyai anak. PT Segara programJamsostek,premi<br />seorang Hurip masuk <br />Jaminan Kerjadanpremi olehpemberi<br /><br />Kecelakaan JaminanKematiandibayar <br />kerja dengan jumlahmasing-masing<br /><br />setiap bulan sebesar 1,00% dan 0,30% <br />darigaji.PT Segara Hurip membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan <br />sebesar3,70%darigajidan Harun membayariuranpensiunRp 10.000,00 <br /><br />dan <br />JaminanHari Tua sebesar2,00% dari gaji. <br /><br />Penghasilansebulan(4x Rp 500.000,00) Rp 2.000.000,00 <br />PremiJaminan Kerja 20.000,00<br /><br />Kecelakaan Rp <br />PremlJaminanKematian Rp 6.000,00 <br /><br />bruto<br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.026.000,00 <br /><br />Pengurangan<br /><br />: <br /><br />1.Biayajabatan <br />5% x Rp 2.026.000,00 Rp 101.300,00 <br />2.Iuranpensiun <br />Rp 10.000,00 <br />3.luran Jaminan HariTua Rp 40.000,00 <br />Rp 151.300,00 <br /><br />Penghasilannetosebulanadalah <br />Rp 1.874.700,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto setahun <br />12 x Rp 1.874.700,00 Rp 22.496.400,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukwajibpajak <br />Rp15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanseoranganak Rp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 18.480.000,00 <br /><br />Kena Pajak 4.016.400,00 <br />Pembulatan Rp 4.016.000,00 <br /><br />Penghasilan setahun <br />Rp <br /><br />:/<br /><br /><br />12 <br /><br /> <br />PPhPasal2'l setahun <br />5% x Rp 4.016.000,00 Rp 200.800,00<br /><br /><br />= <br /><br />PPhPasal21sebulan <br />Rp 200.800,00: 12 Rp 16.733,00 <br /><br /><br />PPhPasal21 mingguan <br />Bp 16.733,00 Rp<br /><br /><br />: 4 4.183,00 <br /><br />t.2.3 <br />lmam Rahardi pegawaitetappada perusahaan PT Re.io Indonusa dengan <br />memperoleh harian Rp80.000,00.lmam kawin dan<br />gaji yang dibayar sebesar <br />mempunyaiseorang anak. PT Rejo Indonusa masuk programJamsostek, <br />premiJaminan Kecelakaan Kerja dan premiJaminan Kematian dibayar oleh <br />pemberikerjadengan setiap 1,00%dan<br /><br />jumlahmasing-masing bulan sebesar <br />0,30%darigaji.PTRejoIndonusamembayariuranJaminanHari Tua setiapbulansebesar3,7Q%dati gaji dan lmam membayar iuranpensiunRp<br /><br />'15.000,00<br /><br />danJaminanHari Tua sebesar 2,00%darigaji. <br /><br />sebulan <br />PremiJaminan Kecelakaan Kerja Rp 20.800,00 <br />PremiJaminanKematian Rp 6.240,00 <br /><br />Penghasilan = 26 x Rp 80.000,00= Rp 2.080.000,00 <br /><br />bruto<br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.107.040,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1 . Biaya jabatan <br />5% x Rp 2.107.040,00 Rp 105.352,00 <br />2.luranpensiun Rp 15.000,00 <br />3.luranJaminanHari Tua Rp 41 .600,00 <br />Rp 161.952,00 <br /><br />Penghasilannetosebulan <br />Rp 1.945.088,00 <br /><br />Penghasilannetosetahun <br />12xRp 1.945.088,00 Rp 23.341 .056,00 <br /><br />PTKP : <br /><br />-<br /><br />untukwajibpajak Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanseoranganak Rp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 18.480.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak setahun Rp 4.861.056,00 <br />Pembulatan Rp 4.861.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21setahun <br />5%xRp 4.861.000,00 Rp 243.050,00 <br /><br /><br />= <br /><br />PPh Pasal 21sebulan <br />Rp 243.050,00:12 = Rp 20.254,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21 sehari <br />Rp 20.254,00: 26 = Rp 779,00 <br /><br /><br />' "p <br /><br />IJ <br /><br /> <br />1.3 PENGHITUNGAN<br />PPhPASAL21 ATAS PEMBAYAHAN UANG RAPEL <br /><br />tersebut nomor <br />bulanJuni 2009 menerimakenaikan sebulan <br /><br />1.3.1 AhmadZakariasebagaimana dalam contoh 1.1.1,di atas pada <br />gaji,menjadiRp 3.500.000,00 <br />danberlakusurutsejak 1 Januari2009. Dengan adanyakenaikangajiyangberlakusurut tersebutmaka Ahmad menerima rapel seiumlahRp5.000.000,00 gajiuntuk masa Januaris.d. Mei 2009). Untuk<br /><br />(kekurangan <br />menghitungPPhPasal21 atas uang rapel tersebut, terlebihdahulu dihitung <br />kembaliPPh Pasal 21 untuk masa Januaris.d. Mei 2OO9 atas dasai <br />penghasilansetelahadakenaikangaji.Dengandemikianpenghitungan<br /><br />pph <br />Pasal21terutangnyaadalahsebagaiberikut: <br /><br />Gaji Rp 3.500.000,00 <br />Pengurangan<br /><br />: <br /><br />1. Biayaiabatan: <br />5% x Rp 3.500.000,00Rp 17s.000,00<br />= <br /><br />2. luranPensiun Rp 100.000,00 <br />Rp 27s.000,00 <br /><br />neto sebulan <br /><br />Penghasilan Rp 3.225.000,00 <br /><br /><br />Penghasilannetosetahun: <br />12 x Bp 3.225.000,00 Rp38.700.000,00 <br /><br /><br />PTKP <br />-<br /><br /><br />untuk wajib pajak Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikahRp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 17.160.000,00 <br /><br />KenaPajak<br /><br />Penghasilan Rp 21.540.000,00 <br /><br />PPhPasal21 setahun <br />5% x Rp 21.540.000,00= Rp 1.077.000,00 <br /><br /><br />PPhPasal 21 sebulan <br />Rp 1 .077.000,00 : 12 = Rp 89.750,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21Januaris.d Mei 2009 seharusnvaadalah : <br />5 x Rp 89.750.00 Rp 448.750,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21yangsudahdipotongJanuari s.d. Mei 2OO9 <br />5 x Flp 42.250,00 (dari perhitungan contoh 1.1.1) = Rp 211.250,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21 untuk uang rapel Rp 237.500,00 <br /><br />t4 <br /><br /> <br />PENGHITUNGAN<br /><br />PEMOTONGANPPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASTLAN <br />BERUPA:JASAPRODUKSI,TANTIEM,GRATIFTKASI.<br /><br />TUNJANGANHARI RAYA <br />ATAUTAHUNBARU, BONUS, PREMI,DAN PENGHASILAN <br /><br />SEJENISLAINNYA <br />YANG SIFATNYATIDAK TETAP DAN PADA UMUMNYADIBERIKANSEKALI <br />DALAMSETAHUN <br /><br />1.4.1 <br />JokoQurnain(tidakkawin)bekerjapadaPTQolbu Jaya dengan memperoleh <br />gajisebesarRp2.000.000,00 Dalam Joko<br />sebulan. tahunyangbersangkutanmenerimabonussebesarRp5.000.000,00. Jokomembayar<br /><br />Setiap bulannya <br />iuranpensiunkedana Pensiun yang pendiriannya <br /><br />telah disahkan oleh Menteri <br />KeuangansebesarRp60.000,00 <br /><br />Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah: <br /><br />1.4.1.aPPh Pasal 21 atas Gaii dan Bonus (penghasilansetahun): <br />Gaji setahun (12xRp2.000.000,00) Rp 24.000.000,00Bonus Rp 5.000.000,00 <br /><br />brutosetahun<br /><br />Penghasilan <br />Rp 29.000.000,00 <br /><br />Pengurangan:<br />'1. Biaya Jabatan <br />5% x Rp 29.000.000,00 Rp 1.450.000,00 <br /><br />= <br /><br />2.luranpensiunsetahun <br />12 x Rp 60.000,00 = Rp 720.000,00 <br />Rp 2.170.000,00 <br /><br />Penghasilanneto setahun <br />Rp 26.830.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWP sendiri <br />Rp 15.840.000,00 <br /><br />Kena Pajak Penghasilan Rp 10.990.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutang <br />5% x Rp 10.990.000,00 = Rp 549.500,00 <br /><br />1.4.1.bPPhPasal 21 atasGaii setahun <br />Gaji setahun (12x Rp2.000.000,00) Rp 24.000.000,00 <br /><br />Pengurangan<br /><br />: <br /><br />1.BiayaJabatan <br />5%x Rp 24.000.000,00 Rp 1.200.000,00<br />= <br /><br />2.luranpensiunsetahun <br />12x Bp 60.000,00 -Rp 720.000,00 <br />Bp 1.920.000,00 <br />Penghasilannetosetahun Rp 22.080.000,00 <br />PTKP <br />-untukWP sendiri Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKena Pajak Rp 6.240.000,00 <br />PPh Pasal 21 terutang <br />5% x Rp 6.240.000,00= Rp 312.000,00 <br /><br />15 <br /><br /><br /> <br />1.4.1.cPPh Pasal 21 atas Bonus <br />PPh Pasal 21 atas Bonus adalah: <br />Bp549.500,00 Rp 237.500,00 <br /><br /><br />-Rp 312.000,00= <br />1.4.2 <br />KaryawatiKen Prameswari (tidakkawin)bekerjapada PT Prabu Kedaton <br />denganmemperolehgaji sebesarRp 2.750.000,00 Perusahaan<br />sebulan. ikut <br />dalam program jamsostek- PremiJaminan Kecelakaan Kerja dan premi <br />JaminanKematiandan iuran Jaminan Har! Tua dibayar oleh pemberikerjasetiapbulan masing-masing <br /><br />sebesar 1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji. <br />PrameswarimembayariuranPensiunRp 50.000,00 dan iuran Jaminan Hari <br />Tua sebesar 2,0O%datigajiuntuk setiap bulan.Dalamtahun berjalan diajuga <br />menerimabonussebesarRp 4.000.000,00. <br /><br />Cara menghitung PPh Pasal 21atas bonus adalahsebagaiberikut: <br /><br />1,4.2.aPPh Pasal 21 atas Gaii dan Bonus (penghasilansetahun) <br /><br />Gaji setahun (12x Flp 2.750.000,00) Rp 33.000.000,00 <br />Bonus Rp 4.000.000,00 <br />PremiJaminan Kecelakaan Keria <br />12 x Rp 27.500,00 Rp 330.000,00 <br />PremiJaminan Kematian <br />1 2 x Rp 8.250,00 Rp 99.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />brutosetahun Rp 37.429.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1.BiayaJabatan <br />5% x Rp 37.429.000,00Rp 1.871.450,00 <br />= <br /><br />2.luranpensiunsetahun <br />12 x Rp 50.000,00 = Rp 600.000,00 <br />3.luran Jaminan HariTua <br />12 x Rp 55.000,00 = Rp 660.000,00 <br />Rp 3.131.450,00 <br /><br />Penghasilanneto setahun <br />Rp 34.297.550,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri <br />Rp 15.840.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak Rp 18.457.550,00 <br />Dibulatkan Rp 18.457.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21terutang <br />5% x Rp 1A.457.000,00 922.850,00<br /><br />= Rp <br /><br />1.4.2,b PPh Pasal 21 atas Gaii setahun <br /><br />= <br />PremiJaminan Kerja <br /><br /><br />Gaji setahun (12x Rp 2.750.000,00) Rp 33.000.000,00 <br /><br />Kecelakaan <br /><br />-<br /><br />12 x Rp 27.500,00 Rp 330.000,00 <br />PremiJaminan Kematian <br /><br />-<br /><br />12 x Rp 8.250,00 <br />Rp 99.000,00 <br /><br />Jumlah <br />Rp 33.429.000,00 <br /><br />76 <br />'/ <br /><br /><br /> <br />Pengurangan: <br /><br />1 . Biaya Jabatan <br />5% x Rp 33.429.000,00 Rp 1.671.450,00 <br />= <br /><br />2.luranDensiunsetahun <br />12 x Rp 50.000,00 = Rp 600.000,00 <br />3.luranJaminanHari Tua <br />12x Rp 55.000,00 Rp 660.000,00 <br />Jumlah <br />Rp 2.931.450,00 <br /><br />Penghasilanneto setahun = <br />Rp 30.497.550,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-untukwP sendiri <br />Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKenaPajak Rp 14.657.550,00 <br />Pembulatan Rp 14.657.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutang <br />5% x Rp 14.657.000,00= Rp 732.850,00 <br /><br />1.4.2.c PPh Pasal 21 atas Bonus <br />PPhPasal21 atas Bonus adalah: <br />Rp922.850,00 =<br /><br />-Rp 732.850,00 Rp190.000,00 <br />I.5 <br />PENGHITUNGANPEMOTONGANPPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN <br />PEGAWAIYANGDIPINDAHTUGASKAN<br />DALAM TAHUN BERJALAN <br /><br />Padasaat pegawaidipindahtugaskan,<br /><br />pegawaiyang bersangkutantidak berhenti <br /><br />bekerjadariperusahaantempatdia bekerja. pegawaiyangbersangkutanmasihtetap<br /><br />bekerjapadaperusahaanyangsama dan hanya berubih lokasinya saja. Dengan <br />demikiandalampenghitungan daiarpenghitungan<br /><br />Pphpasal21tetap menggunakan <br />selamasetahun. <br /><br /><br />Contohpenghitungan: <br /><br />AgusSaparudinyangberstatusbelum menikah adalahpegawaipadapT Nusantara <br />MandiridiJatarta.Sejak 1 Juni 2009 dipindahtugaskan<br /><br />ke kantor cabangdi Bandung <br />danpada1 Oktober 2009 dipindahtugaskan <br /><br />lagi ke kantor cabangdiGarut.Gaii Agui <br />SaparudinsebesarRp3.500.000,00 iuran pensiunyangdibayar<br /><br />danpembayaran <br />sendirisebulansejumlahRp100.000,00. <br /><br /><br />PenghitunganPPhPasal 21: <br /><br />1.5.1 KantorPusatdi Jakarta <br />Gaji sebulan <br />Rp 3.500.000,00 <br /><br />Pengurangan <br /><br />1. BiayaJabatan: <br />5% x Rp 3-500.000,00 Rp 175.000,00 <br />= <br /><br />2. luranpensiun = Rp 100.000,00 <br />.175.000,00<br /><br />Rp <br /><br />netosebulan <br />Rp<br /><br />Penghasilan adalah <br />3.325.000,00 <br /><br />/ <br /><br />17 <br /><br /> <br />Penghasilanneto setahun: <br />12 x Rp 3.325.000,00 Rp 38.700.000,00 <br />PTKP <br />-untukWP sendiri Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKena Pajak Rp 22.860.000,00 <br />PPh Pasal 21 ierutang setahun <br /><br />5% xRp 22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutangsebulan <br /><br />-<br /><br />Rp1.143.000,00:12 Rp 95.250,00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutang dan harus dipotong untukmasaJanuaris.d.Mei 2009 <br />adalah: <br />5/12 x Rp 1.143.000,00 = Rp476.250,00 <br /><br />PPh Pasal 21yangsudahdipotong <br /><br />masaJanuaris.d. Mei 2009 adalah: <br /><br />5 x Rp 95.250,00 = Rp 476.250,00 <br /><br />PPhPasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL <br /><br />PengisianBukti PemotonganPPh Pasal 21 (Form 1721 A1l di Kantor <br />Jakarta <br /><br /><br />Gaji(Januaris.d. Mei 2009) <br />5 x Rp 3.500.000,00 Rp 17.500.000,00 <br /><br /><br />Pengurangan <br /><br /><br />1.BiayaJabatan <br />50/6x Rp 17.500.000,00 = Rp875.000,00 <br />2.luranpensiun <br />5 x Rp 100.000,00 = Rp 500.000,00 <br />Rp 1 .375.000,00 <br /><br />Penghasilanneto5 bulan adalah Rp 16.125.000,00 <br /><br />Penghasilannetodisetahunkan: <br />12l5 x Rp 16.125.000,00 Rp38.700.000,00 <br /><br /><br />PTKP <br /><br />-untukWP sendiri Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKena Pajak disetahunkan Rp 22.860.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 disetahunkan <br />5% x Rp 22.860.000,00= Rp 1.143.000,00 <br /><br />PPhPasal 21 terutang <br />5/12xRp 1.143.000,00 = Rp 476.250,00 <br /><br />18 <br /><br /><br /> <br />PPh Pasal 21yangtelah dipotong dan dilunasi <br />(Januaris.d. Mei 2009) adalah: <br />5 x Rp 95.250,00 = Rp 476.250,00 <br /><br />PPh Pasal 21 kurang (lebih)dipotong N I H I L <br /><br />1.5.2 KantorCabang Bandung <br />a.Penghasilan<br />netodi Bandung <br />Gaji Juni s.d. September2009: <br /><br />4 x Rp 3.500.000,00 = Rp 14.000.000,00 <br />Pengurangan <br />1 . Biaya Jabatan: <br />s% x Rp 14.000.000,00 = Rp 700.000,00 <br />2. luran pensiun <br />a x Rp 100.000,00 = Rp 400.000,00 <br />Rp 1.100.000,00 <br /><br />neto di Bandung <br /><br />Penghasilan Rp 12.900.000,00 <br /><br />b.Penghasilannetodi Jakarta Rp 16.125.000,00 <br />Jumlahpenghasilan Rp<br />netoI bulan 29.02s.000,00 <br />Penghasilan<br /><br />neto disetahunkan: <br />12l9x Rp 29.025.000,00 = Rp 38.700.000,00 <br /><br />PTKP <br />-<br /><br />untukwP sendiri Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKena Paiak disetahunkan Rp 22.860.000,00 <br />PPh Pasal 21 disetahunkan: <br /><br />=<br /><br />5% x Rp 22.860.000,00 Rp 1.143.000,00 <br /><br />PPhPasal2'1terutangsebulan <br />Rp 1..143.000,00: Rp 95.250,00<br /><br />12 <br /><br />PPh Pasal 21 terutang dan harus dipotong untuk <br />masaJanuaris.d.September<br /><br />2009 adalah: <br />9/12x Rp 1.143.000,00 Rp 857.250,00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutangdiJakarta <br />sesuaidenganForm. 1721 -Al Rp 476.250,00 <br /><br />PPh Pasal 21yangsudah dipotong di Bandung <br />masaJuni s.d. September <br /><br />2009adalah: <br />4 x Rp 95.250,00 Rp 381.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 kurang (lebih)dipotong NIHIL <br /><br />79 <br /><br /><br /> <br />PengisianBukti Pemotongan PPh Pasal 21(Formulir1221-Al) di Kantor <br />Bandung <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto di Bandung <br />Gaji Juni s.d. September<br /><br /><br />2009: <br />4 x Rp 3.500.000,00 Rp 14.000.000,00 <br />Pengurangan: <br /><br />1.BiayaJabatan: <br />5% x Rp 14.000.000,00 Bp 700.000,00 <br />2.luranpensiun <br />4 x Rp 100.000,00 Rp 400.000,00 <br />Rp 1.100.000,00 <br /><br />neto di BandungPenghasilanneto di Jakarta Rp 16..125.000,00 <br /><br />Penghasilan Rp 12.900.000,00 <br /><br />netog bulan<br /><br />Jumlahpenghasilan Rp 29.025.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />netodisetahunkan: <br />1 2/9 x Rp 29.025.000,00 Rp 38.700.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWP sendiri Rp 1s.840.000,00 <br /><br />PenghasilanKenaPajakdisetahunkan Rp 22.860.000,00 <br /><br />PPhPasal21 disetahunkan <br />5% x Rp 22.860.000,00= Rp 1 .143.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutang <br />9/12x Rp 1.'143.000,00 Rp 857.250,00 <br /><br />PPh Pasal 21telah dipotong dan dilunasi: <br />-<br /><br /><br />Di Jakarta sesuaidengan Form. 1721 A1 Rp 476.250,00 <br />DiBandung(4x Rp 95.250,00) Rp 381.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 kurang (tebih) dipotong NIHIL <br /><br />1.5.3 KantorCabang Garut <br />a. Penghasilan<br />netodi Garut <br /><br />Gaji Oktober s.d. Desember 2009: <br />3x Rp 3.500.000,00 Rp 10.500.000,00 <br /><br /><br />Pengurangan <br /><br /><br />1.BiayaJabatan <br />5% x Rp 10.500.000,00 = Rp 525.000,00 <br />2.luranpensiun <br />3 x Rp 100.000,00 Rp 300.000,00 <br />Rp 825.000,00 <br /><br />Penghasilanneto di Garut Rp 9.675.000,00 <br /><br />b. Penghasilanneto di Jakarta Rp 16.125.000,00 <br />c. Penghasilanneto di Bandung Rp 1 2.900.000,00 <br />Jumlahpenghasilanneto setahun Rp 38.700.000,00 <br /><br />20 <br /><br /><br /> <br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKena Pajak Rp 22.860.000,00 <br />PPhPasal 21 terutang setahun <br /><br />5% x Rp =<br /><br />22.860.000,00 Rp 1.143.000,00 <br />PPhPasal 21 terutang di Jakarta dan Bandung <br /><br />-<br /><br />sesuaidenganForm. 1721 Al Rp 857.250,00 <br />PPh Pasal 21 terutang di Garut Rp 285.750,00 <br /><br />PPh Pasal 21 sebulan yangharusdipotongdi Garut <br /><br />Rp 285.750,00:3 Rp 95.250,00 <br /><br />PenglsianBuktlPemotonganPPh Pasal 21 (Formufir1721-A1)di Kantor <br />Garut <br /><br />Penghasilanneto di Garut <br /><br />Gaji Oktober s.d. Desember 2009: <br /><br />3 x Rp 3.500.000,00 Rp 10.500.000,00 <br /><br />Pengurangan <br /><br />1. BiavaJabatan: <br />506x Rp 10.500.000,00 Rp 525.000,00 <br />2.luranpensiun <br />3 x Rp 100.000,00 Rp 300.000,00 <br />Rp 825.000,00 <br />Penghasilan Rp 9.675.000,00<br /><br />netodi Garut <br /><br />Penghasilannetodi Jakarta Rp16.125.000,00 <br />Penghasilan Rp 12.900.000,00<br /><br />neto di Bandung <br />Jumlah neto setahun Rp 38.700.000,00 <br /><br />penghasilan <br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKena Pajak Rp 22.860.000,00 <br />PPhPasal21 terutang <br /><br />5% x Rp 22.860.000,00 Rp 1.143.000,00 <br />PPh Pasal 21 terutang diJakartadan Bandung <br /><br />-<br /><br />sesuaidenganFotm. 1721 A1 Rp 857.250,00 <br />PPhPasal 21 terutang di Garut Rp 28s.750,00 <br />PPhPasal 21 telah dipotong (3 x Rp 95.250,00) Rp 285.750,00 <br />PPh Pasal 21 kurang(lebih)dipotong NIH IL <br /><br />2l <br /><br /> <br />I.6 PENGHITUNGANPEMOTONGANPPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN <br />PEGAWAIYANGBERHENTIBEKERJAATAUMULAI BEKERJA DALAMTAHUN <br />BERJALAN <br /><br />1.6.1 PegawaiBaruMulal Bekeria Pada Tahun Berlalan <br />1.6.1.1PenghltunganPPh Pasat 2t atas penghasilanpegawai yang <br />kewallbanpaiaksubiektifnyasebagaiSubiekpaiakdalam negeri <br />sudah ada seiak awal tahun kalender tetapi baru bekeria pada<br />pertengahantahun. <br /><br />BudiyantabekerjapadaPT Xiang Malam sebagai pegawai tetapsejak 1 September2009.Budiyantamenikahtetapi belum punya <br />anak.Gaji sebulan adalah sebesar Rp 6.000.000,00dan iuran <br />pensiunyangdibayartiap bulan sebesarRp 150.000,00. <br /><br />Penghitungan 21tahun 2009 adalah berikut:<br /><br />PPhPasal sebagai <br /><br />Gaiisebulan Rp6.000.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1. BiayaJabatan <br />5% x Rp 6.000.000,00 Rp 300.000,00<br />= <br /><br />2. luranPensiun Rp 150.000.00 <br />Rp 450.000,00 <br /><br />neto sebulan <br /><br />Penghasilan Rp 5.5s0.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto setahun <br />4 x Rp 5.550.000,00 Rp 22.200.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendirj Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanWP kawin Rp 1 .320.000,00 <br />Rp 17.160.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak setahun Rp 5.040.000,00 <br /><br />PPhPasal 21 terutang <br />5ol"x Rp 5.040.000,00 = Rp 252.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 sebulan <br />Rp 252.000,00:4 = Rp 63.000,00 <br /><br />1,6.1.2PenghitunganPPh Pasal 2l atas penghasilanpegawai yang <br />kewajibanpajaksubiektlfnyasebagai Subiek Paiak dalam negeri <br />dimulaiseielahpermulaantahunpaiak,dan mulai bekeria pada <br />tahunberialan <br /><br />DavidRaisita(lV3)mulai bekerja 1 September2009. la bekerja di <br />Indonesias.d. Agustus 2012. Selama Tahun 2009 menerima gaji per <br />bulan Ro 20.000.000.00 <br /><br />Penghitungan 21 tahun 2009 adalah berikut:<br /><br />PPh Pasal sebagai <br /><br />.22 <br /><br /><br /> <br />Gaji sebulan Rp 20.000.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br />BiayaJabatan <br />57" X Rp 20.000.000,00Rp 1.000.000,00 <br /><br /><br />= <br />Maksimumdiperkenankan Rp 500.000,00 <br /><br />neto sebulan <br /><br />Penghasilan Rp 19.500.000,00 <br /><br />Penghasilanneto selama 4 bulan Rp 78.000.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto disetahunkan: <br />1214x Rp 78.000.000,00 Rp 234.000.000,00 <br /><br />PrKP(r(3) <br />-<br /><br /><br />untukwP sendiri Rp15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanWPkawin Rp 1 .320.000,00 <br /><br />-tambahan3 orang anak <br />(3x Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 <br />Rp 21-120.000,00 <br /><br />PenghasilanKenaPajak disetahunkan Rp 212.880.000,00 <br /><br />PPhPasal 21 disetahunkan: <br /><br />-<br /><br />5%x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00 <br /><br />-15% x Rp 162.880.000,00 Rp 24.432.000,00 <br />Ro 26.932.000.00 <br /><br />PPh Pasal 21 terutang untuktahun 2009 <br />4112xAp 26.932.000,00 = Rp 8.977.333,00 <br />PPhPasal21terutangsebulan: <br /><br />-<br /><br />1/4x Rp 8.977.333,00 Rp 2.244.333,00 <br /><br />PegawaiBerhentiBekeriaPadaTahun Berialan <br /><br />1.6.2.1PegawaiYangMasihMemitikiKewaiibanpalakSubiektif Berhenti <br />BekeriaPada Tahun Berialan <br />AripMarwantoyangberstatusbelum menikah adalahpegawaipadaPT MahakamUtama di Yogyakarta -Dty. Selak 1 Oktober 2009, <br />yangbersangkulanberhentibekerjadi PT MahakamUtama. Gaji Arip <br />Marwantosetiap bulan sebesarRp 9.500.000,00 dan yangbersangkutanmembayariuranpensiunkepada Dana pensiunyangpendiriannyatelah mendapat persetujuanMenteri Keuangan <br />sejumlahRp 100.000,00 bulan.<br /><br />setiap <br />PenghltunganPPh Pasal 21 yangdipotongsetiap bulan: <br />Gaji sebulan Rp3.500.000,00 <br />Pengurangan <br /><br />1 . Biaya Jabatan: <br />5% x Rp 3.500.000,00 Bp 1 75.000,00 <br />2.luranpensiun Rp 100.000,00 <br />Rp 275.000,00 <br /><br />neto<br /><br />Penghasilan Rp 3.22s.000,00 <br /><br /> <br />Penghasilanneto selahun <br />12 x Rp 3.225.000,00 Rp38.700.000,00 <br />PTKP <br />-untukWP sendiri Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKena Pajak Rp 22.860.000,00 <br />PPhPasal 21 terutang <br /><br />=<br /><br />5% x Rp 22.860.000,00Rp1.143.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21yangharusdipotongsebulan: <br />Rp1.143.000,00 = Rp95.250,00<br /><br />: 12 <br /><br />PenghitunganPPh Pasal 21 yangterutangselama bekeria padaPT MahakamUtama dalam tahun kalender 2OO9 (s.d. bulan <br />September2009)dilakukanpadasaatberhentibekeria: <br /><br />Gaji(Januaris.d.September<br /><br />2009) <br />9 x Rp 3.500.000,00 Rp31.500.000.00 <br /><br />Pengurangan'1. Biaya Jabatan: <br />5%x Rp 31.500.000,00 = Rp 1.575.000,00 <br /><br />2.luranoensiun <br />9 X Rp 100.000,00 = Rp 900.000,00 <br />Rp2.475.000,00 <br /><br />neto 9 bulan adalah<br /><br />Penghasilan Rp29.025.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-untuk<br /><br />wP sendiri Rp 1s.840.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />KenaPajak Rp 13.185.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21terutang <br />5% x Rp 13.185.000,00Rp 659.250,00 <br /><br />= <br /><br />PPhPasal21 terutang untuk masa <br />Januaris.d.September = 659.250,00<br /><br />2009adalah RpPPhPasal 21 yangsudahdipotongsampai <br />denganBulanAgustus2009: <br />I x Rp95.250,00= Rp 762.000,00 <br /><br />PPhPasal21 lebih dipotong Rp 102.750,00 <br /><br />Catatan: <br /><br />KelebihanpemotonganPPh Pasal 21 sebesar Rp 102.750,00 <br />dikembalikanoleh PT Mahakam Utama kepada yangbersangkutanpadasaatpemberian PPh Pasal .<br /><br />buktipemotongan 21 <br /><br />24 <br /><br /><br /> <br />1.6.2.2 PegawaiBerhenli Bekeria Pada Tahun Berialan dan Sekaligus <br />KehllanganKewaiibanPaiakSubiektif <br />LewisOshea(l(3) mulaibekerja Mei 2004 dan berhenti bekerja seiak <br />1 Juni 2009 dan meninggalkan Indonesia ke negara asalnya <br />(kehilangan Selama<br /><br />kewajibanpajaksubjektif). tahun 2009 menerima <br />gaji perbulan sebesar danpadabulanApril2009<br /><br />Rp 15.000.000,00 <br />menerimabonussebesarRp 20.0000.000,00 <br /><br /><br />A, Penghllungan PPh Pasal 21 atasgaiiadalah: <br />Gaii sebulan Rp15-000.000,00 <br />Pengurangan<br /><br />: <br />Biaya Jabatan <br />5% x Rp 15.000.000 Rp 750.000,00 <br /><br /><br />= <br />Maksimumdiperkenankan Rp 500.000,00 <br /><br />PenghasilanNeto atas gajisebulan Rp 14.500.000,00 <br /><br /><br />PenghasilanNeto disetahunkan: <br />12 x Rp 14.500.000,00 Rp 174.000.000,00 <br /><br /><br />PrKP(r(3) <br /><br />-unrukwajibPajak Rp 15.840.000,00 <br />-<br /><br />tambahanWP kawin Rp 1 .320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahan3 orang anak <br />(3x Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 <br /><br />Rp 21 .120.000,00 <br /><br />Kena Pajak <br /><br />Penghasilan Rp 152.880.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 atas gajisetahun: <br />5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00 <br />15%x Rp102.880.000,00 Rp 15.432.000,00 <br /><br />Rp 17.932.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 atas gajisebulan <br />Rp 17.932.000,00 : 12 = Rp 1.494.333,00 <br /><br />B. PenghitunganPPh Pasal 21 atasgaiidan bonus: <br />Gaji disetahunkan <br />(12x Rp 15.000.000,00) Rp180.000.000,00 <br />Bonus Bp 20.000.000,00 <br />Rp200.000.000,00 <br /><br />Pengurangan<br /><br />: <br />BiayaJabatan: <br />5% x Rp200.000.000,00 Rp 10.000.000,00 <br /><br />= <br />Maksimumdiperkenankan <br />12 x Rp.500.000,00 Rp 6.000.000,00 <br /><br />Penghasilan dan bonusRp194.000.000,00 <br /><br />Neto atas gajisetahun <br /><br />25 <br /><br /><br /> <br />PrKP (|(3) <br /><br />-<br /><br />untukWaiibPajak Rp15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanWPkawin Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahan3 orang anak <br />(3x Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 <br />Rp 21.120.000,00 <br /><br />PenghasilanKenaPajak Rp172.880.000,00 <br />PPhPasal 21 alas gajisetahun dan bonus: <br />5% x Rp 50.000.000.00 Rp 2.500.000,00 <br />15% x Ro122.880.000.00 Rp 18.432.000,00 <br /><br />Rp 20.932.000,00 <br /><br />C. PenghitunganPPh Pasal 21 atas Bonus: <br />Rp 20.932.000,00 Rp 17.932.000,00= 3.000.000,00<br />-<br /><br />Rp <br /><br />D. Penghitungankembali PPh Pasal 21 terutang pada saat <br />pegawaiyang bersangkutanberhenti dan meninggalkan <br />Indonesiauntuk selama-lamanya, dicantumkan dalam <br />yang <br />Form|721 A1: <br /><br /><br />Gaji selama 5 bulan <br />(5x Rp 15.000.000,00) Bp 75.000.000,00 <br />Bonus Rp 20.000.000,00 <br /><br />Jumlah penghasilan<br /><br />seluruh selama5 bulan Rp9s.000.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br />BiayaJabatan: <br />5%x Rp 95.000.000,00 Rp 4.750.000,00 <br /><br /><br />= <br />Maksimumdioerkenankan <br />5 x Rp. 500.000,00 = Rp 2.500.000,00 <br /><br /><br />PenghasilanNetoselama5 bulan Rp 92.500.000,00 <br />Jumlahseluruh neto diselahunkan <br /><br />penghasilan <br />12i5 x Rp 92.500.000,00 Rp222.000.000,00 <br /><br />PTKP(I(3) <br />-<br /><br /><br />untukwajib Pajak Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanWP kawin Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahan3 oranganak <br />(3x Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 <br /><br /><br />Rp 21 .120.000,00 <br /><br />Kena Pajak <br /><br />Penghasilan Rp 200.880.000,00 <br /><br />PPhPasal21atasgajisetahundanbonus: <br />5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00 <br />15%x Rp150.880.000,00 Rp 22.632.000,00 <br /><br />Rp 25.132.000,00 <br /><br />PPhPasal 21 terutang ataspenghasilan5 bulan: <br />-<br /><br /><br />5/12x Rp 25.132.000,00 Rp 10.471.667,00 <br /><br />* <br /><br />26 <br /><br /> <br />PPhPasal 21 telah dipotong sampai dengan <br />bulan April 2009 atas gajidan bonus: <br />(4x Rp 1.494.333,00)<br /><br />+ Rp3.000.000,00= Rp 8.977.333,00 <br />PPhPasal21terutangdan harus dipotong <br />Untuk bulan Mei 2009 = Ro 1.494.333.00 <br /><br />Catatan: <br />Cara penghitungandi atas berlaku juga bagi pegawai yang <br />kehilangan kewajiban subiektifnyapada tahun berjalankarena <br />meninggal<br /><br />dunia. <br /><br />PEMOTONGAN YANG <br />SEBAGIANATAUSELURUHNYA DALAM MATA UANGASING <br /><br />1.7 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN <br />DTPEROLEH <br /><br />NeillMc Leary adalah seorangkaryawan gaji pada bulanJanuari<br /><br />memperoleh 2009 <br />dalam mata uang asing sebesarUS$ 2,000 sebulan.Kursyangberlakuuntuk bulan <br />Januari 2009 berdasarkanKeputusanMenteriKeuanganadalah Rp 11.250,00 per <br />US$ 1.00. Neill Mc Leary berstatusmenikahdengan1 anak, <br /><br />Penghitungan 21 adalah'. <br /><br />PPhPasal <br />Gaji sebulan adalah: <br />US$ 2,000 x Rp 11.250,00 Rp 22.500.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br />BiayaJabatan <br />5% x Rp 22.500.000,00<br /><br /><br />= Rp 1.125.000,00 <br />Maksimumdiperkenankan Rp 500.000,00 <br /><br />netosebulan<br /><br />Penghasilan Rp 22.000.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />netosetahun <br />12 x Rp 22.000.000,00 Rp 264.000.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untuk WP sendiri Bp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah BD 1.320.000.00 <br /><br />-<br /><br />tambahan untuk 1 orang anak Rp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 18.480.000,00 <br /><br />PenghasilanKenaPajak Rp 245.520.000,00 <br /><br />PPhPasal 21 terutang setahun <br />-<br /><br /><br />5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.s00.000,00 <br />15% x Rp 195.520.000,00 -Rp 29.328.000,00 <br /><br /><br />Rp 31 .828.000,00 <br /><br />PPhPasal 2l sebulan: <br />Rp31.828.000,00: Rp 2.652.333,00<br /><br /><br />l2= <br /><br />nt <br /><br /><br /> <br />PPh PASAL21 SELURUH ATAUSEBAGIAN DITANGGUNG OLEHPEMBERI <br />KERJA <br /><br />DalamhalPPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggungolehpemberikerja,pajakyangditanggungpemberikerja tersebuttermasuk dalam pengertiankenikmatan <br />sebagaimanadimaksuddalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan bukan merupakan <br /><br />penghasilan yangbersangkutan.<br /><br />pegawai <br /><br />Arip Mulyanaadalahseorangpegawaidari PT Lautan Otomata dengan status <br />menikahdan mempunyai 3 orang anak. Dia menerimagajiRp 4.00O.OOO,OO <br /><br />sebulan <br />danPPhditanggungolehpemberikerja.Tiap bulan ia membayar iuranpensiunke <br />danapensiunyang pendiriannya <br /><br />telah disahkan oleh Menteri Keuangansebesar <br />Rp 150.000.00 <br /><br />Gaji sebulan Rp 4.000.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1 . Biaya Jabatan <br />5% x Rp 4-000.000,00 Rp 200.000,00<br />2.luranpensiun Rp 150.000,00 <br />Rp 350.000,00 <br /><br />netosebulan<br /><br />Penghasilan Rp 3.650.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto setahun <br />12 x Rp 3.650.000,00 Rp 43.800.000,00 <br /><br />PTKP <br />-<br /><br />untukWPsendiri Rp15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanuntuk3 orang anak Rp 3.960.000,00 <br /><br />Rp 21.120.000,00 <br /><br />KenaPaiak<br /><br />Penghasilan Rp 22.680.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21setahunadalah <br />5% xRp 22.680.000,00 =Rp 1.104.000,00 <br /><br />PPh Pasal 2l sebulan: <br />Rp 1.134.000,00: = 94.500,00<br /><br /><br />12 Bp <br /><br />PPhPasal 21 sebesarRp94.500,00 dandibayar<br /><br />ini ditanggung olehpemberikerja.<br />JumlahsebesarRp 94.500,00 tidakdapat dikurangkan dari penghasilanBruto <br />pemberikerjadanbukanmerupakanpenghasilan pajakkepada Arip <br /><br />yangdikenakan <br />Mulyana. <br /><br />selainpemerintahPajakyang pengenaanpajaknyaberdasarkanPph final atau berdasarkan norma <br />penghitungankhusus (deerned profitl, maka kenikmatan berupa pajak yang <br />ditanggungpemberikerjaditambahkanke dalampenghasilandari pegawai yang <br />bersangkutan, pajaknya sesuaicontohNomor 1.9. <br /><br />NamunapabilapemberikerjaadalahbukanWajibPajak atau Wajib <br /><br />danpenghilungan dilakukan <br /><br />28 <br /><br /><br /> <br />I.9 <br />PENGHITUNGANPEMOTONGANPPhPASAL 21 TEHHADAP PEGAWAITETAP <br />YANG MENERIMA TUNJANGANPAJAK <br />Dalamhal kepada pegawaidiberikantunjanganpajak,maka tunjangan pajaktersebut <br />merupakanpenghasilan pegawai yang bersangkutandan ditambahkan pada <br />penghasilan<br /><br />yangditerimanya. <br /><br />Contohpenghitungan: <br /><br />Peri lrawan (statuskawindengan 3 orang anak) bekerja padaPTKartika Kawashima <br />PionirindodenganmemperolehgajisebesarRp 2.500.000,00 Kepada<br /><br />sebulan. Peri <br />lrawandiberikantunjanganpajaksebesarRp 25.000,00. luranpensiunyangdibayar <br />olehPerilrawan adalah sebesar sebulan.<br /><br />RD 25.000.00 <br /><br />PenghitunganPPh Pasal 21 adalah : <br />Gajisebulan Rp 2.500.000,00 <br /><br /><br />Tunjanganpajak <br />Bp 25.000,00 <br /><br /><br />brutosebulan<br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.525.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1.BiayaJabatan <br />5%xRp 2.525.000,00 = Rp 126.250,00 <br />2.luranpensiun <br />= Rp 25.000,00 <br />Rp 151.250,00 <br /><br />netosebulan<br /><br />Penghasilan <br />Rp 2.373.750,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto setahun <br />12 x Rp 2.373.7s0,00 Rp 28.485.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untuk wP sendiri Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanuntuk3 orang anak Rp 3.960.000,00 <br /><br />Rp 21.120.000,00 <br /><br />PenghasilanKenaPajak <br />Rp 7.365.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 setahun adalah 5o/" x Rp 7.365.000,00 = Rp 368.250,00 <br /><br />-<br /><br />PPh Pasal 21 sebulan adalah Rp 368.250,00: 12 Rp 30.688,00 <br /><br />Selisihpajakterutangdengan tunjangan pajakadalah Rp 30.688,00 -Rp 25.000.00= <br />Rp 5.688,00 dapat ditanggung oleh pegawaitersebutyaitudengan dipotongkan dari <br />penghasilanbulanyangbersangkutanatau ditanggung olehpemberikerja/pemotong <br />pajak. <br /><br />Apabilaselisih sebesar Bp 5.688,00 tersebut ditanggung olehpemberikerja/pemotong <br /><br />pajakmakajumlahtersebut bukan merupakan biayayangdapat dikurangkan dalam <br /><br />menghitung Penghasilan Kena Pajak pemberikerja/pemotongpajak. <br /><br />29 <br /><br /><br /> <br />I.1O <br />PENGHITUNGANPPh PASAL 21 ATAS PENERIMAANDALAM BENTUK NATURA <br />DAN KENIKMATAN LATNNYAYANG DIBERIKAN OLEH WAJIB PAJAK YANG <br />PENGENAAN PAJAK PENGHASILANNYA BERSIFAT FINAL ATAU <br />BERDASARKANNORMAPENGHITUNGANKHUSUS(DEEMED PROFIN <br /><br />Qalbun Junaidi adalahwarga negara Rl yang bekerjapada suatu perwakilandagang <br />asingyangpengenaanpajaknyamenggunakannormapenghitungankhusus(deemed <br />profit), memperclehgaji sebesar Rp 1.500.000,00 sebulan beserta beras 30 kg dan <br />gula 10 kg. Qalbun Junaidi berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nllai uang dari <br />beras dan guladihitungberdasarkan harga pasar yaitu : <br /><br />perkg. <br />Hargagula : Rp 8.000,00perkg. <br /><br /><br />Harga beras : Rp 10.000,00 <br /><br />Penghitungan 21<br /><br />PPh Pasal <br /><br />Gaji sebulan Rp 1 .500.000,00 <br />Beras: 30 x Rp 10.000,00 Rp 300.000,00 <br />Gula : 10 x Rp 8.000,00 Rp 80.000,00 <br /><br />brutosebulan<br /><br />Penghasilan <br />Rp 1.880.000,00 <br /><br />Pengurangan<br /><br />: <br />BiayaJabatan <br />5% x Rp 1.880.000,00 Rp 94.000,00 <br /><br />neto sebulan <br /><br />Penghasilan <br />Rp 1.786.000,00 <br /><br />Penghasilanneto setahun <br /><br />12xRp I.786.000,00 <br />Rp 21 .a32.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri <br />Rp 15-840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanuntuk 1 orang anak Rp 1 .320.000,00 <br /><br />Rp 18.480.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak <br />Rp 2.952.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 setahun adalah <br /><br />5% x Rp 2.952.000,00 Rp 147.600,00 <br /><br />= <br /><br />PPhPasal 21 sebulan: <br /><br />Rp 147.600,00: <br /><br />12 Rp 12.300,00 <br /><br />I.11 <br />PerhitunganPPh Pasal 21 Bagi Pegawai TetapyangBaru Memiliki NpWp pada <br />TahunBerialan <br />WahyuSantosa,status belum menikah dan tidak memiliki tanggungankeluarga, <br />bekerjapadaPTFaiar Sejahtera dengan memperoleh gajidan tunjangan setiap bulan <br />sebesar Rp5.500.000,00, membayar<br /><br />danyangbersangkutan iuranpensiunkepadaperusahaanDana Pensiun telah disahkan Keuangan<br /><br />yang pendiriannya oleh Menteri <br />setiapbulan sebesar Rp200.000,00. baru memiliki <br /><br />WahyuSantosa NPWPpadabulan <br />Juni 2009 dan menyerahkanfotokopi kartu NPWP kepada PT Fajar Sejahtera untuk <br />digunakansebagai PPh Pasal <br /><br />dasarpemotongan 21 bulan Juni. <br /><br />30 <br /><br /> <br />Perhitungan harusdipotongsetiapbulan untuk bulanJanuari-Mei<br /><br />PPhPasal 21 yang <br />2009adalahsebagaiberikut: <br /><br /><br />sebulan<br /><br />Gaji dan tun.iangan Rp 5.500.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br /><br />1. BiayaJabatan <br />5% x Rp 5.500.000,00 = Rp 275.000,00 <br />2. luranpensiun: Rp 200.000,00 <br />Rp 475.000,00 <br />Penghasilan sebulan<br /><br />Neto atas gajidan tunjangan Rp 5.025.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />Netosetahun: <br />12 x Rp 5.025.000,00 Rp 60.300.000,00 <br /><br /><br />PrKPOl(0)<br /><br />-<br /><br />untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00 <br /><br />Kena Pajak <br /><br />Penghasilan Rp 44.460.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21ataspenghasilan<br /><br />setahun: <br />5ol"x Rp 44.460.000,00 Rp 2.229.000,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21atasgajisebutan <br />Rp 2.223.000.00: 12 = Rp 185.250,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21yangharusdipotong yangbersangkutan memilikiNpWp:<br /><br />karena belum <br />120%x Rp 185.250,00= Rp 222.300,00 <br /><br /><br />Jumlah PPh Pasal21yangdipotong <br /><br />dariJanuari-Mei2009= S x Rp 222.900,00 = Rp 1.111.500,00 <br />JumlahPPhPasal21 terutang apabila <br />YangbersangkutanmemilikiNPWp= <br /><br />5 x Rp 185.250.00 = Rp 926.250,00 <br /><br />Selisih (20% x 5 x Rp 185.250,00) -Rp 185.250,00 <br /><br />PenghitunganPPh Pasal 21 terutang dan yangharusdipotonguntuk bulan Juni 2009, <br />setelah yang bersangkutanmemilikiNPWPdan menyerahkan fotokopikartu NpWp <br />kepadapemberikerja,dengancatatangajidantunjanganuntuk bulan Juni2OO9tidak <br /><br />berubah,adalahsebagaiberikut: <br /><br />PPhPasal21 terutang sebulan (sama denganPerhitungan Rp 185.250,00<br /><br />sebelumnya) <br />Diperhitungkan pemotongan<br /><br />dengan atastambahan <br />20%sebelummemiliki 2009)<br /><br />NPWP(Januari-Mei <br />2oo/ox5xRD I85.250.00 (Rp 185.250,00) <br /><br />PPh Pasal 21yangharusdipotongbulanJuni 2OOg Nihil <br /><br />Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2009 dan <br />menyerahkanfotokopikartu NPWP sebelumpemotonganpph pasal 21 untuk bulan <br />Desember2009, dengan asumsipenghasilansetiap bulan besarnyasama dan tidak <br />ada penghasilanlain selain penghasilantetap dan teratur setiap bulan tersebut, maka <br />perhitunganPPh Pasal 21 yang harus dipotong padabulan Desember 2OO9 adalah <br />sebagaiberikut: <br /><br /> <br />PPhPasal21 terutang sebulan(samadengan <br />Perhitungansebelumnya) Rp 185.250,00 <br />Diperhitungkandenganpemotongan<br /><br />atas tambahan <br />20% sebelum NPWP(Januari-November<br /><br />memiliki 2009) <br />20/.x 11 x Rp 185.250,00 (Rp 407.550,00) <br /><br />PPh Pasal 21yangharus dipotong bulan Desember 2009 (Rp 222.300,00) <br /><br />Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21 <br />terutang untuk bulan Desember 2009, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus <br />dipotong untuk bulan iersebut adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 222.300,00dapat <br />diperhitungkandengan PPh Pasal 21 untuk bulan-bulan selanjutnya dalam tahun <br />kalenderberikutnya.Karenajumlahtersebut sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal <br />21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya,jumlahtersebut tidak termasuk dalam kredit <br />pajak yang dapat diperhitungkanoleh pegawai tetap dalam Surat Pemberitahuan <br />TahunanPajak Penghasilan Wajib Pajak OrangPribadiyangbersangkutan. <br /><br />PerhitunganPPhPasal 21 terutang untuk tahun 2009, dimana Wahyu Santosa sudah <br />memiliki NPWP padaakhir bulan November 2009 sebelum pemotonganPPhPasal 21 <br />bulan Desember 2009adalah sebaoai berikul: <br /><br />Gaji dan tunjangan setahun: <br />Bp 5.500.000,00 Rp 66.000.000,00 <br /><br /><br />x 12 <br />Pengurangan<br /><br />: <br />BiayaJabatan <br />5% x Rp 66.000.000,00Rp 3.300.000,00<br /><br />= <br />luranpensiun: <br />Rp 200.000,00x 12 = Rp 2.400.000,00 <br /><br />Rp 5.700.000,00 <br /><br />PenghasilanNeto setahun Rp 60.300.000,00 <br /><br />PrKP(Tlvo) <br />-<br /><br />untukWajib Pajak Rp 15.840.000,00 <br /><br />KenaPajak<br /><br />Penghasilan Rp 44.460.000,00 <br /><br />21 atas penghasilan <br />5% x Rp 44.460.000,00 Rp 2.223.000,00 <br /><br /><br />PPhPasal setahun: <br /><br />PPhPasal21yangtelah dipotong: <br />Bulan Januari -November2009 <br />1l xRp222.300 = Rp 2.445.300,00 <br />Bulan Desember 2009 =Rp 0,00 <br /><br />Rp .2.445.300,00 <br /><br />PPh Pasal 21 lebih dipotonguntuk diperhitungkan <br />padabulan selanjutnya tahun kalender 222.3OO,OOI<br /><br />dalam berikutnya(Rp <br /><br />Karenajumlahsebesar Rp 222.300,00 sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 <br />terutangbulan berikutnya oleh Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlahyangdapai <br />dikreditkandalamSurat Pemberitahuan Wajib Pajak <br /><br />Tahunan Pajak Penghasilan <br />Orang Pribadi pegawai sebesar<br /><br />yangbersangkutan Rp 2.223.9Qo,o0 <br /><br />32 <br /><br />t <br /><br /> <br />1.12 PenghitunganPPh Pasat 2i yang HarusDipotongPadaMasa Paiak Terakhir,<br />yaitu: <br />a. <br />BulanDesemberuntukPegawaiTetapyangBekeriasampaidenganakhir <br />tahunkalender; <br />b, <br />BulanTerakhirMemperolehGaliataupenghasilanTetapdan Teratur Karena <br />yangBersangkutanBerhentiBekeria. <br /><br />1.12.1PenghitunganPPh Pasal 21yangHarusDipotongpadaBulan Desember. <br />a. DalamHal Penghasilan Tetapdan Teratur Setiap Bulan Sama/TidakBerubah,makaiumlahPPh Pasal 21yangharus dipotong padabulan <br />Desemberbesarnyasama dengan yangdipotongpadabulan-bulan <br />sebelumnya. <br /><br />b. DalamHal Besarnya PenghasilanTetapdan Teratur Setiap Bulan <br />MengalamiPerubahan, <br />Jaka Lelana, statusbelummenikahdan tidak memilikitanggungankeluarga,<br />bekerja pada PT LazuardiInternusadengan memperoleh gajidan tunjangln <br />setiapbulan sebesar Rp 5.500.000,00, membayar<br /><br />danyangbersangkutaniuranpensiunkepadaperusahaanDanapensiunyangpendiriannya<br /><br />telah <br />disahkanoleh Menteri Keuangansetiap bulan sebesarRp 200.000,00. <br /><br />Mulai <br />bulanJuli 2009, Jaka Lelana memperoleh penghasilan<br /><br />kenaikan tetap setiap <br />bulanmenjadisebesarRp2.000.000,00. <br /><br />PerhitunganPPhPasal21 yangharus dipotong setiapbulan untuk bulan <br /><br />Januari-Juni2009adalahsebagaiberikut: <br />Gajidan tunjangan sebulan <br />Pengurangan: <br />Rp 5.500.000,00 <br />BiayaJabatan <br />5% x Rp 5.500.000,00= Rp 275.000,00 <br />luranpensiun: = Rp 200.000,00 <br />Rp 47s.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />Netoatasgajidan tunjangan sebulanRp 5.025.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />Netosetahun:'12x Rp 5.025.000,00 Rp 60.300.000,00 <br /><br />PTKP (lvo) <br /><br />-<br /><br />untukwajibPajak <br />Rp 15.840.000,00 <br /><br />KenaPajak<br /><br />Penghasilan <br />Rp 44.460.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 atas gajisetahun: <br />5% x Rp 44.460.000,00 Rp 2.223.000,00 <br /><br />PPhPasal21 atas gajisebulan <br />Rp 2.223.000,00: Rp 185.250,00<br /><br />12 = <br /><br />PPhPasal21yangharusdipotongNovember2009adalahsebagaiberikut: <br /><br />Perhitungan <br />setiap bulan untuk bulan Juli-<br /><br />Gaji dan tunjangansebulan Rp 7.000.000,00 <br />Pengurangan: <br />BiayaJabatan <br />5olox Rp 7.000.000,00Rp 350.000,00 <br /><br />= <br />luranpensiun: = Rp 200.000,00 <br />Rp 550.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />Netoatasgaiidan tunjangan sebulan Rp 6.450.000,00 <br /><br />33 <br /><br /> <br />Penghasilan<br /><br />Neto setahun: <br />12 x Rp 6.450.000,00 Rp 77.400.000,00 <br />PTKP(TKO) <br />-<br /><br />untukWajibPajak <br />Rp 15.840.000,00 <br /><br />PenghasilanKenaPajak <br />Rp 61.560.000,00 <br /><br />PPhPasal21ataspenghasilan<br /><br />setahun: <br />5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,0015%x Rp 1 1 .s60.000,00 Rp 1.734.000,00 <br /><br />Rp 4.234.000,00 <br /><br />PPhPasal21yangharusdipotongsetiapbulan: <br />Rp 4.234.000,00: =<br /><br />12 Rp 3s2.833,00 <br /><br />PPh Pasal dipotongPenghasilan setahun: <br /><br />Perhitungan 21yangharus padabulan Desember 2OOg:<br /><br />selama <br />(6x Rp 5.500.000,00) =<br /><br />+ (6x Rp 7.0OO.OOO,O0) Rp 75.000.000,00 <br />Pengurangan: <br />BiayaJabatan: <br />5% x Rp 75.000.000,00 = Rp3.750.000,00<br />lurangPensiun: <br /><br /><br />12x Bp 200.000,00 = Rp 2.400.000,00 <br />Rp 6.150.000,00 <br /><br />PenghasilanNeto <br /><br />Rp68.850-000,00<br /><br />PTKP (TKO) <br /><br />-untuk wajib Pajak <br />Rp 15.840.000,00 <br />PenghasilanKenaPajak <br />Rp s3.010.000,00 <br /><br />PPhPasal2'l terutang: <br />5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00 <br />15% x Rp 3.010.000,00 Rp 451.500,00 <br /><br />Rp 2.951.500,00PPhPasal21yangtelahdipotongs.d. <br />November2009: <br /><br />(6x Rp 185.250,00)<br /><br />+ (5x Rp ss2.833,00) Rp 2.875.365,00 <br />PPh Pasal 21yangharusdipotongpadabulan <br />Desember2009 Rp 76.135,00 <br /><br />1.12.2PenghitunganPPhpasal2i yangHarusDipotongpadaBulanTerakhir <br />PegawaiTetapMemperolehpenghasllanTetapdan ieratur Karena yang <br />BersangkutanBerhentiBekeriasebelumBulan Desember <br /><br />pegawai<br /><br />Contoh:LihatContoh1.6.2. BerhentiBekeriapadaTahun Berjalan <br /><br />ll. <br />PENGHITUNGAN<br /><br />PPhPASAL21 ATAS UANG PENSIUN YANGDIBAYARKAN<br /><br />SECARA <br /><br />BERKALA(BULANAN) <br /><br />ll.1 <br />PenghitunganPPhPasal21 Pada TahunpertamaDibayarkannyaUangpensiun <br />Secara Bulanan <br />34 <br /><br /><br /> <br />11.1.1PenghilunganPPh Pasal 21di Tempat pemberiKeljaSebelumpensiun. <br />Apabilawaktupensiunsudah dapat diketahuidenganpasti pada awal tahun, <br />misalnyaberdasarkanketentuanyangberlaku di tempat pemberikeriayang <br />dikaitkandengan usia pegawaiyangbersangkutan,makaperhitunganpph <br />Pasal21terutangsebulan berdasarkan kenapajakyang<br /><br />dihitung penghasilan <br />akandiperolehdalamperiodedimanapegawaiyang bersangkutan<br /><br />akan <br />bekerjadalamtahunberjalansebelummemasukimasapensiun. <br /><br />Namun,apabila waktu pensiunbelumdapat diketahui denganpastipada <br />waktumenghitungPPh Pasal 21 yangterutang untuk setiap bulan, maka <br />penghitungan pada perkiraan penghasilan neto<br /><br />PPh Pasal 21 didasarkan <br />setahunsepertipadacontoh 1.6.2.1. Penghitungan PPh Pasal <br /><br />Pemotongan21 atas Penghasilan PegawaiyangMasihMemiliki Kewajiban Pajak SubjektifBerhentiBekerjapadaTahun Berialan. <br /><br />Contoh: <br />RadenSuryaman,berstatus kawin dengan 2 (dua)orang anak yangmasih <br />menjaditanggungan,bekerja sebagai pegawaitetappadapT IndoRejo Abadi <br />dengangajisebulansebesar RadenSuryaman<br /><br />Rp5.000.000,00. setiap bulan <br />membayariuranpensiun Rp 250.000,00 Swadhana<br /><br />sebesar ke Dana Pensiun <br />Utama yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. <br />Berdasarkanketentuanyangberlaku di PT Indo Rejo Abadi terhitung mulai 1 <br /><br />Juli 2009, RadenSuryamanakanmemasukimasapensiun. <br /><br />PenghitunganPPh Pasal 21 sebulan: <br /><br />Gaji sebulan <br />Rp 5.000.000,00 <br /><br />Pengurangan <br /><br />1 . Biaya jabatan: <br />5% X Rp 5.000.000,00 Rp 250.000,00 <br />= <br /><br />2.luranpensiun Rp 250.000,00 <br />Rp 500.000,00 <br /><br />Netosebulan<br /><br />Penghasilan Rp 4.500.000,00 <br /><br />PenghasilanNeto6 bulan (masabekerjaJanuaris.d. Juni 2009) <br />Rp 4.500.000.00 <br /><br /><br />x6 <br />Rp 27.000.000,00 <br /><br />PTKP <br />-<br /><br /><br />untukWPsendiri Ro 15.840.000.00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanuntuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00 <br /><br />Rp 19.800.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />KenaPajak Rp 7.200.000,00 <br />PPh Pasal 21 terutang: 5%x Rp 7.200.000,00 Rp 360.000,00 <br />PPhPasal21 terutang Bp 360.000,00 Rp 60.000,00<br /><br />sebulan: :6 <br /><br />Pada saat Raden Suryaman berhentl bekerla dan memasukl masa <br />pensiun,makapemberikeria memberikan bukti pemotonganPPh Pasal <br />21(Form1721A1l dengan data sebagai berlkut: <br /><br />Gaji selama 6 bulan : 6x Rp 5.000.000,00 Rp 30.000.000,00 <br /><br />35 ,l <br /><br /> <br />Pengurangan <br /><br />1 . Biaya jabatan: <br />5% X Rp 30.000.000,00 Rp 1.s00.000,00 <br />2.luranpensiun: <br />6 x Rp 250.000,00 Rp 1-500.000,00 <br />Rp 3.000.000,00 <br /><br />Netoselama<br /><br />Penghasilan 6 bulan Rp 27.000.000,00 <br /><br />PTKP: <br /><br />-<br /><br />untukWP sendiri Bp 15-840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-tambahan<br /><br />untuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00 <br /><br />Rp 19.800.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak Rp 7.200.000,00 <br /><br />PPhPasal2l terutang(5%x Rp 7.200.000,00) Rp 360.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 telah dipotong(6x Rp 60.000,00) Rp 360.000,00 <br /><br />PPhPasal21kurang(lebih)dipotong NIH IL <br /><br />pemotongan pada penghasilan <br />yangdisetahunkan,karenapadasaatperhitunganbelum diketahui secara <br /><br />Apabila PPh Pasal 21 seiiap bulan didasarkan <br /><br />pastisaatpensiunatau berhenti bekerja, maka padasaatpenghitunganpph <br /><br />Pasal 21 terutanguntuk masa terakhir(saatpensiunatau berhenti bekerja), <br /><br />akanterjadikelebihanpemotonganPPhPasal 21 ataspenghasilanpegawai <br /><br />yangbersangkutan,yangharusdikembalikanolehpemotong pajak kepada<br /><br />pegawaiyangbersangkutan. <br /><br />11.1.2PenghitunganPPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yangMembayarkanUang <br />PensiunBulanan. <br />Untuk kemudahan dan kesederhanaan yang pensiun <br /><br />bagipegawai dalam hal <br />yangbersangkutan penghasilan dari<br /><br />tidakmempunyai selain dari pekerjaan <br />satupemberikerja dan uang pensiun, menghitung<br /><br />Dana Pensiun pemotongan <br />PPhPasal 21 aias uang pensiunpadatahunpertamapegawaimenerima <br />uangpensiundenganberdasarkan penghasilan<br /><br />padagunggungan neto dari <br />pemberikerjasampai dengan pensiundanperkiraanuangpensiunyangakan <br />diterimadalamtahun kalender yangbersangkutan.<br /><br />AgarDanaPensiun dapat <br />melakukanpemotonganPPh Pasal 21 seperti itu, maka penerima pensiun <br />harus segera menyerahkan PPh Pasal 21 (Formulir.l721<br /><br />buktipemotongan A<br /><br /><br />'111721<br /><br />A-2) dari pemberikerja sebelumnya. <br /><br />Melanjutkan<br /><br />ContohSebelumnya: <br /><br />Selanjutnya,mulai bulan Juli 2009 Raden Suryamanmemperolehuang<br /><br />pensiundari Dana Pensiun Swadhana Utama sebesar Rp 3.000-000,00 <br /><br />sebulan. Penghitungan <br /><br />PPh Pasal 21 terutangatas uang pensiunadalah <br />sebagaiberikut. <br /><br />Pensiunsebulanadalah Flp 3.000.000,00 <br /><br />36 t <br /><br /> <br />Pengurangan: <br />Biayapensiun5% x Rp 3.000.000,00 <br /><br /><br />= <br />Penghasilan<br /><br />netosebulan <br />Penghasilan<br /><br />neto Juli s.d. Desember 2009 <br />6 x Rp 2.850.000,00 <br /><br />Penghasilannetodari PT Indo Rejo Abadi <br />sesuaidgn bukti pemotonganPPhPasal 21 adalah <br /><br />Jumlah neio tahun 2009<br /><br />penghasilan <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukwP sendiri <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah <br /><br />-<br /><br />tambahanuntuk 2 orang anak <br /><br />PenghasilanKenaPajak <br /><br />PPh Pasal 21 terutang adalah : <br />5% x RD 24.300.000.00<br /><br />= <br /><br />Rp 15.840.000,00 <br />Rp 1 .320.000,00 <br />Rp 2.640.000,00 <br /><br /><br />PPhPasal21 terutang di PT Indo Rejo Abadi <br />sesuaidenganbuktipemotongan<br /><br />PPh Pasal 21 <br />(Form1721A1) <br /><br />PPh Pasal 21 terutang padaDana Pensiun <br />SwadhanaUtama,selama6 bulan adalah <br /><br />Rp 150.000,00 <br /><br />Rp 2.850.000,00 <br /><br />Rp 17.100.000,00 <br /><br />"l 27.000.000,00 <br />Rp 44.100.000,00 <br /><br />Rp 19.800.000,00 <br />Rp 24.300.000,00 <br /><br /><br />Rp 1 .215.000,00 <br /><br /><br />Rp 360.000,00 <br />Rp 855.000,00 <br /><br /><br />PPhPasal21 atas uangpensiunyangharusdipotongtiapbulan adalah: <br />Rp855.000,00:6= Rp 142.500,00 <br /><br />PenghitungankembaliPPh Pasal 21 oleh Dana PensiunSwadhana <br /><br />Utamauntukdicantumkandalam Form 1721 A1l <br /><br />Pensiunselama6 bulan: 6 x Rp 3.000.000,00 <br /><br />Pengurangan: <br />Biayapensiun: <br />5% x Rp 18.000.000,00 <br /><br /><br />= <br />Penghasilan<br /><br />neto6 bulan <br />Penghasilan<br /><br />netodari PT Indo Rejo Abadi <br />sesuaidengan PPh Pasal <br /><br />buktipemotongan 21 <br />adalah <br /><br />Jumlah neto tahun 2009 <br /><br />penghasilan <br />PTKP <br /><br />Rp 18.000.000,00 <br /><br /><br />Rp 900.000,00 <br />Rp 17.100.000,00 <br /><br /><br />*l 27.000.000,00 <br />Rp 44.100.000,00 <br /><br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahanuntuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00 <br /><br />Rp 19.800.000,00 <br /><br />/ <br /><br /> <br />Penghasilan<br /><br />Kena Pajak <br />Rp 24.900.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21terutangadalah: <br /><br />5% x Rp 24.300.000,00 <br />Rpj.215.000,00<br /><br />= <br /><br />PPhPasal21 terutang di PT Indo Rejo Abadi <br />sesuaidenganbuktipemotongan PPh Pasal 21 <br />(Form172141) Rp 360.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21terutangpadaDanaPensiun <br />SwadhanaUtama,selama6 bulan adalah Rp B55.OOO,O0 <br /><br />PPhPasal21 telah dipotong:6 x Rp 142.500,00 Rp 855.000,00 <br /><br />PPhPasal21kurang(lebih)dipotong <br />NIHIL <br /><br />ll.2 <br />PenghitunganPPhPasal 21 Atas pembayaranUangpensiunSecara Bulanan <br />PadaTahunKeduadanSetetusnya. <br />Denganmenggunakan <br />penghitungan<br /><br />contohsebelumnya, pph pasal 21 atas uang <br />pensiunbulananmulaiJanuari2010 (tahun yangbersangkutan adalah<br /><br />kedua pensiun)<br />sebagaiberikut. <br /><br />Pensiunsebulanadalah <br />Rp 3.000.000,00<br /><br />Pengurangan: <br />Biayapensiun <br />=<br /><br /><br />5% x Bp 3.000.000,00 <br />Rp 150.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto sebulan <br />Rp 2.850.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />neto disetahunkan <br />12x Rp 2.850.000,00 Rp34.200.000,00 <br /><br />PTKP: <br /><br />-<br /><br />untukWP sendiri <br />Rp 15.840.000,00 <br /><br />-<br /><br />tambahankarenamenikah Ro 1.320.000.00 <br /><br />-<br /><br />tambahanuntuk2 orang anak Rp 2.640.000,00 <br /><br />Bp 19.800.000,00 <br /><br />Penghasilan<br /><br />Kena Pajak <br />Rp 14.400.000,00 <br /><br />PPhPasal21 setahun: <br />5%xRp 14.400.000,00 Rp720.000,00<br /><br /><br />= <br /><br />PPhPasal21 sebulan <br />Rp 720.000,00 : 12 = Rp 60.000,00 <br /><br /><br />III. <br />PENGHITUNGANPEMOTONGANPPh PASAL 21 TERHADAPPENGHASILAN <br />PEGAWAIHARIAN,TENAGA HARIAN LEPAS. PENERIMA UPAH SATUAN.DAN <br />PENERIMAUPAH BORONGAN <br /><br />III.1 <br />DENGANUPAHHARIAN <br />lll.1.1 Sentot dengan status belum menikahpadabulan Januari 2009 bekerja <br />sebagaiburuhharianpadaPT Harapan Sentosa. la bekerja selama 10 hari <br />danmenerimaupah harian sebesarRD 150.000,00. <br />38 <br /><br /> <br />Penghitungan<br /><br />PPh Pasal 21 terutang: <br />Upah sehari Rp 15O.OO0,OO <br />Dikurangibatasupahharianiidak dilakukan <br /><br />pemotongan<br /><br />PPh Rp 150.000,00 <br /><br />PenghasilanKena Pajak Sehari Rp 0,00 <br />PPhPasal21dipotongatasUpah sehari: Rp O,OO <br /><br />Sampai dengan hari ke-8, karenajumlahkumulatifupahyangditerimabelum <br />melebihiRp 1.320.000,00, 21yangdipotong.<br /><br />maka tidak ada PPh Pasal <br /><br />Pada hari ke-gjumlahkumulatifupahyangditerimamelebihiRp1.320.000,00, <br />makaPPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan<br /><br />upah setelah dikurangt <br />PTKPyangsebenarnya. <br /><br />Upahs.d hari ke-9 (Rp150.000,00 Rp 1.3S0.O0O,OO <br /><br />x 9) <br />PTKPsebenarnya: <br />9x (Rp15.840.000,00<br /><br /><br />/ 360) Rp 396.000,00 <br />PenghasilanKena Pajak s.d hari ke-g Rp 954.000,00 <br /><br />PPh Pasal 2l lerutang s.d hari ke-g <br />5% x Rp 954.000,00 Rp 47.700,OO <br />PPh Pasal 21yangtelah dipotong s.d hari ke-8 Rp O,OO<br /><br />-;;.til^tt <br />PPh Pasal 21yangharus dipotong padahari ke-g <br /><br />il <br />Sehinggapadahari ke-g, upah bersih yangditerimaSentot sebesar: <br /><br />-<br /><br />= <br />l\4isalkan PPhPasal21 <br /><br />Rp 150.000,00 Rp47.7O0,0ORp 102.300,00 <br /><br />Sentot bekerja selama10 hari, maka penghitungan <br />yang harus dipolong padaharike-10 adalah sebagai berikut: <br />Padahari kerja ke-10, jumlahPPhPasal21yangdipotongadalah: <br />Upah sehari Rp 150.000,00 <br />PTKPsehari <br /><br />-<br /><br />(Rp15.840.000,00 Rp <br />Penghasilan Rp 106.000,00 <br /><br />untukWP sendiri :360) 44.000,00 <br /><br />Kena Pajak <br /><br />PPh Pasal 21 terutang <br />5% x Rp 106-000,00 Rp 5.300,00 <br />Sehinggapadahari ke-10, Sentotmenerimaupah bersih sebesar: <br /><br />-<br /><br />Rp 150.000,00 Rp 5.300,00 = Rp 144.700,00 <br /><br />lll.1.2 TeguhGunanto(belummenikah)pada bulan Maret 2009 bekerja pada <br />perusahaanPTGerbangTransindo,menerimaupah sebesar Rp 200.000,00 <br />perhari. <br />Penghitungan 21 Upah sehari Rp 200.000,00 <br /><br />PPhPasal <br />Upah sehari di atas Rp 150.000,00<br /><br /><br />adalah: <br /><br />-<br /><br />=<br /><br />Rp 200.000,00 Rp150.000,00Rp 50.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 =5%x Rp 50.000,00 = Rp 2.500,00 (harian) <br /><br />39 <br /><br /> <br />Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan,Teguh Gunanto <br />telah menerima penghasilansebesar Rp 1 .400.000,00, sehingga telah <br />melebihi Rp 1.320.000,00.Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan <br />TeguhGunantopadabulan Maret 2009 dihitung sebagaiberikut : <br /><br />Upah 7 hari kerja Rp 1.400.000,00 <br /><br /><br />PTKP: <br />7 x (Rp15.840.000,00/360) Rp 308.000,00 <br /><br /><br />KenaPajak<br /><br />Penghasilan Rp 1.092.000,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21=5%x Rp 1.092.000,00 Rp 54.600,00 <br /><br /><br />PPhPasal21yangtelah dipotong s.d. hari ke-6: <br />6 x Rp 2.500,00 Rp 15.000,00 <br /><br /><br />PPh Pasal 21yangharus dipotong padahari ke-7 Rp 39.600,00 <br /><br /><br />Jumlah sebesar Rp39.600,00inidipotongkan<br /><br /><br />dari upah harian sebesar Rp <br /><br />200.000,00sehinggaupahyangditerimaTeguhGunantopadahari kerja ke-7 <br />adalah: <br />Rp200.000,00-Rp39.600,00= Rp 160.400,00 <br /><br />Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang <br />bersangkutan,<br /><br />jumlahPPh Pasal 2l perhariyangdipotongadalah: <br /><br />Upahsehari Rp 200.000,00 <br /><br />PTKP <br /><br />-<br /><br />untukWPsendiri <br />Rp 15.840.000,00 : 360 Rp 44.000,00 <br /><br />PenghasilanKenaPajak Rp 156.000,00 <br /><br />PPhPasal21terutang 5% x Rp 156.000,00= <br /><br />adalah Rp 7.800,00 <br /><br />III.2 DENGANUPAHSATUAN <br />Urip Firmanto (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai <br />perakitTV pada suatu perusahaanelektronika.Upah yang dibayar berdasarkan atas <br />jumlahunivsatuanyangdiselesaikanyaituRp50.000,00perbuah TV dan dibayarkan <br />tiap minggu.Dalam waktu l.minggu (6 hari kerja) dihasitkan sebanyak 24 buah ry <br />dengan upah Rp1.200.000,00. <br /><br />Penghitungan 2l : <br /><br />PPhPasal <br /><br />Upah sehari adalah <br />Rp 1.200.000,00 Rp 200.000,00<br /><br />: 6 <br /><br />Upah diatas Rp 150.000,00 <br /><br />sehari <br />Rp 200.000,00 Rp 150.000,00 Rp 50.000,00<br /><br />-<br /><br />Upah seminggu terutangpajak <br />6 x Rp 50.000,00 Rp 300.000,00 <br /><br />PPh Pasal 2 1 <br />5ol"x Rp 300.000,00 Rp 15.000,00 <br /><br /><br />= (Mingguan) <br /><br />40 <br /><br /><br /> <br />DENGANUPAH BORONGAN <br /><br />ContohPenghitungan: <br /><br />Viko mengerjakandekorasisebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp <br /><br />350.000,00, diselesaikan<br /><br />pekerjaan dalam2 hari. <br /><br />Upah borongan sehari : 2 Rp 175.000,00 <br /><br />: Rp 350.000,00 = <br /><br />UpahseharidiatasRp 150.000,00 <br /><br />-<br /><br />Rp 175.000,00 Rp 150.000,00 <br />Rp 25.000,00 <br /><br />Upah borongan terutangpa.iak: <br /><br />2 x Rp 25.000,00 <br />Rp50.000,00 <br /><br />PPhPasal 2't = 50/ox Rp 50.000,00 Rp 2.500,00 <br /><br />III.4 <br />UPAH HARIAN/SATUAN/BORONGAN/HONORARIUM <br />YANG DITERIMA TENAGA <br />HARIANLEPAS TAPI DIBAYARKANSECARA BULANAN <br /><br />Wardi bekerjapadaperusahaaneleKronikdengan dasar upah harian yangdibayarkan <br />bulanan. Dalam bulanJanuari 2009 Wardi hanya bekerja 20 hari kerja dan upah <br />sehariadalah Rp 120.000,00. Wardi menikah tetapi belum memiliki anak. <br /><br />Penghitungan 21<br /><br />PPhPasal <br /><br />UpahJanuari2009=20 x Rp 120.000,00 = Rp 2.400.000,00 <br /><br />Penghasilan = <br />=<br /><br />netosetahun 12 x Rp 2.400.000,00 Rp 28.800.000,00 <br />PTKP(l(J adalahsebesar <br />untuk WP sendiri Rp 15.840.000,00 <br />tambahankarenamenikah Rp 1.320.000,00 <br /><br />Rp 1 7.160.000,00 <br /><br />KenaPajak<br /><br />Penghasilan <br />Rp 1 1 .640.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21 setahun adalahsebesar: <br />x Rp 1 1.640.000,00 Bp 582.000,00<br /><br />5olo <br />= <br /><br />PPh Pasal 21 sebulan adalahsebesar: <br />Rp 582.000,00 Rp 48.500,00<br /><br />: 12 = <br /><br />PEMOTONGAN TANTIEM, <br />GRATIFIKASI PEGAWAI, KOMTSARIS <br /><br />IV. PENGHITUNGAN PPhPASAL 21 ATAS JASAPRODUKSI, <br />YANG DITERIMA MANTAN HONORARIUM YANG <br />BUKAN SEBAGAI PEGA\IYAI TETAP DAN PENARIKAN DANA PENSIUN OLEH <br />PESERTAPROGRAMPENSIUN SEBAGAI<br /><br />YANGMASIH BERSTATUS PEGAWAI <br /><br />lV,1 <br />ContohpenghitunganPPh Pasal 21 ataspembayaranpenghasilankepadamantan <br />pegawai. <br /><br />Victoria Endah bekerjapadaPT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2009 telah <br />berhentibekerjapadaPT Fajar Wisesa karena pensiun.Padabulan Maret 2009 <br />Victoria Endah menerimajasa produksi tahun2008 dari PT Fajar Wisesa sebesar Rp <br />5s.000.000,00. <br /><br />4l <br /><br /> <br />PPh Pasal 21yangterutangadalah: <br /><br />5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00 <br />15%x Rp 5.000.000,00 Rp 750.000,00 <br /><br />PPh Pasal 21yangharus dipotong Rp 3.2b0.000,00 <br /><br />Apabiladalamtahun kalender yangbersangkutan, penghasilan<br /><br />dibayarkan kepada <br />mantanpegawailebihdari 1 (satu)kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaranpenghasilan tarifPasal17 ayat (1)huruf<br /><br />yangberikutnyadihitungdengan menerapkan <br />a UU PPh atas jumlah penghasilanbruto kumulatif yang diterima dengan <br />memperhitungkan yangtelah diterima sebelumnya.<br /><br />penghasilan <br /><br />penghitungan komisaris <br />sebagaipegawaitetap <br /><br />lV.2 Contoh PPh Pasal 21 atas honorarium yangtidak merangkap <br /><br />Pandayaadalahseorangkomisaris di PT Wahana Seiahtera,yangbukansebagaipegawaitetap. Dalam tahun 2009, yaitubulan Desember 2009menerimahonorarium <br /><br />sebesarRo60.000.000.00. <br />PPhPasal21yangterutangadalah: <br />5% x Rp 50.000.000,00 <br />15ol"x Rp 10.000.000,00 <br />Rp 2.500.000,00 <br />Rp 1.500.000,00 <br />PPhPasal21yangharus dipotong Rp 4.000.000,00 <br /><br />Apabiladalam tahun kalenderyangbersangkutan, penghasilan<br /><br />dibayarkan kepada <br />yangbersangkutanlebihdari 1 (satu)kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaranpenghasilanyangberikutnyadihitungdengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (l)<br />hurufa UU PPhatasjumlahpenghasilanbruto kumulatif yangditerima dengan <br />memperhitungkan yangtelah diterima <br /><br />penghasilan sebelumnya. <br /><br />lV.3 Contohpenghitungan<br /><br />PPh Pasal 21 penarikandanapensiunolehpesertaprogrampensiunyangmasihberstatussebagaipegawai <br /><br />ZakariasSa{aatadalahpegawaiPT Sampurna SejatimenerimagajiRp 2.000.000,00 <br />sebulan.PT SampurnaSejati mengikuti programpensiununtukpara pegawainya. <br />PTSampurnaSejatimembayariurandanapensiununtuk Zakarias Safaatsebesar Rp <br />100.000,00sebulanke Dana Pensiun ManfaatSejahtera, telah<br /><br />yang pendiriannya <br />disahkanoleh Menteri Keuangan.ZakariasSafaat membayar iuran serupa ke dana <br />pensiunyangsamasebesarRp50.000,00sebulan. <br /><br />BulanApril 2009 ZakaiasSafaat memerlukan biaya untuk perbaikanrumahnyamaka <br />ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri sebesar Rp20.000.000,00. padabulan Juni 2009 ia menarik lagi dana sebesar Rp <br /><br />Kemudian <br />15.000.000,00.KemudianbulanOktober2009 untuk keperluanlainnyaia menarik lagidana sebesar Rp 25.000.000,00. <br /><br />PPhPasal 21 yangterutangadalah: <br /><br />a. ataspenarikandanasebesar Rp 20.000.000,00 <br />padabulan April 2009terutang <br />PPhPasal 21 sebesar5%x Rp 20.000.000,00 Rp 1.000.000,00 <br /><br />= <br /><br />b. ataspenarikandanasebesar Rp 15.000.000,00 <br />padabulan Juni 2009 terutang <br />PPh Pasal 21 sebesar5% =Rp<br /><br />x Rp 15.000.000,00 750.000,00 <br /><br />42 <br /><br /><br /> <br />ataspenarikandana sebesar Rp 25.000.000,00 <br />terutang<br /><br />padabulan Oktober 2OOg <br />PPh Pasal 21 sebesar: <br />s% x Rp 1s.000.000,00 Rp 750.000,00<br /><br />= <br />15%x Rp 10.000.000,00 Rp 1.500.000,00 <br /><br />= <br /><br />Rp 2.250.000,00 <br /><br />V. <br />PENGHITUNGANPPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH <br />BUKANPEGAWAI. <br />V.1 PENGHITUNGAN <br />YANG<br />PEMOTONGANPPhPASAL 21 ATAS PENGHASILAN <br />DITERIMAOLEH TENAGA AHLI YANG MELAKUKANPEKERJAANBEBAS <br /><br />V.1.1 perhitungan<br />Contoh dokteryang praktik di rumah sakit dan/atau klinik <br /><br />dr. Abdul Gopar merupakan dokterspesialis.lantungyangmelakukanpraktik <br />di Rumah Sakit Harapan JantungSehat dengan perjaniianbahwa atas setiap <br />jasadokteryangdibayarkanolehpasienakandipotong2e7"olehpihakrumah <br />sakit sebagai bagianpenghasilanrumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari <br /><br />jasa doKertersebut akan dibayarkankepada dr. Abdul Goparpadasetiapakhir bulan. Dalam semesterpertamatahun 2009, .iasadokteryang <br />dibayarkan atas tindakan dr. Abdul Gopar adalah sebagaiberikut:<br /><br />pasien <br /><br />Bulan JumlahJasaDokterVanqdibavarPasien(Rupiah) <br />Januari 30.000.000.00 <br />Februari 30.000.000,00 <br />Maret 25.000.000,00 <br />April 40.000.000.00 <br />Mei 30.000.000.00 <br />Juni 25.000.000.00 <br />Jumlah 180.000.000.00 <br /><br />PenghitunganPPh Pasal 2l untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2OO9: <br /><br />Jasa DoKer yang Dasar Dasar Tarif Ffn Hasal <br />Pemotongan Pasal 17 <br /><br />PemotonganBulan dibayar Pasien PPh Pasal2l ayat(1) 21 terutang <br /><br />PPh Pasal 21 <br /><br />Kumulatif huruf a <br />(Rupiah) (Rupiah) (RuDiah) UU PPh (Ruoiah) <br /><br />(1) (2) (3)=50%x(2) <br />(5) (6)=(3)x(s)<br />\4) <br />Januafl 30.000.000,00 15.000.000.0015.000.000,00 5% 750.000,00 <br />Fsbruari 30.000.000.00 15.000.000.00 30.000.000,00 750.000.00 <br /><br />et <br />25.000.000.00 12.500.000,0042.500.000,00 5% 625.000.00 <br />15.000.000,00 7.500.000,00 50.000.000,00 5% 375.000,00<br /><br />April <br /><br />25.000.000.00 12.500.000.0062.500.000.00 150/" 1.875.000.00 <br />30.000.000,00 '15.000.000.00<br /><br />NIsi <br />77.500.000,00 157" 2.250.000,00 <br /><br />Juni 25.000.000,00 12.500.000.00 90.000.000,00 157" 1.875.000.00 <br /><br />Jumlah 180.000.000,0090.000.000.00 <br />8.500,000,00 <br /><br />Apabiladr.Abdul Gopar belum memilikiNPWP,maka PPh Pasal 21 terutang <br />adalahsebesar 120/" dari PPh Pasal 21 terutanq sebaoaimanacontoh di <br />alas. <br /><br />V.1.2 Contohpenghitungan <br />yangDiterima<br />PPh Pasal 21 atas Penghasilan Oleh <br />Tenaga Ahli selain dokter yang praktik di rumah sakit: <br /><br />lr. Garda Suganda, MArch adalah seorang arsitek, padabulan Maret 2009 <br /><br />menerimalee sebesar Rp 100.000.000,00 <br /><br />dari PT Selaras Propertindo <br />sebagaiimbalanpemberjaniasayangdilakukannya.<br /><br />Pada bulan Juli 2009 <br />menerimapelunasansisa fee sebesar Rp50.000.000,00. <br /><br />43 <br /><br />t <br /><br /> <br />PenghitunganPPh Pasal 21: <br /><br />Penghasilan Dasar Dasar Taril Pasal PPh <br />Bulan Bruto <br />Pemotongan <br />PPh Pasal 21 <br />Pemotongan <br />PPh Pasal 21 <br />Kumulatit <br />17 ayat (1) <br />huruf a <br />Pasal 21 <br />terutang <br />(RuDiah) (RuDiah) (Rupiah) UU PPh (Rupiah) <br /><br />(1) (2) (3)=50% x (2) (4) (5) (6)=(3)x (5) <br />Maret 100.000.000,0050.000.000.00 50.000.000,00 2.500.000,00 <br />Juli 50.000.000,0025.000.000.00 75.000.000.00 150,4 3.750.000.00 <br />Jumlah 1s0.000.000,006.250,000,00<br /><br />75.000.000,00 <br /><br />V.2 PENGHITUNGAN YANG DITERIMA OLEH<br />PPhPASAL 21 ATAS PENGHASILAN <br />BUKAN PEGAWAI LAINNYA PENGHASILAN<br /><br /><br />YANG MENERIMA YANGBERSIFAT <br />BERKESINAMBUNGAN. <br /><br />UswatunHasanahadalah seorang ibu rumah tangga yangmempunyai2 orang anak <br />bekerjasebagaidistributormulti level marketing padapT GoldenChain. Suami <br />Uswatun Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NpWp, dan <br />yangbersangkutanbekerjapadaPT. Pelangi Antar Nusa. Uswatun Hasanah telah <br />menyampaikanfotokopikartuNPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu <br />keluargakepadapemotong penghasilan<br /><br />pajak.UswatunHasanahhanyamemperolehdarikegiatannya distributor dantelah menyampaikan <br /><br />sebagai multi level marketing, <br />suratpernyataanyangmenerangkanhaltersebut kepada PT Golden Chain. Dalam <br />semesterpertamatahun 2009, penghasilanyangditerimaolehUswatunHasanah <br />sebagaidistributorMLM dari perusahaantersebutadalah sebaqai berikut: <br />Januari2009 Rp 20.000.000,00 <br />Februari2009 Rp 17.000.000,00 <br />Maret 2009 Rp 23.000.000,00 <br />April 2009 Rp15.000.000,00 <br />Mei 2009 Rp 25.000.000,00 <br />Juni 2009 Rp 10.000.000,00 <br /><br />Jumlah Rp1 10.000.000,00 <br /><br />Penghitungan<br /><br />PPh Pasal21 untuk bulan Januari s.d. Juni 2009 adalahsebagaiberikut: <br /><br />larit <br />Pasal <br />17 <br /><br />PenghasilanPTKP ayat<br /><br />Bulan PPh Pasal 21 <br /><br />Bruto sebulan PKPsebulan PKP Kumulatif 0)<br /><br />€rurang<br /><br />(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) {Rupiah) huruf <br /><br />(Rupiah)<br /><br />aUU <br /><br />Jan <br />t2) (3) <br />.000.000,00 1.320.000,00 0.000.00 <br />(5) (6) <br />18.680.000,005% <br />(A=(4)x(6) <br />s34.000,00 <br />Feb .000.000.00 1.320.000.00 34.360.000,00 5% 784.000.00 <br />Maret <br />April <br />23.000.000,00 1.320.000,00 15.640.000,00 <br />6.040.000.00 <br />50.000.000,00 <br />56.040.000,00 <br />sca'15% <br />15.000.000.00 '1.320.000,00 13.680.000.00 69.720.000,00 15% <br />782.000,00 <br />906.000,00 <br />2.052.000,00 <br /><br />Mei 25.000.000,00 1.s20.000,0023.680.000,00 93.400.000,00 15% 3.552.000,00 <br />10.000.00 1.320.000,00 8.680.000,00 102.0s0.000,0015% 1.302.000,00 <br />Jmlh 7.920.000.00 102.080.000.00102.O80.000,00 10.312.000,00 <br /><br />ApabilaUswatunHasanahtidak dapat menunjukkan <br /><br />fotokopi kartu NPWP suami, <br />fotokopisurat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Uswatun Hasanahsendiritidak <br />memilikiNPWP, maka perhitungan sebagaimana<br /><br />PPh Pasal 21 dilakukan contoh di <br />atasnamun tidak memperoleh PTKPsetiapbulan, dan jumlahPPh<br /><br />pengurangan <br />Pasal 21 yangterutang adalah sebesar 120ol"berdasarkanperhitungantersebut,yaitu <br />sebagaiberikut: <br /><br />44 <br /><br /><br /> <br />Penghasilan Tarit Pasal <br /><br />Penghasilan <br />Tidak PPh Pasal 21 <br /><br />Bruto 17 ayat (l)<br /><br />Bulan Bruto <br />Memiliki IeruIang<br /><br />Kumulatif hurufa UU <br /><br />(Rupiah) <br />NPWP (Rupiah)<br /><br />(Buoiah) PPh <br /><br />(2\ (3) (4'..) (5) (6)=(2)x(4)x(5) <br />Januari 20.000.000,00 20.000.000.00 5% 1200/" 1.200.000.00 <br />Februari 17.000.000.00 37.000.000.00 5v" 1200/" 1.020.000.00<br /><br />'t20%<br /><br />Maret 13.000.000,00 50.000.000,00 5"/" <br />780.000,00 <br /><br />10.000.000.00 60.000.000.00 15"4 120"/" 1.800.000.00 <br />April 15.000.000.00 75.000.000.00 154 1200/o 2.700.000,00 <br />Mei 25.000.000.00100.000.000,00 15% 120/" 4.500.000,00 <br />Juni 10.000.000.00110.000.000.00 1504 120,6 1.800.000,00 <br />Jumlah 110.000.000,00110.000.000.00 13.800,000.00 <br /><br />Dalamhal suami UswatunHasanahatau Uswatun Hasanahsendiri telah memiliki <br />NPWP, namun UswatunHasanah penghasilan<br /><br />mempunyai lain di luar kegiatannya <br />sebagaidistributormulti level marketing,makaperhitunganPPh Pasal 21 terutang <br />adalahsebagaimanacontoh di atas, namun tidak dikenakan l€,rrt20o/" lebih tinggi <br />karenayangbersangkutan telah memiliki <br /><br />atau suaminya NPWP. <br /><br />v.3 PENGHITUNGAN YANG DITERIMA PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN OLEH <br />BUKANPEGAWAI LAINNYA YANG MENERIMA PENGHASILANYANG TIDAK <br />BERSIFATBERKESINAMBUNGAN. <br /><br />Dwi Amiarsih, M.B.A adalah seorang yangmemberikan pada<br /><br />penceramah ceramah <br />suatu lokakarya sehariyangdiselenggarakan yang<br /><br />oleh suatu yayasan,honorarium <br />dibayarkanadalahsebesarRp 2.500,000,00 <br /><br />PPhPasal 21 yangterutang:5olo <br />=<br /><br />x Rp 2.500.000,00 Rp125.000,00 <br /><br />PEMOTONGAN YANG <br />DITERIMAOLEH BUKAN PEGAWAI, SELAIN TENAGA AHLI, SEHUBUNGAN <br />DENGAN PEMBERIAN JASA YANG DALAM PEMBERIAN JASANYA <br />MEMPEKERJAKANORANG LAIN SEBAGAI PEGAWAINYA DAN/ATAU <br />MELAKUKANPENYERAHAN <br /><br />v.4 PENGHITUNGAN PPhPASAL21 ATAS PENGHASILAN <br />MATERIAUBAHAN <br /><br />Sulistiya Nugraha menerima pekerjaandekorasigedungdari PT Wahana Jaya <br />denganimbalan Rp 10.000.000,00. tenaga 5 <br /><br />Sulistiya Nugraha mempergunakan <br />orang pekerjadengan membayarkan upah harian masing-masing <br /><br />sebesar Rp <br />180.000,00.Upah harian yangdibayarkan melakukan<br /><br />untuk 5 orang selama pekerjaan <br />sebesarRp 4.500.000,00. Nugraha material/bahan<br /><br />selain itu, Sulistiya membeli yang <br />dipakaiuntuk dekorasi gedungsebesarRp1.000.000,00. <br /><br />Penghitungan<br /><br />PPh Pasal 2l terutangadalahsebagaiberikut: <br /><br />l. <br />lmbalanyangditerimaSulistiyaNugraha dari PT Wahana Jaya merupakan <br />imbalansehubungandenganjasa yangdilakukanoleh orang pribadibukan <br />sebagaipegawaiPT Wahana Jaya, yangharusdilakukanpemotonganPPh Pasal <br />21dengan menerapkan bruto.<br />tarif Pasal 17 ayat (1)hurufa atas jumlahimbalan <br />Dalam hal berdasarkan serta dokumen oleh Sulistiya <br /><br />perjanjian yangdiberikan <br />Nugraha,dapat diketahui bagian imbalan brutoyangmerupakanupahyangharus <br />dibayarkankepadapekerja yangdipekerjakan Nugrahadan<br /><br />harian oleh Sulistiya <br />biaya untuk membeli material/bahan, brutosebagaidasar<br /><br />makajumlahimbalan <br />perhitunganPPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas <br />imbalanyangdiberikankepada Sulistiya Nugrahaadalah sebesar imbalahbruto <br />dikurangibagian upah tenaga kerja harian yangdipekerjakan Nugraha<br /><br />Sulistiya <br />dan biaya material/bahan, dalamcontoh adalah sebesar: <br /><br />sebagaimana <br /><br />45 <br /><br /><br /> <br />-<br /><br />Rp 10.000.000,00 - <br />=<br /><br />Rp a.500.000,00 Rp 1.000.000,00 Rp a.500.000,00. <br /><br />P_PhPasal21 yangharusdipotongpT WahanaJaya atas penghasilanyangditerimaSulistiyaNugraha= S% x Rp 4.500.000,00 Datamha-l<br /><br />= Rp 225.000,00. <br />P-TWahanaJaya tidak memperolehinformasiberdasarkanperjanjianyangdilakukanatau dokumen yangdiberikanoleh Sulistiya Nugraha mengenai upan <br />yangharusdikeluarkanSulistiya Nugraha ataupembelianmaterial/bahan,<br /><br />maka <br />dasarpemotonganPPhPasal21 adalah jumlahsebesarRp10.000.000,00. <br /><br />ll. Untukpembayaranupahharian kepada masing-masing<br /><br />pekerjawajib dipotong <br />PPhPasal21oleh Sulistiya Nugrahasamasepertidalamcontoh lll.1 di atas. <br /><br />VI. <br />PENGHITUNGANPEMOTONGANPPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG <br />DITERIMAPESERTAKEGIATAN. <br />Contoh Penghitungan <br /><br />PPhPasal2l <br />TaufikApriantoadalahseorangpemainbulutangkis yangbertempat<br /><br />professional tinggal di <br />Indonesia.la menjuaraiturnamenIndonesiaTerbukadan memoeroleh hadiahsebeiir Ro <br />200.000.000,00. <br /><br />PPhPasal21yangterutangatashadiahturnamenIndonesiaTerbukatersebutadaran: <br /><br />5% x Rp 50.000.000.00 Rp 2.500.000,00 <br />15% x Rp 150.000.000.00 Rp22.500.000,00 <br /><br /><br />Rp 25.000.000.00 <br /><br />VII. PENGHITUNGANPEMOTONGAN<br />PPh PASAL 26 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI <br />DENGAN STATUS WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPEROLEHGAJI <br />SEBAGIANATAUSELURUHNYADALAMMATAUANG ASING <br /><br />a. Dalamhal pegawaidenganstatus wajib pajakluarnegeri memperoleh gajisebagian<br />atauseluruhnyadalammatauang asing sebelum PPh dihitungterlebih dahulu harus <br />dikonversidalam mata uangrupiah_ <br /><br />b. PPh Pasal 26 yangterutangdihitungberdasarkan <br />bruto,dan tidak <br />jumlahpenghasilan <br />boleh diperhitungkan seperti biaya jabatan<br /><br />pengurangan-pengurangan <br />danpTKp. <br /><br />Contoh: <br /><br />WilliamBentleyadalahpegawaiasingyangberadadi Indonesia kurang dari 183 hari. Dia <br />berstatusmenikahdan mempunyai2 orang anak. la memperolehgajipadabulan Maret <br />2009sebesarus$ 2,500 sebulan.Kurs Menteri Keuanganpadasaatpemotonganadalah <br />Rp 11.500,00 <br /><br />untukUS$ 1.00 <br /><br />Penghitungan<br /><br />PPhPasal 26: <br />Penghasilan adalah:<br /><br /><br />bruto berupa gajisebulan <br />US$ 2,500 x Rp .11.500,00= Rp 28.7s0.000.00 <br />PPhPasal26 terutang adalah: <br />20% x Rp 28.750.000,00 Rp5.<br /><br /><br />= <br /><br />N NASUTION <br /><br />46Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-41058399292136010982009-10-29T19:29:00.000-07:002009-10-29T19:30:20.560-07:00UU Nomor 36 tahun 2008 dan PMK Nomor 244/PMK.03/2008Dengan diberlakukannya UU Nomor 36 tahun 2008 dan PMK Nomor 244/PMK.03/2008, maka objek dan besaran tarif untuk Pasal 23 menyesuaikan dengan ketentuan tersebut. Kedua ketentuan ini berlaku sejak 1 Januari 2009.<br /><br />Objek dan Tarif PPh Pasal 23 sebelumnya diatur dengan UU Nomor 17 tahun 2000 dan PER-70/PJ./2007<br /><br />Berikut daftar Objek dan Tarif PPh Pasal 23 per 1 Januari 2009:<br /><br />No<br /> <br /><br /> <br /><br />Jenis Penghasilan<br /> <br /><br />Tarif PPh 23 - (bagi WP ber-NPWP) (%)<br /> <br /><br />Tarif PPh 23 - (bagi WP yang tidak ber-NPWP) (%)<br /><br />(1)<br /> <br /><br />(2)<br /> <br /><br />(3)<br /> <br /><br />(4)<br /><br />1<br /> <br /><br />Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh<br /> <br /><br />15%<br />dari Jumlah bruto<br /> <br /><br />30%<br />dari jumlah ruto<br /><br />2<br /> <br /><br />Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPh;<br /> <br /><br />15%<br />dari jumlah bruto<br /> <br /><br />30%<br />dari jumlah ruto <br /><br />3<br /> <br /><br />Royalti<br /> <br /><br />15%<br />dari jumlah bruto<br /> <br /><br />30%<br />dari jumlah bruto<br /><br />4.<br /> <br /><br />Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh 21<br /> <br /><br />15%<br />dari jumlah bruto<br /> <br /><br />30%<br />dari jumlah bruto<br /><br />5.<br /> <br /><br />Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final pasal 4 (2)<br /> <br /><br />2 %<br />dari jumlah bruto<br />tidak termasuk PPN<br /> <br /><br />4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br /><br />6.<br /> <br /><br />Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi (*), jasa konsultan<br /> <br /><br />2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br /> <br /><br />4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br /><br />7<br /> <br /><br />Jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008<br /> <br /><br />2% dari Jumlah bruto tidak termasuk PPN<br /> <br /><br />4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />a.<br /> <br /><br />Jasa penilai (appraisal);<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />b.<br /> <br /><br />Jasa aktuaris;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />c.<br /> <br /><br />Jasa akuntansi, pembukuan, dan asestasi laporan keuangan;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />d<br /> <br /><br />Jasa perancang (design);<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />e<br /> <br /><br />Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />f<br /> <br /><br />Jasa penunjang di bidang penambangan migas :<br /><br /> 1. jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat diantara pipa selubung dan lubung sumur;<br /> 2. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud :<br /> 1. penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;<br /> 2. penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;<br /> 3. perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;<br /> 4. penutupan sumur;<br /> 3. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;<br /> 4. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi yang menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;<br /> 5. jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;<br /> 6. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;<br /> 7. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;<br /> 8. jasa reparasi pompa reda (reda repair);<br /> 9. jasa pemasangan instalasi dan perawatan;<br /> 10. jasa penggantian peralatan/material;<br /> 11. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;<br /> 12. jasa mud engineering;<br /> 13. jasa well logging & perforating;<br /> 14. jasa stimulasi dan secondary decovery;<br /> 15. jasa well testing & wire line service;<br /> 16. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;<br /> 17. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;<br /> 18. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;<br /> 19. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />g<br /> <br /><br />Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas :<br /><br /> 1. jasa pengeboran;<br /> 2. jasa penebasan;<br /> 3. jasa pengupasan dan pengeboran;<br /> 4. jasa penambangan;<br /> 5. jasa pengangkutan/ sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum;<br /> 6. jasa pengolahan bahan galian;<br /> 7. jasa reklamasi tambang;<br /> 8. jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;<br /> 9. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />h<br /> <br /><br />Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara:<br /><br /> 1. bidang aeronautika, termasuk :<br /> 1. jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara;<br /> 2. jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);<br /> 3. jasa pelayanan penerbangan;<br /> 4. jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat, udara baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat;<br /> 5. jasa penunjang lain di bidang aeronautika.<br /> 2. bidang non-aeronatika, termasuk :<br /> 1. jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;<br /> 2. jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />i<br /> <br /><br />Jasa penebangan hutan;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />j<br /> <br /><br />Jasa pengolahan limbah;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />k<br /> <br /><br />Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />l<br /> <br /><br />Jasa perantara dan/atau keagenan;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />m<br /> <br /><br />Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />n<br /> <br /><br />Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuai ayng dilakukan oleh KSEI;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />o<br /> <br /><br />Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />p<br /> <br /><br />Jasa mixing film;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />q<br /> <br /><br />Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />r<br /> <br /><br />Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />s<br /> <br /><br />Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kable, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />t<br /> <br /><br />Jasa maklon; yaitu jasa pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />u<br /> <br /><br />Jasa penyelidikan dan keamanan;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />v<br /> <br /><br />Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; yaitu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />w<br /> <br /><br />Jasa pengepakan;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />x<br /> <br /><br />Jasa penyediaan tempat dan / atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />y<br /> <br /><br />Jasa pembasmian hama;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />z<br /> <br /><br />Jasa kebersihan atau cleaning service;<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />aa<br /> <br /><br />Jasa catering atau tata boga<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Dan jangan dilupakan bahwa ada penghasilan-panghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 23 antara lain<br /><br /> 1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;<br /> 2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;<br /> 3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) UU PPh;<br /> 4. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh;<br /> 5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;<br /> 6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang terdiri dari :<br /> 1. Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan<br /> 2. BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaga mikro, menengah dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Madani.<br /><br />Semoga dengan berlakunya tarif baru ini lebih memudahkan dalam administrasi perpajakan WP yang sebelumnya harus menghitung perkiraan penghasilan netto (PER-70/PJ./2007)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-44185747355361539432009-10-29T19:28:00.001-07:002009-10-29T19:28:35.261-07:00UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 36 TAHUN 2008<br /><br />TENTANG<br /><br />PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG<br />NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br /><br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br /><br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang :<br /><br /> 1. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;<br /> 2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;<br /><br /><br />Mengingat :<br /><br /> 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br /> 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);<br /> 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);<br /><br /><br /><br />Dengan Persetujuan Bersama<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />dan<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br /><br /><br />MEMUTUSKAN:<br /><br />Menetapkan:<br /><br />UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.<br /><br /><br />Pasal I<br /><br />Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:<br /><br /> 1. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);<br /> 2. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567);<br /> 3. Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);<br /><br /><br />diubah sebagai berikut:<br /><br /> 1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1 Undang-Undang ini.<br /> 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:<br /><br />Pasal 2<br /><br />(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:<br />a. <br /><br /> 1. orang pribadi;<br /> 2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;<br /><br />b. badan; dan<br />c. bentuk usaha tetap.<br />(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.<br />(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.<br />(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:<br /><br /> 1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;<br /> 2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:<br /> 1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;<br /> 2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;<br /> 3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan<br /> 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan<br /> 3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.<br /><br />(4) Subjek pajak luar negeri adalah:<br /><br /> 1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan<br /> 2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.<br /><br />(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:<br /><br /> 1. tempat kedudukan manajemen;<br /> 2. cabang perusahaan;<br /> 3. kantor perwakilan;<br /> 4. gedung kantor;<br /> 5. pabrik;<br /> 6. bengkel;<br /> 7. gudang;<br /> 8. ruang untuk promosi dan penjualan;<br /> 9. pertambangan dan penggalian sumber alam;<br /> 10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;<br /> 11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;<br /> 12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;<br /> 13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;<br /> 14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;<br /> 15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan<br /> 16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.<br /><br />(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.<br /><br /> 3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 3<br /><br />(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:<br /><br /> 1. kantor perwakilan negara asing;<br /> 2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;<br /> 3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:<br /> 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan<br /> 2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;<br /> 4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.<br /><br />(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br /><br /> 4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l, dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat (3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:<br /><br />Pasal 4<br />(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:<br /><br /> 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;<br /> 2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;<br /> 3. laba usaha;<br /> 4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:<br /> 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;<br /> 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;<br /> 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;<br /> 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan<br /> 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;<br /> 5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;<br /> 6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;<br /> 7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;<br /> 8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;<br /> 9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br /> 10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;<br /> 11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;<br /> 12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;<br /> 13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;<br /> 14. premi asuransi;<br /> 15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;<br /> 16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;<br /> 17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;<br /> 18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan<br /> 19. surplus Bank Indonesia.<br /><br />(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:<br /><br /> 1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;<br /> 2. penghasilan berupa hadiah undian;<br /> 3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;<br /> 4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan<br /> 5. penghasilan tertentu lainnya,<br /><br />yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.<br />(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:<br />a. <br /><br /> 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan<br /> 2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,<br /><br />sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;<br />b. warisan;<br />c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;<br />d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;<br />e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;<br />f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:<br /><br /> 1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan<br /> 2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;<br /><br />g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;<br />h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;<br />i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;<br />j. dihapus;<br />k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:<br /><br /> 1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan<br /> 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;<br /><br />l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;<br />m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan<br />n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br /> 5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :<br /><br />Pasal 6<br /><br />(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:<br /><br /> 1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:<br /> 1. biaya pembelian bahan;<br /> 2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;<br /> 3. bunga, sewa, dan royalti;<br /> 4. biaya perjalanan;<br /> 5. biaya pengolahan limbah;<br /> 6. premi asuransi;<br /> 7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;<br /> 8. biaya administrasi; dan<br /> 9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;<br /> 2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;<br /> 3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;<br /> 4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;<br /> 5. kerugian selisih kurs mata uang asing;<br /> 6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;<br /> 7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;<br /> 8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:<br /> 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;<br /> 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan<br /> 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;<br /> 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;<br /> yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;<br /> 9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;<br /> 10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;<br /> 11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;<br /> 12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan<br /> 13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br />(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.<br />(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br /><br /> 6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 7<br /><br />(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:<br /><br /> 1. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;<br /> 2. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;<br /> 3. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan<br /> 4. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.<br /><br />(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.<br />(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.<br /><br /> 7. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 8<br /><br />(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.<br />(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:<br /><br /> 1. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;<br /> 2. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau<br /> 3. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.<br /><br />(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.<br />(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.<br /><br /> 8. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 9<br /><br />(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:<br /><br /> 1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;<br /> 2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;<br /> 3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:<br /> 1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;<br /> 2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;<br /> 3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;<br /> 4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;<br /> 5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan<br /> 6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, <br /><br />yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;<br /><br /> 4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;<br /> 5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;<br /> 6. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;<br /> 7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;<br /> 8. Pajak Penghasilan;<br /> 9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;<br /> 10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;<br /> 11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.<br /><br />(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.<br /><br /> 9. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:<br /><br />Pasal 11<br />(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.<br />(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.<br />(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.<br />(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.<br />(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.<br />(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:<br /><br />Kelompok Harta<br />Berwujud Masa<br />Manfaat Tarif Penyusutan sebagaimana<br />dimaksud dalam<br />Ayat (1) Ayat (2)<br />I. Bukan bangunan<br /> Kelompok 1 <br /> Kelompok 2 <br /> Kelompok 3 <br /> Kelompok 4 <br />4 tahun<br />8 tahun<br />16 tahun<br />20 tahun <br />25%<br />12,5%<br />6,25%<br />5% <br />50%<br />25%<br />12,5%<br />10%<br />II. Bangunan<br /> Permanen <br /> Tidak Permanen <br />20 tahun<br />10 tahun <br />5%<br />10% <br />(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.<br />(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.<br />(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.<br />(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br /> 10. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:<br /><br />Pasal 11A<br />(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.<br />(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:<br /><br />Kelompok Harta<br />Tak Berwujud Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan<br />metode<br />Garis<br />Lurus Saldo<br />Menurun<br />Kelompok 1<br />Kelompok 2<br />Kelompok 3 <br />Kelompok 4 4 tahun <br />8 tahun <br />16 tahun<br />20 tahun 25%<br />12,5%<br />6,25%<br />5% 50%<br />25%<br />12,5%<br />10%<br />(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).<br />(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.<br />(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.<br />(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).<br />(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.<br />(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.<br /><br /> 11. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 14<br />(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br />(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.<br />(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.<br />(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.<br />(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(6) Dihapus.<br />(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br /> 12. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 16<br /><br />(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.<br />(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).<br />(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.<br />(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.<br /><br /> 13. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 17<br />(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:<br /><br /> 1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:<br /> Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak<br /> sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 5%<br /> (lima persen)<br /> di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 15%<br /> (lima belas persen)<br /> di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 25%<br /> (dua puluh lima<br /> persen)<br /> di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%<br /> (tiga puluh persen)<br /> 2. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).<br /><br />(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.<br />(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.<br />(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.<br />(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.<br />(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.<br />(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.<br />(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).<br /><br /> 14. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan ayat (3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :<br /><br /><br />Pasal 18<br />(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.<br />(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:<br /><br /> 1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau<br /> 2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.<br /><br />(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.<br />(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.<br />(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.<br />(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.<br />(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.<br />(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:<br /><br /> 1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;<br /> 2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau<br /> 3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.<br /><br />(5) Dihapus.<br /><br /> 15. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 19<br />(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.<br />(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).<br /><br /> 16. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 21<br />(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:<br /><br /> 1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;<br /> 2. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;<br /> 3. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;<br /> 4. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan<br /> 5. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.<br /><br />(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.<br />(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.<br />(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.<br />(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.<br />(6) Dihapus.<br />(7) Dihapus.<br />(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br /> 17. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 22<br />(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:<br /><br /> 1. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang;<br /> 2. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan<br /> 3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.<br /><br />(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.<br /><br /> 18. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 23<br />(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:<br /><br /> 1. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:<br /> 1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;<br /> 2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;<br /> 3. royalti; dan<br /> 4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;<br /> 2. dihapus;<br /> 3. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:<br /> 1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan<br /> 2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.<br /><br />(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:<br /><br /> 1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;<br /> 2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;<br /> 3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);<br /> 4. dihapus;<br /> 5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;<br /> 6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;<br /> 7. dihapus; dan<br /> 8. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br /> 19. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 24<br /><br />(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.<br />(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.<br />(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:<br /><br /> 1. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;<br /> 2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;<br /> 3. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;<br /> 4. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;<br /> 5. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;<br /> 6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;<br /> 7. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada; dan<br /> 8. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.<br /><br />(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.<br />(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.<br />(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br /> 20. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 25<br />(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:<br /><br /> 1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan<br /> 2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, <br /><br />dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.<br />(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.<br />(3) Dihapus.<br />(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.<br />(5) Dihapus.<br />(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:<br /><br /> 1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;<br /> 2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;<br /> 3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;<br /> 4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;<br /> 5. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan<br /> 6. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br /><br />(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:<br /><br /> 1. Wajib Pajak baru;<br /> 2. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan<br /> 3. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.<br /><br />(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.<br />(9) Dihapus.<br /><br /> 21. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 26<br />(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:<br /><br /> 1. dividen;<br /> 2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;<br /> 3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br /> 4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;<br /> 5. hadiah dan penghargaan;<br /> 6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;<br /> 7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau<br /> 8. keuntungan karena pembebasan utang.<br /><br />(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).<br />(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:<br /><br /> 1. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan<br /> 2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.<br /><br /> 22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br /><br />Pasal 29<br /><br />Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.<br /><br /> 23. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 31A<br />(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:<br /><br /> 1. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;<br /> 2. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;<br /> 3. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan<br /> 4. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.<br /><br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /> 24. Pasal 31B dihapus.<br /> 25. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 31C<br /><br />(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.<br />(2) Dihapus.<br /><br /> 26. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 31D<br />Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.<br /><br />Pasal 31E<br /><br />(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).<br />(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br /> 27. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br /><br />Pasal 32<br /><br />Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br /><br /> 28. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:<br /><br /><br />Pasal 32B<br />Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /> 29. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br /><br />Pasal 35<br /><br />Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br />Pasal II<br />Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:<br /><br /> 1. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.<br /> 2. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.<br /><br />Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Disahkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 September 2008<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />ttd<br /><br />DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO<br /><br /><br /><br /><br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 September 2008<br />MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA<br />REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />ttd<br /><br />ANDI MATTALATTA<br /><br /><br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133<br /><br /><br /><br />PENJELASAN<br />ATAS<br /><br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 36 TAHUN 2008<br /><br />TENTANG<br /><br />PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG<br />NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br /><br /> 1. UMUM<br /><br />1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.<br />2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.<br />3. Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:<br /><br /> 1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;<br /> 2. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;<br /> 3. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;<br /> 4. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan<br /> 5. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.<br /><br />4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan meliputi pokok-pokok sebagai berikut:<br /><br /> 1. dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya;<br /> 2. dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan<br /> 3. untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.<br /><br /> <br /> <br /><br /> 2. PASAL DEMI PASAL<br /><br />Pasal I<br />Angka 1<br />Pasal 1<br />Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.<br /><br />Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.<br />Angka 2<br />Pasal 2<br />Ayat (1)<br />Huruf a<br /><br />Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.<br /><br />Huruf b<br /><br />Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.<br /><br />Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.<br /><br />Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.<br />Huruf c<br />Cukup jelas.<br />Ayat (1a)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.<br /><br />Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:<br /><br /> 1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;<br /> 2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan<br /> 3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.<br /><br />Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Huruf a<br /><br />Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.<br />Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.<br /><br />Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.<br /><br />Huruf b<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf c<br /><br />Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.<br /><br />Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Huruf a dan huruf b<br /><br />Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.<br /><br />Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.<br /><br />Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.<br /><br />Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.<br /><br />Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.<br /><br />Ayat (6)<br /><br />Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.<br /><br />Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.<br /><br />Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.<br /><br />Angka 3<br /><br />Pasal 3<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.<br /><br />Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.<br /><br />Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Cukup jelas.<br />Angka 4<br />Pasal 4<br />Ayat (1)<br /><br />Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.<br /><br />Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.<br />Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.<br /><br />Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:<br /><br /> 1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;<br /> 2. penghasilan dari usaha dan kegiatan;<br /> 3. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan<br /> 4. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.<br /><br /><br />Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.<br /><br />Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.<br /><br />Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.<br /><br />Huruf a<br /><br />Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.<br /><br />Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.<br /><br />Huruf b<br /><br />Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.<br /><br />Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.<br /><br />Huruf c<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf d<br /><br />Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.<br /><br />Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.<br /><br />Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.<br /><br />Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.<br /><br />Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br /><br />Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.<br /><br />Huruf e<br /><br />Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.<br /><br />Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.<br /><br />Huruf f<br /><br />Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.<br /><br />Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.<br /><br />Huruf g<br /><br />Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.<br /><br />Termasuk dalam pengertian dividen adalah:<br />1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;<br />2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;<br />3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;<br />4) pembagian laba dalam bentuk saham;<br />5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;<br />6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;<br />7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;<br />8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;<br />9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;<br />10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;<br />11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;<br />12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.<br /> <br />Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.<br /><br />Huruf h<br /><br />Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:<br /><br /> 1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;<br /> 2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;<br /> 3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;<br /> 4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:<br /> a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;<br /> b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;<br /> c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;<br /><br /> 5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan<br /> 6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.<br /><br />Huruf i<br /><br />Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.<br /><br />Huruf j<br /><br />Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.<br /><br />Huruf k<br /><br />Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.<br /><br />Huruf l<br /><br />Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.<br /><br />Huruf m<br /><br />Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.<br /><br />Huruf n<br /><br />Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.<br /><br />Huruf o<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf p<br /><br />Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak.<br />Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.<br /><br />Huruf q<br /><br />Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.<br /><br />Huruf r<br /><br />Cukup jelas.<br />Huruf s<br /><br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br /><br />Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:<br />- perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;<br />- kesederhanaan dalam pemungutan pajak;<br />- berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;<br />- pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan<br />- memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,<br />atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.<br /><br />Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br />Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.<br /><br />Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Huruf a<br /><br />Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.<br /><br />Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.<br /><br />Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br /><br />Huruf b<br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf c<br /><br />Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak.<br /><br />Huruf d<br /><br />Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.<br /><br />Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.<br /><br />Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.<br /><br />Huruf e<br /><br />Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.<br /><br />Huruf f<br />Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” dan “badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah.<br /><br />Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.<br /><br />Huruf g<br /><br />Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.<br /><br />Huruf h<br /><br />Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br /><br />Huruf i<br /><br />Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.<br /><br />Huruf j<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf k<br /><br />Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.<br />Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.<br /><br />Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak.<br /><br />Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.<br /><br />Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.<br /><br />Huruf l<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf m<br /><br />Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.<br /><br />Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.<br /><br />Huruf n<br /><br />Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.<br />Angka 5<br /> <br />Pasal 6<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.<br />Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /><br />Huruf a<br />Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.<br />Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.<br /><br />Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br />Contoh:<br /><br />Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:<br />a. penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h Rp100.000.000,00<br />b. penghasilan bruto lainnya sebesar Rp300.000.000,00 (+)<br /> Jumlah penghasilan bruto Rp400.000.000,00<br />Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.<br /><br />Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f.<br />Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.<br /><br />Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br />Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.<br /><br />Pengeluaran-pengeluaransehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.<br /><br />Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /><br />Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.<br /><br />Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.<br /><br />Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /><br />Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br />Huruf b<br /><br />Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.<br /><br />Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.<br /><br />Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.<br /><br />Huruf c<br /><br />Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br /><br />Huruf d<br /><br />Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /><br />Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /><br />Huruf e<br /><br />Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.<br /><br />Huruf f<br /><br />Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.<br /><br />Huruf g<br /><br />Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.<br /><br />Huruf h<br /><br />Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.<br /><br />Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.<br /><br />Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br />Huruf i<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf j<br /><br />Cukup jelas.<br />Huruf k<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf l<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf m<br /><br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br /><br />Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.<br /><br />Contoh :<br /><br />PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :<br />2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00<br />2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)<br />2012 : laba fiskal Rp N I H I L<br />2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00<br />2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00<br /><br />Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :<br />Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)<br />Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)<br />Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)<br />Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)<br />Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)<br />Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+)<br />Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)<br />Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000,00 (+)<br />Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)<br />Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)<br />Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 100.000.000,00)<br /> <br />Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br /><br />Angka 6<br /><br />Pasal 7<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.<br /><br />Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah).<br /><br />Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.<br /><br />Contoh:<br /><br />Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.<br /><br />Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.<br />Ayat (3)<br /><br />Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.<br /><br />Angka 7<br /><br />Pasal 8<br /><br />Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.<br /><br />Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:<br /><br /> 1. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan<br /> 2. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.<br /><br />Contoh:<br /><br />Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.<br /><br />Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.<br />Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.<br /><br />Ayat (2) dan ayat (3)<br /><br />Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.<br /><br />Contoh:<br /><br />Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.<br /><br />Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).<br /><br />Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:<br />- Suami: 100.000.000,00 x Rp27.550.000,00<br /> 250.000.000,00 = Rp11.020.000,00<br />- Isteri : 150.000.000,00 x Rp27.550.000,00<br /> 250.000.000,00 = Rp16.530.000,00<br /> <br />Ayat (4)<br /><br />Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.<br /><br />Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.<br /><br />Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.<br /><br />Angka 8<br /><br />Pasal 9<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br /><br />Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.<br /><br />Huruf a<br /><br />Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.<br /><br />Huruf b<br /><br />Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.<br /><br />Huruf c<br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf d<br /><br />Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.<br />Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.<br /><br />Huruf e<br /><br />Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak.<br />Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:<br /><br /> 1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil;<br /> 2. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan<br /> 3. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.<br /><br />Huruf f<br /><br />Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br />Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).<br /><br />Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.<br /><br />Huruf g<br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf h<br /><br />Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.<br /><br />Huruf i<br /><br />Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.<br /><br />Huruf j<br /><br />Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji.<br />Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.<br /><br />Huruf k<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.<br />Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.<br /><br />Angka 9<br /><br />Pasal 11<br /><br />Ayat (1) dan ayat (2)<br /><br />Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.<br /><br />Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.<br /> <br />Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:<br /><br /> 1. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau<br /> 2. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).<br /><br />Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.<br /><br />Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.<br /><br />Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.<br /><br />Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.<br /><br />Contoh penggunaan metode garis lurus:<br /><br />Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).<br /><br />Contoh penggunaan metode saldo menurun:<br /><br />Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.<br />Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku<br />Harga Perolehan 150.000.000,00<br />2009 50% <br />75.000.000,00<br /> <br />75.000.000,00<br />2010 50% <br />37.500.000,00<br /> <br />37.500.000,00<br />2011 50% <br />18.750.000,00<br /> <br />18.750.000,00<br />2012 Disusutkan sekaligus <br />18.750.000,00<br /> <br />0<br /> <br />Ayat (3)<br />Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.<br /><br />Contoh 1:<br /><br />Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.<br /><br />Contoh 2:<br /><br />Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.<br />Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku<br />Harga Perolehan 100.000.000,00<br />2009 6/12 x 50% <br />25.000.000,00<br /> <br />75.000.000,00<br />2010 50% <br />37.500.000,00<br /> <br />37.500.000,00<br />2011 50% <br />18.750.000,00<br /> <br />18.750.000,00<br />2012 50% <br /> 9.375.000,00<br /> <br /> 9.375.000,00<br />2013 Disusutkan sekaligus <br /> 9.375.000,00<br /> <br />0<br /> <br />Ayat (4)<br /> <br />Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.<br /><br />Contoh:<br /><br />PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2010.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (6)<br /><br />Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.<br /><br />Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.<br /><br />Ayat (7)<br /><br />Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang-bidang usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br />Ayat (8) dan ayat (9)<br /><br />Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.<br /><br />Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br /><br />Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.<br /><br />Ayat (10)<br /><br />Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.<br /><br />Ayat (11)<br /><br />Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.<br /><br />Angka 10<br /><br />Pasal 11A<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:<br /><br /> 1. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau<br /> 2. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.<br /><br />Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.<br /><br />Ayat (1a)<br /><br />Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara prorata.<br /><br />Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi.<br />Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.<br /><br />Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.<br /><br />Contoh:<br /><br />Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).<br /><br />Ayat (6)<br /><br />Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.<br /><br />Ayat (7)<br /><br />Contoh:<br /><br />PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:<br />Harga perolehan Rp 500.000.000,00<br />Amortisasi yang telah dilakukan: <br />100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp 250.000.000,00<br />Nilai buku harta Rp 250.000.000,00<br />Harga jual harta Rp 300.000.000,00<br />Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.<br /><br />Ayat (8)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 11<br /><br />Pasal 14<br /> <br />Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.<br />Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.<br /><br />Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:<br /><br /> 1. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau<br /> 2. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.<br /><br />Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.<br /><br />Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.<br /><br />Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:<br /><br /> 1. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau<br /> 2. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan<br /><br />sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.<br /><br />Ayat (6)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (7)<br /><br />Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.<br /><br />Angka 12<br /><br />Pasal 16<br /><br />Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.<br /> <br />Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.<br /><br />Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br /><br />Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:<br /><br /> 1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan<br /> 2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut.<br />- Peredaran bruto Rp6.000.000.000,00<br />- Biaya untuk mendapatkan, menagih,<br />dan memelihara penghasilan <br />Rp5.400.000.000,00(-)<br />- Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 600.000.000,00<br />- Penghasilan lainnya Rp50.000.000,00 <br />- Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya tersebut <br />Rp30.000.000,00(-) <br /> Rp 20.000.000,00(+)<br />- Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 620.000.000,00<br />- Kompensasi kerugian Rp 10.000.000,00(-)<br />- Penghasilan Kena Pajak<br />(bagi Wajib Pajak badan) <br />Rp 610.000.000,00<br />- Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak) <br /><br />Rp 19.800.000,00(-)<br />- Penghasilan Kena Pajak <br /> (bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 590.200. 000,00<br />Ayat (2)<br /> <br />Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.<br />- Peredaran bruto Rp 4.000.000.000,00<br />- Penghasilan neto (menurut Norma<br />Penghitungan) misalnya 20% <br />Rp 800.000.000,00<br />- Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00 (+)<br />- Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 805.000.000,00<br />- Penghasilan Tidak Kena Pajak<br />(isteri + 3 anak) Rp 21.120.000,00 (-)<br /> Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000,00 <br />Ayat (3)<br /> <br />Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.<br /><br />Contoh:<br />- Peredaran bruto Rp10.000.000.000,00<br />- Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan <br />Rp 8.000.000.000,00(-)<br /> Rp 2.000.000.000,00<br />- Penghasilan bunga Rp 50.000.000,00<br />- Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor pusat <br /><br /><br />Rp 2.000.000.000,00 <br />- Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan <br />Rp1.500.000.000,00(-) <br /> Rp 500.000.000,00<br /> Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap <br /><br /><br />Rp1.000.000.000,00(+)<br /> Rp3.550.000.000,00<br />- Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 450.000.000,00(-)<br />- Penghasilan Kena Pajak Rp3.100.000.000,00 <br />Ayat (4)<br /><br />Contoh:<br /><br />Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.<br />Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 150.000.000,00<br />Penghasilan setahun sebesar: <br />(360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00 Rp 600.000.000,00<br />Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 15.840.000,00(-)<br />Penghasilan Kena Pajak Rp 584.160.000,00<br />Angka 13<br /><br />Pasal 17<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Huruf a<br /><br />Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:<br />Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.<br />Pajak Penghasilan yang terutang:<br />5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00<br />15% x Rp200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00<br />25% x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00<br />30% x Rp100.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 (+)<br /> Rp125.000.000,00<br /> <br />Huruf b<br /><br />Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:<br /><br />Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00<br />Pajak Penghasilan yang terutang:<br />28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.<br /><br />Ayat (2a)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (2b)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (2c)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (2d)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Contoh:<br /><br />Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.<br /><br />Ayat (5) dan ayat (6)<br /><br />Contoh:<br /><br />Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00<br />Pajak Penghasilan setahun:<br />5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00<br />15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00<br />25% x Rp 250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00<br />30% x Rp 84.160.000,00 = Rp 25.248.000,00 (+)<br /> Rp 120.248.000,00<br />Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)<br />((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00<br /><br />Ayat (7)<br /><br />Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.<br /><br />Angka 14<br /><br />Pasal 18<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.<br /><br />Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.<br /><br />Contoh:<br /><br />PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).<br /><br />Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).<br /><br />Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.<br /><br />Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.<br /><br />Ayat (3a)<br /><br />Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.<br /><br />Ayat (3b)<br /><br />Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).<br /><br />Ayat (3c)<br /><br />Contoh:<br /><br />X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.<br /><br />Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.<br />Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.<br /><br />Ayat (3d)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3e)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:<br /><br /> 1. kepemilikan atau penyertaan modal; atau<br /> 2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.<br /><br />Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.<br /><br />Huruf a<br />Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.<br /><br />Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.<br /><br />Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.<br /><br />Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.<br /><br />Huruf b<br />Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.<br /><br />Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.<br /><br />Huruf c<br />Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara.<br /><br />Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 15<br /><br />Pasal 19<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar.<br />Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Cukup jelas.<br />Angka 16<br /> <br />Pasal 21<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.<br /><br />Huruf a<br /><br />Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.<br /><br />Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem.<br /><br />Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.<br /><br />Huruf b<br /><br />Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.<br /><br />Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.<br /><br />Huruf c<br /><br />Yang termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.<br /><br />Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima tabungan hari tua.<br /><br />Huruf d<br /><br />Yang termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2).<br />Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter, pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.<br /><br />Huruf e<br /><br />Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian.<br />Ayat (2)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.<br /><br />Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (5a)<br /><br />Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu NPWP.<br /><br />Contoh:<br /><br />Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00<br /><br />Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:<br />5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00<br />15% x Rp25.000.000,00 = Rp3.750.000,00 (+)<br />Jumlah Rp6.250.000,00<br />Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:<br />5% x 120% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00<br />15% x 120% x Rp25.000.000,00 = Rp4.500.000,00 (+)<br />Jumlah Rp7.500.000,00<br />Ayat (6)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (7)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (8)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 17<br /><br />Pasal 22<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:<br />- bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;<br />- badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen; dan<br />- Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.<br />Dalam pelaksanaan ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:<br />- penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;<br />- tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan<br />- prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. <br />Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final.<br />Ayat (2)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.<br /><br />Angka 18<br /><br />Pasal 23<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (1a)<br /><br />Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 19<br /><br />Pasal 24<br /><br />Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.<br /><br />Contoh:<br /><br />PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.<br />Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:<br />Keuntungan Z Inc US$ 100,000.00<br />Pajak Penghasilan (Corporate income tax) <br />atas Z Inc.: (48%) US$ 48,000.00 (-)<br /> US$ 52,000.00<br />Pajak atas dividen (38%) US$ 19,760.00 (-)<br />Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00<br />Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.<br /><br />Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).<br /><br />Ayat (3) dan (4)<br /><br />Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut Undang-Undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting.<br />Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.<br /><br />Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.<br />Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996.<br /><br />Ayat (6)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 20<br /><br />Pasal 25<br /><br />Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Contoh 1:<br /><br />Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan<br />tahun 2009<br />dikurangi: Rp 50.000.000,00<br />a. Pajak Penghasilan yang dipotong<br />pemberi Kerja (Pasal 21) <br />Rp15.000.000,00<br />b. Pajak Penghasilan yang dipungut<br />oleh pihak lain (Pasal 22) <br />Rp10.000.000,00<br />c. Pajak Penghasilan yang dipotong<br />oleh pihak lain (Pasal 23) <br />Rp 2.500.000,00<br />d. Kredit Pajak Penghasilan<br />luar negeri (Pasal 24) <br />Rp 7.500.000,00 (+)<br /> Jumlah kredit pajak Rp35.000.000,00 (-)<br /> Selisih Rp15.000.000,00<br /> <br />Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).<br /><br />Contoh 2:<br /><br />Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6).<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).<br /><br />Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.<br /><br />Contoh:<br /><br />Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).<br /><br />Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.<br /><br />Contoh:<br /><br />Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).<br /><br />Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (6)<br /><br />Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian; Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br /><br />Contoh 1:<br />- Penghasilan PT X tahun 2009 Rp 120.000.000,00<br />- Sisa kerugian tahun sebelumnya<br />yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00<br />- Sisa kerugian yang belum<br />dikompensasikan tahun 2009 Rp 30.000.000,00<br /><br />Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:<br />Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.<br /><br />Pajak Penghasilan yang terutang:<br />28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00<br /><br />Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.<br /><br />Contoh 2:<br /><br />Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.<br /><br />Contoh 3:<br /><br />Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).<br /><br />Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).<br /><br />Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /><br />Ayat (7)<br /><br />Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.<br /><br />Huruf a<br /><br />Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br /><br />Huruf b<br /><br />Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat kewajiban menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.<br /><br />Huruf c<br /><br />Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto.<br /><br />Ayat (8)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (8a)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (9)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 21<br /><br />Pasal 26<br /><br />Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.<br /><br />Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.<br /><br />Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:<br /><br /> 1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br /> 2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;<br /> 3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;<br /> 4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;<br /> 5. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau<br /> 6. keuntungan karena pembebasan utang.<br /><br />Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).<br /><br />Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).<br /><br />Ayat (1a)<br /><br />Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.<br /><br />Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.<br /><br />Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).<br /><br />Ayat (2a)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (4)<br /><br />Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).<br /><br />Contoh:<br />Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha<br />tetap di Indonesia dalam tahun 2009 Rp17.500.000.000,00<br />Pajak Penghasilan:<br />28% x Rp17.500.000.000,00 = Rp 4.900.000.000,00 (-)<br />Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp12.600.000.000,00<br />Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang<br />20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00<br /><br />Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.<br /><br />Ayat (5)<br /><br />Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.<br /><br />Contoh:<br /><br />A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.<br /><br />Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.<br /><br />Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.<br /><br />Angka 22<br /><br />Pasal 29<br /><br />Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan.<br /><br />Angka 23<br /><br />Pasal 31A<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang- Undang perpajakan adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.<br /><br />Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.<br /><br />Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Cukup jelas.<br />Angka 24<br /> <br />Pasal 31B<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 25<br /><br />Pasal 31C<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 26<br /><br />Pasal 31D<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 31E<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Contoh 1:<br /><br />Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).<br /><br />Penghitungan pajak yang terutang:<br /><br />Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).<br /><br />Pajak Penghasilan yang terutang:<br /><br />(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00<br /><br />Contoh 2:<br /><br />Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).<br /><br />Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:<br /><br /> 1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:<br /> (Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00<br /> 2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:<br /> Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00<br /><br />Pajak Penghasilan yang terutang:<br />- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00<br />- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)<br />Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang Rp 772.800.000,00<br />Ayat (2)<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 27<br /><br />Pasal 32<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Angka 28<br /><br />Pasal 32B<br /><br />Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.<br /><br />Angka 29<br /><br />Pasal 35<br /><br />Dengan peraturan pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan agar Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.<br /><br />Pasal II<br /><br />Angka 1<br /><br />Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2001 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2000. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.<br /><br />Angka 2<br /><br />Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2008. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.<br /><br /><br /><br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4893Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-59503782023994795272009-10-29T19:23:00.000-07:002009-10-29T19:24:21.688-07:00PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 244/PMK.03/2008Perihal : JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008<br /><br />Tanggal Terbit : 31 Desember 2008<br /><br /> PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 244/PMK.03/2008<br /><br /> TENTANG<br /><br /> JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C<br /> ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br /> SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN<br /> UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008<br /><br /> MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang <br /> Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36<br /> Tahun 2008, imbalan sehubungan dengan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan <br /> sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari <br /> jumlah bruto atas imbalan dimaksud.<br />b. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan <br /> sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, <br /> Menteri Keuangan berwenang mengatur jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)<br /> huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah <br /> beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;<br />c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b dimaksud, perlu menetapkan Peraturan <br /> menteri Keuangan tentang Jenis Jasa Lain Sebagaiman Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c <br /> Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa<br /> kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. <br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran <br /> Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) <br /> sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 <br /> (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik <br /> Indonesia Nomor 4740);<br />2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia<br /> Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana <br /> telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara <br /> Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor <br /> 4893)<br />3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; <br /><br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 <br />AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN <br />SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />(1) Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana <br /> dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 <br /> Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali <br /> diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2%<br /> (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.<br />(2) Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:<br /> a. Jasa penilai (appraisal);<br /> b. Jasa aktuaris;<br /> c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;<br /> d. Jasa perancang (design);<br /> e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang <br /> dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);<br /> f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;<br /> g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;<br /> h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;<br /> i. Jasa penebangan hutan;<br /> j. Jasa pengolahan limbah;<br /> k. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)<br /> l. Jasa perantara dan/atau keagenan;<br /> m. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, <br /> KSEI dan KPEI;<br /> n. Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oelh KSEI;<br /> o. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;<br /> p. Jasa mixing film;<br /> q. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan <br /> perbaikan;<br /> r. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, <br /> selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan <br /> mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;<br /> s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV <br /> kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak<br /> yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai <br /> pengusaha konstruksi;<br /> t. Jasa maklon;<br /> u. Jasa penyelidikan dan keamanan;<br /> v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;<br /> w. Jasa pengepakan;<br /> x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain<br /> untuk penyampaian informasi;<br /> y. Jasa pembasmian hama;<br /> z. Jasa kebersihan atau cleaning service;<br /> aa. Jasa catering atau tata boga. <br />(3) Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak <br /> memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tariff pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus <br /> persen) daripada tariff sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />(1) Jasa penunjang di bidang penambangan migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf f <br /> adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:<br /> a. Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat di <br /> antara pipa selubung dan lubang sumur;<br /> b. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk <br /> maksud-maksud:<br /> - Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;<br /> - Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;<br /> - Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;<br /> - Penutupan sumur. <br /> c. Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian <br /> formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangakaian pipa <br /> produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;<br /> d. Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi<br /> dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak <br /> diinginkan;<br /> e. Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara <br /> pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus <br /> sangat kecil;<br /> f. Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk <br /> menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga <br /> aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai <br /> akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;<br /> g. Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar <br /> dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;<br /> h. Jasa reparasi pompa reda (reda repair);<br /> i. Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;<br /> j. Jasa penggantian peralatan/material;<br /> k. Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;<br /> l. Jasa mud engineering;<br /> m. Jasa well logging & perforating;<br /> n. Jasa stimulasi dan secondary decovery;<br /> o. Jasa well testing & wire line service;<br /> p. Jasa alat control navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;<br /> q. Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;<br /> r. Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;<br /> s. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pegeboran migas. <br />(2) Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud <br /> dalam Pasal 1 ayat (2) huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang <br /> pertambangan umum berupa:<br /> a. Jasa pengeboran;<br /> b. Jasa penebasan;<br /> c. Jasa pengupahan dan pengeboran;<br /> d. Jasa penambangan;<br /> e. Jasa pengangkutan/system transportasi, kecuali jasa angkutan umum;<br /> f. Jasa pengolahan bahan galian;<br /> g. Jasa reklamasi tambang;<br /> h. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan <br /> tanah;<br /> i. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum. <br />(3) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan Bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 <br /> ayat (2) huruf h adalah berupa:<br /> a. Bidang aeronautika, termasuk:<br /> 1. Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan<br /> dengan pendaratan pesawat udara;<br /> 2. Jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);<br /> 3. Jasa pelayanan penerbangan;<br /> 4. Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan <br /> penumpang dan bagasinya serta kargo,yang diangkut dengan pesawat udara, baik<br /> yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara didarat;<br /> 5. Jasa penunjang lain di bidang aeronautika. <br /> b. Bidang non-aeronautika, termasuk:<br /> 1. Jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;<br /> 2. Jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika. <br />(4) Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf t adalah pemberian jasa dalam <br /> rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak <br /> pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau<br /> bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna <br /> jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.<br />(5) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) <br /> huruf v adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi <br /> antara lain penyelengaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, <br /> konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan <br />penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 31 Desember 2008<br />MENTERI KEUANGAN<br /><br />ttd<br /><br />SRI MULYANI INDRAWATIUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-61072144717101567362009-10-27T03:55:00.000-07:002009-10-27T03:56:16.513-07:00PAJAK KERJASAMA OPERASI (JOINT OPERATION)PERMOHONAN PENEGASAN PENGENAAN PAJAK<br /><br /> <br /><br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal XXX, dan Nomor XXX tanggal XXX, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br /><br /> 1.<br /><br /> Dalam sura tersebut Saudara mengemukakan hal-hal sebagai berikut :<br /> 1.<br /><br /> Dalam rangka pelaksanaan suatu kontrak Jasa dengan salah satu Kontraktor Production Sharing (KPS) XXX, PT. ABC akan membentuk suatu Kerja Sama Operasi (KSO) dengan 2 perusahaan swasta lainnya, yaitu PT. DEF dan YYY dengan nama KSO HWI;<br /> 2.<br /><br /> Lingkup pekerjaan HWI adalah :<br /><br /> <br /> <br /><br />1)<br /> <br /><br />Jasa Rekayasa Teknis;<br /><br /> <br /> <br /><br />2)<br /> <br /><br />Jasa Manajemen Material;<br /><br /> <br /> <br /><br />3)<br /> <br /><br />Jasa Supervisi Konstruksi;<br /><br /> <br /> <br /><br />4)<br /> <br /><br />Jasa Manajemen Kontrak;<br /><br /> <br /> <br /><br />5)<br /> <br /><br />Jasa Manajemen peraltan Konstruksi;<br /><br /> <br /> <br /><br />6)<br /> <br /><br />Jasa Pelaksana Konstruksi.<br /><br /> 1.<br /><br /> Dalam surat tersebut Saudara membreikan contoh transaksi yang Saudara lakukan yang berhubungan dengan jasa konstruksi, jasa sertifikasi dan jasa perantara;<br /> 2.<br /><br /> Saudara mohon penegasan atas Permasalahan yang berhubungan dengan Kerjasama Operasi.<br /> 1.<br /><br /> Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur :<br /> 1.<br /><br /> Pasal 2 ayat (1) huruf b, yang menjadi Subjek Pajak adalah antara lain badan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang atau orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana;<br /> 2.<br /><br /> Pasal 23 ayat (1) huruf c, atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong oleh pihak yang membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br /> 2.<br /><br /> Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh, antara lain diatur :<br /> 1.<br /><br /> Pasal 1<br /> Ayat (1)<br /> Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya;<br /> Ayat (2)<br /> Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruti untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br /> 2.<br /><br /> Lampiran II angka 3, Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin/listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, perkiraan penghasilan nrtonya adalah 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /> 3.<br /><br /> Lmpiran II angka 4 huruf a dan b, perkiraan penghasilan neto untuk jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi adalah 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /> 4.<br /><br /> Lampiran II angka 2 huruf a, perkiraan penghasilan neto untuk jasa teknik dan jasa manajemen adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /> 5.<br /><br /> Lampiran II angka 2 huruf m, perkiraan penghasilan neto untuk jasa perantara adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /> 6.<br /><br /> Lampiran II angka 1 huruf d, perkiraan penghasilan neto untuk jasa penilai adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br /> 3.<br /><br /> Sesuai dengan Romawi I angka 1 Suar Edaran Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan :<br /><br /> <br /> <br /><br />1)<br /> <br /><br />Jenis usaha jasa konstruksi adalah terdiri atas usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi;<br /><br /> <br /> <br /><br />2)<br /> <br /><br />Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk perawatannya;<br /><br /> 1.<br /><br /> Sesuai dengan Romawi I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.222/1984 tentang Jasa Teknik dan Jasa Manajemen Menurut Pasal 23 dan Pasal 26 UU PPH, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik ialah pemberian jasa dalam bentuk pembeiran informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalambidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan.<br /> 2.<br /><br /> Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ./1994 tentang pemecahan Bukti Potong PPh Pasal 23 antara lain ditegaskan bahwa atas penghasilan berupa bunga, sewa dan lain-lain yang diterima atau diperoleh Joint Operation (J.O) dari WP Badan Dalam Negeri dan perorangan yang ditunjuk, dipotong Pasal 23. Pemotongan tersebut tidak akan diperhitungkan sebagai kredit pajak para anggotanya sejalan dengan perhitungan penghasilan tersebut pada penghasilan J.O. Adapun besarnya PPh Pasal 23 yang dapat dikreditkan adalah sesuai dengan perjanjian J.O yang telah disepakati bersama. Agar pengkreditan pemotongan PPh Pasal 23 sejalan dengan pengkreditan oleh para anggota J.O, maka Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota.<br /> 3.<br /><br /> Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan :<br /> 1.<br /><br /> Kerjasama Operasi (KSO) adalah merupakan kerjasama operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan. Dengan demikian bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana dimakusd dalam Pasal 2 huruf b UU PPh, dan oleh karenanya pengenaan PPh atas penghasilan dari proyek ersebut dikenakan pada masing-masing badan anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya;<br /> 2.<br /><br /> Mengingat bahwa Kerjasama Operasi bukan merupakan Subjek Pajak, maka Kerjasama Operasi tidak berkewajiban utnuk menyampaikan laporan dan membayar PPh Pasal 25 serta PPh Pasal 29, sedangkan kewajiban yang ada hanya sebagai Wajib Pajak pemotong/pemungut PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atau PPN;<br /> 3.<br /><br /> Pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil (KPS) membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26 atas nama KSO qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing.<br /> 4.<br /><br /> Pemberian NPWP adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan dan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN yang dilakukan oleh KSO terhadap objek atas imbalan yang dibayarkan.<br /> 5.<br /><br /> Tarif PPh Pasal 23 transaksi yang Saudara contohkan adalah sebagai berikut :<br /><br /> <br /> <br /><br />1)<br /> <br /><br />Atas Jasa pelaksanaan konstruksi wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% X 13 1/3% atau 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /><br /> <br /> <br /><br />2)<br /> <br /><br />Atas jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 26 2/3% atau 4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /><br /> <br /> <br /><br />3)<br /> <br /><br />Jasa sertifikasi termasuk dalam jasa penulai sehingga wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 50% atau 7,5% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /><br /> <br /> <br /><br />4)<br /> <br /><br />Jasa subkontrak yang dilakukan oleh KSO kepada perusahaan lain termasuk dalam Jasa perantara sehingga wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;<br /><br />Demikian harap maklum.<br /><br /> <br /> <br /><br />A.n.<br /> <br /><br />Direktur<br />Direktur Peraturan Perpajakan,<br /><br />ttd.<br /><br />Herry Sumardjito<br />NIP 060061993<br /><br />Tembusan :<br /><br /> 1.<br /><br /> Direktur Jenderal Pajak;<br /> 2.<br /><br /> Direktur Pajak Penghasilan;<br /> 3.<br /><br /> Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus;<br /> 4.<br /><br /> Kepala KPP PMA Lima.<br /><br /><br /><br />Perhitungan Pajak Atas Joint Operation<br />bman, 2 Januari 2008<br />Saya ingin bertanya mengenai masalah perhitungan pajak atas perusahaan joint operation,cara pembukuannya dan apa ada landasan hukum yang mengatur tentang JO. Terima kasih <br /><br />Jawaban :<br />7 Januari 2008<br />Yth. Bman <br /> <br />Pengertian Joint Operation<br />Pengertian JO dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut bahwa JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali dipertukarkan dengan istilah Konsorsium. <br />Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative JO.<br />a. Administrative JO<br />Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.<br />b. Non-Administrative JO <br />JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.<br /> <br />Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Atas JO<br />Kecuali reksadana, penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak secara spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak. Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan. <br />a. Aspek PPh - Administrative JO.<br />Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh pasal 21/ pasal 23/ pasal 26/ pasal 4 ayat 2). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. <br />Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak dapat mengkreditkan PPh pasal 23 yang dipotong oleh Project Owner pada saat pembayaran uang muka dan termin. Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh pasal 23 tersebut sebagai kredit pajak, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 mengatur mekanisme pemecahan bukti potong sebagai berikut:<br />1. Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan / atau pemotongan PPh pasal 23, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong kepada Project Owner yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh pasal 23 atas nama JO.qq. perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.<br />2. Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 23 atas nama JO, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 23 kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian melalui proses pemindahbukuan masing-masing anggota JO dapat mengkreditkan PPh pasal 23 tersebut.<br />Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 juncto KEP-161/PJ/2001 mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa Administrative JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK 12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode equity.<br />b. Aspek PPh Non-Administrative JO<br />Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 23 tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).<br />Perlakuan PPN Atas JO <br />Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002 diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama Operasi termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-Administrative JO yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-masing anggota, Administrative–JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-31362731445784853122009-09-16T23:32:00.000-07:002009-09-16T23:34:37.230-07:00PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN PP NO 132 TAHUN 2000PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 132 TAHUN 2000<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN<br /><br /> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang :<br /><br />bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983<br />tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 <br />Tahun 2000 dan dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak khususnya pajak atas <br />hadiah undian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua <br /> Undang-Undang Dasar 1945;<br />2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia <br /> Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali <br /> diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia <br /> Tahun 2000 Nomor 127), Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut Pajak <br />Penghasilan yang bersifat final.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam <br />Pasal 1 adalah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah undian.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam <br />Pasal 1 dan Pasal 2.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri <br />Keuangan dengan memperhatikan rekomendasi dari instansi yang terkait.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1994 tentang Pajak <br />Penghasilan atas Hadiah Undian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 71, Tambahan <br />Lembaran Negara Nomor 3575) dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan <br />penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br /> Ditetapkan di Jakarta<br /> pada tanggal 15 Desember 2000<br /> A.n. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br /> WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br /> ttd<br /><br /> MEGAWATI SOEKARNOPUTRI<br /><br />Diundangkan di Jakarta<br />Pada tanggal 15 Desember 2000<br />SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />ttd<br /><br />DJOHAN EFFENDI<br /><br /><br /><br /> LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 237<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> PENJELASAN<br /> ATAS<br /><br /> PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 132 TAHUN 2000<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN<br /><br />UMUM<br /><br />Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan <br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, penghasilan <br />yang diterima atau diperoleh dari hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun merupakan Objek <br />Pajak Penghasilan. Dengan demikian apabila orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh <br />penghasilan dari hadiah undian, penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana <br />dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan <br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.<br /><br />Untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan <br />dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-<br />undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir <br />dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah undian tersebut <br />perlu diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br />Mengingat bahwa penghasilan berupa hadiah undian bukan merupakan suatu imbalan langsung atas pekerjaan <br />atau jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak, dan cara memperolehnya juga tidak memerlukan biaya dan tenaga <br />sebagaimana yang terjadi dalam imbalan atas pekerjaan, oleh karena itu penghasilan berupa hadiah undian <br />dengan nama dan dalam bentuk apapun, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dan <br />bersifat final. Pemotongan Pajak Penghasilan tersebut wajib dilakukan oleh semua penyelenggara undian.<br /><br /><br /><br />PASAL DEMI PASAL<br /><br />Pasal 1<br /><br /> Atas hadiah undian yang dibayarkan atau diserahkan kepada orang pribadi atau badan dikenakan <br /> Pajak Penghasilan yang bersifat final.<br /><br /> Yang dimaksud dengan hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang <br /> diberikan melalui undian.<br /><br />Pasal 2<br /><br /> Dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak, penghasilan berupa hadiah undian <br /> dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan baik <br /> dalam negeri maupun luar negeri dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebesar <br /> 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto nilai hadiah.<br /><br /> Pengertian nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam <br /> bentuk natura misalnya mobil.<br /><br />Pasal 3<br /><br /> Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk organisasi <br /> internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang <br /> memberikan hadiah dengan cara diundi.<br /><br /> Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 wajib dipotong atau dipungut <br /> oleh penyelenggara undian tersebut.<br /><br />Pasal 4<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 5<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 6<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /><br /><br /><br /> TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4040Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-6266987442860098662009-09-16T23:29:00.000-07:002009-09-16T23:31:25.744-07:00PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN PENGHARGAAN<strong>Pengertian</strong><br />- Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.<br />- Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.<br />- Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.<br />- Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.<br />Pemotong PPh<br />Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) adalah:<br />- penyelenggara undian;<br />- pemberi hadiah<br /><br /><strong>Tarif</strong><br /><br />- Atas hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% (duapuluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah atau nilai pasar hadiah berupa natura dan bersifat final.<br />- Atas hadiah atau penghargaan, perlombaan, penghargaan dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya, dikenakan PPh dengan ketentuan sebagai berikut:<br />a. dikenakan PPh pasal 21 sebesar tarif PPh pasal 17 Undang-undang PPh, bila penerima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.<br />b. dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan final dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, bila penerima Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT.<br />c. dikenakan PPh pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah penghasilan bruto, bila penerima Wajib Pajak badan termasuk BUT.<br />Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan<br />1. Saat terutang<br />- PPh atas hadiah dan penghargaan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau diserahkannya hadiah tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.<br />- PPh dipotong oleh penyelenggara (hadiah dan penghargaan) sebelum hadiah atau penghargaan diserahkan kepada yang berhak. <br />- Penyelenggara wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh atas Hadiah atau Undian, rangkap 3:<br />- lembar ke-1 untuk penerima hadiah (Wajib Pajak);<br />- lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak;<br />- lembar ke-3 untuk Penyelenggara/ Pemotong.<br /><br /><strong>2. Penyetoran dan Pelaporan</strong><br /><br />Penyelenggara undian atau penghargaan wajib:<br />- menyetor PPh yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya Pajak (secara kolektif).<br />- menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong terdaftar paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah dibayarkannya atau diserahkannya hadiah undian tersebut.<br />Lain-lain<br />Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh adalah hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasaUnknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-44081395534160268922009-06-04T22:52:00.000-07:002009-06-04T22:53:11.774-07:00NOTA RETURSURAT<br />S-66/PJ.51/2004<br />Ditetapkan tanggal 10 Februari 2004<br />PENJELASAN ATAS FAKTUR PAJAK DAN NOTA RETUR<<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ......................... tanggal 23 Oktober 2003 hal Permohonan Penjelasan, dengan ini diberikan penjelasan dan penegasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menjelaskan bahwa : <br />a. Perusahaan Saudara menerbitkan Faktur Pajak yang sekaligus berfungsi sebagai faktur penjualan setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak melalui surat nomor S-2698/PJ.523/1998 tanggal 2 Desember 1998. Faktur Pajak yang Saudara terbitkan tersebut memuat keterangan minimal yang wajib dicantumkan dalam Faktur Pajak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-323/PJ/2001 dan disertai keterangan lain seperti nomor nota kode jatuh tempo pembayaran, kuantum dan harga satuan. <br />b. Dalam hal terjadi pengembalian barang dari pembeli, pengembalian barang tidak selalu disertai dengan Nota Retur Pajak. <br />c. Saudara menanyakan apakah Faktur Pajak yang Saudara terbitkan sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku dan dalam hal terjadi pengembalian barang dari pembeli, apakah diperbolehkan pihak Saudara yang menerbitkan Nota Retur untuk kemudian dimintakan tanda tangan pihak pembeli. <br />2. Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN) juncto Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-549/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan Tata Cara Penyampaian dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-433/PJ/2002 tanggal 20 September 2002, menyebutkan antara lain : <br />a. Pasal 2 ayat (1), Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat : <br />1. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak; <br />2. Nama, alamat, NPWP pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak; <br />3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; <br />4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; <br />5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Dipungut; <br />6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan <br />7. Nama, jabatan, tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. <br />b. Pasal 2 ayat (2), bentuk dan ukuran Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak. <br />c. Pasal 5 ayat (1), Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak Standar. <br />d. Pasal 5 ayat (2), Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan Faktur Penjualan sebagai Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan : <br />1. memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak ditempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan untuk mendapatkan Kode Faktur Pajak; <br />2. melaporkan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang akan digunakan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. <br />3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 596/KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk Barang Kena Pajak yang Dikembalikan antara lain diatur sebagai berikut : <br />a. Pasal 1 ayat (1) huruf a, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan oleh pembeli mengurangi Pajak Keluaran bagi PKP penjual sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN. <br />b. Pasal 2 ayat (1), pengurangan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak dilakukan, apabila BKP yang dikembalikan diganti dengan BKP yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya, oleh PKP penjual BKB tersebut. <br />c. Pasal 3 ayat (1), dalam hal terjadinya pengembalian BKP, maka pembeli harus membuat dan menyampaikan Nota Retur kepada PKP Penjual. <br />d. Pasal 3 ayat (3), Nota Retur sekurang-kurangnya mencantumkan : <br />1. Nomor urut; <br />2. Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan; <br />3. Nama, alamat dan NPWP pembeli; <br />4. Nama, alamat, NPWP, serta Nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak; <br />5. Macam, jenis, kuantum dan harga jual BKP yang dikembalikan; <br />6. PPN atas BKP yang dikembalikan; <br />7. PPnBM atas BKP Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan; <br />8. Tanggal pembuatan Nota retur; <br />9. Tanda tangan pembeli. <br />4. Berdasarkan ketentuan butir 2 d an 3 di atas serta memperhatikan isi surat Saudara, dengan ini ditegaskan sebagai berikut : <br />a. Faktur Pajak sebagaimana Saudara lampirkan contohnya dalam surat Saudara telah meme nuhi ketentuan formal sebagai Faktur Pajak Standar, namun demikian Saudara masih mempunyai kewajiban untuk memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimana Saudara dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana ketentuan pada butir 2 huruf d. <br />b. Nota Retur harus diterbitkan oleh Pembeli BKP dan bukan oleh Penjual/Pengusaha yang menyerahkan BKP yang bersangkutan dan harus memenuhi syarat baik formal maupun material sebagai Nota Returr yang sah, yaitu syarat sebagaimana dimaksud butir 3 huruf d dan secara fisik memang ada BKP yang dikembalikan. <br /> Demikian agar Saudara maklum.<br />a.n. Direktur Jenderal<br />PJ. Direktur PPN dan PTLL,<br />Robert Pakpahan<br />NIP. 060060167<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-1173/PJ.54/2000<br />Ditetapkan tanggal 31 Juli 2000 <br /> <br />Nomor : S-1173/PJ.54/2000<br />Sifat : Segera<br />Hal : Permohonan izin menggunakan Nota Retur<<br />yang sudah terlanjur dikeluarkan serta dilaporkan<br />dan penegasan atas penggunaan Nota <br /> <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .......................... tanggal 25 Januari 2000 hal sebagaimana tersebut pada pokok surat, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut:<br />1. Dalam surat Saudara dijelaskan baha PT. BSD NPWP : 1.313.195.8-022 bergerak di bidang Jasa Persewaan Gedung. Atas Penyewaan gedung tersebut, perusahaan menerbitkan Faktur Pajak Standar kepada para penyewa. Dengan pertimbangan kondisi ekonomi yang belum pulih dan keadaan nilai tukar rupiah yang belum stabil, kemudian perusahaan melakukan revisi/koreksi atas harga sewa. Atas revisi/koreksi harga sewa tersebut PT. BSD menerbitkan Nota Retur dan telah dilaporkan sebagai pengurang Pajak Keluaran. Atas permasalahn tersebut, Saudara mohon penegasan agar Nota Retur yang telah diterbitkan oleh PT. BSD tetap dapat diakui sebagai sarana untuk mengurangi Pajak Keluaran.<br />2. a. Sesuai dengan Pasal 5A Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 diatur bahwa PPN dan PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN dan PPnBM terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut yang tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> b. Sesuai dengan Pasa 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 596/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 jo butir 4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-12/PJ.54/1995 tanggal 3 April 1995 (Seri PPN II-95) diatur bahwa dalam hal terjadi pengembalian Barang Kena Pajak, maka pembeli harus membuat dan menyampaikan Nota Retur kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual.<br /> c. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-53/PJ/1994, tanggal 29 Desember 1994, tentang Penetapan saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian dan tata cara pembetulan Faktur Pajak Standar :<br /> c.1. Pada Lampiran III angka II butir 1 diatur bahwa Atas Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah dalam pengisian, Pengusaha Kena Pajak penjual dapat membuat Faktur Pajak Standar Pengganti.<br /> c.2. Pada Lampiran III angka II butir 7 diatur bahwa Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak Standar tersebut.<br />3. Berdasarkan ketentuan pada butir 2 dan memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1 dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :<br /> a. Nota Retur hanya dibuat oleh pembeli dalam hal terjadi pengembalian Barang Kena Pajak (ada fisik barang yang dikembalikan) yang disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual. Dengan demikian apabila terjadi revisi/ koreksi harga Jasa Kena Pajak maka tidak dapat dibuatkan Nota Retur.<<br /> b. Dalam kasus Saudara, atas revisi/koreksi harga atas jasa penyewaan gedung Atria Square/Wisma Standar Chartered Bank yang mengakibatkan adanya PPN yang lebih dipungut maka Saudara harus menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti. Dalam Faktur Pajak Standar Pengganti tersebut agar diisi sesuai dengan nilai sewa ataupun nilai jasa yang telah direalisasikan dan Faktur Pajak Standar yang digantikan dilampirkan pada Faktur Pajak Standar Pengganti tersebut.<br /> c. Atas penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti tersebut mengakibatkan adanya kewajiban untuk membetulkan SPT pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang digantikan dilaporkan sepanjang belum dilakukan pemeriksaan atas SPT Masa tersebut. Kewajiban memperbaiki SPT Masa tersebut berlaku baik bagi PKP Penjual/yang menyerahkan Jasa Kena Pajak maupun PKP Pembeli/Penerima Jasa Kena Pajak.<br /> <br />Demikian untuk dimaklumi. <br /> <br />a.n. Direktur Jenderal Pajak<br />Direktur PPN dan PTLL<br /> <br /> <br /> <br />Moch. Soebakir<br />NIP. 060020875<br /><br /><br />Tembusan:<br />1. Direktur Jenderal Pajak;<br />2. Direktur Peraturan Perpajakan;<br />3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanah Abang.<br /><br /><br /><br /><br /> KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA <br /> NOMOR 596/KMK.04/1994<br /><br /> TENTANG <br /><br /> TATA CARA PENGURANGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH <br /> UNTUK BARANG KENA PAJAK YANG DIKEMBALIKAN<br /><br /> MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang : dst<br /><br />Mengingat : dst<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGURANGAN PAJAK <br />PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH UNTUK BARANG KENA PAJAK YANG<br />DIKEMBALIKAN<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />(1) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan oleh pembeli <br /> mengurangi :<br /> a. Pajak Keluaran bagi Pengusaha Kena Pajak penjual sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan <br /> Barang Kena Pajak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak <br /> Pertambahan Nilai;<br /> b. Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, sepanjang Pajak Masukannya dapat<br /> dikreditkan dan telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai;<br /> c. Harta atau biaya bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukannya tidak<br /> dapat dikreditkan dan telah dikapitalisasi atau telah dibebankan sebagai biaya;<br /> d. Harta atau biaya bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak.<br /><br />(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang <br /> dikembalikan pembeli mengurangi :<br /> a. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak yang <br /> menghasilkan dan menyerahkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, sepanjang <br /> Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak Yang tergolong Mewah tersebut telah<br /> dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai;<br /> b. Harta atau biaya bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli;<br /> c. Harta atau biaya bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />(1) Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak dilakukan, <br /> apabila Barang Kena Pajak yang dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama, baik <br /> dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya, oleh Pengusaha Kena Pajak penjual Barang Kena Pajak <br /> tersebut.<br /><br />(2) Pengurangan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) tidak <br /> dilakukan, apabila Barang Kena Pajak yang dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang <br /> sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya, oleh Pengusaha Kena Pajak yang<br /> menghasilkan dan menyerahkan Barang Kena Pajak tersebut.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />(1) Dalam hal terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak, maka pembeli harus membuat dan<br /> menyampaikan Nota Retur kepada Pengusaha Kena Pajak penjual.<br /><br />(2) Atas pengembalian Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat tidak dibuat Nota <br /> retur.<br /><br />(3) Nota Retur sekurang-kurangnya mencantumkan :<br /> a. Nomor urut;<br /> b. Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan;<br /> c. Nama, alamat dan NPWP pembeli;<br /> d. Nama, alamat, NPWP, serta nomor dan tanggal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang<br /> menerbitkan Faktur Pajak;<br /> e. Macam, jenis, kuantum dan harga jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan;<br /> f. Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan;<br /> g. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang <br /> dikembalikan;<br /> h. Tanggal pembuatan Nota retur;<br /> i. Tanda tangan pembeli.<br /><br />(4) Dalam hal Nota Retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada<br /> ayat (3), maka tidak dapat diperlakukan sebagai Nota Retur.<br /><br />(5) Nota Retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 2 (dua)<br /> yaitu :<br /> - Lembar ke-1 : untuk Pengusaha Kena Pajak penjual;<br /> - Lembar ke-2 : untuk arsip pembeli.<br /><br />(6) Nota Retur harus dibuat dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak terjadinya pengembalian<br /> Barang Kena Pajak.<br /><br />(7) Bentuk dan ukuran Nota Retur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disesuaikan dengan<br /> kebutuhan administrasi pembeli atau dapat dibuat seperti contoh dalam lampiran Keputusan ini.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />(1) Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan <br /> Atas Barang Mewah oleh Pengusaha Kena Pajak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat <br /> (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dilakukan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dibuatnya <br /> Nota Retur.<br /><br />(2) Dalam hal Nota Retur belum dapat diperhitungkan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak <br /> dibuatnya Nota Retur, maka Nota Retur dapat diperhitungkan dalam Masa pajak diterimanya Nota <br /> Retur tersebut.<br /><br />(3) Pengurangan Pajak Masukan, atau pengurangan harta, atau pengurangan biaya, oleh pembeli<br /> sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan dalam Masa Pajak dibuatnya Nota Retur.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan menteri Keuangan Nomor <br />987/KMK.04/1984 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang <br />Mewah untuk Barang Kena Pajak dan atau Barang Mewah yang dikembalikan, dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 7<br /><br />Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam<br />Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />Pada tanggal 21 Desember 1994<br />MENTERI KEUANGAN<br /><br />ttd<br /><br />MAR'IE MUHAMMADUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-65234972560204337402009-06-04T22:44:00.002-07:002009-06-04T22:52:41.145-07:00PPH 23DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />___________________________________________________________________________________________<br /> 23 Februari 1995<br /><br /> SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR SE - 08/PJ.4/1995<br /><br /> TENTANG<br /><br /> WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI YANG DITUNJUK SEBAGAI PEMOTONG PPh PASAL 23. <br /> (SERI PPh PASAL 23/26 - 3)<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Sehubungan telah ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-50/PJ/1994 tanggal 27 <br />Desember 1994 tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong <br />Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 <br />Januari 1995 tentang Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak <br />Penghasilan dan jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat <br />(1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan <br />Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :<br /><br />1. Dalam Pasal 1 jo. Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-50/PJ/1994 ditetapkan <br /> bahwa Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut <br /> adalah Camat, Pengacara, dan Konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas, serta orang pribadi yang <br /> menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak <br /> ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.<br /> Yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi <br /> sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan <br /> di bidang lainnya.<br /><br />2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c, besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas <br /> pembayaran berupa sewa adalah sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br /> Dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995, tanggal 31 Januari 1995, <br /> ditetapkan bahwa besarnya perkiraan penghasilan neto untuk :<br /> - Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau <br /> diperoleh WP orang pribadi dalam negeri adalah sebesar 80% dari jumlah bruto.<br /> Dengan demikian maka besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah 15% x 80% x jumlah<br /> bruto = 12% x jumlah bruto.<br /> - Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau <br /> diperoleh oleh WP badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) adalah sebesar 40% <br /> dari jumlah bruto.<br /> Dengan demikian maka besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah 15% x 40% x jumlah<br /> bruto = 6% x jumlah bruto.<br /><br /> Dalam pengertian jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).<br /><br />3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi <br /> sebagaimana dimaksud pada butir 1 sebagai pemotong PPh Pasal 23 dengan menggunakan bentuk <br /> formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Surat Edaran Ini. Bagi akuntan, arsitek, dokter, <br /> notaris, pengacara, dan orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, <br /> yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak <br /> Nomor : KEP-421/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991,tidak perlu ditunjuk kembali.<br /><br />4. Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa <br /> yang dilakukan-nya, wajib memotong, menyetor dan melaporkan PPh Pasal 23 tersebut serta<br /> memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan yang berlaku apabila dalam <br /> suatu bulan takwim terdapat objek PPh Pasal 23.<br /><br />5. Kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan agar diberikan penyuluhan mengenai hak dan <br /> kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan ketentuan yang baru.<br /><br />6. Terhitung mulai tanggal Surat Edaran ini, maka penegasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal <br /> Pajak Nomor : SE-31/ PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991 dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /> Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br /><br /><br /><br /><br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />ttd <br /><br />FUAD BAWAZIER<br /><br /> DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />___________________________________________________________________________________________<br /> 24 Oktober 1994<br /><br /> SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR SE - 44/PJ./1994<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PEMECAHAN BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 23<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Seperti diketahui atas penghasilan berupa bunga, sewa dan lain-lain yang diterima atau diperoleh Joint <br />Operation (J.O.) dari WP Badan Dalam Negeri dan Perseorangan yang ditunjuk (selanjutnya disebut : Pemberi <br />Hasil), dipotong PPh Ps. 23. Pemotongan tersebut tidak akan diperhitungkan sebagai kredit pajak para <br />anggotanya sejalan dengan perhitungan penghasilan tersebut pada penghasilan anggota J.O..Adapun besarnya <br />PPh Ps.23 yang dapat dikreditkan adalah sesuai dengan perjanjian J.O.. (joint operation agreement) yang telah <br />disepakati bersama.Agar pengkreditan pemotongan PPh Ps. 23 sejalan dengan pengkreditan oleh para <br />anggota J.O., maka Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota. Untuk<br />maksud itu dengan ini disampaikan petunjuk pemecahannya sebagai berikut :<br /><br />1. Telah dilakukan pemotongan PPh Ps. 23 atas nama joint operation.<br /> Apabila telah dilakukan pemotongan PPh. Ps. 23 atas nama J.O. maka prosedurnya :<br /> 1.1. J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps.23 kepada KPP dimana <br /> J.O. terdaftar/berkedudukan, dilampiri foto copy dokumen pendirian J.O.<br /><br /> 1.2. KPP tersebut pada butir 1.1. minta konfirmasi kepada KPP dimana pemotong PPh Pasal 23 <br /> terdaftar, mengenai pemotongan terhadap J.O., dengan menggunakan formulir Konfirmasi <br /> Lampiran SE-19/PJ.41.2/1993 tanggal 2 September 1993;<br /><br /> 1.3. Apabila benar telah dilakukan pemotongan terhadap J.O. maka KPP tersebut pada butir 1.1. <br /> menerbitkan SKKPP PPh Pasal 23 Yang Seharusnya Tidak Terutang dengan menggunakan <br /> formulir KP PPh 3.46 sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-09/PJ./1992, <br /> sebesar seluruh jumlah pemotongan;<br /><br /> 1.4. Atas dasar SKKPP tersebut pada butir 1.3 dilakukan pemindahbukuan dari PPh Pasal 23 ke <br /> PLB;<br /><br /> 1.5. Dilakukan pemindahbukuan dari PLB tersebut pada butir 1.4. ke PPh Ps. 25 atas nama para <br /> anggotanya dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing dengan tahun pajaknya <br /> sesuai dengan yang tercantum pada Bukti Pemotongan PPh Ps.25 dilakukan karena bukti Pbk. <br /> itu diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT PPh Badan para anggotanya, bukan dalam <br /> SPT PPh Ps. 23;Pada bukti pemindahbukuan (di bawah Nomor dan Tanggal SKKPP) supaya <br /> diketik : (Dalam rangka pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 atas nama joint <br /> operation......);<br /><br /> 1.6. Atas SKKPP tersebut pada butir 1.3 tidak boleh diterbitkan SPMKP, juga tidak boleh <br /> dipindahbukukan untuk membayar kewajiban pajak J.O.. ;<br /><br /> 1.7. Apabila anggota J.O. adalah Wajib Pajak Luar Negeri maka pemecahan bukti pemotongan <br /> PPh Ps. 23 (yang berupa bukti Pbk. Ps. 25) tidak boleh diperhitungkan dengan kewajiban PPh <br /> Ps. 26 dari J.O.. karena Wajib Pajak Luar Negeri tersebut dianggap mempunyai BUT di <br /> Indonesia;<br /><br /> 1.8. Lembar ke-1 Bukti Pbk. tersebut pada butir 1.5. disampaikan untuk para anggota sedang <br /> lembar lainnya untuk ditatausahakan sesuai ketentuan dalam Pedoman Induk TUPRP.<br /><br />2. Belum dilakukan pemotongan PPh Ps. 23<br /> Jika belum dilakukan pemotongan, maka prosedurnya :<br /> 2.1. J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 kepada pemberi <br /> hasil, dilampiri foto copy dokumen pendirian J.O.;<br /> 2.2. Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 atas <br /> nama J.O. qq. anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing;<br /> 2.3. Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 disampaikan untuk para anggota J.O..<br /><br />Berkenaan dengan butir 1.5. maka perlu diperhatikan agar jika SPT PPh untuk tahun pajak dilakukan <br />pemindahbukuan ke PPh Ps. 25 dipergunakan sebagai dasar untuk menghitung angsuran besarnya PPh Ps. 25 <br />tahun pajak berikutnya, maka bilangan/faktor yang akan dibagi dengan banyaknya masa pajak adalah PPh Ps. <br />25/29 yang disetor WP pada Bank Persepsi/Kantor Pos dan Giro, jadi tidak termasuk PPh Ps. 25 ex Bukti Pbk.<br /><br />Demikian untuk dimaklumi dan diteruskan kepada yang berkepentingan.<br /><br /><br /><br /><br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />ttd.<br /><br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br />DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />___________________________________________________________________________________________<br /> 8 Juli 1996<br /><br /> SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR SE - 27/PJ.4/1996<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PPh PASAL 23 ATAS JASA KONSTRUKSI ATAU JASA PEMBORONG BANGUNAN YANG MENGGUNAKAN <br /> BAHAN EX IMPOR (SERI PPh PASAL 23 NOMOR 8)<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan yang menyangkut pelaksanaan pemotongan PPh pasal 23, <br />khususnya atas imbalan yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan jasa konstruksi atau jasa <br />pemborong bangunan sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-10/PJ/1995 <br />sebagaimana telah diubah dengan KEP-76/PJ/1995, dengan ini dijelaskan sebagai berikut :<br /><br />1. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-76/PJ/1995 antara lain diatur mengenai <br /> pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan jasa <br /> konstruksi atau jasa pemborong. Imbalan atas jasa konstruksi atau jasa pemborongan bangunan yang <br /> perkiraan penghasilan netonya ditentukan sebesar 10 %, mengandung pengertian bahwa bahan/<br /> material telah melekat sebagai satu kesatuan dengan jasa konstruksi atau jasa pemborongan <br /> bangunan.<br /><br />2. Pemborong dalam melakukan kontrak pemborongan sejak awal sudah memperhitungkan berapa <br /> jumlah bahan/material yang diperlukan,berapa jasa yang diharapkan, berapa laba yang akan <br /> diperoleh dan berapa PPh Pasal 23 yang akan dipungut.<br /><br />3. Apabila ada bahan/material yang diimpor oleh pemborong dari impor tersebut pemborong <br /> mengharapkan memperoleh penghasilan tersendiri karena impor.<br /><br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam hal Wajib Pajak melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi <br /> atau jasa pemborong bangunan menggunakan bahan/material yang diimpor sendiri, maka mengingat <br /> impor bahan/material merupakan transaksi tersendiri serta telah dipotong PPh Pasal 22, sedangkan <br /> usaha jasa konstruksi dan pemborong bangunan merupakan kegiatan usaha tersendiri pula,maka <br /> perlu ditegaskan bahwa pemotongan PPh Pasal 23 untuk jasa konstruksi dan pemborong bangunan <br /> tetap dilakukan atas nilai keseluruhan kontrak yang dilakukan termasuk harga bahan/material yang <br /> diimpor.<br /><br />Demikian untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.<br /><br /><br /><br /><br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /><br />ttd<br /><br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br />DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />___________________________________________________________________________________________<br /> 25 Maret 1996<br /><br /> SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR SE - 12/PJ.4/1996<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PELAKSANAAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23 (SERI PPh PS. 23 NOMOR 7)<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan mengenai pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 oleh<br />kantor cabang suatu badan usaha, maka dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :<br /><br />1. Pada prinsipnya pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara<br /> desentralisasi yaitu di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan<br /> objek pemotongan PPh Pasal 23.<br /><br /> Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan PPh Pasal<br /> 23 tersebut.<br /><br />2. Sesuai dengan prinsip di atas maka :<br /> a. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang <br /> pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, maka PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan<br /> dilaporkan oleh kantor pusat.<br /> b. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang <br /> pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, misalnya pembayaran sewa kantor cabang,<br /> PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan.<br /><br />3. Berkenaan dengan uraian di atas maka ketentuan mengenai pemusatan pelaksanaan pemotongan,<br /> penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan<br /> perpajakan.<br /><br />Demikian agar dimaklumi.<br /><br /><br /><br /><br /><br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /><br />ttd<br /><br />FUAD BAWAZIER<br />NIP. 060041162<br /><br />DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />___________________________________________________________________________________________<br /> 11 Agustus 1997<br /><br /> SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR SE - 11/PJ.43/1997<br /><br /> TENTANG<br /><br /> JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PPh PASAL 23 (SERI PPh PASAL 23 NOMOR 09)<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ./1997 <br />tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan <br />Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah <br />diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan perkiraan penghasilan neto yang digunakan <br />sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan yang mengubah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor <br />KEP-59/PJ./1996 tanggal 5 Agustus 1996, dengan ini diminta perhatian Saudara terhadap beberapa perubahan <br />dan penegasan antara lain :<br /><br />1. Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dipotong Pajak <br /> Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto, kecuali sewa dan <br /> penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan <br /> Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996.<br /><br />2. Penghasilan berupa imbalan Jasa konsultan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan <br /> Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996, kecuali atas jasa konsultan hukum dan konsultan pajak dipotong <br /> PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br /><br />3. Jasa perancang bangunan dan jasa pemborong bangunan yang diatur dalam KEP-59/PJ./1996 tanggal <br /> 5 Agustus 1996 dinyatakan tidak berlaku dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 73 <br /> Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa <br /> konsultan.<br /><br />4. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) tetap dikenakan <br /> pemotongan PPh seperti yang diatur dalam KEP-59/PJ./1996 kecuali yang dilakukan oleh bentuk <br /> usaha tetap.<br /><br />5. Atas penghasilan berupa imbalan jasa perantara, jasa penilai, jasa aktuaris dan jasa pengisian suli <br /> suara (dubbing) dan/atau mixing film yang sebelumnya tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, <br /> dengan ditetapkannya KEP-128/PJ./1997 dikenakan pemotongan PPh sebesar 15% (lima belas <br /> persen) dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa <br /> tersebut adalah sebagai berikut :<br /> a. imbalan jasa perantara, sebesar 60%;<br /> b. imbalan jasa penilai, sebesar 40%;<br /> c. imbalan jasa aktuaris, sebesar 40%;<br /> d. imbalan jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film, sebesar 40%, dari jumlah <br /> bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM.<br /><br />6. Surat Edaran ini mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1997.<br /><br />7. Untuk kelancaran pelaksanaan Surat Edaran ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) agar <br /> memberikan penjelasan kepada para Wajib Pajak yang bersangkutan yang terdaftar di KPP masing-<br /> masing.<br /><br />Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br /><br /><br /><br /><br />DIREKTUR JENDERAL,<br /><br />ttd.<br /><br />FUAD BAWAZIER<br /><br />DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />___________________________________________________________________________________________<br /> 10 Juli 1995<br /><br /> SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR SE - 08/PJ.313/1995<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PPh PASAL 23 ATAS PERSEWAAN ALAT ANGKUTAN DARAT<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c.1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah<br />diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, sewa dan penghasilan lain sehubungan <br />dengan penggunaan harta, dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% <br />dari perkiraan penghasilan netto. Untuk membedakan apakah pembayaran sewa atas penggunaan kendaraan <br />angkutan darat termasuk sebagai sewa atau penghasilan lain sehubungan penggunaan harta yang dikenakan <br />pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atau termasuk sebagai penerimaan jasa angkutan darat, perlu <br />diberikan penegasan sebagai berikut :<br /><br />1. Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan <br /> Pasal 23 adalah :<br /> 1.1. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicharter <br /> untuk jangka waktu tertentu baik secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan<br /> suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan <br /> Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal <br /> 23 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : 50/PJ./1994 <br /> tanggal 27 Desember 1994, misalnya untuk antar jemput karyawan suatu perusahaan atau <br /> antar jemput anak sekolah suatu Yayasan atau untuk kepentingan lainnya, sehingga <br /> mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat lagi menumpang kendaraan umum yang <br /> bersangkutan.<br /><br /> 1.2. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang <br /> pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib <br /> Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 <br /> sesuai tersebut pada butir 1.1. di atas.<br /><br /> 1.3. Sewa kendaraan berupa truck, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi tersebut <br /> pada butir 1.1 dan butir 1.2 yang disewa atau charter oleh suatu perusahaan angkutan untuk <br /> keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.<br /><br />2. Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan<br /> Pasal 23 :<br /> 2.1. Jasa angkutan kendaraan perusahaan taksi yang disewa/charter sesuai tarif argometer.<br /> 2.2. Jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang yang mengangkut barang dari tempat <br /> pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar <br /> banyak atau volume barang, berat barang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/<br /> perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut <br /> sampai ditempat tujuan pada waktunya.<br /> 2.3. Jasa angkutan kereta api yang dilakukan oleh Perumka Kereta Api.<br /><br />3. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas sewa :<br /> 3.1. Yang wajib memotong Pajak PPh Pasal 23 atas sewa tersebut pada butir 1 adalah :<br /> a). Subjek Pajak badan dalam negeri termasuk yayasan dan bentuk usaha tetap atau <br /> perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;<br /> b). Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 <br /> sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : <br /> KEP-50/PJ./1994 tanggal 27 Desember 1994.<br /> c). Badan Pemerintah;<br /> d). Penyelenggara kegiatan.<br /><br /> 3.2. Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa :<br /> a. Besarnya PPh Pasal 23 atas sewa adalah 15% dari perkiraan penghasilan netto;<br /> b. Besarnya perkiraan penghasilan netto adalah sesuai dengan Keputusan Direktur <br /> Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ./1995 tanggal 31 Januari 1995.<br /><br /> 3.3. Pemotong PPh Pasal 23 atas sewa sebagaimana dimaksud pada butir 3.1. wajib memotong, <br /> menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 23 yang terutang sesuai dengan ketentuan Undang-<br /> undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 <br /> Tahun 1994 beserta peraturan pelaksanaannya.<br /><br />Ketentuan-ketentuan sebelumnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Surat Edaran ini dinyatakan<br />tidak berlaku.<br /><br />Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br /><br /><br /><br /><br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />ttd<br /><br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br />SURAT<br />S-85/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 17 Maret 2003<br />PERMINTAAN PENJELASAN PENGENAAN PPh PASAL 23 ATAS IMBALAN JASA<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 26 Pebruari 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dikemukakan bahwa PT ABC bergerak di bidang industri jasa plating (pengasaman/pelapisan permukaan logam yang bersifat tahan terhadap korosi), dalam kegiatan usahanya menggunakan bahan kimia sebagai bahan baku dan jasa. Dalam contoh kontrak dicantumkan bahwa dalam kegiatan produksi dapat dipisahkan antara nilai bahan baku sebesar 85,5% dan nilai jasa sebesar 14,5%. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Saudara meminta penjelasan dan penegasan pengenaan PPh Pasal 23 atas tagihan Saudara. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur antara lain : <br />a. Termasuk jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah penghasilan sehubungan dengan jasa maklon. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto atas jasa maklon adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut : <br />a. Jasa yang dilakukan oleh PT ABC sebagaimana disebutkan dalam butir 1 di atas termasuk jasa maklon yang atas imbalannya dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto dalam hal ini adalah apabila dalam kontrak dapat dipisahkan antara pengadaan material dengan jasanya, maka yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah hanya atas jasanya saja.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br />SURAT<br />S-85/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 17 Maret 2003<br />PERMINTAAN PENJELASAN PENGENAAN PPh PASAL 23 ATAS IMBALAN JASA<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 26 Pebruari 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dikemukakan bahwa PT ABC bergerak di bidang industri jasa plating (pengasaman/pelapisan permukaan logam yang bersifat tahan terhadap korosi), dalam kegiatan usahanya menggunakan bahan kimia sebagai bahan baku dan jasa. Dalam contoh kontrak dicantumkan bahwa dalam kegiatan produksi dapat dipisahkan antara nilai bahan baku sebesar 85,5% dan nilai jasa sebesar 14,5%. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Saudara meminta penjelasan dan penegasan pengenaan PPh Pasal 23 atas tagihan Saudara. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur antara lain : <br />a. Termasuk jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah penghasilan sehubungan dengan jasa maklon. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto atas jasa maklon adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut : <br />a. Jasa yang dilakukan oleh PT ABC sebagaimana disebutkan dalam butir 1 di atas termasuk jasa maklon yang atas imbalannya dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto dalam hal ini adalah apabila dalam kontrak dapat dipisahkan antara pengadaan material dengan jasanya, maka yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah hanya atas jasanya saja.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-586/PJ.311/2000<br />Ditetapkan tanggal 14 Desember 2000<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23 ATAS IMBALAN JASA MAKLON<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ......................... tanggal 2 Nopember 2000 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menjelaskan bahwa PT NIC Indonesia bergerak di bidang Industri Plating (pelapisan logam). Dalam operasionalnya perusahaan Saudara menerima pesanan untuk menyelesaikan produk dari perusahaan lain dimana PT NIC Indonesia harus menyediakan peralatan mesin, tenaga kerja, teknologi serta bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk melapisi barang dari PT A tersebut. Sedangkan PT A hanya menyiapkan komponen elektronika yang akan dilapisi. <br />Pada kasus yang lain pemakai jasa menyediakan elektronika yang akan ditambah dengan sebagian bahan kimia untuk pelapisnya, sedangkan PT NIC harus menyediakan peralatan mesin, tenaga kerja, teknologi serta bahan-bahan kimia lainnya. Saudara menanyakan tentang difinisi jasamaklon dan dimanakah definisi tersebut bisa dijumpai, dan bagaimana halnya sehubungan dengan kasus yang diajukan?<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (limabelas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Berdasarkan KEP-176/PJ2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa maklon yang terutang atau dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa maklon adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000.<br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut :<br /> a. Yang dimaksud dengan jasa maklon adalah semua pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu, dimana proses pengerjaannya dilakukan pihak pemberi jasa (disubkontrakkan) sedangkan spesifikasi, bahan baku dan/atau/barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan pihak pemakai jasa.<br /> b. Atas pekerjaan yang dilakukan oleh PT NIC Indonesia berupa pelapisan logam sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas, termasuk dalam pengertian jasa maklon yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Dengan demikian, perlakuan perpajakan atas jasa maklon adalah sebagai berikut :<br /> 1). Imbalan atas jasa maklon yang diterima atau diperoleh oleh PT NIC Indonesia pada atau setelah tanggal 1 Juli 2000, dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br /> 2). Imbalan atas jasa maklon yang diterima atau diperoleh sebelum tanggal 1 Juli 2000, tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23. Namun demikian imbalan tersebut tetap merupakan objek pajak yang dikenakan PPh dengan tarif sesuai ketentuan Pasal 17 Undang-undang PPh Tahun 1994 dan wajib dilaporkan oleh pihak yang menerima atau memperoleh imbalan dalam SPT Tahunan PPh tahun yang bersangkutan.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR, <br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK <br />S-434/PJ.313/2000<br />Ditetapkan tanggal 27 September 2000<br />PENJELASAN JASA MAKLON<br />Sehubungan surat Saudara Nomor ........................ tanggal 23 Agustus 2000 berkenaan hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dijelaskan sebagai berikut : <br />a. Perusahaan Saudara bergerak di bidang industri pakaian jadi dengan fasilitas EPTE yang sering mensubkontrakkan (CMT CONTRACT) ke perusahaan lain dengan cara mengirim bahan baku untuk dijahit sesuai dengan perjanjian kontrak. Atas pelaksanaan pekerjaan tersebut, perusahaan hanya membayar ongkos jahit. <br />b. Atas hal tersebut Saudara menanyakan :<br /> 1) Apakah kegiatan subkontrak tersebut termasuk dalam pengertian jasa maklon<br /> 2) Penjelasan mengenai Pasal 4 dan Lampiran II Nomor 2 Huruf S Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000.<br /> 3) Kegiatan apa saja yang termasuk Jasa Maklon.<br />3. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />4. Dalam Keputusan Direktur Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juni 1997 tentang Jenis Jasa Lain yang atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto yang Digunakan Sebagai Dasar Pemotongan Pajak Penghasilan, antara lain diatur jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong PPh Pasal 23 dan besarnya perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan PPh.Kegiatan jasa maklon tidak termasuk dalam jenis jasa lain yang diatur dalam keputusan tersebut. <br />5. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa jenis jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 tersebut adalah jasa maklon.<br />Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan jasa maklon adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Selanjutnya dalam Pasal 4 Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut diatur bahwa yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto dalam Keputusan ini adalah jumlah imbalan yang dibayarkan atas pemberian jasa tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang, maka jumlah imbalan bruto adalah sebesar seluruh nilai kontrak. <br />6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan : <br />a. Kegiatan subkontrak ke perusahaan lain tersebut termasuk dalam pengertian jasa maklon apabila perusahaan menyediakan bahan baku dengan spesifikasi teknis produksi tertentu kepada perusahaan lain yang melaksanakan proses produksinya.<br />b. Perlakuan perpajakan atas jasa maklon :<br /> 1) Apabila dalam perjanjian dapat dipisahkan antara imbalan atas jasa maklon dengan biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proses produksi, dan imbalan tersebut dibayarkan atau terutang pada atau setelah tanggal 1 Juli 2000, maka besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br /> 2) Apabila imbalan atas jasa maklon tersebut dibayarkan atau terutang sebelum tanggal 1 Juli 2000, maka tidak dipotong PPh Pasal 23 melainkan perusahaansubkontraktor wajib melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh dengan tarif sesuai Pasal 17 UU PPh.<br />c. Jenis jasa lain yang dapat dikategorikan dalam jasa maklon adalah jasa yang apabila dalam proses pengerjaannya, bahan baku dan spesifikasinya telah disediakan oleh pemesan.<br />9. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL,<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINAGUN<br /><br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK<br />S-257/PJ.313/2004<br />Ditetapkan tanggal 12 Maret 2004 <br />PERLAKUAN PPh ATAS PERUSAHAAN JASA PERIKLANAN <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK, <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 12 Pebruari 2004 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: <br />1. Dalam surat tersebut, Saudara mengemukakan bahwa: <br />a. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.3/1998 menegaskan tentang perlakuan perpajakan atas perusahaan periklanan sebagai berikut: <br />- Atas imbalan jasa teknik pembuatan materi iklan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 6%; <br />- Atas imbalan jasa konsultasi dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 7,5%; <br />- Pemotong PPh Pasal 23 adalah klien, kecuali apabila materi iklan dibuat oleh pihak ketiga maka pemotong PPh Pasal 23 adalah perusahaan periklanan qq klien; <br />- Atas imbalan lain yang dibayar oleh klien tidak terutang PPh Pasal 23. <br />b. Klien Saudara, PT A adalah perusahaan periklanan dan sekaligus koordinator dari beberapa perusahaan periklanan lainnya. Dalam posisinya sebagai koordinator, PT A berperan sebagai perantara antara perusahaan periklanan lainnya dengan perusahaan media. Sasaran dari peran PT A tersebut adalah agar dapat menawarkan iklan yang lebih bermutu dan dengan jumlah yang lebih memadai sehingga PT A mempunyai posisi negosiasi yang lebih besar untuk memperoleh harga yang jauh lebih murah. Atas peran tersebut PT A menerima penghasilan sebesar persentase tertentu dari biaya pemasangan iklan di perusahaan media; <br />c. Saudara berpendapat bahwa imbalan yang diterima oleh PT A secara material merupakan imbalan jasa perantara yang terutang PPh Pasal 23 dan harus dipotong oleh perusahaan periklanan lainnya yang berada di bawah koordinasi PT A. Untuk itu, dalam faktur tagihan PT A kepada perusahaan periklanan lainnya tersebut perlu dirinci sehingga terpisah antara imbalan jasa yang diterima PT A dengan biaya pemasangan iklan pada perusahaan media, karena biaya pemasangan iklan tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23; <br />d. Saudara mohon penegasan terhadap masalah tersebut di atas. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 21 dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C UU PPh, antara lain diatur bahwa: <br />a. Termasuk jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah : (i) jasa konsultan kecuali konsultan konstruksi, (ii) jasa perancangan iklan/logo, dan (iii) jasa perantara; <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa konsultan kecuali konsultan konstruksi adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN, sedangkan atas imbalan jasa perancangan iklan/logo dan imbalan jasa perantara adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />4. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.3/1998 tanggal 15 Juni 1998 tentang Perlakuan Perpajakan atas Perusahaan Periklanan jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.31/2002 tanggal 7 Desember 2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Jasa Konsultan di Bidang Periklanan, antara lain diatur bahwa: <br />a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan periklanan sehubungan dengan embuatan bagian materi iklan merupakan Objek PPh Pasal 23 atas jasa teknis sebesar 15% x 40% dari imbalan bruto; <br />b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan periklanan sehubungan dengan supervisi pembuatan bagian materi iklan kepada pihak ketiga bukan merupakan Objek PPh asal 23 namun merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh perusahaan periklanan dan dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh; <br />c. Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan periklanan sehubungan dengan jasa konsultasi di bidang periklanan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 7,5% dari imbalan bruto; <br />d. Penghasilan yang diterima oleh perusahaan periklanan maupun perusahaan media yang merupakan biaya pemasangan iklan di media bukan merupakan Objek PPh Pasal 23. <br />5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa: <br />a. Atas penghasilan dari jasa pembuatan materi iklan yang diterima oleh perusahaan periklanan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br />b. Atas penghasilan dari jasa pemasangan iklan yang diterima oleh perusahaan media tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, melainkan terutang pajak pada akhir tahun melalui SPT Tahunan; <br />c. Atas penghasilan dari jasa koordinasi pembuatan materi iklan dan pemasangannya di media yang diterima oleh perusahaan periklanan (dalam hal ini PT A) tidak dapat dikategorikan sebagai imbalan jasa perantara, karena peran PT A tidak semata-mata mempertemukan pihak perusahaan periklanan dan pihak perusahaan media melainkan juga memberikan advis secara profesional untuk peningkatan mutu produk iklan dan mempunyai posisi negosiasi yang lebih besar. Oleh karena itu jasa koordinasi tersebut dikategorikan sebagai jasa konsultan periklanan dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 50% atau 7,5% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />Demikian penegasan kami agar Saudara maklum. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL <br />DIREKTUR, <br />ttd <br />SURJOTAMTOMO SOEDIRDJO <br /><br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK <br />KEP-170/PJ/2002 <br />Ditetapkan Tanggal 28 Maret 2002<br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK, <br />Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; <br />b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan; <br />c. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi; <br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan kembali Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000; <br /><br />Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985); <br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636); <br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4057); <br />MEMUTUSKAN <br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000.<br /><br />Pasal 1 <br />(1) Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/ barangnya. <br />(2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/ perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/ barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />Pasal 2 <br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah: <br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996; <br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. <br />Pasal 3<br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996, adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. <br />Pasal 4 <br />Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. <br />Pasal 5 <br />Pada saat mulai berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 dinyatakan tidak berlaku. <br />Pasal 6 <br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. <br /> Ditetapkan di : Jakarta<br />pada tanggal : 28 Maret 2002 <br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br /> <br /> LAMPIRAN I<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br />NOMOR : KEP-170/PJ/2002<br />TANGGAL : 28 Maret 2002<br />PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA KECUALI SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996<br />NO. JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN <br />PENGHASILAN <br />NETO<br />1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat. 20% <br />dari jumlah bruto<br />tidak termasuk PPN<br />2. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat. 40%<br />dari jumlah bruto<br />tidak termasuk PPN<br /> <br /> DIREKTUR JENDERAL, <br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br /> <br /> LAMPIRAN II<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br />NOMOR : KEP-170/PJ/2002<br />TANGGAL : 28 Maret 2002<br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS JASA TEKNIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI, JASA KONSULTAN DAN JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br />NO. JENIS PENGHASILAN/ JASA PERKIRAAN <br />PENGHASILAN <br />NETO<br />1. a. Jasa profesi. <br />b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi. <br />c. Jasa akuntansi dan pembukuan. <br />d. Jasa penilai. <br />e. Jasa aktuaris. 50%<br />dari jumlah bruto<br />tidak termasuk PPN<br />2. a. Jasa teknik dan jasa manajemen <br />b. Jasa perancang/ desain: <br />• Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; <br />• Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan; <br />• Jasa perancang alat-alat transportasi/ kendaraan; <br />• Jasa perancang iklan/ logo; <br />• Jasa perancang alat kemasan. <br />c. Jasa instalasi/ pemasangan: <br />• Jasa instalasi/ pemasangan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas/ AC/ TV kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup dan pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/ sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; <br />• jasa instalasi/ pemasangan peralatan; <br />d. Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan: <br />• Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas/ AC/ TV kabel <br />• Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan peralatan; <br />• Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan alat-alat transportasi/ kendaraan; <br />• Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/ sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; <br />e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang Penambangan minyak dan gas bumi (migas) , kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap. <br />f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas. <br />g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas. <br />h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara. <br />i. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing. <br />j. Jasa pengolahan/ pembuangan limbah. <br />k. Jasa maklon. <br />l. Jasa rekruitmen/ penyediaan tenaga kerja. <br />m. Jasa perantara. <br />n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan KPEI. <br />o. Jasa kustodian/ penyimpanan/ penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996. <br />p. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum. <br />q. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan atau mixing film. <br />r. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet. <br />s. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. 40%<br />dari jumlah bruto<br />tidak termasuk PPN<br />3. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/ pemasangan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas/ AC/ TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/ sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. 13 1/3 %<br />dari jumlah bruto<br />tidak termasuk PPN<br />4. a. Jasa perencanaan konstruksi. <br />b. Jasa pengawasan konstruksi. 26 2/3 % dari jumlah <br />bruto tidak<br />termasuk PPN<br />5. a. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan. <br />b. Jasa Catering. <br />c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 10% <br />dari jumlah bruto<br />tidak termasuk PPN<br /> <br /> DIREKTUR JENDERAL, <br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br /> <br /> LAMPIRAN III<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br />NOMOR : KEP-170/PJ/2002<br />TANGGAL : 28 Maret 2002<br />YANG DIMAKSUD DENGAN JASA PENUNJANG DI BIDANG PENAMBANGAN MIGAS, JASA PENAMBANGAN DAN JASA PENUNJANG DI BIDANG PENAMBANGAN SELAIN MIGAS, JASA PENUNJANG DI BIDANG PENERBANGAN DAN BANDAR UDARA, JASA MAKLON DAN JASA TELEKOMUNIKASI YANG BUKAN UNTUK UMUM<br />1. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penambangan Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf f Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa : <br />a. jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur; <br />b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud : <br />• penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong; <br />• penyumbatan kembali zona yang berproduksi air; <br />• perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal; <br />• penutupan sumur; <br />c. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa; <br />d. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbatan yang tidak diinginkan; <br />e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil; <br />f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur; <br />g. jasa uji kandungan lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi; <br />h. jasa reparasi pompa reda (reda repair); <br />i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan; <br />j. jasa penggantian peralatan/ material; <br />k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur; <br />l. jasa mud engineering; <br />m. jasa well logging & perforating; <br />n. jasa stimulasi dan secondary decovery; <br />o. jasa well testing & wire line service; <br />p. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling; <br />q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling; <br />r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling; <br />s. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas. <br />2. Yang dimaksud dengan Jasa Penambangan dan Jasa Penunjang di bidang Penambangan Selain Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g Lampiran II Keputusan ini adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa : <br />a. jasa pengeboran; <br />b. jasa penebasan; <br />c. jasa pengupasan dan pengeboran; <br />d. jasa penambangan; <br />e. jasa pengangkutan/ sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum; <br />f. jasa pengolahan bahan galian; <br />g. jasa reklamasi tambang; <br />h. jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/ pemindahan tanah; <br />i. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum. <br />3. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penerbangan dan Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf h Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara berupa : <br />a. bidang Aeronautika, termasuk: <br />• Jasa Pendaratan, Penempatan, Penyimpanan Pesawat Udara dan Jasa lainnya sehubungan dengan pendaratan pesawat udara; <br />• Jasa penggunaan Jembatan Pintu (Avio Bridge); <br />• Jasa Pelayanan Penerbangan; <br />• Jasa Ground Handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat; <br />• Jasa penunjang lainnya di bidang aeronautika. <br />b. Bidang Non-Aeronautika, termasuk: <br />• Jasa boga, yaitu jasa penyediaan makanan dan minuman serta pembersihan pantry pesawat; <br />• Jasa penunjang lainnya di bidang non-aeronautika. <br />4. Yang dimaksud dengan Jasa Maklon sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf k Lampiran II Keputusan ini adalah semua pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), sedangkan spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/ pembantu yang akan diproses sebahagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. <br />5. Yang dimaksud dengan Jasa Telekomunikasi Yang Bukan Untuk Umum sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf p Lampiran II Keputusan ini adalah semua kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang sifat, bentuk, peruntukan dan pengoperasiannya terbatas hanya untuk kalangan tertentu saja, dalam arti tidak dapat melayani/ digunakan secara bebas oleh umum, termasuk: <br />a. Jasa komunikasi satelit (VSAT); <br />b. Jasa interkoneksi; <br />c. Sirkit Langganan; <br />d. Sambungan Data Langsung; <br />e. Sambungan Komunikasi Data Paket; <br />f. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum lainnya. <br /> <br /> DIREKTUR JENDERAL, <br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br /><br /><br />SURAT<br />S-353/PJ.313/2003<br />Ditetapkan tanggal 29 Maret 2003<br />PPh PASAL 23 ATAS JASA ANGKUTAN LAUT<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 14 Maret 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mohon penegasan mengenai ketentuan PPh Pasal 23 atas jasa angkutan laut yang berlaku selain Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, atas permasalahan sebagai berikut : <br />a. PT ABC melakukan pekerjaan angkutan laut barang milik PT BCA sesuai surat Perjanjian Jasa Pekerjaan No. XXX tanggal 13 Desember 2002, dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 6%. Atas pemotongan pajak tersebut, PT ABC keberatan karena berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996, pekerjaan jasa pengangkutan laut hanya dikenakan pemotongan PPh Final sebesar 1,2%. <br />b. PT ABC mohon penegasan.<br />2. Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur bahwa Norma Penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan. <br />3. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, dan aturan pelaksanaannya dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.4/1996 tentang Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, diatur sebagai berikut : <br />a. Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang bertempat tinggal atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan pihak lain. <br />b. Penghasilan yang menjadi objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari : <br />1. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia <br />2. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia <br />3. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia <br />4. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.<br />c. Norma penghitungan khusus penghasilan neto adalah 4% (empat persen) dari peredaran bruto. Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final. <br />d. Yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang yang diterima atau diperoleh wajib pajak. <br />4. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat kami tegaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tersebut di atas. Dengan demikian, atas imbalan jasa pengangkutan orang dan atau barang melalui angkutan laut termasuk penyewaan kapal perusahaan pelayaran dalam negeri, dipotong PPh sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br /><br /> <br />KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN<br />416/KMK.04/1996<br />Ditetapkan tanggal 14 Juni 1996<br />NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang :<br />a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak tertentu, perlu ditetapkan Norma Penghitungan Khusus tentang penghasilan neto; <br />b. bahwa untuk kepastian hukum, perlu ditetapkan norma penghitungankhusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayarandalam negeri; <br />c. bahwa ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri<br />Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yangBergerak di Bidang Usaha Pelayaran atau Penerbangan belum cukup mengatur mengenai hal tersebut; <br />d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk<br />mengatur kembali ketentuan mengenai norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri, dengan Keputusan Menteri Keuangan;<br />Mengingat : <br />1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567); <br />2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; <br />3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak yang Bergerak di Bidang Usaha Pelayaran atau Penerbangan;<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NORMA PENGHITUNG-AN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI<br />Pasal 1<br />Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.<br />Pasal 2<br />(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4% (empat Persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;<br />(2) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dan bersifat final.<br />Pasal 3<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br />Pasal 4<br />Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995 yang berkenaan dengan Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dinyatakan tidak berlaku lagi.<br />Pasal 5<br />Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan pertama kalinya diberlakukan untuk tahun pajak 1996.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br />Ditetapkan di Jakarta,<br />pada tanggal 14 Juni 1996<br />MENTERI KEUANGAN,<br />ttd <br />MAR'IE MUHAMMAD <br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN<br />SE-29/PJ.4/1996<br />Ditetapkan tanggal 13 Agustus 1996<br />PPh TERHADAP WAJIB PAJAK PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI<br />(SERI PPh UMUM NO. 35)<br />Bersama ini disampaikan rekaman Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. Sehubungan dengan hal tersebut dengan ini diberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut :<br />1. a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 merupakan pengganti dari ketetapan besarnya Norma Penghitungan Khusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri yang terdapat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/ 1995 tanggal 1 Mei 1995. <br /> b. Berbeda dengan norma yang terdapat pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 yang menetapkan Norma Penghitungan Khusus penghasilan neto Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang berdasarkan perjanjian charter, Norma Penghitungan Khusus penghasilan neto yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996 meliputi seluruh penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal. <br />2. Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang bertempat tinggal atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain. <br />3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari : <br /> - pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia; <br /> - pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia; <br /> - pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan <br /> - pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia. <br />4. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996, Norma penghitungan khusus penghasilan neto adalah 4% (empat persen) dari peredaran bruto. Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final. <br />5. Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada butir 4 adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas. <br />6. Pelunasan PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada butir 4 dilakukan sebagai berikut : <br /> a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib : <br /> a.1. memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti; <br /> a.2. memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran I; <br /> a.3. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP); <br /> a.4. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran II, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final). <br /> b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib <br /> b.1. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final; <br /> b.2. melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran III, dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final; <br />7. Dalam hal Wajib Pajak membayar pajak di Luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya di luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal (PPh Pasal 24), pajak yang dibayar di luar negeri tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini, untuk masing-masing negara setinggi-tingginya 1,2% (satu koma dua persen) dari penghasilan yang diterima atau diperolehnya diluar negeri tersebut. <br />8. Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas, maka atas penghasilan lainnya dikenakan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku;<br />9. Oleh karena atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal telah dikenakan PPh yang bersifat final, maka :<br /> a. dalam pembukuan Wajib Pajak, wajib dipisahkan penghasilan dan biaya yang berkenaan dengan pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penghasilan penyewaan kapal penghasilan dan biaya lainnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994, biaya yang berkenaan dengan pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penghasilan penyewaan kapal tidak boleh dikurangkan dalam melakukan penghitungan penghasilan kena pajak; <br /> b. Mulai tahun pajak 1996 atas pembelian kapal dari luar negeri tidak dikenakan PPh Pasal 22 Impor. Untuk pelaksanaan pembebasan PPh Pasal 22 Impor Wajib Pajak dapat langsung menghubungi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tanpa SKB. <br />10. Oleh karena berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996pengenaan PPh yang bersifat final terhadap penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penghasilan penyewaan kapal diberlakukan mulai tahun pajak 1996, maka : <br /> a. Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal tidak lagi diwajibkan menyetor PPh Pasal 25; <br /> b. PPh sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal, yang bersifat sebagai kredit pajak, yang telah disetor dalam tahun pajak 1996 sampai berlakunya Surat Edaran ini diperhitungkan dengan PPh berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996 yang terutang sejak awal tahun pajak 1996 sampai berlakunya Surat Edaran ini. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan bentuk sebagaimana Lampiran IV; <br /> c. Dalam hal dari perhitungan sebagaimana dimaksud pada huruf b menghasilkan kekurangan setor, maka kekurangan tersebut harus disetor selambat-lambatnya tanggal 30 September 1996; <br /> d. Dalam hal dari perhitungan sebagaimana dimaksud pada huruf b menghasilkan kelebihan setoran, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang yang wajib disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada butir 6 huruf b; <br /> e. Sisa kerugian sehubungan dengan usaha pelayaran dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal yang masih ada pada akhir tahun pajak 1995 tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan tahun pajak 1996 dan selanjutnya. <br />11. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka ketentuan yang berkenaan dengan Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri yang diatur dalam SE-27/PJ.4/1995tanggal 12 Mei 1995 dinyatakan tidak berlaku. <br />Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />PER-178/PJ./2006<br /><br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Menimbang:<br />1. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; <br />2. bahwa sehubungan dengan perkembangan perekonomian dan moneter khususnya perkembangan dunia usaha, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ./2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000; <br />Mengingat:<br />1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); <br />2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); <br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 10; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4174); <br />4. Peraturan Pemerintah Nomor 133 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak dalam Tahun berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Tahun 253; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055); <br />5. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4057); <br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan<br />PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 <br />Pasal I<br />Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:<br />(1) Jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya.<br />(2) Jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan bruto yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />Pasal 2<br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah<br />1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002. <br />2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. <br />Pasal 3<br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002, adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. <br />Pasal 4<br />Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. <br />Pasal 5<br />Apabila dalam satu kontrak/perjanjian terdapat lebih dari satu jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Perkiraan Penghasilan Neto dikenakan berdasarkan kelompok jasa yang mempunyai nilai transaksi terbesar. <br />Pasal 6<br />Pada saat mulai berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-170/PJ./2002 tanggal 28 Maret 2002 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. <br />Pasal 7<br />Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br />Ditetapkan di : Jakarta <br />Pada tanggal : 26 Desember 2006<br /><br />Direktur Jenderal,<br />ttd,<br />Darmin Nasution <br />NIP 130605098<br />Lampiran<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Jenis & tarif PPh jasa diubah<br />Biaya administrasi bisa lebih mahal <br />Dirjen Pajak menata ulang jenis jasa yang dipungut pajak penghasilan (PPh) melalui pihak ketiga (withholding tax) beserta perkiraan penghasilan netonya yang berlaku 1 Januari 2007.<br />Beberapa jasa yang kini dikenakan PPh melalui pihak ketiga antara lain jasa kurir, jasa biro dan atau agen perjalanan wisata, jasa konvensi, pameran dan perjalanan insentif, jasa/reight forwarding, jasa pengepakan, jasa penyelidikan dan keamanan.<br />Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-178/PJ/ 2006 yang diteken Darmin Nasution pada 26 Desember 2006. Peraturan itu sekaligus mencabut Kepdirjen Pajak No. KEP-170/PJ/ 2002.<br />"Sesuai perkembangan perekonomian dan moneter, khususnya perkembangan dunia usaha, dipandang perlu melakukan perubahan mengenai perkiraan penghasilan neto atas jenis-jenis jasa seperti diatur dalam Pasal 23 UU PPh," tulis Darmin dalam peraturan itu.<br />Pasal 23 UU PPh mengatur tentang pungutan PPh atas penghasilan jasa. Pada Pasal 23 ayat 1 huruf c, disebutkan penghasilan dari sewa dan peng<br />hasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainselain jasa yang dipotong PPh Pasal 21-dikenakan PPh 15% dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto atas jasa-jasa itu ditetapkan oleh Dirjen Pajak.<br />Jasa-jasa yang masuk dalam daftar perdirjen (lihat tabel) berarti pembayaran pajaknya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak ketiga pada saat transaksi (withholding), sedangkan jasa yang tidak masuk dalam daftar, pembayaran pajak dilakukan sendiri sesuai Pasal 25 (kredit pajak setiap bulan) atau PPh Pasal 29 (pelunasan pajak). Keluar dari daftar Beberapa jasa tidak lagi diatur perkiraan penghasilan netonya, di antaranya adalah:<br />Pertama, kelompok jasa perancang/desain yang meliputi jasa perancang interior dan perancang pertamanan; jasa _ ____________ perancang mesin dan perancang peralatan; jasa perancang alat-alat transportasi/kenda-raan; jasa pe rancang iklan/ logo; dan jasa perancang kemasan.<br />Kedua, jasa yang pembayarannya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).<br />Selain itu juga ada jasa yang perkiraan penghasilan netonya diubah, seperti jasa maldon yang semula 40% diturunkan menjadi 20% (tarif efektif menjadi 3%), jasa teknik dan manajemen semula 40% menjadi 30%(tarif efektif menjadi 4,5%).<br />Seorang konsultan pajak yang enggan disebut namanya menyatakan pengenaan PPh secara withholding seharusnya berlaku untuk nilai minimal tertentu. "Bayangkan jasa kurir yang ongkosnya RplOO.000, harus dipotong PPh Rp3.000. Ongkos kertasnya saja lebih mahal dibandingkan pajaknya. Biaya administrasinya bisa membengkak." <br />Sumber : Bisnis Indonesia, 05 Januari 2007 <br /><br /><br />Perdirjen Pajak 178/PJ/2006: Kado tahun baru buat WP<br />Puluhan juta rupiah uang yang sudah dibelanjakan ribuan agen forwarder di seluruh Indonesia untuk keperluan mencetak formulir-formulir lanjutan [continues forms) seperti faktur dan seterusnya terbuang percuma akibat kebijakan baru Ditjen Pajak.<br />"Jengkel saya mas. Kebijakan ini lucu, lucu. Kami mau bayar pajak. Tapi nggak kayak gini caranya. Sosialisasi digencarkan dulu. Kami dikasih tahu dulu, dibina, bukan dibiasakan kayak gini," kata Wakil Ketua Umum Gafeksi Iskandar Zulkarnaen di Jakarta, kemarin.<br />Dia menyatakan hal itu menanggapi kebijakan baru Ditjen Pajak No.PER-178/PJ/ 2006 yang diteken Darmin Nasution pada 26 Desember 2006 tentang Jenis jasa lain dan perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf C UU PPh. Peraturan itu sekaligus mencabut Kepdirjen Pajak No.KEP-170/PJ/ 2002.<br />Iskandar tidak sendirian. Beberapa komentar dengan nada keras juga disampaikan sejumlah pembaca melalui redaksi koran ini. Salah satunya menilai peraturan ini dibuat tergesa-gesa karena ditandatangani di ujung tahun (26 Desember 2006) dan berlaku kurang dari satu minggu kemudian (1 Januari 2007).<br />"Hanya selang lima hari sebuah kebijakan tiba-tiba diluncurkan tanpa ba-bi-bu. Dari mana wajib pajak dapat mengetahui kebijakan tersebut? Pada akhir tahun, katanya, sebagia^ besar perusahaan menyiapkan tutup buka dan tidak sedikit karyawannya sudah mengambil cuti," ujar Asep S, dari sebuah perusahaan jasa pengiriman.<br />Yang lebih parah lagi, selain dadakan dan tak ada sosialisasi, peraturan itu sendiri sulit didapat. Sampai akhir pekan lalu, situs resmi Ditjen Pajak (www. pajak.go.id) juga belum memuat peraturan tersebut. Database yang adalah peraturan yang terbit sampai Agustus 2006. Meski demikian, wajib pajak tetap saja disalahkan jika tidak mengikuti atau tidak melaksanakan ketentuan tersebut.<br />Ditjen Pajak hanya menambahkan satu kalimat dalam peraturan tersebutAgar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman peraturan Direktur Jenderal ini dengan penempatannya di dalam Berita Negara RImaka simsalabim wajib pajak langsung tahu, langsung memotong dan semuanya beres. Padahal di mana Berita Negara Republik Indonesia itu berada? Apakah sebuah situs internet, radio, media cetak? Apakah mudah diakses masyarakat? Inikah yang disebut Era Baru Ditjen Pajak?<br />Menjadi negative list Keluhan semua pengusaha tersebut tidak lepas dari konsep peraturan tersebut. Dalam Kepdirjen Pajak KEP-170/PJ /2002 maupun peraturan sebelumnya, menganut konsep positive list. Jenis jasa yang terutang PPh Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan netonya disebutkan secara rinci dan tidak menyebut adanya "jasa lain".<br />Hal ini berbeda dengan Perdirjen Pajak No. PER-178/PJ/2006 yang menganut prinsip negative list, yaitu pada prinsipnya semua jasa terutang PPh Pasal 23 kecuali yang dikecualikan. Pengecualian ini ada di Lampiran II angka 1 yaitu: Jasa pengeboran (jasa driUing) di bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;<br />Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga yang dilakukan oleh BEJ (Bursa Efek Jakarta), BES (Bursa Efek Surabaya), KSEI dan KPEI; Jasa kustodian/penyimpanan/penitip-an yang dilakukan oleh KSEI.<br />Jenis jasa yang keluar dari daftar sebagaimana diatur dalam Kepdirjen No. 170/PJ/2002, bukan berarti tidak terutang PPh Pasal 23. Sebab sekarang diatur dengan dimasukkan ke dalam jasa lain dengan perkiraan penghasilan netto 30 % atau tarif efektif 4,5%.<br />Dengan demikian, tidak ada lagi jasa yang tidak dipungut PPh Pasal 23 (kecuali jasa yang sudah terutang PPh Pasal 21). Bagaimana dengan pembayaran pajak bulanan (PPh Pasal 25) maupun pelunasan pajak (PPh Pasal 29)? Kewajiban tersebut tetap ada karena pemotongan PPh Pasal 23 untuk jasa-jasa ini tidak bersifat final.<br />Masyarakat memahami jasa lain pada butir 1 pada Lampiran II PER tersebut adalah pasal karet atau keranjang sampah. Ketentuan ini bisa menjadi sangat liar karena dalam peraturan tingkat Dirjen Pajak pun dibuat tetap elastis.<br />Dirjen Pajak tidak salah memanfaatkan cek kosong yang diberikan oleh UU PPh 2000 ini. Tapi caranya itu yang kurang cantik, sehingga membuat wajib pajak marah. <br />Sumber : Bisnis Indonesia, 08 Januari 2007 <br /><br /><br />SURAT<br />S-875/PJ.313/2004<br />Ditetapkan tanggal 25 Agustus 2004<br />PPh PASAL 23<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXXXXXXX tanggal 15 April 2004 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa: <br />a. PT NPM bergerak di bidang usaha penyewaan alat berat dan jasa land clearing, pembuatan jalur tanam, saluran air dan lain-lain. Setiap kali melakukan penagihan selalu dipotong PPh Pasal 23 oleh pemberi kerja; <br />b. Saat ini PT NPM mendapatkan pekerjaan penanaman sekaligus pemeliharaan bibit sawit dari Perusahaan Perkebunan yang berstatus PKP dengan jenis pekerjaan seperti : <br />a. Tanam dan rawat kacang-kacangan<br />- Semprot Rumput<br />- Tanam kacang-kacangan<br />- Rawat kacang-kacangan <br />b. Tanam Kelapa Sawit<br />- Pemancangan<br />- Pembuatan jalur tanaman<br />- Penggalian<br />- Penanaman kelapa sawit<br />- Perawatan kelapa sawit <br />c. Saudara menanyakan berapakah tarif PPh Pasal 23 apabila PT NPM akan melakukan pekerjaan penanaman sekaligus pemeliharaan bibit sawit secara manual (dengan memakai tenaga manusia). <br />2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), antara lain diatur sebagai berikut : <br />a. Pasal 4 ayat (1): yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun; <br />b. Pasal 23 ayat 1 huruf c angka 2): atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lian dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf c UU PPh, jasa penanaman dan pemeliharaan bibit sawit bukan merupakan jenis jasa lain yang wajib dipotong PPh Pasal 23. <br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dengan ini ditegaskan bahwa atas jasa penanaman dan pemeliharaan bibit sawit yang dilakukan oleh PT NPM, bukan merupakan jenis jasa yang wajib dipotong PPh Pasal 23. Namun demikian, atas penghasilan yang diterima dari jasa tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PT NPM untuk tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut. <br />Demikian agar Saudara maklum.<br />a.n. Direktur Jenderal<br />Pjs. Direktur<br />Robert Pakpahan<br />NIP 060060167<br />Tembusan :<br />1) Direktur Jenderal Pajak;<br />2) Direktur Pajak Penghasilan;<br />3) Kanwil DJP Jakarta V;<br />4) Kepala KPP Jakarta Kelapa Gading<br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK<br />S-363/PJ.313/2004<br />Ditetapkan tanggal 21 Juni 2004<br />PENEGASAN TARIF PPh PASAL 23 ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 15 Maret 2004 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut pada intinya Saudara menyatakan bahwa: <br />a. CV ABC memberikan jasa angkutan darat (sewa) kepada PT XYZ, yang mana atas imbalan jasa tersebut oleh PT XYZ dipotong PPh, Pasal 23 sebesar 10% dari nilai bruto; <br />b. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 pada lampiran II keputusan tersebut menyebutkan bahwa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat tarif perkiraan penghasilan netonya adalah sebesar 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br />c. Saudara mohon penegasan, apakah atas imbalan sewa angkutan darat dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 3% (20% x 15%) dari imbalan jumlah bruto, atau sebesar 10% dari jumlah imbalan bruto. <br />2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), antara lain diatur bahwa: <br />a. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 : atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto; <br />b. Pasal 33A ayat (4) : Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud. <br />3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, sebagai pengganti Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-305/PJ/2001, antara lain diatur bahwa: <br />a. Termasuk jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah penghasilan sehubungan dengan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto atas jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br />Yang dimaksud dengan jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan umum berupa: <br />a. Jasa pengeboran; <br />b. Jasa penebasan; <br />c. Jasa pengupasan dan pengeboran; <br />d. Jasa penambangan; <br />e. Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum; <br />f. Jasa pengolahan bahan galian; <br />g. Jasa reklamasi tambang; <br />h. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah; <br />i. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum. <br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut: <br />a. Apabila dalam Kontrak Karya PT XYZ diatur ketentuan khusus mengenai kewajiban pemotongan dan pemungutan PPh oleh PT XYZ, maka atas penghasilan yang diterima oleh CV ABC sehubungan dengan sewa angkutan darat dikenakan pemotongan PPh sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak Karya dimaksud; <br />b. Dalam hal di dalam Kontrak Karya dimaksud tidak diatur ketentuan khusus mengenai kewajiban pemotongan dan pemungutan PPh sebagaimana dimaksud di atas, maka atas sewa angkutan darat yang diterima oleh CV ABC termasuk dalam ruang lingkup jasa penunjang di bidang penambangan selain migas yang atas imbalannya dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />Demikian penegasan kami harap maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />HERRY SUMARDJITO<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN<br />SE-04/PJ.12/2004<br />Ditetapkan tanggal 30 Juni 2004<br />PENJELASAN MENGENAI METODE PEMILIHAN PENYEDIA BARANG/JASA PEMBORONGAN/JASA LAINNYA BERDASARKAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 80 TAHUN 2003<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Untuk memenuhi ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dan memperhatikan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Republik Indonesia Nomor : SE-137/MK.1/2004 tanggal 10 Juni 2004 tentang Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dengan ini diminta perhatian Saudara untuk memenuhi ketentuan sebagai berikut :<br />1. Pada prinsipnya semua pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dilakukan dengan cara pelelangan umum sesuai dengan Pasal 17 dan lampiran 1 Bab I huruf C angka 1 Keppres 80 tahun 2003. Apabila pelelangan umum sulit untuk dilaksanakan maka metode lain seperti pelelangan terbatas, pemilihan langsung atau untuk keadaan tertentu dapat dilaksanakan dengan cara penunjukan langsung. <br />2. Keppres 80 tidak mengatur perlunya ijin atau persetujuan Menteri Keuangan mengenai penetapan pemilihan metode pengadaan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya. Kewenangan menetapkan metode pemilihan penyedia barang/jasa pemborong/jasa lainnya, sepenuhnya berada pada Kepala Kantor/Satuan Kerja/Pemimpin Proyek/Bagian Proyek/Pengguna Barang/Jasa bersangkutan. Namun, untuk pengadaan barang/jasa di Lingkungan Departemen Keuangan yang bernilai diatas Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah) penetapan penyedia barang/jasa merupakan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf b Keppres Nomor 80 Tahun 2003. <br />3. Khusus pekerjaan jasa konstruksi, metode penunjukan langsung dapat dilakukan untuk pekerjaan lanjutan yang secara teknis merupakan kesatuan konstruksi yang sifat pertanggungannya terhadap kegagalan bangunan tidak dapa t dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya, dengan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Pasal 8 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dan dalam Lampiran Bab III angka 4 huruf b, Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 339/KPTS/M/2003 tanggal 31 Desember 2003. <br />Berkenaan dengan butir 3 di atas, perlu disampaikan bahwa setiap usulan kepada Menteri Keuangan untuk permohonan persetujuan penunjukan langsung penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya agar dilengkapi dengan rekomendasi teknis dari Instansi yang berkompeten dan disampaikan secara hirarkis melalui Kantor Pusat DJP untuk memperoleh penilaian atau pertimbangan. Kepala Satuan Kerja/Pemimpin Proyek/Bagian Proyek tidak diperkenankan mengajukan usulan secara langsung kepada Menteri Keuangan.<br />Demikian disampaikan untuk mendapat perhatian dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.<br />Sekretaris Direktorat Jenderal<br /> <br />Djazoeli Sadhani<br />NIP 060036043<br /><br /><br />SURAT<br />S-312/PJ.31/2004<br />Ditetapkan tanggal 27 April 2004<br />DASAR PENGENAAN/PEMOTONGAN PPH PASAL 23 ATAS JASA<br /> Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........................... tanggal 2 April 2004 perihal Keberatan atas Pengenaan PPh Pasal 23 atas Transaksi Pembelian Barang/Perangkat keras, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Saudara mengemukakan bahwa PT MGS sedang dalam pemeriksaan kewajiban pajaknya oleh KPP Jakarta Kebayoran Lama. Berkenaan dengan adanya perbedaan pemahaman dengan pihak KPP, Saudara mohon penegasan mengenai dasar pengenaan/pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi pembelian barang berupa server komputer senilai USD 541,000 termasuk jasa implementasi HACMP senilai USD 10,000. Perusahaan Saudara telah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa tersebut dengan tarif 6 % dari nilai USD 10,000 dari supplier yang bersangkutan (PT BT) dan telah melakukan penyetoran dan pelaporan SPT. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur bahwa atas penghasilan antara lain berupa imbalan jasa yang dibayarkan atau terutang antara lain oleh Subjek Pajak badan dalam negeri kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15 % dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur :<br />Pasal 1 ayat (2)<br />Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa katering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br />Lampiran II angka 2<br />Besarnya perkiraan penghasilan neto, untuk :<br />- Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan,<br />- Jasa instalasi/pemasangan peralatan, dan<br />- Jasa perantara,<br />adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa : <br />a. Pada prinsipnya pembelian barang bukan merupakan objek pengenaan/pemotongan PPh Pasal 23; <br />b. Apabila dalam pembelian barang terdapat komponen imbalan jasa seperti tersebut pada angka 3, maka yang menjadi objek pengenaan/pemotongan PPh Pasal 23 adalah imbalan jasa tersebut; <br />c. Dasar pengenaan/pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa seperti tersebut pada angka 3 adalah sebesar 40% dari jumlah bruto imbalan jasa tidak termasuk PPN; <br />d. Dalam hal besarnya imbalan jasa tidak diketahui atau tidak dapat dipisahkan dari harga barangnya, maka yang menjadi dasar pengenaan/pemotongan PPh Pasal 23 adalah harga barang tersebut. <br /> Demikian penegasan kami harap maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal,<br />Direktur,<br />Surjotamtomo Soedirdjo<br />NIP 060053908<br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK<br />S-265/PJ.313/2004<br />Ditetapkan tanggal 23 Maret 2004 <br />PPh PASAL 23 JASA ANGKUTAN UMUM DI DARAT <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK, <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 14 Oktober 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: <br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa: <br />a. CV ABC adalah suatu perusahaan yang salah satu bidang usahanya adalah pengangkutan barang. Dalam Surat Perjanjian Jasa Pengangkutan Material Tambang dan Material Pabrik dengan PT XYZ. Unit Bisnis Pertambangan Nikel tanggal 24 Agustus 2001, disepakati bersama bahwa: <br />1) Pengangkutan material tambang dan material pabrik dilakukan dari lokasi material ke lokasi pabrik milik PT XYZ; <br />2) Imbalan jasa angkutan dihitung dan dibayarkan berdasarkan banyaknya atau olume material yang diangkut, berat material dan jarak (km) ke lokasi pabrik; <br />3) Kendaraan angkutan yang digunakan adalah milik CV ABC dengan menggunakan plat dasar nomor polisi warna kuning. <br />b. Saudara berpendapat bahwa jasa pengangkutan material tambang dan material pabrik yang dilakukan perusahaan Saudara termasuk kategori jasa angkutan yang tidak dikenakan atau bukan objek pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan SE-08/PJ.313/1995 maupun KEP-170/PJ/2002 <br />c. Saudara mohon penegasan mengenai permasalahan tersebut. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 diatur antara lain bahwa: <br />a. Lampiran I angka 1 : Untuk jasa lain berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, besarnya perkiraan penghasilan neto ditetapkan sebesar 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br />b. Pasal 1 ayat (2) : yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />4. Sesuai angka 2.2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tentang PPh Pasal 23 atas Persewaan Alat Angkutan Darat, ditegaskan bahwa jasa perusahaan angkutan darat yang mengangkut barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasarkan banyaknya atau volume barang, berat barang, dan jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai ke tempat tujuan merupakan jasa angkutan darat yang tidak dikenakan PPh Pasal 23. <br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa: <br />a. Sepanjang jasa angkutan darat yang dilakukan oleh CV ABC dilakukan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasarkan banyaknya atau volume barang, berat barang, dan jarak ke tempat tujuan, dan sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai ke tempat tujuan, maka merupakan jasa angkutan darat yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23; <br />b. Apabila jasa angkutan darat yang dilakukan oleh CV ABC tidak memenuhi persyaratan tersebut pada huruf a, maka jasa dimaksud merupakan jasa persewaan alat angkutan darat yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 20% X 15% atau 3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />Demikian agar saudara maklum. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />Pjs. DIREKTUR, <br />ttd <br />GUNADI <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-354/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 24 September 2003<br />ONGKOS ANGKUTAN DARAT<br /> Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 1 September 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan beberapa hal sebagai berikut : <br />a. Sehubungan dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 tentang PPh Pasal 23 atas Persewaan Alat Angkutan Darat. Saudara mengajukan beberapa permasalahan dalam menerapkan biaya ongkos angkutan darat yaitu sesuai bukti tagihan ongkos angkutan barang dalam tahun 2002 yang ditagih dari perusahaan angkutan umum kepada PT PKTK adalah berdasarkan perhitungan volume barang/berat barang yang dikirim dari pabrik ke tempat tujuan atau sebaliknya (tidak ada transaksi tagihan biaya ongkos angkutan darat berdasarkan perhitungan borongan, mingguan, bulanan, sewa untuk jangka waktu tertentu).<br />b. Saudara mohon penegasan atas transaksi tersebut di atas, tidak merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas ongkos angkutan darat adalah sudah benar dan sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manejemen, jasa konstruksi, jaas konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah. Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 diatur antara lain : <br />a. Lampiran I angka 1 Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta Khusus Kendaraan Angkutan Darat.<br />b. Perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan jasa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat adalah 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br />c. Ketentuan ini mulai berlaku 1 Mei 2002.<br />4. Sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 tentang PPh Pasal 23 Atas Persewaan Alat Angkutan Darat antara lain diatur bahwa : <br />a. Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : <br />1. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi, truk, mobil derek dan taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu secara harian, mingguan maupun bulanan berdasarkan suatu perjanjian tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat menggunakan kendaraan umum yang bersangkutan.<br />2. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23.<br />3. Sewa kendaraan berupa truk, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter oleh suatu perusahaan angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.<br />b. Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : <br />1. Jasa angkutan kendaraan perusahaan taksi yang disewa/dicharter sesuai tarif argometer.<br />2. Jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang yang mengangkat barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar banyak atau volume barang, berat barang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai di tempat ujuan pada waktunya.<br />3. Jasa angkutan kereta api yang dilakukan oleh Perum Kereta Api.<br />5. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut : <br />a. Dalam hal jasa sewa angkutan darat yang diberikan oleh perusahaan angkutan darat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a, maka jasa yang diberikan termasuk dalam pengertian jaa angkutan darat dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, sehingga ata jasa angkutan darat yang diberikan oleh perusahaan jasa angkutan darat terutang PPh Pasal 23 sebesar 20% x 15% atau 3% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Dalam hal jasa sewa angkutan darat yang diberikan oleh peruashaan angkutan darat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf b, maka jasa yang diberikan termasuk dalam pengertian jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Namin demikian atas penghasilan tersebut merupakan objek yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan perusahaan jasa angkutan darat. <br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP 060055232<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-352/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 24 September 2003<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23 OLEH BENDAHARAWAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor S-1284/WPJ.18/BD.0302/2003 tanggal 22 Agustus 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan, sebagai berikut: <br />a. Sehubungan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran Nomor SE-157/A/2002 tanggal 17 September 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Saudara menyampaikan hal-hal sebagai berikut: <br />i. Pada angka Romawi I huruf G butir 3c surat edaran tersebut terdapat kalimat "Bukti-bukti pembayaran diatas Rp.1.000.000,- sampai dengan jumlah kurang dari Rp.1.500.000,- yang dimuat dalam STPBR/P dan sesuai ketentuan harus dipungut PPN dan PPh, fotokopi SSP berkenaan telah dilegalisir oleh Atasan Langsung Bendaharawan harus dilampirkan pada SPTBR/P". <br />ii. Dari pernyataan pada angka 1 di atas, kalangan Direktorat Jenderal Anggaran di wilayah Papua dan Maluku mengartikan bahwa untuk pembayaran objek PPh Pasal 23 yang jumlahnya kurang dari Rp.1.000.000,- tidak perlu dipotong PPh Pasal 23 padahal ketentuan tersebut hanya berlaku terbatas untuk pemotongan PPh Pasal 22 dan PPN saja.<br />b. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam pemotongan/pemungutan pajak oleh para Bendaharawan, maka Saudara mengusulkan agar Kantor Pusat DJP dapat meluruskan masalah tersebut. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa menajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April 2001 tentang Penunjukan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan seta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, antara lain diatur sebagai berikut: <br />a. Pasal 1, Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain adalah Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan yang tersebut pada butir 4. <br />b. Pasal 3 ayat (1) huruf d, dikecualikandari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. <br />4. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: <br />a. Jasa selain jasa-jasa tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan imbalan jasa tersebut adalah sebesar 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />5. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut: <br />a. Dalam hal Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah melakukan pembayaran atas pemberian jasa dan atau barang yang terutang PPh Pasal 23 dengan dana yang dibebankan pada Anggaran Daerah (APBD), maka atas obyek pemotongan PPh Pasal 23 wajib dilakukan pemotongan sebesar 15% x 10% atau 1,5% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dengan tidak melihat besarnya jumlah pembayaran. <br />b. Dalam hal Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) dengan jumlah pembayaran paling banyak Rp.1.000.000,- dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah, maka dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22. <br />Demikian agara Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />ttd.<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP.060055232<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-350/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 24 September 2003<br />ASPEK PERPAJAKAN ATAS MAKLON DENGAN PERUSAHAAN YANG BERADA DI LUAR NEGERI<br />Sehubungan dengan surat Saudara tanpa Nomor tanggal 22 April 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa: <br />a. PT ........adalah perusahaan yang memproduksi........... <br />b. PT........sudah berhenti berproduksi sejak akhir Desember 2002 akibat tidak adanya pasokan bahan baku utama yaitu.....Pada minggu pertama bulan Pebruari 2003, perusahaan Saudara menerima sebuah tawaran dari perusahaan asing untuk memproduksi kembali......dengan jaminan supply......dari perusahaan asing dengan sistem kerja maklon. <br />c. Dalam kesepakatan, ditetapkan bahwa perusahaan asing tersebut akan menyediakan bahan baku utama berupa....,sementara perusahaan Saudara menyediakan .......dan bahan baku pembantu lainnya serta jasa penggunaan.....,bahan baku pembantu lainnya serta jasa proses pengolahan yang disediakan oleh perusahaan Saudara. <br />d. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Saudara memohon penegasan atas hal-hal sebagai berikut: <br />1. Apakah PT........bisa mengeluarkan invoice kepada perusahaan yang berada di luar negari yang nilainya lebih kecil dari nilai yang tercantum dalam PEB, mengingat: <br />• Dalam invoice perusahaan Saudara hanya menagih jasa proses pengolahan.....dan .....termasuk ......dan bahan pembantu lainnya. <br />• Dalam ....,nilai yang tercantum selain jasa diatas termasuk nilai bahan baku ........yang disediakan oleh perusahaan yang berada di luar negeri <br />2. Apakah atas impor .......dan pembelian bahan pembantu lainnya, PPh 22 nya dapat dikreditkan oleh perusahaan Saudara. <br />2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:<br />Pasal 4 ayat (1)<br />Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapaun.<br />Pasal 6 ayat (1) huruf 1<br />Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, managih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.<br />Pasal 28 ayat (1) huruf b<br />Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk pajak yang bersangkutan, berupa pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. <br />3. Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003, diatur: <br />a. Ayat (1), dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 antara lain adalah: <br />• impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; <br />b. Ayat (2), pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. <br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan bahwa: <br />a. Pada prinsipnya penghasilan diakui pada saat diterima atau diperoleh sesuai dengan kenyataannya atau haknya. Dengan demikian dalam hal jasa maklon PT......,penghasilan yang dikenakan pajak hanya mencakup imbalan jasa proses pengolahan saja. Namun dalam pembukuan perusahaan, jumlah peredaran/penghasilan bruto yang dicatat meliputi semua jumlah penerimaan/tagihan yang sebenarnya yang terdiri dari imbalan jasa maklon (jasa proses pengolahan) ditambah dengan nilai pemakaian bahan dan biaya-biaya lainnya sepanjang merupakan beban perusahaan jasa maklon PT.....; <br />b. Nilai pemakaian bahan yang merupakan milik pemesan barang bukan merupakan unsur harga pokok/biaya perusahaan. Oleh karena itu juga bukan merupakan unsur jual, meskipun dalam dokumen ekspor pabean (PEB) termasuk. Perlakuan Pajak Penghasilan ini berbeda/tidak harus sama dengan perlakuan pabean atau PPN dan PPnBM; <br />c. Atas impor bahan baku dan bahan lainnya yang dimiliki oleh pemesan barang di luar negeri, karena bukan merupakan unsur penghasilan perusahaan jasa maklon PT........dapat dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 melalui prosedur Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22. Apabila PPh Pasal 22 atas impor bahan tersebut terlanjur dipungut, bukti pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak oleh PT......, namun dajpat ditempuh prosedut permohonan pengembalian pajak yang tidak semestinya terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan Saudara terdaftar. <br />Demikian agar Saudara maklum<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />ttd.<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP.060055232<br /><br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-353/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 24 September 2003<br />ONGKOS ANGKUTAN DARAT<br /> Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 1 September 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan beberapa hal sebagai berikut : <br />a. Sehubungan dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 tentang PPh Pasal 23 atas Persewaan Alat Angkutan Darat. Saudara mengajukan beberapa permasalahan dalam menerapkan biaya ongkos angkutan darat yaitu sesuai bukti tagihan ongkos angkutan barang dalam tahun 2002 yang ditagih dari perusahaan angkutan umum kepada PT PKTK adalah berdasarkan perhitungan volume barang/berat barang yang dikirim dari pabrik ke tempat tujuan atau sebaliknya (tidak ada transaksi tagihan biaya ongkos angkutan darat berdasarkan perhitungan borongan, mingguan, bulanan, sewa untuk jangka waktu tertentu).<br />b. Saudara mohon penegasan atas transaksi tersebut di atas, tidak merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas ongkos angkutan darat adalah sudah benar dan sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manejemen, jasa konstruksi, jaas konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah. Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 diatur antara lain : <br />a. Lampiran I angka 1 Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta Khusus Kendaraan Angkutan Darat.<br />b. Perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan jasa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat adalah 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br />c. Ketentuan ini mulai berlaku 1 Mei 2002.<br />4. Sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 tentang PPh Pasal 23 Atas Persewaan Alat Angkutan Darat antara lain diatur bahwa : <br />a. Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : <br />1. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi, truk, mobil derek dan taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu secara harian, mingguan maupun bulanan berdasarkan suatu perjanjian tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat menggunakan kendaraan umum yang bersangkutan.<br />2. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23.<br />3. Sewa kendaraan berupa truk, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter oleh suatu perusahaan angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.<br />b. Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : <br />1. Jasa angkutan kendaraan perusahaan taksi yang disewa/dicharter sesuai tarif argometer.<br />2. Jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang yang mengangkat barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar banyak atau volume barang, berat barang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai di tempat ujuan pada waktunya.<br />3. Jasa angkutan kereta api yang dilakukan oleh Perum Kereta Api.<br />5. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut : <br />a. Dalam hal jasa sewa angkutan darat yang diberikan oleh perusahaan angkutan darat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a, maka jasa yang diberikan termasuk dalam pengertian jaa angkutan darat dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, sehingga ata jasa angkutan darat yang diberikan oleh perusahaan jasa angkutan darat terutang PPh Pasal 23 sebesar 20% x 15% atau 3% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Dalam hal jasa sewa angkutan darat yang diberikan oleh peruashaan angkutan darat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf b, maka jasa yang diberikan termasuk dalam pengertian jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Namin demikian atas penghasilan tersebut merupakan objek yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan perusahaan jasa angkutan darat. <br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP 060055232<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-346/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 16 September 2003<br />PERMOHONAN KEJELASAN MENGENAI PPh ATAS BONUS PENJUALAN PRODUK PERTAMINA<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor...........tanggal..........perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan bahwa terhadap permasalahan yang sama telah dijawab oleh Direktur Pajak Penghasilan dalam surat Nomor S-336/PJ.43/2003 tanggal 28 Agustus 2003 kepada Sdr..............perihal Pajak Penghasilan atas Bonus Agen Pelumas Pertamina yang menegaskan sebagai berikut:<br />1. Dalam hal bonus yang diterima atau diperoleh agen pelumas Pertamina diberikan oleh Pertamina untuk penyaluran pelumas Pertamina sewaktu menebus ke Pertamina dengan harga yang telah ditentukan, maka bonus tersebut merupakan marjin atau selisih harga sehingga pengenaan PPh sesuai dengan PPh atas penebusan pelumas Pertamina yaitu PPh yang bersifat final. <br />2. Namun demikian atas bonus yang diberikan tersebut diberikan kepada agen pelumas Pertamina karena penjualan melebihi jumlah tertentu atau mencapai tingkat prestasi tertentu, maka bonus tersebut hadiah atau penghargaan. <br />3. Dalam hal bonus sebagaimana dimaksud pada angka 2 diberikan kepada badan, maka atas bonus tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan merupakan kredit bagi badan/perusahaan yang mendapat bonus. <br />4. Dalam hal bonus sebagaimana dimaksud pada angka 2 diberikan kepada orang pribadi, maka bonus tersebut dipotong PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />ttd.<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP.060055232<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-344/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 9 September 2003<br />MASALAH PENGENAAN PPH PASAL 23 ATAS PENJUALAN SOFTWARE BERLISENSI<br /> Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 4 Juli 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan sebagai berikut : <br />a. PT ACC mendapatkan persetujuan sebagai Re-seller oleh Microsoft Regional Sales Corporation untuk menjual, mendistribusikan sofware produk jadi Microsoft. Dalam perjanjian seluruh media CD software toolkit dan penerbitan sertifikat lisensi dilakukan oleh Microsoft Operation Pte Ltd.<br />b. Dalam praktek sehari-hari sering terjadi perselisihan PT ACC dengan pihak customer karena atas penjualan software computer ini dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 berupa royalti sebesar 15% atau customer mengacu pada Keputusan Dirjen Nomor KEP-170/PJ/2002 melakukan pemotongan berupa jasa teknik sebesar 40% x 15% atau melakukan pemotongan berupa jasa software computer sebesar 40% x 15%.<br />c. Saudara mohon penegasan atas permasalahan : <br />1. atas penjualan Software Komputer program umum tersebut bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, atau<br />2. atas penjualan software computer produk jadi berlisensi (original copy) yang bersifat umum terutang PPh Pasal 23 berupa royalti atau berupa jasa teknik/jasa sofware;<br />3. atas pembayaran untuk pembelian software dari Microsoft tersebut dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif berdasarkan P3B berupa royalti atau tidak.<br />2. Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia - Amerika dan Protokol Indonesia - Amerika, antara lain diatur sebagai berikut : <br />a. Pasal 7 ayat (3) :<br />Royalti sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 13 ayat (3), sehubungan dengan penggunaan, atau hak untuk menggunakan barang atau hak-hak untuk menggunakan barang atau hak-hak sebagaimana disebutkan dalam ayat tadi yang berada di suatu Negara Pihak pada Perjanjian akan diperlakukan sebagai penghasilan yang bersumber di Negara Pihak pada Perjanjian tersebut.<br />b. Pasal 13 <br />i. Ayat (1) :<br />Royalti yang bersumber di salah satu Negara Pihak pada Perjanjian yang diperoleh penduduk Negara lainnya pada Perjanjian dapat dikenakan pajak oleh kedua Negara tersebut.<br />ii. Ayat (2) :<br />Tarif pajak yang dikenakan oleh suatu Negara Pihak pada Perjanjian atas royalti yang bersumber di Negara Pihak pada Perjanjian tersebut dan dimiliki oleh Pihak yang menikmati royalti tersebut yang merupakan penduduk Negara Pihak lainnya pada Perjanjian tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto royalti sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3). <br />3. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 beserta penjelasan, diatur bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk royalti.<br />Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dijelaskan bahwa pada dasarnya imbalan royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan : <br />a. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek, dagang, formula, atau rahasia perusahaan; <br />b. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan; <br />c. informasi, yaitu yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama. <br />4. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahunn 2000 antara lain diatur bahwa atas penghasilan dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan : <br />a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti; <br />b. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. <br />5. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur bahwa atas penghasilan berupa royalti yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. <br />6. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa : <br />a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan imbalan jasa tersebut adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumalh imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />7. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut : <br />a. Pembelian software saja tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 <br />b. Apabila pembelian software komputer disertai dengan pemberian lisensi, maka termasuk dalam pengertian royalti yang dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto. <br />c. Software maintenance termasuk jasa perawatan, pemeliharaan, perbaikan sehubungan dengan software komputer dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />d. Atas royalti yang dibayarkan oleh PT ACC kepada Microsoft Regional Sales Corporation (Perusahaan Amerika) dan mengingat beneficial owner royalti tersebut adalah Microsoft Amerika, maka perlakuan Pajak Penghasilan atas royalti tersebut adalah berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia - Amerika. Dengan demikian terhadap royalti yang dibayarkan oleh PT ACC kepada Microsoft Regional Sales Corporation dikenakan berdasarkan PPh Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Amerika sebagaimana tercantum dalam angka 2 huruf b. <br />e. Untuk penerapan ketentuan P3B sebagaimana tersebut pada huruf d, pihak Microsoft Regional Sales wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan odan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority di Amerika kepada PT ACC sebagai pihak yang membayarkan penghasilan dan menyerahkan fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PT ACC terdaftar. <br />f. Apabila Microsoft Regional Sales tidak dapat menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) dimaksud, maka atas pembayaran imbalan royalti tersebut dikenakan pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan. <br /> Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP 060055232<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-341/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 4 September 2003<br />TARIF PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ...................... tanggal 12 Agustus 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Sehubungan dengan KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 Saudara mohon penegasan bahwa atas perusahaan yang bergerak dalam Jasa Perencanaan Konstruksi ditetapkan tarif sebesar 4% (empat persen). <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain mengatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan, perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto pihak yang wajib membayarkan. <br />3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur sebagai berikut: <br />a. Atas Penghasilan yang diterima Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetakp yang diterima atau diperoleh dari usaha jasa di bidang konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. <br />b. Adapun pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapan, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. <br />c. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka atau termin. <br />d. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan ditetapkan sebagai berikut: <br /> 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; <br /> 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi; <br /> 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi. <br />4. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf (c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur sebagai berikut: <br />a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah: <br /> Jasa konsultan; <br /> Jasa pelaksanaan konstruksi, jasa perencanaan konstruksi, dan jasa pengawasan konstruksi. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan denga: <br /> Jasa konsultan adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br /> Imbalan jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi adalah 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. <br />d. Sedangkan yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering yaitu jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa atas kegiatan yang dilakukan oleh PT.....termasuk dalam pengertian jasa perencanaan konstruksi dan dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% x 26 2/3% atau 4% (empat persen) dari jumlah imbalan bruto. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />ttd.<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP.060055232<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-340/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 4 September 2003<br />PPh PASAL 23 UNTUK KONSULTAN KONSTRUKSI<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............................ tanggal 5 Agustus 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut dikemukakan bahwa Saudara merasa keberatan atas pengenaan PPh Pasal 23 pada saat penarikan termin untuk pekerjaan konsultan konstruksi yang dikenakan tarif sebesar 7,5% dimana seharusnya sebesar 4% (empat persen). Saudara mohon agar kelebihan pengenaan PPh Pasal 23 tersebut dapat diperhitungkan/dipotongkan pada saat pengenaan PPh Pasal 23 untuk termin berikutnya. <br />2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur: <br />a. Pasal 23 ayat (1) huruf c, atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan, perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayarkan. <br />b. Pasal 28 ayat (1) huruf c, Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan berupa pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bung, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.<br />3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur sebagai berikut: <br />a. Atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh dari usaha jasa di bidang konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. <br />b. Adapun pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan msing-masing besertaa kelengkapan, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. <br />c. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka atau termin. <br />d. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan ditetapkan sebagai berikut: <br /> 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksana konstruksi; <br /> 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi; <br /> 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi. <br />4. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf (c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur sebagai berikut : <br />a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah: <br /> Jasa konsultan; <br /> Jasa pelaksanaan konstruksi, jasa perencanaan konstruksi, dan jasa pengawasan konstruksi. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan: <br /> Jasa konsultan adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br /> Imbalan jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi adalah 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. <br />d. Sedangkan yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering yaitu jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut: <br />a. Atas kegiatan yang dilakukan oleh PT.............termasuk dalam pengertian jasa perencanaan konstruksi dan dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% x 26 2/3% atau 4% (empat persen) dari jumlah imbalan bruto. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. <br />b. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 23 dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak pada SPT Tahunan PPh Badan untuk tahun pajak yang bersangkutan. <br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Derektur Jenderal<br />Direktur<br />ttd.<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP.060055232<br /><br /><br />SURAT<br />S-339/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 4 September 2003<br />KREDIT PAJAK BUKTI PEMOTONGAN PPh 23 ATAS JASA MAKLON<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor........tanggal........perihal tersebut diatas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menjelaskan bahwa PT.......merupakan perusahaan garmen berorientasi ekspor dengan NPWP........terdaftar di KPP .......... dan mempunyai pabrik berlokasi di .........dengan NPWP.........yang terdaftar di KPP.......<br />PT.........menerima maklon dan atas penyerahan JKP tersebut Saudara menerbitkan Faktur Pajak dengan NPWP.........Pemberi order melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan NPWP Wajib Pajak.........sesuai faktur pajak yang Saudara terbitkan.<br />Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Saudara menanyakan apakah atas bukti pemotongan PPh Pasal 23 tersebut dapat dikreditkan dalam perhitungan SPT Tahunan PPh WP Badan di KPP..... <br />2. Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa antara lain pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 23. <br />3. Berdasarkan ketentuan di atas dengan ini ditegaskan bahwa karena pabrik PT.....merupakan cabang dari perusahaan PT......dimana kewajiban perpajakan atas SPT Tahunan Badan dipusatkan di induk perusahaan, maka atas bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan cabang dapat dikreditkan pada SPT Tahunan PPh PPh Badan perusahaan tahun pajak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Pajak Penghasilan.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />ttd.<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP.060055232<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-313/PJ.313/2003<br />Ditetapkan tanggal 8 Mei 2003<br />PEMOTONGAN PPH PASAL 23 ATAS JASA PENYELIDIKAN DAN KEAMANAN <br /> Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ....................... tanggal 15 Januari 2003 perihal tersebut diatas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa :<br /> a. PT Group 4 Flack bergerak di bidang Jasa penyelidikan dan keamanan. Sesuai surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-407/PJ.312/2000 tanggal 18 September 2000 dan nomor S-428/PJ.312/2002 tanggal 10 Juni 2002, ditegaskan bahwa imbalan jasa penyelidikan dan keamanan tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, tetapi imbalan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan;<br /> b Saudara mohon penegasan kembali atas hal tersebut. <br />2 Sehubungan dengan hal tersebut dengan ini disampaikan bahwa perlakuan perppajakan atas imbalan jasa penyelidikan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam surat-surat Saudara telah ditegaskan dengan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-407/PJ.312/2000 tanggal 18 September 2000 dan Nomor S-428/PJ.312/2002 tanggal 10 Juni 2002.<br />3 Perlu ditambahkan bahwa sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak, yang dimaksud dengan :<br /> a Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan Objek Pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)<br /> b Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak.<br />Ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan dimaksud di atas merupakan program kegiatan operasional DJP dalam rangka penerapan ketentuan Undang-undang Perpajakan (Law Enforcement) terhadap para Wajib Pajak yang belum terdaftar dan atau belum melaksanakan kewajiban pajaknya sebagaimana mestinya berdasarkan ketentuan Undang-undang Perpajakan.<br /> Demikian agar Saudara maklum.<br />a.n. Direktur Jenderal <br />Direktur<br /> <br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br />Tembusan :<br />1. Direktur Jenderal Pajak <br />2. Direktur Pajak Penghasilan<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-238/PJ.42/2003<br />Ditetapkan tanggal 29 April 2003<br />PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ATAS NAMA ASOSIASI (LEAD FIRM)<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 24 Pebruari 2003 perihal permohonan kebijaksanaan penyelesaian kelebihan pembayaran PPh Badan, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa : <br />a. PT. ABC adalah salah satu anggota asosiasi dari suatu proyek dengan dana loan yang dikerjakan oleh beberapa perusahaan. Pembayaran termijn yang diterima selama tahun 2001 sudah dikurangi untuk :<br /> PPh Pasal 23 yang disetor 7,5% x dana loan (95%)<br /> PPh Pasal 23 yang dipotong 7,5% x dana rupiah murni (5%)<br /> Jumlah keseluruhan Rp 43.765.958,00 <br /> PPh Badan (Tahunnan) Rp 3.284.381,00 <br /> Kelebihan Bayar Rp 40.381.577,00 <br />b. Bukti PPh Pasal 23 disetor dan dipotong a/n Lead Firm (PT. XYZ), tetapi sebenarnya merupakan gabungan dari seluruh anggota yang terlibat dalam pekerjaan tersebut, dan jumlahnya untuk masing-masing anggota adalah proporsional dengan jumlah uang yang diterima; <br />c. Saudara mohon kelebihan bayar tersebut di atas dapat diakui karena PPh Pasal 23 sudah dipotong dan disetor oleh Lead Firm (PT. XYZ).<br />3. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ/1994 tanggal 24 Oktober 1994 tentang Pemecahan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23, antara lain diatur mengenai petunjuk pemecahan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dalam hal telah dilakukan pemotongan pajak atas nama joint operation (J.O), yaitu sebagai berikut : <br />b. J.O harus mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana J.O terdaftar dengan melampirkan fotokopi dokumen pendirian J.O; <br />c. Berdasarkan hasil penelitian oleh KPP, akan diterbitkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP) PPh Pasal 23 yang seharusnya tidak terutang (oleh J.O); <br />d. Selanjutnya KPP akan melakukan pemindahbukuan atau Pbk dari PPh Pasal 23 atas nama J.O menjadi PPh Pasal 23 atas nama masing-masing anggota J.O untuk dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota J.O.<br />4. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa : <br /> . Joint Operation bukan Subyek Pajak melainkan para anggotanya yang menjadi Subjek Pajak dan terutang Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh masing-masing dari pelaksanaan pekerjaan proyek; <br />a. Apabila PT. XYZ selaku Lead Firm dari Joint Operation tersebut, maka PT. XYZ harus mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada KPP di mana Joint Operation terdaftar sesuai ketentuan/prosedur tersebut di atas.<br />Demikian harap maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-353/PJ.313/2003<br />Ditetapkan tanggal 29 Maret 2003<br />PPh PASAL 23 ATAS JASA ANGKUTAN LAUT<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 14 Maret 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mohon penegasan mengenai ketentuan PPh Pasal 23 atas jasa angkutan laut yang berlaku selain Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, atas permasalahan sebagai berikut : <br />a. PT ABC melakukan pekerjaan angkutan laut barang milik PT BCA sesuai surat Perjanjian Jasa Pekerjaan No. XXX tanggal 13 Desember 2002, dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 6%. Atas pemotongan pajak tersebut, PT ABC keberatan karena berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996, pekerjaan jasa pengangkutan laut hanya dikenakan pemotongan PPh Final sebesar 1,2%. <br />b. PT ABC mohon penegasan.<br />2. Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur bahwa Norma Penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan. <br />3. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, dan aturan pelaksanaannya dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.4/1996 tentang Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, diatur sebagai berikut : <br />a. Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang bertempat tinggal atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan pihak lain. <br />b. Penghasilan yang menjadi objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari : <br />1. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia <br />2. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia <br />3. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia <br />4. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.<br />c. Norma penghitungan khusus penghasilan neto adalah 4% (empat persen) dari peredaran bruto. Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final. <br />d. Yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang yang diterima atau diperoleh wajib pajak. <br />4. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat kami tegaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tersebut di atas. Dengan demikian, atas imbalan jasa pengangkutan orang dan atau barang melalui angkutan laut termasuk penyewaan kapal perusahaan pelayaran dalam negeri, dipotong PPh sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-85/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 17 Maret 2003<br />PERMINTAAN PENJELASAN PENGENAAN PPh PASAL 23 ATAS IMBALAN JASA<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 26 Pebruari 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dikemukakan bahwa PT ABC bergerak di bidang industri jasa plating (pengasaman/pelapisan permukaan logam yang bersifat tahan terhadap korosi), dalam kegiatan usahanya menggunakan bahan kimia sebagai bahan baku dan jasa. Dalam contoh kontrak dicantumkan bahwa dalam kegiatan produksi dapat dipisahkan antara nilai bahan baku sebesar 85,5% dan nilai jasa sebesar 14,5%. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Saudara meminta penjelasan dan penegasan pengenaan PPh Pasal 23 atas tagihan Saudara. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur antara lain : <br />a. Termasuk jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah penghasilan sehubungan dengan jasa maklon. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto atas jasa maklon adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut : <br />a. Jasa yang dilakukan oleh PT ABC sebagaimana disebutkan dalam butir 1 di atas termasuk jasa maklon yang atas imbalannya dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto dalam hal ini adalah apabila dalam kontrak dapat dipisahkan antara pengadaan material dengan jasanya, maka yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah hanya atas jasanya saja.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-80/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 11 Maret 2003<br />PERMOHONAN REKOMENDASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ATAS JASA PERAWATAN BAGI PERUSAHAAN KONSTRUKSI<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 7 Pebruari 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dikemukakan beberapa hal, sebagai berikut : <br />a. PT ABC telah memperoleh persetujuan rekomendasi dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat sebagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa kontraktor dan konsultasi di bidang sipil/industri, jasa perbaikan dan pemeliharaan mesin/peralatan berteknologi tinggi serta perdagangan ekspor dan impor. Adapun lingkup jenis jasa yang dikerjakan pada saat ini adalah pekerjaan perencanaan teknik konstruksi dan pembangunannya, pekerjaan sipil, mekanikal dan elektrikal termasuk perawatannya. <br />b. Menunjuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 mengenai Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dimana dalam lampiran II Nomor 3 dinyatakan bahwa jasa pelaksanaan konstruksi termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan memiliki ijin sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi maka PPh Pasal 23 adalah 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi yang mana pada Nomor I.4 menyebutkan bahwa ijin usaha untuk badan usaha asing yang menyelenggarakan usaha jasa konstruksi diberikan oleh pemerintah pusat (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). <br />d. Dalam Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum tanggal 23 Februari 1988 menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan SIUJK disampaikan penegasannya bahwa bagi perusahaan yang melakukan kegiatan usahanya dalam rangka penanaman modal asing (PMA) tidak diperlukan SIUJK mengingat perusahaan PMA dan atau yang sejenisnya tersebut ijin dan atau persetujuan usahanya telah diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). <br />e. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Saudara mohon agar dapat diberikan ijin rekomendasi untuk pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas pekerjaan jasa maintenance atau perawatan sesuai dengan aktivitas kegiatan kerja perusahaan Saudara pada saat ini.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi antara lain diatur : <br />a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi dikenakan PPh final apabila memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). <br />b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn. <br />c. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan ditetapkan sebagai berikut : <br /> 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; <br /> 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi; <br /> 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi; <br />4. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa : <br />a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa pelaksanaan konstruksi, jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan imbalan jasa tersebut antara lain : <br /> jasa pelaksanaan konstruksi sebesar 13 1/3%; <br /> jasa perencanaan konstruksi sebesar 26 2/3%; <br /> jasa pengawasan konstruksi sebesar 26 2/3%; <br />dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. <br />d. Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002.<br />5. Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa sepanjang PT ABC merupakan perusahaan yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai ijin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka: <br />a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT ABC dikenakan pemotongan PPh final dengan tarif sebesar: <br /> 13 1/3% x 15% atau 2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi; <br /> 26 2/3% x 15% atau 4% untuk jasa perencanaan konstruksi; <br /> 26 2/3% x 15% atau 4% untuk jasa pengawasan konstruksi; <br />dari jumlah bruto tidak termasuk PPN apabila memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang serta mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). <br />b. Atas penghasilan yang diterima PT ABC dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar : <br /> 13 1/3% x 15% atau 2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi; <br /> 26 2/3% x 15% atau 4% untuk jasa perencanaan konstruksi; <br /> 26 2/3% x 15% atau 4% untuk jasa pengawasan konstruksi; <br />dari jumlah bruto tidak termasuk PPN apabila tidak memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan lembaga yang berwenang dan atau mempunyai nilai pengadaan lebih dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-167/PJ.313/2003<br />Ditetapkan tanggal 5 Maret 2003<br />PPh Pasal 23 atas Dividen<br /> Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ................... tanggal 6 Nopember 2002 perihal tersebut diatas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menunjuk dua hal yaitu :<br /> a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 pada Pasal 4 ayat 3 huruf f tentang Dividen yang diterima oleh perseroan yang mempunyai kepemilikan saham di badan usaha lain bukan merupakan Objek Pajak. Ketentuan ini berlaku umum untuk semua badan usaha sebelum tanggal 1 Januari 2001, (masih berlaku ketentuan Nomor 10 Tahun 1994). Akan tetapi setelah 1 Januari 2001, sejak berlakunya ketentuan baru sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2000, Dividen yang diterima oleh Badan Usaha bukan merupakan objek pajak apabila memenuhi syarat tertentu yakni :<br /> - Dividen berasal dari cadangan yang ditahan<br /> - Bagi perseroan yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.<br /> b PSAK No.46 menyebutkan untuk tujuan Fiskal, penghasilan diakui sebagai berikut :<br /> 1) Sampai dengan tanggal 31 Desember 2000 (UU No.1/1994), intercorporate dividen dikecualikan dari Objek Pajak, berapapun persentase kepemilikan sehingga penghasilan dari badan usahalain dimaskud (apabila diakui dalam laba komersial) merupakan koreksi negatif dalam menghitung Laba Kena Pajak. (merupakan perbedaan permanen)<br /> 2) Mulai tanggal 1 Januari 2001 (UU No.17/2000), intercorporate dividen hanya dikecualikan apabila memenuhi syarat jika kepemilikan lebih dari 25% dan harus mempunyai usaha yang aktif di luar kepemilikan saham tersebut. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pajak atas intercorporate dividen merupakan perbedaan temporer.<br /> c Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Saudara menanyakan hal-hal sebagai berikut :<br /> 1) Jika pada tahun 2003 perseroan akan membagikan dividen yang berasal dari laba ditahan tahun buku sebelum 2001 dan perusahaan penerima dividen belum mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham pada perusahaan lain, apakah dalam hal ini perusahaan yang membayar dividen wajib memotong PPh Pasal 23 atas dividen yang berasal dari laba tahun buku sebelum 2001 yang dibagikan pada tahun 2003.<br /> 2) Apakah definisi dari usaha aktif tersebut pada Pasal 4 ayat (3) huruf f UU No.17 Tahun 2000.<br /><br /> 3) Berdasarkan Pasal 61 ayat 2 UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, cadangan laba ditahan adalah sebesar 20% dari modal yang ditempatkan. Apakah definisi ini sesuai dengan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat 3 huruf f.<br />2 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 diatur antara lain sebagai berikut :<br /> a Pasal 4 ayat (3) huruf f : dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Mili Daerah, dari penyertaan Modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :<br /> 1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan<br /> 2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima Dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;<br /> b Pasal 23 ayat (1) huruf c : atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dengan nama dan bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto antara lain dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;<br />3 Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Dalam Tahun berjalan dan penjelasannya diatur sebagai berikut :<br /> a. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.<br /> b Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa) saat tersedia untuk dibayarkan ( seperti : gaji dan dividen) saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalti, imbalan jasa teknik/jasa manajemen lainnya) atau saat tertentu lainnya.<br />4 Berdasarkan ketentuan tersebut dengan ini diberikan penegasan bahwa : <br /> a Atas pembagian dividen yang dilakukan pada tahun 2003 yang berasal dari laba ditahan tahun buku sebelum 2001, apabila saat terutang dividen berdasarkan keputusan RUPS dan penyisihan/penetapan dividen untuk masing-masing pemegang saham adalah sebelum tahun 2001, maka perlakuan perpajakannya sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU Nomor 10 Tahun 1994.<br /><br /> Apabila saat terutang dividen berdasarkan Keputusan RUPS dan penyisihan/penetapan dividen untuk masing-masing pemegang saham adalah sesudah tahun 2000, maka perlakuan perpajakannya sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU Nomor 17 Tahun 2000, sehingga dalam hal ini perusahaan yang membayar dividen wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto dividen karena perusahaan yang menerima dividen belum mempunyai usaha aktif;<br /> b Pengertian usaha aktif di luar kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f UU Nomor 17 Tahun 2000 adalah kegiatan usaha aktif yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan bidang keahlian atau bidang usaha perusahaan. Kegiatan yang hanya semata-mata memberikan jasa manajemen kepada anak perusahaan misalnya, belum merupakan kegiatan usaha aktif.<br /> c Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 mengatur tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas dividen, sedang Pasal 61 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 mengatur tentang pembentukan penyisihan cadangan dari laba usaha untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham. Kedua aturan tersebut berbeda yurisdiksinya dan berbeda pula tujuannya sehingga satu sama lain tidak bertentangan.<br />Demikian agar saudara maklum.<br />a.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />IGM Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br />Tembusan :<br />1. Direktur Jenderal Pajak <br />2. Direktur Jenderal Penghasilan<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-54/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 21 Februari 2003<br />PERMOHONAN PERSETUJUAN PEMECAHAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 4 Februari 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dan lampirannya dijelaskan bahwa : <br />a. PT BCA dan PT ABC membentuk Joint Operation berdasarkan surat perjanjian tanggal 9 Juli 2002 dengan nama XYZ Joint Operation untuk pelaksanaan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane milik Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. <br />b. Dalam pelaksanaan proyek, masing-masing J.O. telah ditentukan bagian pekerjaan dan nilainya sehingga setiap anggota merupakan kegiatan usaha yang berdiri sendiri. Dengan demikian semua transaksi yang berhubungan dengan proyek tersebut adalah atas nama/tanggung jawab masing-masing anggota J.O. sedangkan J.O. hanya bertindak sebagai koordinator. <br />c. Kontrak kerja ditandatangani antara pemilik proyek (Depkimpraswil) dengan XYZ J.O., sehingga penagihan atas prestasi kerja diajukan oleh J.O. dan pembayaran oleh pemilik proyek juga kepada J.O. Hasil yang diterima J.O. kemudian akan didistribusikan kepada anggota J.O. sesuai dengan prestasi kerja masing-masing.<br />Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Saudara memohon persetujuan pemecahan PPh Pasal 23 untuk keperluan masing-masing anggota J.O. <br />2. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-44/PJ1994 tanggal 24 Oktober 1994 tentang Pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23, antara lain diatur bahwa pengkreditan pemotongan PPh Pasal 23 sejalan dengan pengkreditan para anggota J.O., maka Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota dengan cara sebagai berikut : <br />a. Apabila telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas nama J.O., maka J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana J.O. terdaftar/berkedudukan dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian J.O. <br />b. Apabila belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23, maka : <br /> J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada pemberi hasil dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian J.O; <br /> Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas nama J.O. qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing; <br /> Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 disampaikan untuk para anggota J.O. <br />3. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa XYZ J.O. dapat mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 untuk masing-masing anggota dengan cara sebagai berikut : <br />a. Apabila telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas nama XYZ J.O., permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 diajukan kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana XYZ J.O. terdaftar/berkedudukan dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian XYZ J.O. <br />b. Apabila belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23, permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 diajukan kepada pemberi hasil, dalam hal ini Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian XYZ J.O. Dengan demikian pada waktu dilakukan pemotongan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas nama XYZ J.O. qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing.<br />Demikian agar menjadi maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-54/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 21 Februari 2003<br />PERMOHONAN PERSETUJUAN PEMECAHAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 4 Februari 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dan lampirannya dijelaskan bahwa : <br />a. PT BCA dan PT ABC membentuk Joint Operation berdasarkan surat perjanjian tanggal 9 Juli 2002 dengan nama XYZ Joint Operation untuk pelaksanaan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane milik Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. <br />b. Dalam pelaksanaan proyek, masing-masing J.O. telah ditentukan bagian pekerjaan dan nilainya sehingga setiap anggota merupakan kegiatan usaha yang berdiri sendiri. Dengan demikian semua transaksi yang berhubungan dengan proyek tersebut adalah atas nama/tanggung jawab masing-masing anggota J.O. sedangkan J.O. hanya bertindak sebagai koordinator. <br />c. Kontrak kerja ditandatangani antara pemilik proyek (Depkimpraswil) dengan XYZ J.O., sehingga penagihan atas prestasi kerja diajukan oleh J.O. dan pembayaran oleh pemilik proyek juga kepada J.O. Hasil yang diterima J.O. kemudian akan didistribusikan kepada anggota J.O. sesuai dengan prestasi kerja masing-masing.<br />Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Saudara memohon persetujuan pemecahan PPh Pasal 23 untuk keperluan masing-masing anggota J.O. <br />2. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-44/PJ1994 tanggal 24 Oktober 1994 tentang Pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23, antara lain diatur bahwa pengkreditan pemotongan PPh Pasal 23 sejalan dengan pengkreditan para anggota J.O., maka Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota dengan cara sebagai berikut : <br />a. Apabila telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas nama J.O., maka J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana J.O. terdaftar/berkedudukan dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian J.O. <br />b. Apabila belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23, maka : <br /> J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada pemberi hasil dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian J.O; <br /> Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas nama J.O. qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing; <br /> Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 disampaikan untuk para anggota J.O. <br />3. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa XYZ J.O. dapat mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 untuk masing-masing anggota dengan cara sebagai berikut : <br />a. Apabila telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas nama XYZ J.O., permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 diajukan kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana XYZ J.O. terdaftar/berkedudukan dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian XYZ J.O. <br />b. Apabila belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23, permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 diajukan kepada pemberi hasil, dalam hal ini Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, dengan dilampiri fotocopy dokumen pendirian XYZ J.O. Dengan demikian pada waktu dilakukan pemotongan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas nama XYZ J.O. qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing.<br />Demikian agar menjadi maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br />SURAT<br />S-44/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 13 Februari 2003<br />PPH PASAL 23 ATAS JASA PERAWATAN/PERBAIKAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 13 Januari 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut dikemukakan beberapa hal, sebagai berikut: <br />a. Atas dasar permohonan Saudara dan berpedoman pada ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 serta mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002, maka KPP Balikpapan telah mengeluarkan surat No. XXX tanggal 12 Desember 2002 yang menetapkan bahwa tarif PPh Pasal 23 atas jasa perawatan dan perbaikan untuk alat-alat berat pertambangan adalah sebesar 6% (enam persen). Namun pihak PT XYZ menolak penetapan tarif 6% (enam persen) dengan surat No. XXX tanggal 10 Januari 2003. <br />b. Saudara mohon penegasan dan penjelasan mengenai tarif PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan adalah sebesar 15% dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% atau sama dengan 6% (enam persen) dari jumlah bruto. Karena dalam hal ini Saudara berhadapan dengan PT XYZ selaku Pemotong Pajak, dengan tarif yang digunakan adalah sebesar 10% (sepuluh persen), maka Saudara mohon dipertimbangkan kembali besarnya tarif yang digunakan PT XYZ terhadap PT ABC.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa atas Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud. <br />4. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000, antara lain diatur bahwa: <br />a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto atas jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan tersebut adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002.<br />5. 5. Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa: <br />a. Dalam hal PT XYZ terikat dengan Kontrak Karya yang mencantumkan kewajiban memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 dengan tarif pajak tertentu, maka atas imbalan jasa perbaikan dan perawatan untuk alat-alat berat pertambangan yang dibayarkan oleh PT XYZ kepada PT ABC wajib dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif sebagaimana ditentukan dalam Kontrak Karya tersebut. <br />b. Dalam hal PT XYZ tidak terikat dengan Kontrak Karya yang mengatur tarif PPh Pasal 23, maka atas imbalan jasa perbaikan dan perawatan untuk alat-alat berat pertambangan yang dibayarkan oleh PT XYZ kepada PT ABC wajib dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-29/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 29 Januri 2003<br />PENEGASAN PENGENAAN PPH ATAS POTONGAN HARGA DAN INSENTIF PENJUALAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 7 Oktober 2002 dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut, dokumen lainnya serta keterangan lisan Saudara, dikemukakan hal-hal sebagai berikut : <br />a. PT. ABC meliputi beberapa perusahaan yang kegiatan usaha utamanya ialah industri peternakan dan pakan ternak serta bidang lainnya yang mendukung kegiatan utama tersebut. <br />b. Untuk meningkatkan penjualan diterapkan kebijakan potongan harga dan insentif penjualan kepada para pelanggan yang merupakan group perusahaan. Selanjutnya kebijakan potongan harga dan insentif penjualan tersebut juga diterapkan oleh anggota group kepada para pelanggannya. <br />c. Potongan harga dan insentif penjualan yang diberikan bukan merupakan penghasilan tetapi merupakan unsur pengurang harga pokok penjualan bagi pelanggan. Pada praktiknya, nilai tagihan faktur penjualan adalah nilai bersih setelah potongan harga dan insentif. <br />d. Istilah yang digunakan dalam kebijakan potongan harga dan insentif penjualan tersebut adalah sales discount, cash discount, extra discount, dan sales incentive. Definisi dari istilah-istilah tersebut adalah : <br />i. Sales discount, adalah potongan harga yang diberikan kepada pelanggan; <br />ii. Cash discount, adalah potongan harga yang diberikan kepada pelanggan karena membayar secara tunai dalam jangka waktu dua minggu setelah tanggal pembelian; <br />iii. Extra discount, adalah tambahan potongan harga yang diberikan kepada pelanggan karena perubahan pasar, kualitas atau faktor lain yang mempengaruhi transaksi jual-beli tersebut; <br />iv. Sales incentive, bagian dari potongan harga yang sudah dianggarkan dan akan diberikan kepada pelanggan jika dapat memenuhi suatu target penjualan dalam jangka waktu tertentu.<br />e. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Saudara meminta penegasan mengenai pengenaan pajak atas potongan harga dan insentif penjualan tersebut. <br />2. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-395/PJ/2001 tanggal 13 Juni 2001 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan antara lain diatur : <br />a. Pasal 1 huruf c, bahwa hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah. <br />b. Pasal 2 huruf a, dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh) dari jumlah penghasilan bruto; <br />c. Pasal 2 huruf b, dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain BUT, dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 UU PPh sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; <br />d. Pasal 2 huruf c, dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk BUT, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4 UU PPh, sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah penghasilan bruto. <br />3. Sesuai dengan pengertian dan peristilahan perdagangan potongan harga, rabat, atau discount adalah pengurangan harga yang diberikan oleh penjual kepada pembeli. Nilai potongan harga merupakan pengurang nilai penjualan kotor untuk memperoleh nilai penjualan bersih bagi penjual atau harga pokok penjualan bagi pembeli. <br />4. Sesuai dengan pengertian dan peristilahan perdagangan incentive adalah penghargaan yang diberikan terhadap suatu subjek karena kinerja yang melampaui suatu standar yang telah ditetapkan. <br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut : <br />a. Sepanjang potongan harga dan insentif penjualan yang diberikan kepada para pelanggan merupakan pengurangan harga untuk menentukan nilai penjualan bersih bagi penjual atau nilai harga pokok penjualan bagi pembeli, potongan harga dan insentif penjualan tersebut bukan merupakan objek Pasal 21 atau Pasal 23 atau Pasal 26 UU PPh; <br />b. Namun jika potongan harga dan insentif penjualan yang diberikan kepada para pelanggan merupakan imbalan yang mengurangi kewajiban pelanggan termasuk dalam pengertian hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah. Dengan demikian potongan harga dan insentif penjualan dimaksud adalah merupakan objek PPh Pasal 21 jika diterima oleh WP Dalam Negeri Orang Pribadi, atau objek PPh Pasal 23 jika diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Badan termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT), atau objek PPh Pasal 26 jika diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT. <br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-21/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 21 Januari 2003<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 2 Oktober 2002 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan beberapa hal, sebagai berikut:<br /> a. Dewan Pengurus XYZ Bontang yang mewakili pengusaha rekanan (kontraktor) pemberi jasa pengadaan tenaga kerja yang dipekerjakan di lingkungan PT ABC di Kalimantan Timur.<br /> b. Kontraktor keberatan terhadap dasar pemotongan PPh Pasal 23 yang diperhitungkan oleh PT ABC dari seluruh nilai kontrak (bruto), dengan alasan sebagai berikut:<br /> 1) unsur biaya terbesar yang dikeluarkan adalah untuk gaji tenaga kerja, peralatan dan material yang harus sesuai dengan standar PT ABC, sedangkan unsur biaya yang sepenuhnya dapat dikelola oleh kontraktor adalah overhead dan profit.<br /> 2) secara teknis dan sesuai dengan kontrak yang ada, ruang lingkup pekerjaan mereka menyangkut labor supply, sehingga dapat dipisahkan antara imbalan jasa yang diterima (overhead dan profit) dengan pengadaannya (gaji tenaga kerja, peralatan dan material).<br /> c. Atas hal tersebut Saudara berpendapat bahwa sepanjang di dalam kontrak antara kedua pihak dapat dipisahkan antara imbalan jasa dengan pengadaannya, maka cukup beralasan bagi kontraktor untuk meminta pertimbangan pemotongan PPh Pasal 23 dari imbalan jasa neto (overhead dan profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002.<br /><br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Berdasarkan Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa atas Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.<br />4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dalam Lampiran II angka 2 huruf l diatur sebagai berikut:<br /> a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa rekruitmen/penyediaan jasa tenaga kerja;<br /> b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br /> c. Yang dimaksud dengan imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh kontrak.<br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa:<br /> a. Sepanjang PT ABC tidak terkait dengan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku sampai saat ini atau apabila dalam Kontrak Bagi Hasil tersebut tidak diatur mengenai kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT ABC, maka:<br /> 1) Atas penghasilan yang diterima kontraktor dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN hanya atas jasanya saja apabila dalam kontrak/perjanjian tersebut dapat dipisahkan antara imbalan jasa yang diterima (overhead dan profit) dengan pengadaannya (gaji tenaga kerja, peralatan dan material)<br /> 2) Atas penghasilan yang diterima kontraktor dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto atas keseluruhan nilai kontrak tidak termasuk PPN apabila dalam kontrak/perjanjian tersebut tidak dapat dipisahkan antara imbalan jasa yang diterima (overhead dan profit) dengan pengadaannya (gaji tenaga kerja, peralatan dan material).<br /> b. Apabila PT ABC terikat dengan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku sampai saat ini dan dalam Kontrak Bagi Hasil tersebut diatur mengenai Pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT ABC, maka perlakuan perpajakannya sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil yang bersangkutan.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br />SURAT<br />S-08/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 9 Januari 2003<br />PPH PASAL 23 ATAS SEWA RUANGAN UNTUK RAPAT ATAU TRAINING DI HOTEL<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 22 Oktober 2002 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan beberapa hal, sebagai berikut : <br />a. PT. ABC sering menggunakan ruangan di hotel untuk training, seminar atau pertemuan untuk satu hari atau lebih, karena ruangan di kantor tidak mencukupi atau dengan alasan agar para peserta seminar atau training dapat berkonsentrasi penuh dalam mengikuti acara tersebut. <br />b. Dalam tagihan yang diajukan pihak hotel tidak dipisahkan antara harga sewa dan harga makanan serta service yang diberikan oleh pihak hotel. Menurut Saudara pemisahan ini agar dapat dipisahkan mana yang menjadi objek PPh Pasal 23 untuk sewa gedung dan objek Pajak Daerah untuk harga makanan. Pihak manajemen hotel bersikeras bahwa tidak ada sewa ruangan melainkan packet yang sudah digabungkan dalam harga makanan sehingga tidak terutang PPh Pasal 23. <br />c. Sementara pada saat audit pajak yang dilakukan oleh auditor mengatakan bahwa penggunaan ruangan hotel untuk pertemuan, seminar atau training terdapat unsur sewa yang terutang PPh Pasal 23.<br />2. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa sepanjang penyelenggaraan seminar, training atau pertemuan lainnya oleh PT ABC dilaksanakan di ruangan hotel, maka atas imbalan yang diperoleh atau diterima sehubungan dengan penyelenggaraan seminar, training atau pertemuan lainnya dengan menggunakan ruangan hotel, harga makanan dan service yang diberikan oleh pihak XYZ termasuk objek Pajak Daerah. Namun atas imbalan yang diperoleh atau diterima oleh XYZ atas penggunaan ruangan, harga makanan dan service merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunannya.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />NOMOR S-973/PJ.313/2002<br />Ditetapkan tanggal 30 Desember 2002<br />Nomor : S-973/PJ.313/2002<br />Sifat : Biasa<br />Hal : Pertanyaan Mengenai PPh Pasal 23 Atas Jasa angkutan Darat<br />Sehubungan dengan surat Saudara atanpa Nomor tanggal 3 Oktober 2002 perihal tersebut diatas , dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara megemukakan bahwa :<br /> a. PT. MJ Tbk. Bergerak dalam bidang jasa angkutan barang. Jenis barang yang diangkut adalah semen, biji/pasir besi, makanan, kantong, kaca, dsb. Transaksi berdasarkan delivery erder dan tidak ada kontrak kerja. Bersarnya ongkos angkut ditentukan dengan hitungan per rit/ton dengan tarif kesepakatan antara penyedia dan pangguna jasa angkutan;<br /> b. Sehubungan dengan berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002, Saudara menanyakan apakah Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 masih berlaku sehingga penghasilan PT MR tersebut merupakan penghasilan jasa angkutan darat yang tidak merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubugnan dengan penggunaan harta dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelanggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Pengahsilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf c Undang-undang PPh antara ditegaskan bahwa :<br /> a. Pasal 2 huruf a : Pengahsilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengguaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong PPh pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiran penghsilan neto adalah sewa dan penghsilan lain sehubugnan dengan pnggunaan harta,kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunaan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;<br /><br /> b. Lampiran I angka 1 : besarnya perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat adalah 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br />4. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 tentang PPh Pasal 23 atas persewaan alat angkutan darat antara lain ditegaskan bahwa :<br /> a. Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 :<br /> 1) Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi,, truk, mobil derek dan taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu secara harian, mingguan maupun bulanan berdasarkan suatu perjanjian tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Badan atau Wajib pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat menggunakan kendaraan umum yang bersangkutan;<br /> 2) Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23;<br /> 3) Sewa kendaraan berupa truk, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter oleh suatu perusahaan angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.<br /> b Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah :<br /> 1) Jasa angkutan kendaraan perusahaan taksi yang disewa/dicharter sesuai dengan tarif argometer;<br /> 2) Jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang dari temmpat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasarkan banyak atau Volume barang, berat berang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut sampai ke tempat tujuan pada waktunya;<br /> 3) Jasa angkutan kereta api yang dilakukan oleh Perum Kereta Api.<br />5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, dengan ini diberikan penegasan kembali bahwa kegiatan usaha PT MR merupakan :<br /> a. Kegiatan persewaan alat angkutan darat, dalam hal melayani pengguna jasa tertentu berdasarkan permintaan khusus dengan imbalan jasa yang disepakati bersama. Imbalan jasa tersebut merupakan penghasilan sewa yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%x20% atau 3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN oleh pengguna jasa yang ditunjuk Undang-undang sebagai pemotong pajak; <br /> b. Kegiatan jasa angkutan darat, dalam hal melayani pengguna jasa umum untuk rute tertentu sesuai izin trayek dan tarif angkutan yang berlaku umum, Imbalan tersebut merupakan imbalan jasa angkutan darat yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, namun demikian penghasilan tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan. Selain itu PT MR wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan sesuai ketentuan umum.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />a.n. Direktur Jenderal <br />Direktur, <br /> <br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br />Tembusan :<br />1. Direktur Jenderal Pajak<br />2. Direktur Pajak Penghasilan<br />3. Kakanwil VII DJP Jaya Khusus<br />4. Kepala KPP Perusahaan Masuk Bursa<br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK<br />S-886/PJ.313/2002<br />Ditetapkan tanggal 11 Nopember 2002<br />PERMOHONAN SURAT PENEGASAN<br />Sehubungan surat Saudara Nomor ..................... tanggal 11 Oktober 2002 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menyampaikan bahwa :<br /> a. Berdasarkan Kontrak Karya Nomor B-43/Press/II/1986 tanggal 6 Nopember 1986 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT NMR dijelaskan bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor C2-8254-HT01.01 PT NMR adalah Badan Hukum di Indonesia yang didirikan dengan Akte Notaris Nomor 163 tanggal 16 Nopember 1986, dan saham-sahamnya dimiliki oleh :<br /> 1) Newmont Limited Indonesia yang didirikan di Negara Bagian Delware Amerika Serikat dan beralamat di 18 AMP tower 535 Bourke Sheet Melbourne Virginia 3000, Australia (Pemegang Saham 80 %);<br /> 2) PT TS, Badan Hukum Indonesia yang didirikan dengan Akte Notaris Nomor 71 tanggal 29 September 1980, dengan Keputusan Menteri Kehakiman YA.5/231/22 tanggal 20 Maret 1981 (Pemegang Saham 20%).<br /> b. Berdasarkan Akte Pendirian PT TS dicantumkan antara lain :<br /> 1) Maksud dan tujuan dari PT TS antara lain :<br /> a. Mengeksplorasi dan menggali, mengolah, menyimpan, memperdagangkan, mengangkut biji-biji emas, tembaga dan lain-lain hasil tambang, serta bahan-bahan mineral, logam-logam serta hasil-hasil tambang, serta hasil-hasil tambang dan mineral lainnya.<br /> b. berdagang pada umumnya, termasuk impor dan ekspor. <br /> Satu dan lainnya dalam arti kata yang seluas-luasnya. <br /> c. Berdasarkan hal tersebut Saudara meminta penegasan bahwa PT TS adalah joint venture (Pernyataan Modal Venture) sehingga bahian laba yang dibagikan (devidend) kepada PT TS adalah bukan merupakan objek pajak PPh sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. <br /><br />2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa :<br /> a. Pasal 4 ayat (1) g : yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. <br /> b. Pasal 4 ayat (3) huruf k : yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :<br /> 1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dan;<br /> 2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. <br /> c. Pasal 23 ayat (1) huruf a 1) : bahwa ats penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas dividen sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf g.<br />3. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 250/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 tentang Perusahaan Kecil dan Menengah Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal Ventura dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura, diatur antara lain :<br /> <br /> a. Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal bentura adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);<br /> b. Penyertaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun;<br /> c. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan.<br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dapat kami tegaskan bahwa :<br /> a. Yang dimaksud dengan perusahaan modal ventura berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Bagian labayang diperoleh perusahaan modal ventura dari perusahaan pasangan usaha bukan merupakan objek Pajak Penghasilan dengan syarat pasangan usahanya adalah sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas.<br /> b. Berdasarkan Kontrak Karya antara Pemerintah RI dan PT NMR dan berdasarkan Akte Pendirian PT TS sebagaimana diuraikan pada butir 1, maka dapat ditegaskan bahwa PT TS bukan merupakan perusahaan modal ventura sebagaimana dimaksud pada butir a di atas.<br /> c. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima PT TS berupa bagian laba yang dibagikan (dividen) dari PT NMR merupakan objek Pajak penghasilan yang wajib dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak yang membayarkan dividen tersebut sesuai dengan ketentuan pada buatir 2 huruf c di atas.<br />Demikian harap maklum.<br />a.n. Direktur Jenderal Pajak<br />Direktur<br />ttd<br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-765/PJ.313/2002<br />Ditetapkan tanggal 26 September 2002<br />Nomor : S-765/PJ.313/2002<br />Sifat : Biasa<br />Hal : Penegasan atas Dasar pengenaan PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000<br /><br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .......... tanggal 17 Juni 2002 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menyatakan hal-hal sebagai berikut : <br />a. Perusahaan Saudara adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang jasa Cash Management Service khususnya kegiatan pengambilan/pengantaran uang tunai, Warkat dan penukaran uang kecil ke masyarakat. Kegiatan pengambilan/pengantaran uang tunai adalah kegiatan pelayanan pendistribusian uang tunai atas pengambilan/pengantaran dari/ke Bank Indonesia atau dari ke Kantor Pusat /Cabang Bank Pelanggan. Kegiatan pengambilan/pengantaran Warkat adalah kegiatan peleyanan pendistribusian warkat, dokumen (surat, dll) dari/ke Bank Indonesia atau dari/ke Kantor Pusat/cabang bank pelanggan. Kegiatan penukaran uang kecil ke masyarakat adalah kegiatan pelayanan atas kebutuhan uang kecil ke masyatakat yang sebelumnya merupakan kegiatan Bank Indonesia. <br />b. Saudara memohon penegasan bahwa usaha yang Saudara lakukan tidak dikenakan/dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur bahwa atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa menajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usah tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Dalam Negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak wajib membayarkan sebesar 15 % (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan netto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor :KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, jasa Cash Management Service tidak termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong PPh Pasal 23. <br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan ini disampaikan bahwa Jasa Cash Management service yang dilakukan oleh PT Kejar tidak termsuk dalam pengertian jenis jasa lain yang imbalannya dipotong PPh Pasal 23 berdasarkan KEP-170/PJ/2002. Namun demikian atas penghasilan yang diterima oleh PT Kejar tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.<br />Demikian agar Saudara maklum<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur,<br /> <br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br />Tembusan :<br />1. Direktur Jenderal Pajak<br />2. Diektur Pajak Penghasilan<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN<br />SE-04/PJ.31/2002<br />Ditetapkan tanggal 12 Juli 2002<br />PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ATAS JASA KONSULTAN DI BIDANG PERIKLANAN<br />Sehubungan dengan adanya pertanyaan-pertanyaan berkaitan ketentuan Pajak Penghasilan atas imbalan jasa konsultasi yang diterima/diperoleh Perusahaan Periklanan, bersama ini disampaikan sebagai berikut :<br />1. Dalam butir 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.3/1998 tentang Perlakuan Perpajakan atas Perusahaan Periklanan ditegaskan bahwa atas imbalan konsultasi yang diterima/diperoleh Perusahaan Periklanan dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 4% dari imbalan bruto dan bersifat final. <br />2. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah diubah Terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur bahwa besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa konsultan, selain konsultan konstruksi, adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Dengan demikian atas jasa konsultasi, selain jasa konsultan konstruksi, merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15 % x 50% atau 7,5% (tujuh setengah persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN, dan bersifat tidak final. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tersebut berlaku mulai 1 Mei 2002. <br />3. Jasa konsultasi di bidang periklanan yang diberikan oleh Perusahaan Periklanan antara lain adalah stategi pemasaran, strategi promosi, bentuk promosi, survey mengenai pemasaran, market share, konsultasi bentuk warna, dan jenis kemasan. <br />4. Sehubungan dengan hal diatas maka sejak berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 yaitu sejak tanggal 1 Mei 2002, maka pengenaan Pajak Penghasilan atas imbalan jasa konsultasi yang diterima/diperoleh Perusahaan Periklanan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari jumlah imbalan bruto. Dengan demikian maka penegasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.3/1998 tanggal 15 Juni 1998 tentang Perlakuan Perpajakan atas Perusahaan Periklanan sepanjang mengenai perlakuan Pajak Penghasilan atas imbalan jasa konsultasi diatas, tidak berlaku lagi.<br />Demikian untuk dilaksanakan dan disebarluaskan kepada para Wajib Pajak di wilayah kerja masing-masing.<br /> Direktur Jenderal,<br /><br />Hadi Poernomo<br />NIP 060027375<br /><br />Tembusan :<br />1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan; <br />2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan; <br />3. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan; <br />4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak; <br />5. Para Direktur dilingkungan Kantor Pusat DJP.<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-428/PJ.312/2002<br />Ditetapkan tanggal 10 Juni 2002<br />PENERAPAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............... tanggal 25 Maret 2002 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan bahwa atas pertanyaan Saudara telah dijelaskan sebagaimana dalam butir 4 Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-407/PJ.31/2000, yaitu atas imbalan jasa penjagaan keamanan yang diterima oleh PT. G4SI dimana penyediaan tenaga kerja dan pembayaran gajinya berasal dari PT. G4SI tidak termasuk jenis jasa yang imbalannya dipotong PPh Pasal 23. Namun demikian penghasilan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan dan dikenakan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur Peraturan Perpajakan,<br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-354/PJ.313/2002<br />Ditetapkan tanggal 2 Mei 2002<br />PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ATAS DIVIDEN TAHUN BUKU 2000<br /> Sehubungan dengan surat saudara Nomor .......................... tanggal 10 Januari 2002 perihal tersebut diatas bersama ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut antara lain dijelaskan bahwa sehubungan dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dimintakan penjelasan ketentuan mengenai dividen sebagaimana tersebut pada Pasal 4 ayat (3) huruf f sebagai berikut : <br />a. Apakah dividen yang diterima oleh Koperasi Karyawan PT. IKPT (Kopkar PT. IKPT) atas kepemilikan saham dalam suatu Perseroan Terbatas (PT) yang tidak melebihi 25% merupakan Objek Pajak Penghasilan <br />b. Apakah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tersebut berlaku untuk pembagian laba tahun 2000 yang dibagikan pada tahun 2001 atau untuk pembagian laba tahun 2001 yang dibagikan pada tahun 2002 ? <br />2. Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh) antara lain diatur bahwa yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah Wajib Pajak dalam Negeri , koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau Baan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : <br />a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan ; dan <br />b. bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25 % (dua puluh persen ) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut;<br />Selanjutnya dalam memori penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh tersebut antara lain menjelaskan bahwa dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Miik Daerah , dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh persen), dan penerima dividen tersebut memperoleh penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak.<br />3. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 UU PPh atas penghasilan berupa deviden yang dibayarkan atau terutang oleh badan Pemerintah Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajb Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15 % ( lima belas persen ) dari jumlah bruto. <br />4. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan antara lain ditegaskan bahwa pada prinsipnya, saat yang menentukan kapan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 adalah mana yang lebih dulu terjadi, saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. <br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan ini ditegaskan : <br />a. Dividen yang diterima Kopkar PT. IKPT sehubungan dengan kepemilikan saham pada suatu PT yang tidak melebihi 25% tidak termasuk dalam pengertian bukan Objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian atas penghasilan berupa dividen tersebut terutang Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto yang wajib dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan. <br />b. Dalam hal tersedianya untuk dibayarkan atas dividen tahun buku 2000 kepada Perseroan terbatas, koperasi dan BUMN tersebut setelah tanggal 1 Januari 2001, terutang PPh Pasal 23. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. Direktur Jenderal,<br />Direktur <br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br />Tembusan :<br />1. Direktur Jenderal Pajak <br />2. Direktur Pajak Penghasilan<br /><br /><br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-747/PJ.312/2001 <br />Ditetapkan tanggal 20 Desember 2001<br />Nomor : S-747/PJ.312/2001 <br />Sifat : Biasa <br />Hal : Perlakuan Perpajakan Atas Penjualan Compact Disk yang berisi Peraturan Perpajakan<br />Sehubungan dengan surat Saudara nomor .............. tanggal 25 September 2001 perihal sebagaimana pada pokok surat di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: <br />1. Dalam surat tersebut Saudara menjelaskan bahwa PT. Multi Utama Computindo bergerak di bidang usaha penjualan Compact Disk Tax Guide yang berisi kumpulan peraturan perpajakan. Disamping itu, PT. Multi Utama Computindo memberikan pelayanan purna jual kepada konsumen dengan cara melakukan up-dating materi melalui fasilitas online-update di internet maupun melalui disket yang diberikan langsung kepada para pelanggan. Sehubungan dengan hal tersebut, Saudara minta penegasan mengenai hal-hal sebagai berikut: <br />a. Apakah penjualan CD Tax Guide merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 <br />b. Apakah penyerahan jasa updating materi melalui internet dan disket kepada pelanggan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun2000 antara lain diatur bahwa atas penghasilan di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan: <br />a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti; <br />b. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. <br />3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain mengatur bahwa: <br />a. Jenis jasa lain tersebut antara lain jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa tersebut adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut: <br />a. Dalam hal penjualan CD Tax Guide kepada customer disertai dengan pemberian lisensi, maka termasuk dalam pengertian royalti yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto. <br />b. Dalam hal penjualan CD Tax Guide kepada customer tanpa disertai dengan pemberian lisensi, maka tidak termasuk dalam pengertian royalti. <br />c. Dalam hal penjualan CD Tax Guide disertai dengan instalasi, di mana biaya instalasinya ditambahkan pada harga jual CD tersebut maka perlakuan perpajakannya adalah sebagai berikut: <br />1) Jasa instalasi tersebut termasuk jenis jasa lain yang dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN.<br />2) Dalam hal dalam kontrak dapat dipisahkan antara harga CD Tax Guide dengan instalasinya, maka yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah hanya atas jasa instalasinya saja.<br />3) Dalam hal dalam kontrak tidak dapat dipisahkan antara harga CD Tax Guide dengan instalasinya, maka dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas seluruh nilai kontrak (termasuk harga CD Tax Guide).<br />f. Dalam hal penjualan CD Tax Guide disertai dengan instalasi tanpa ada biaya instalasinya (instalasi merupakan jasa extra), maka tidak termasuk dalam pengertian jasa instalasi sebagaimana dimaksud dalam butir 3a. Dengan demikian hasil penjualan CD Tax Guide tersebut bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Namun demikian, hasil penjualan CD tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. <br />g. Jasa layanan purna jual yang dilakukan PT. Multi Utama Computindo berupa up-dating peraturan perpajakan dalam Tax Guide melalui internet dan disket kepada pelanggan, termasuk dalam pengertian jasa sehubungan dengan software komputer yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. Direktur Jenderal <br />Direktur, <br />IGN Mayun Winangun <br />NIP 060041978 <br />Tembusan: <br />1. Direktur Jenderal Pajak <br />2. Direktur Pajak Penghasilan <br /><br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-1447/PJ.53/2001<br />Ditetapkan tanggal 13 Desember 2001<br />Nomor : S-1447/PJ.53/2001<br />Sifat : Segera<br />Hal : Perlakuan PPN dan PPh Pasal 23 atas Penyiaran Acara Keagamaan di Media Siaran Televisi<br />Sehubungan dengan surat Saudara nomor ######### tanggal 23 Oktober 2001 hal PPN dan PPh Pasal 23 atas Penyiaran Acara Keagamaan di Media Siaran Televisi, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut dan lampirannya dikemukakan bahwa : <br />a. Yayasan GOS adalah sebuah yayasan keagamaan Kristen Protestan dengan bidan usaha berupa pembinaan rohani keagamaan Kristen Protestan, dimana dalam Pasal 4 Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 67 tanggal 22 Agustus 1997 tentang Yayasan GOS, dinyatakan bahwa maksud dan tujuan Yayasan GOS antara lain adalah membina iman dengan pelayan dan musik rohani melalui media cetak, radio, dan televisi. <br />b. Saudara menanyakan tentang perlakuan perpajakan sehubungan dengan pembebanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 kepada Yayasan GOS pada saat Yayasan GOS membayar jasa penyiaran kepada stasiun televisi atas program keagamaan yang dilaksanakan Yayasan GOS dalam siaran televisi yang bersangkutan, dimana menurut pendapat Saudara bahwa cara keagamaan dalam siaran televisi adalah bukan bersifat iklan sehingga merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN, dan jasa penyiaran tidak dikenakan PPh Pasal 23 karena tidak termasuk jenis jasa yang terutang PPh Pasal 23 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001. <br />2. Pajak Pertambahan Nilai <br /> . Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, antara lain mengatur : <br />a. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2001 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan PPN, antara lain mengatur :<br /> <br />b.1. Pasal 5 huruf e menyatakan bahwa jasa keagamaan merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN;<br />b.2. Pasal 5 huruf h menyatakan bahwa jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN;<br />b.3. Pasal 9 menyatakan bahwa jasa di bidang keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e meliputi jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khotbah atau dakwah, dan jasa lainnya di bidang keagamaan;<br />b.4. Pasal 12 menyatakan bahwa jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h adalah jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi Pemerintah atau swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.<br /> <br />3. Pajak Penghasilan. <br /> . Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, mengatur bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan. <br />a. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neo Sebagaimana Dimaksud Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain mengatur bahwa jasa penyiaran tidak termasuk jenis jasa yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. <br />4. Berdasarkan ketentuan pada butir 2 dan 3 di atas, dan dengan memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1, dengan ini ditegaskan bahwa : <br /> . Atas pemanfaatan jasa penyiaran oleh Yayasan GOS untuk kepentingan siaran acara keagamaan yang disiarkan oleh stasiun televisi sepanjang acara siaran keagamaan di stasiun televisi tersebut tidak bersifat/tidak bermuatan iklan dalam penayangannya (misalnya berupa sponsor pendanaan acara keagamaan tersebut oleh pihak lain yang bersifat komersial), maka atas jasa penyiaran yang dimanfaatkan oleh Yayasan GOS tidak dikenakan PPN. Namun demikian, apabila acara tersebut terdapat unsur iklannya (misalnya sponsor pendanaan yang muncul pada saat penayangan), maka atas jasa penyiaran yang dimanfaatkan oleh Yayasan GOS dikenakan PPN. <br />a. Jasa penyiaran tidak termasuk dalam pengertian jenis jasa yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001, sehingga atas imbalan jasa penyiaran tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Namun demikian, atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh stasiun televisi atas kegiatan tersebut merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahun PPh tahun pajak yang bersangkutan. <br />Demikian disampaikan untuk dimaklumi.<br />Direktur Jenderal,<br /> <br />Hadi Poernomo<br />NIP. 060027375<br />Tembusan :<br />1. Direktur PPN dan PTLL<br />2. Direktur Pajak Penghasilan<br />3. Direktur Peraturan Perpajakan<br />4. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanah Abang <br /><br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-479/PJ.313/2001 <br />Ditetapkan tanggal 10 September 2001 <br />PENGERTIAN JASA KONSTRUKSI YANG DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 BERSIFAT FINAL <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK, <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .......................... tanggal 4 Juli 2001 perihal tersebut di atas dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut Saudara menyampaikan bahwa mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 140 TAHUN 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dikenakan 2% dari jumlah bruto yang diterima Wajib Pajak Penyedia Jasa Pelaksanaan Konstruksi, Sehubungan dengan hal tersebut Saudara menyampaikan contoh sebagai berikut: <br />a. PT. A menggunakan jasa konstruksi dari PT B dengan perjanjian berupa kontrak kerja untuk pelaksanaan konstruksi. <br />b. Dalam pelaksanaan konstruksi PT B tidak bekerja sendiri, namun sebagian komponen konstruksi dikerjakan oleh PT C dan PT D dengan diikat dengan suatu perjanjian berupa kontrak kerja yang mengacu pada kontrak kerja antara PT A dengan PT B. <br />c. Kontrak PT A dan PT B terdiri dari 3 komponen yaitu komponen A dikerjakan oleh PT C dan komponen B dikerjakan oleh PT D sedangkan komponen C dikerjakan sendiri oleh PT B. <br /><br />Sehubungan dengan hal tersebut Saudara meminta penjelasan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. <br />3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi antara lain diatur: <br />a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan. <br />b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifakat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya PPh yang terhutang dan harus dipotong untuk pelaksanaan konstruksi adalah 2% (dua persen). <br />c. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Sebagaimana dimaksud dalam butir a di atas : <br />1) Dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn;<br />2) Dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud pada butir c 1) di atas. <br />d. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam butir b di atas : <br />1) Dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final oleh pengguna jasa, dalam haI pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn; <br />2) Dikenakan pajak yang bersifat final dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn, dalam hal pemberi penghasilan adalah penggunajasa lainnya selain dimaksud dalam butir d 1) di atas. <br />4. Dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 tetang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa : <br />d. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa pelaksanaan konstruksi adalah 13 1/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />e. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. <br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa : <br /> . Atas imbalan jasa yang dibayarkan PT A sebagai pengguna jasa kepada PT B atas pelaksanaan konstruksi, kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut: <br />1) Dalam hal PT B sebagai pelaksana konstruksi memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan nilai pengadaan proyek sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), maka atas imbalan jasa yang diterima PT B wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh PT A sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto pada saat pembayaran uang muka dan termijn, dan bersifat final. <br />2) Dalam hal PT B tidak memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil, maka atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi yang diterima PT B dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT A sebesar 15% x 13 1/3 % atau 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Pajak Penghasilan ini ini merupakan pembayaran pajak pendahuluan yang dapat diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam SPT Tahunan PPh Badan PT B untuk tahun pajak yang bersangkutan. <br />3) Dalam hal PT B memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang akan tetapi nilai pengadaan proyek lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), maka atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi yang diterima atau diperoleh PT B dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT A sebesar 15% x 13 1/3 % atau 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Atas imbalan jasa yang dibayarkan oleh PT B atas pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh PT C dan PT D, kewajiban pemotongan Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut: <br />1) Dalam hal PT C dan D sebagai pelaksana konstruksi memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan nilai pengadaan proyek sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), maka atas imbalan jasa yang diterima wajib dipotong PPh oleh PT B sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto pada saat pembayaran uang muka dan termijn, dan bersifat final. <br />2) Dalam hal PT C dan PT D tidak memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil, maka atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi yang diterima dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT B sebesar 15% x 13 1/3 % atau 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Pajak Penghasilan ini merupakan pembayaran pajak pendahuluan yang dapat diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam SPT Tahunan PPh Badan Wajib Pajak yang bersangkutan untuk tahun pajak yang bersangkutan. <br />3) Dalam hal PT C dan PT D memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang akan tetapi nilai pengadaan proyek lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), maka atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi yang diterima atau diperoleh PT C dan PT D dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT B sebesar 15% x 13 1/3% atau 2 % (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. Direktur Jenderal, <br />Direktur <br />IGN Mayun Winangun <br />NIP 060041978 <br />Tembusan:<br />1. Direktur Jenderal Pajak; <br />2. Direktur Pajak Penghasilan. <br /><br /><br />SURAT EDARAN<br />SE-32/PJ.43/2001<br />Ditetapkan tanggal 7 Agustus 2001<br />PENGAWASAN KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23<br />Bersama ini disampaikan fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Untuk kelancaran pelaksanaannya dan sehubungan dengan lampiran III butir 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut dengan ini disampaikan sebagai berikut :<br />1. Jenis jasa lain yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 antara lain adalah jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan BUT, jasa penunjang di bidang penambangan migas, jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas, jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara serta catering, yang atas imbalannya dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15 % # perkiraan penghasilan neto. <br />2. Untuk itu, Kantor Pelayanan Pajak diminta agar menginventarisasi Wajib Pajak penerima jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas sebagai pihak pemotong pajak dan Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang jasa-jasa tersebut (Wajib Pajak pemberi jasa) serta nilai objek pajak dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23. <br />3. Selanjutnya Kantor Pelayanan Pajak diminta agar melakukan analisa terhadap data pemotongan Pajak Pengasilan Pasal 23 atas jasa-jasa tersebut. <br />4. Dalam hal dari hasil penelitian ternyata pihak pemotong belum melaksanakan kewajibannya untuk memotong PPh Pasal 23 atas jasa-jasa tersebut, Kantor Pelayanan Pajak diminta agar menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya dan disebarluaskan di wilayah masing-masing.<br />DIREKTUR JENDERAL<br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-1978/PJ.732/2001<br />Ditetapkan tanggal 12 Juni 2001<br /> <br />PERMINTAAN DAFTAR NOMINATIF WP YANG AKAN DIPERIKSA PPh PASAL 23<br /> <br />Yth. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak<br />di<br />Seluruh Indonesia<br /> <br /> <br /> Sehubungan dengan Nota Dinas Direktur Jenderal Pajak Nomor : ND-305/PJ.41/2001 tanggal 8 Mei 2001 hal Laporan Pelaksanaan Penelitian Obyek PPh Pasal 23 dan menindaklanjuti butir 4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-07/PJ.41/2001tanggal 12 Maret 2001, maka diminta kepada Saudara untuk mengirimkan daftar nominatif Wajib Pajak yang akan diperiksa PPh Pasal 23 untuk pengawasan administrasi KP DJP dalam rangka pemeriksaan tahun berjalan Witholding Tax.<br /> <br /> Demikian untuk dimaklumi.<br /> <br /> <br />A.n Direktur Jenderal Pajak<br />Direktur Pemeriksaan Penyidikan <br />Dan Penagihan Pajak,<br /> <br /> <br />Gunadi<br />NIP. 060044247<br /> <br />Tembusan :<br />Direktur Jenderal Pajak<br /><br /><br /><br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK<br />KEP-305/PJ/2001<br />Ditetapkan tanggal 18 April 2001<br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa Iain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; <br />b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan; <br />c. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi; <br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu menetapkan kembali Keputusan Direktur Jendera Pajak tentang Jenis Jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;<br /><br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985); <br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636); <br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4057);<br /> <br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000.<br />Pasal 1 <br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah: <br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996; <br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.<br />Pasal 2 <br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996, adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.<br />Pasal 3<br />Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud pada Lampiran II Keputusan ini.<br />Pasal 4<br />(1) Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya.<br />(2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br />Pasal 5<br />Pada saat mulai berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-96/PJ/2001 tanggal 7 Februari 2001 dinyatakan tidak berlaku.<br />Pasal 6 <br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2001.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br />Ditetapkan di : Jakarta<br />pada tanggal : 18 April 2001<br />DIREKTUR JENDERAL,<br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br />LAMPIRAN I<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR : KEP- 305/PJ/2001<br />TANGGAL : 18 April 2001<br />PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA KECUALI SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN -PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996<br />NO. JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO<br />1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br />2. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br />DIREKTUR JENDERAL,<br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br />LAMPIRAN II<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR : KEP-305/PJ/2001<br />TANGGAL : 18 April 2001<br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS JASA TEKNIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI, JASA KONSULTAN DAN JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 T AHUN 2000<br />NO. JENIS PENGHASILAN/JASA PERKIRAAN PENGHASILAN NETO<br />1. a. Jasa profesi. <br />b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi.<br />c. Jasa akuntansi dan pembukuan.<br />d. Jasa penilai.<br />e. Jasa aktuaris. 50 %dari jumlah brutotidak termasuk PPN<br />2. a. Jasa teknik dan jasa manajemen <br />b. Jasa perancang/ desain: <br />• Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; <br />• Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan; <br />• Jasa perancang alat-alat transportasi/ kendaraan; <br />• Jasa perancang iklan/logo; <br />• Jasa perancang alat kemasan.<br />c. Jasa instalasi/ pemasangan: <br />• Jasa instalasi/ pemasangan mesin dan jasa instalasi/ pemasangan peralatan; <br />• Jasa instalasi/ pemasangan listrik/ telepon/ air/ gas/ TV Kabel.<br />d. Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan: <br />• Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan mesin dan jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan peralatan; <br />• Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan alat-alat transportasi/ kendaraan; <br />• Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan.<br />e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap. <br />f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas.<br />g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.<br />h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara.<br />i. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.<br />j. Jasa pengolahan/ pembuangan limbah. <br />k. Jasa maklon.<br />l. Jasa rekruitmen/ penyediaan tenaga kerja. <br />m. Jasa perantara. <br />n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga.<br />o. Jasa kustodian/ penyimpanan/ penitipan, tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996. <br />p. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum. <br />q. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan atau mixing film. <br />r. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet.<br />s. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. 40 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br />3. Jasa pelaksanaan konstruksi 13 1/3 %dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br />4. a. Jasa perencanaan konstruksi.<br />b. Jasa pengawasan konstruksi. 26 2/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br />5. a. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan. <br />b. Jasa Catering.<br />c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 10 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDEI{AL PAJAK<br />NOMOR : KEP-305/PJ/2001<br />TANGGAL : 18 April 2001<br />YANG DIMAKSUD DENGAN JASA PENUNJANG DI BIDANG PENAMBANGAN MIGAS, JASA PENAMBANGAN DAN JASA PENUNJANG DI BIDANG PENAMBANGAN SELAIN MIGAS, JASA PENUNJANG Dl BIDANG PENERBANGAN DAN BANDAR UDARA, JASA MAKLON DAN JASA TELEKOMUNIKASI YANG BUKAN UNTUK UMUM<br />1. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penambangan Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf f Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:<br />a. jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur; <br />b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud : <br />• penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong; <br />• penyumbatan kembali zona yang berproduksi air; <br />• perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal; <br />• penutupan sumur; <br />c. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa; <br />d. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan; <br />e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil; <br />f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur; <br />g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi; <br />h. jasa reparasi pompa reda (reda repair); <br />i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan; <br />j. jasa penggantian peralatan/ material; <br />k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur; <br />l. jasa mud engineering; <br />m. jasa well logging & perforating; <br />n. jasa stimulasi dan secondary decovery; <br />o. jasa well testing & wire line service; <br />p. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling; <br />q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling; <br />r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling; <br />s. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas.<br />2. Yang dimaksud dengan Jasa Penambangan dan Jasa Penunjang di bidang Penambangan Selain Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g Lampiran II Keputusan ini adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa :<br />a. jasa pengeboran; <br />b. jasa penebasan; <br />c. jasa pengupasan dan pengeboran; <br />d. jasa penambangan; <br />e. jasa pengangkutan/ sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum; <br />f. jasa pengolahan bahan galian; <br />g. jasa reklamasi tambang <br />h. jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/ pemindahan tanah; <br />i. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.<br />3. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penerbangan dan Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf h Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara berupa :<br />a. Bidang Aeronautika, termasuk:<br />• Jasa Pendaratan, Penempatan, Penyimpanan Pesawat Udara dan Jasa lainnya sehubungan dengan pendaratan pesawat udara; <br />• Jasa penggunaan Jembatan Pintu (Avio Bridge); <br />• Jasa Pelayanan Penerbangan; <br />• Jasa Ground Handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat; <br />• Jasa penunjang lainnya di bidang aeronautika.<br />b. Bidang Non-Aeronautika, termasuk:<br />• Jasa boga, yaitu jasa penyediaan makanan dan minuman serta pembersihan pantry pesawat; <br />• Jasa penunjang lainnya di bidang non-aeronaatika.<br />4. Yang dimaksud dengan Jasa Maklon sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf k Lampiran II Keputusan ini adalah semua pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), sedangkan spesifikasi bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/ pembantu yang akan diproses sebahagian atau seluruhnya dlsediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. <br />5. Yang dimaksud dengan Jasa Telekomunikasi Yang Bukan Untuk Umum sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf p Lampiran II Keputusan ini adalah semua kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang sifat, bentuk, peruntukan dan pengoperasiannya terbatas hanya untuk kalangan tertentu saja, dalam arti tidak dapat melayani/ digunakan secara bebas oleh umum, termasuk:<br />a. Jasa komunikasi satelit (VSAT);<br />b. Jasa interkoneksi;<br />c. Sirkit Langganan;<br />d. Sambungan Data Langsung;<br />e. Sambungan Komunikasi Data Paket;<br />f. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum lainnya;<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br /><br /><br /><br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK<br />KEP-96/PJ/2001<br />Ditetapkan tanggal 7 Februari 2001<br />PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-176/PJ/2000TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN<br />UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br />Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dipandang perlu untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto atas usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan; <br /> b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengubah Pasal 4 dari Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun2000; <br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985); <br /> 2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636); <br /> 3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4057). <br />MEMUTUSKAN <br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-176/PJ/2000 TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000. <br />Pasal I <br />Mengubah Pasal 4 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000tanggal 26 Juni 2000 sehingga menjadi sebagai berikut : <br />"Pasal 4 <br />(1) Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya; <br />(2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto jasa lain selain jasa konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali, apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak" <br />Pasal II <br />Mengubah butir 1 dan mengubah butir 3 menjadi butir 5 serta menambahkan butir 3 dan 4 Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-176/PJ/2000tanggal 26 Juni 20000 sehingga menjadi sebagaimana dalam Lampiran Keputusan ini. <br />Pasal III <br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. <br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. <br />Ditetapkan di Jakarta<br />Pada tanggal 7 Februari 2001 <br />Direktur Jenderal<br />Ttd <br />MACHFUD SIDIK<br />NIP.060043114 <br />LAMPIRAN II <br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR : KEP-96/PJ/2001<br />TANGGAL : 7 FEBRUARI 2001 <br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS JASA TEHNIK, JASA MANAJEMEN DAN JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN<br />UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 <br />NO. JENIS PENGHASILAN PERKIRAANPENGHASILAN NETO <br />1. Jasa profesi, termasuk jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak dan jasa konsultan lainnya. 50 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN <br />2. a <br />b Jasa tehnik dan jasa manajemen 40 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN <br /> Jasa perancang/desain: <br /> - Jasa perancangan interior dan jasa perancang pertamanan; <br /> - Jasa perancangan mesin dan jasa perancang peralatan; <br /> - Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan <br /> - Jasa perancang iklan/logo; <br /> - Jasa perancang alat kemasan <br /> c Jasa instalasi/pemasangan: <br /> - Jasa instalasi/pemasangan mesin dan Jasa instalasi/pemasangan peralatan <br /> - Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV Kabel <br /> d Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan: <br /> - Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin dan Jasa perawatan/ pemeliharaan /perbaikan peralatan; <br /> - Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan; <br /> - Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan <br /> e Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan PP No.29 Tahun 1996 <br /> f Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga. <br /> g Jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi, termasuk jasa internet. <br /> h Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum <br /> i Jasa akuntansi dan pembukuan <br /> j Jasa pengolahan/pembuangan limbah <br /> k Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing. <br /> l Jasa pengeboran (Jasa drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap. <br /> m Jasa penunjang dibidang penambangan migas. <br /> n Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas <br /> o Jasa perantara. <br /> p Jasa penilai <br /> q Jasa aktuaris. <br /> r Jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film. <br /> s Jasa maklon. <br /> t Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja. <br /> u Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan. <br />3. <br />4. a Jasa perencanaan konstruksi. <br />Jasa pengawasan konstruksi.<br />Jasa pelaksanaan konstruksi. 26,6 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN13,33 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br /> b <br /> c <br />5. a Jasa pembasmian hama <br />Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. <br /> b 10 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN<br />DIREKTUR JENDERAL<br />Ttd<br />MACHFUD SIDIK<br />NIP.060043144 <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-589/PJ323/2000<br />Ditetapkan tanggal 15 Desember 2000 <br />PENJELASAN PEMUNGUTAN PPN DAN PPh PSL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 16 Agustus 2000 perihal seperti tersebut pada pokok surat, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut diinformasikan bahwa :<br /> a. PT A adalah Swasta Produsen Produk Ekspor yang menunjuk PT ABC sebagai Kontraktor Utama untuk melakukan pekerjaan dalam rangka pelaksanaan pemasaran Produk Ekspornya, yaitu jasa transportasi dari pabrik ke pelabuhan dengan kereta api dan jasa pembongkaran serta pemuatan di pelabuhan/pengapalan ekspor (Ekspedisi Laut).<br />Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut PT ABC telah menunjuk Sub Kontraktor PT KA (BUMN-PERSERO) untuk pelaksanaan kegiatan jasa angkutan, dan PT C Swasta untuk pelaksanaan kegiatan expedisi laut, berdasarkan perjanjian jangka panjang.<br /> b. Besarnya nilai jasa tiap periode ditentukan atas dasar volume x tarif per ton dengan Transaksi Perpajakan sebagai berikut :<br /> 1). PPN Jasa 10% :<br /> (a) PT C membuat tagihan kepada PT WLS atas pekerjaan pembongkaran dan pemuatan ekspor sekaligus memungut PPN yang terutang (Pajak Masukan PT ABC<br /> b) PT KA dalam melakukan tagihan kepada PT ABC tidak melakukan pungutan PPN sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak NomorKep-05/PJ1994 tanggal 26 Januari 1994.<br /> c) PT ABC membuat tagihan kepada PT A atas pekerjaan jasa transportasi dan jasa pembongkaran/pemuatan ekspor sesuai harga/tagihan dari subkontraktor, termasuk fee atas jasa pelayanan. PT ABC juga memungut PPN yang terutang atas total tagihan tersebut (Pajak Keluaran PT. ABC).<br /> 2) PPh PsI 23 6% :<br /> a) Untuk pembayaran kepada PT.KA, PT.ABC tidak melakukan pemungutan PPh Psl 23 tarif 6% sesuai SE-08/PJ.313/95 tanggal 10 Juli 1995.<br /> b) Untuk pembayaran kepada PT.C, PT. ABC melakukan pemungutan PPh Psl 23 tarif 6% sebesar 6% x nilai jasa<br /> c) Untuk penerimaan dari PT. A, PT. ABC dipungut PPh Psl 23 sebesar 6% x nilai jasa (termasuk fee) atas seluruh pekerjaan jasa tersebut.<br /> c. Dengan perlakuan perpajakan tersebut di atas timbul permasalahan sebagai berikut :<br /> 1) PT.ABC secara riil hanya berperan sebagai perantara/agen yang penghasilan riil hanya dari jasa pelayanan (fee),<br /> 2) Dengan mekanisme pemungutan PPh Psl 23 oleh PT.A, maka besarnya nilai pungutan PPh Psl 23 yang dilakukan oleh PT.A menjadi sangat besar (nilai jasa + fee) dan melampaui kewajaran dibanding tingkat penghasilan riil yangdiperoleh PT.ABC dari jasa pelayanan (fee)<br /> 3) Atas PPN jasa angkutan PT.KA sebesar 0% menurut hemat Saudara seharusnya didapatkan oleh PT.A selaku pemilik riil dari produk yang diekspor.<br /> d. Sehubungan hal tersebut di atas Saudara minta diberikan klarifikasi dan penegasan sebagai berikut :<br /> 1) Apakah PT KA dan PT C selaku sub kontraktor PT ABC dapat mengeluarkan Faktur tagihan a/n PT ABC QQ PT A mengingat nilai yang dibayar oleh PT ABC kepada kedua sub kontraktor adalah sama besar/tidak ada perbedaan dibandingkan nilai yang dibayar oleh PT.A kepada PT ABC ?<br /> 2) Apakah PT A dapat langsung memungut PPh Psl 23 dari kedua Sub Kontraktor PT ABC atas dasar faktur QQ pada butir 1 ?<br /> 3) Apakah PT ABC dapat membuka Faktur kepada PT A hanya sebesar nilai jasa pelayanan (fee) demikian juga kewajiban Perpajakannya (PPN/PPh) ?<br /> 4) Apakah benar sesuai Nota Dinas 230a/MK/1990 tanggal 28 April 1990 kegiatan handling ekspor yang dilakukan oleh PT C adalah tidak dikenakan PPN jasa sebesar 10% ?<br />2. PAJAK PENGHASILAN.<br /> a. Berdasarkan kontrak yang disampaikan diketahui bahwa PT A adalah PT XYZ, PT KA adalah PT PQR, dan PT C adalah PT STU.<br /> b. Peraturan-peraturan yang berlaku :<br /> 1) Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.<br /> 2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-176/PJ2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain mengatur bahwa atas imbalan jasa perantara wajib dipotong PPh Pasal 23. Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan yang diterima adalah sebesar 40% x 15% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM. Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2000.<br /> 3) Berdasarkan hal-hal tersebut dengan ini kami sampaikan bahwa :<br /> a) Atas pembayaran oleh PT XYZ kepada PT ABC berupa bagian penghasilan riil yang diterima PT ABC sebagai imbalan jasa pelayanan (fee) sebesar +/- 20% dari total yang dibayarkan dan sisanya merupakan pembayaran kepada Sub kontraktor, tatacara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23-nya dilakukan sebagai berikut :<br /> - PT XYZ memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran yang dilakukan kepada PT DDSP melalui PT ABC dan membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 dimana identitas pemotong ditulis nama dan NPWP PT XYZ sedangkan identitas yang dipotong adalah PT ABC qq PT XYZ;<br /> - PT XYZ wajib menyetorkan PPh Pasal 23 yang dipotongnya;<br /> - SSP diisi nama dan NPWP PT XYZ<br /> - SSP lembar ke-5 dan lembar ke-3 bukti pemotongan PPh Pasal 23 dikirimkan kepada PT STU<br /> - PT XYZ membuat laporan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 23berdasarkan SSP dan bukti pemotongan PPh Pasal 23 tersebut karena PT XYZ yang mempunyai kewajiban memotong PPh Pasal 23 (sebagai pemberi hasil).<br /> b). Atas penghasilan (fee) yang diterima PT ABC dari PT XYZ termasuk dalam imbalan jasa perantara sebagaimana diatur dalam Kep 176/PJ/2000. Oleh karena itu atas penghasilan tersebut wajib dipotong PPh pasal 23 oleh PT XYZ sebesar 40% x 15% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM.<br />3. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI<br /> a. Peraturan-peraturan yang berlaku :<br /> 1) Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1988 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 disebutkan bahwa Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Pengisian Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat mengakibatkan PPN yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan.<br /> 2) Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.531/2000 tanggal 28 Maret 2000 perihal Penggunaan Metode QQ pada Faktur Pajak Standar disebutkan bahwa :<br /> a) Penggunaan Metode qq pada Faktur Pajak Standar dapat dilakukan sepanjang harga yang diajukan kontraktor utama kepada pemilik proyek adalah sama dengan harga yang diajukan oleh subkontraktor kepada kontraktor utama (tidak terdapat perubahan harga). Kontraktor utama hanya mendapat komisi saja.<br /> b) Faktur Pajak keluaran yang diterbitkan oleh sub kontraktor, pada kolom "Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak" agar dicantumkan "Nama Kontraktor Utama qq Nama Pemilik Proyek". Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan Alamat dan NPWP Pemilik Proyek. Asli lembar ke satu Faktur Pajak tersebut hanya untuk pemilik proyek, sehingga dengan demikian yang berhak mengkreditkan Pajak Masukan adalah Pemilik proyek.<br /> c) Kontraktor Utama selaku agen wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan serta melaporkannya sesuai ketentuan yang berlaku.<br /> d) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh kontraktor utama selaku agen hanya yang berhubungan langsung dengan jasa keagenan.<br /> 3) Dalam Pasal 9 angka 9 jo Pasal 18 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 diatur bahwa jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, maupun di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh swasta dikecualikan dari pengenaan PPN<br /> 4) Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.32/1989 tanggal 6 Desember 1989 dan SE-19/PJ.32/1990 tanggal 29 Mei 1990 yang menunjuk Nota Dinas Menteri Keuangan Nomor ND-230a/MK/1990 tanggal 28 April 1990 disebutkan bahwa jasa handling ekspor yang tidak dikenakan PPN adalah jasa yang diserahkan oleh eksportir pemilik nama/quota kepada eksportir pemilik barang untuk menggunakan quota ekspor, sedangkan seluruh kegiatan sehubungan dengan ekspor tersebut dilakukan oleh eksportir pemilik barang.<br /> b. Berdasarkan hal-hal tersebut dengan ini disampaikan bahwa :<br /> 1) PT KA dan PT STU selaku sub kontraktor PT ABC dapat menerbitkan Faktur Pajak Standar menggunakan metode QQ, karena nilai yang dibayar oleh PT ABC kepada kedua sub kontraktor adalah sama besar/tidak ada perbedaan dibandingkan nilai yang dibayar oleh PT XYZ kepada PT ABC. Dengan demikian pada Faktur Pajak kolom "Pembeli BKP/Penerima JKP" supaya dicantumkan identitas "PT ABC qq PT XYZ". Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan Alamat dan NPWP PT XYZ.<br /> 2) PT.ABC selaku agen wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan serta melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br /> 3) Atas pekerjaan jasa pembongkaran dan pemuatan di pelabuhan/pengapalan (Ekspedisi Laut) yang dilakukan oleh PT. STU tidak termasuk pengertian handling ekspor sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.32/1989 tanggal 6 Desember 1989 dan SE-19/PJ.32/1990 tanggal 29 Mei 1990 yang menunjuk Nota Dinas Menteri Keuangan Nomor ND-230a/MK/1990 tanggal 28 April 1990, sehingga terutang PPN 10%.<br /> 4) Mengingat pekerjaan pengangkutan barang yang akan diekspor dari Pabrik ke Pelabuhan yang dilakukan oleh PT PQR dilaksanakan berdasarkan kontrak/perjanjian jangka panjang, maka tidak termasuk dalam pengertian jasa di bidang angkutan umum, namun merupakan jasa transportasi dengan cara persewaan. Dengan demikian atas penyerahan jasa dari PT PQR terutang PPN.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-589/PJ323/2000<br />Ditetapkan tanggal 15 Desember 2000 <br />PENJELASAN PEMUNGUTAN PPN DAN PPh PSL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 16 Agustus 2000 perihal seperti tersebut pada pokok surat, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut diinformasikan bahwa :<br /> a. PT A adalah Swasta Produsen Produk Ekspor yang menunjuk PT ABC sebagai Kontraktor Utama untuk melakukan pekerjaan dalam rangka pelaksanaan pemasaran Produk Ekspornya, yaitu jasa transportasi dari pabrik ke pelabuhan dengan kereta api dan jasa pembongkaran serta pemuatan di pelabuhan/pengapalan ekspor (Ekspedisi Laut).<br />Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut PT ABC telah menunjuk Sub Kontraktor PT KA (BUMN-PERSERO) untuk pelaksanaan kegiatan jasa angkutan, dan PT C Swasta untuk pelaksanaan kegiatan expedisi laut, berdasarkan perjanjian jangka panjang.<br /> b. Besarnya nilai jasa tiap periode ditentukan atas dasar volume x tarif per ton dengan Transaksi Perpajakan sebagai berikut :<br /> 1). PPN Jasa 10% :<br /> (a) PT C membuat tagihan kepada PT WLS atas pekerjaan pembongkaran dan pemuatan ekspor sekaligus memungut PPN yang terutang (Pajak Masukan PT ABC<br /> b) PT KA dalam melakukan tagihan kepada PT ABC tidak melakukan pungutan PPN sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-05/PJ/1994 tanggal 26 Januari 1994.<br /><br /> c) PT ABC membuat tagihan kepada PT A atas pekerjaan jasa transportasi dan jasa pembongkaran/pemuatan ekspor sesuai harga/tagihan dari subkontraktor, termasuk fee atas jasa pelayanan. PT ABC juga memungut PPN yang terutang atas total tagihan tersebut (Pajak Keluaran PT. ABC).<br /> 2) PPh PsI 23 6% :<br /> a) Untuk pembayaran kepada PT.KA, PT.ABC tidak melakukan pemungutan PPh Psl 23 tarif 6% sesuai SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995.<br /> b) Untuk pembayaran kepada PT.C, PT. ABC melakukan pemungutan PPh Psl 23 tarif 6% sebesar 6% x nilai jasa<br /> c) Untuk penerimaan dari PT. A, PT. ABC dipungut PPh Psl 23 sebesar 6% x nilai jasa (termasuk fee) atas seluruh pekerjaan jasa tersebut.<br /> c. Dengan perlakuan perpajakan tersebut di atas timbul permasalahan sebagai berikut :<br /> 1) PT.ABC secara riil hanya berperan sebagai perantara/agen yang penghasilan riil hanya dari jasa pelayanan (fee),<br /> 2) Dengan mekanisme pemungutan PPh Psl 23 oleh PT.A, maka besarnya nilai pungutan PPh Psl 23 yang dilakukan oleh PT.A menjadi sangat besar (nilai jasa + fee) dan melampaui kewajaran dibanding tingkat penghasilan riil yangdiperoleh PT.ABC dari jasa pelayanan (fee)<br /> 3) Atas PPN jasa angkutan PT.KA sebesar 0% menurut hemat Saudara seharusnya didapatkan oleh PT.A selaku pemilik riil dari produk yang diekspor.<br /> d. Sehubungan hal tersebut di atas Saudara minta diberikan klarifikasi dan penegasan sebagai berikut :<br /> 1) Apakah PT KA dan PT C selaku sub kontraktor PT ABC dapat mengeluarkan Faktur tagihan a/n PT ABC QQ PT A mengingat nilai yang dibayar oleh PT ABC kepada kedua sub kontraktor adalah sama besar/tidak ada perbedaan dibandingkan nilai yang dibayar oleh PT.A kepada PT ABC ?<br /> 2) Apakah PT A dapat langsung memungut PPh Psl 23 dari kedua Sub Kontraktor PT ABC atas dasar faktur QQ pada butir 1 ?<br /> 3) Apakah PT ABC dapat membuka Faktur kepada PT A hanya sebesar nilai jasa pelayanan (fee) demikian juga kewajiban Perpajakannya (PPN/PPh) ?<br /> 4) Apakah benar sesuai Nota Dinas 230a/MK/1990 tanggal 28 April 1990 kegiatan handling ekspor yang dilakukan oleh PT C adalah tidak dikenakan PPN jasa sebesar 10% ?<br />2. PAJAK PENGHASILAN.<br /> a. Berdasarkan kontrak yang disampaikan diketahui bahwa PT A adalah PT XYZ, PT KA adalah PT PQR, dan PT C adalah PT STU.<br /> b. Peraturan-peraturan yang berlaku :<br /> 1) Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.<br /> 2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-176/PJ/2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain mengatur bahwa atas imbalan jasa perantara wajib dipotong PPh Pasal 23. Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan yang diterima adalah sebesar 40% x 15% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM. Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2000.<br /> 3) Berdasarkan hal-hal tersebut dengan ini kami sampaikan bahwa :<br /> a) Atas pembayaran oleh PT XYZ kepada PT ABC berupa bagian penghasilan riil yang diterima PT ABC sebagai imbalan jasa pelayanan (fee) sebesar +/- 20% dari total yang dibayarkan dan sisanya merupakan pembayaran kepada Sub kontraktor, tatacara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23-nya dilakukan sebagai berikut :<br /> - PT XYZ memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran yang dilakukan kepada PT DDSP melalui PT ABC dan membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 dimana identitas pemotong ditulis nama dan NPWP PT XYZ sedangkan identitas yang dipotong adalah PT ABC qq PT XYZ;<br /> - PT XYZ wajib menyetorkan PPh Pasal 23 yang dipotongnya;<br /> - SSP diisi nama dan NPWP PT XYZ<br /> - SSP lembar ke-5 dan lembar ke-3 bukti pemotongan PPh Pasal 23 dikirimkan kepada PT STU<br /> - PT XYZ membuat laporan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 23berdasarkan SSP dan bukti pemotongan PPh Pasal 23 tersebut karena PT XYZ yang mempunyai kewajiban memotong PPh Pasal 23 (sebagai pemberi hasil).<br /> b). Atas penghasilan (fee) yang diterima PT ABC dari PT XYZ termasuk dalam imbalan jasa perantara sebagaimana diatur dalam KEP-176/PJ/2000. Oleh karena itu atas penghasilan tersebut wajib dipotong PPh pasal 23 oleh PT XYZ sebesar 40% x 15% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM.<br />3. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI<br /> a. Peraturan-peraturan yang berlaku :<br /> 1) Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1988 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 disebutkan bahwa Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Pengisian Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat mengakibatkan PPN yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan.<br /> 2) Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.531/2000 tanggal 28 Maret 2000 perihal Penggunaan Metode QQ pada Faktur Pajak Standar disebutkan bahwa :<br /> a) Penggunaan Metode qq pada Faktur Pajak Standar dapat dilakukan sepanjang harga yang diajukan kontraktor utama kepada pemilik proyek adalah sama dengan harga yang diajukan oleh subkontraktor kepada kontraktor utama (tidak terdapat perubahan harga). Kontraktor utama hanya mendapat komisi saja.<br /> b) Faktur Pajak keluaran yang diterbitkan oleh sub kontraktor, pada kolom "Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak" agar dicantumkan "Nama Kontraktor Utama qq Nama Pemilik Proyek". Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan Alamat dan NPWP Pemilik Proyek. Asli lembar ke satu Faktur Pajak tersebut hanya untuk pemilik proyek, sehingga dengan demikian yang berhak mengkreditkan Pajak Masukan adalah Pemilik proyek.<br /> c) Kontraktor Utama selaku agen wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan serta melaporkannya sesuai ketentuan yang berlaku.<br /> d) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh kontraktor utama selaku agen hanya yang berhubungan langsung dengan jasa keagenan.<br /> 3) Dalam Pasal 9 angka 9 jo Pasal 18 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 diatur bahwa jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, maupun di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh swasta dikecualikan dari pengenaan PPN<br /> 4) Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.32/1989 tanggal 6 Desember 1989 dan SE-19/PJ.32/1990 tanggal 29 Mei 1990 yang menunjuk Nota Dinas Menteri Keuangan Nomor ND-230a/MK/1990 tanggal 28 April 1990 disebutkan bahwa jasa handling ekspor yang tidak dikenakan PPN adalah jasa yang diserahkan oleh eksportir pemilik nama/quota kepada eksportir pemilik barang untuk menggunakan quota ekspor, sedangkan seluruh kegiatan sehubungan dengan ekspor tersebut dilakukan oleh eksportir pemilik barang.<br /> b. Berdasarkan hal-hal tersebut dengan ini disampaikan bahwa :<br /> 1) PT KA dan PT STU selaku sub kontraktor PT ABC dapat menerbitkan Faktur Pajak Standar menggunakan metode QQ, karena nilai yang dibayar oleh PT ABC kepada kedua sub kontraktor adalah sama besar/tidak ada perbedaan dibandingkan nilai yang dibayar oleh PT XYZ kepada PT ABC. Dengan demikian pada Faktur Pajak kolom "Pembeli BKP/Penerima JKP" supaya dicantumkan identitas "PT ABC qq PT XYZ". Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan Alamat dan NPWP PT XYZ.<br /> 2) PT.ABC selaku agen wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan serta melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br /> 3) Atas pekerjaan jasa pembongkaran dan pemuatan di pelabuhan/pengapalan (Ekspedisi Laut) yang dilakukan oleh PT. STU tidak termasuk pengertian handling ekspor sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.32/1989 tanggal 6 Desember 1989 dan SE-19/PJ.32/1990 tanggal 29 Mei 1990 yang menunjuk Nota Dinas Menteri Keuangan Nomor ND-230a/MK/1990 tanggal 28 April 1990, sehingga terutang PPN 10%.<br /> 4) Mengingat pekerjaan pengangkutan barang yang akan diekspor dari Pabrik ke Pelabuhan yang dilakukan oleh PT PQR dilaksanakan berdasarkan kontrak/perjanjian jangka panjang, maka tidak termasuk dalam pengertian jasa di bidang angkutan umum, namun merupakan jasa transportasi dengan cara persewaan. Dengan demikian atas penyerahan jasa dari PT PQR terutang PPN.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-586/PJ.311/2000<br />Ditetapkan tanggal 14 Desember 2000<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23 ATAS IMBALAN JASA MAKLON<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ......................... tanggal 2 Nopember 2000 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menjelaskan bahwa PT NIC Indonesia bergerak di bidang Industri Plating (pelapisan logam). Dalam operasionalnya perusahaan Saudara menerima pesanan untuk menyelesaikan produk dari perusahaan lain dimana PT NIC Indonesia harus menyediakan peralatan mesin, tenaga kerja, teknologi serta bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk melapisi barang dari PT A tersebut. Sedangkan PT A hanya menyiapkan komponen elektronika yang akan dilapisi. <br />Pada kasus yang lain pemakai jasa menyediakan elektronika yang akan ditambah dengan sebagian bahan kimia untuk pelapisnya, sedangkan PT NIC harus menyediakan peralatan mesin, tenaga kerja, teknologi serta bahan-bahan kimia lainnya. Saudara menanyakan tentang difinisi jasamaklon dan dimanakah definisi tersebut bisa dijumpai, dan bagaimana halnya sehubungan dengan kasus yang diajukan?<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (limabelas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Berdasarkan KEP-176/PJ2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa maklon yang terutang atau dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa maklon adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000.<br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut :<br /> a. Yang dimaksud dengan jasa maklon adalah semua pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu, dimana proses pengerjaannya dilakukan pihak pemberi jasa (disubkontrakkan) sedangkan spesifikasi, bahan baku dan/atau/barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan pihak pemakai jasa.<br /> b. Atas pekerjaan yang dilakukan oleh PT NIC Indonesia berupa pelapisan logam sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas, termasuk dalam pengertian jasa maklon yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Dengan demikian, perlakuan perpajakan atas jasa maklon adalah sebagai berikut :<br /> 1). Imbalan atas jasa maklon yang diterima atau diperoleh oleh PT NIC Indonesia pada atau setelah tanggal 1 Juli 2000, dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br /> 2). Imbalan atas jasa maklon yang diterima atau diperoleh sebelum tanggal 1 Juli 2000, tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23. Namun demikian imbalan tersebut tetap merupakan objek pajak yang dikenakan PPh dengan tarif sesuai ketentuan Pasal 17 Undang-undang PPh Tahun 1994 dan wajib dilaporkan oleh pihak yang menerima atau memperoleh imbalan dalam SPT Tahunan PPh tahun yang bersangkutan.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR, <br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK <br />S-434/PJ.313/2000<br />Ditetapkan tanggal 27 September 2000<br />PENJELASAN JASA MAKLON<br />Sehubungan surat Saudara Nomor ........................ tanggal 23 Agustus 2000 berkenaan hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dijelaskan sebagai berikut : <br />a. Perusahaan Saudara bergerak di bidang industri pakaian jadi dengan fasilitas EPTE yang sering mensubkontrakkan (CMT CONTRACT) ke perusahaan lain dengan cara mengirim bahan baku untuk dijahit sesuai dengan perjanjian kontrak. Atas pelaksanaan pekerjaan tersebut, perusahaan hanya membayar ongkos jahit. <br />b. Atas hal tersebut Saudara menanyakan :<br /> 1) Apakah kegiatan subkontrak tersebut termasuk dalam pengertian jasa maklon<br /> 2) Penjelasan mengenai Pasal 4 dan Lampiran II Nomor 2 Huruf S Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000.<br /> 3) Kegiatan apa saja yang termasuk Jasa Maklon.<br />3. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />4. Dalam Keputusan Direktur Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juni 1997 tentang Jenis Jasa Lain yang atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto yang Digunakan Sebagai Dasar Pemotongan Pajak Penghasilan, antara lain diatur jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong PPh Pasal 23 dan besarnya perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan PPh.Kegiatan jasa maklon tidak termasuk dalam jenis jasa lain yang diatur dalam keputusan tersebut. <br />5. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa jenis jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 tersebut adalah jasa maklon.<br />Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan jasa maklon adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Selanjutnya dalam Pasal 4 Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut diatur bahwa yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto dalam Keputusan ini adalah jumlah imbalan yang dibayarkan atas pemberian jasa tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang, maka jumlah imbalan bruto adalah sebesar seluruh nilai kontrak. <br />6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan : <br />a. Kegiatan subkontrak ke perusahaan lain tersebut termasuk dalam pengertian jasa maklon apabila perusahaan menyediakan bahan baku dengan spesifikasi teknis produksi tertentu kepada perusahaan lain yang melaksanakan proses produksinya.<br />b. Perlakuan perpajakan atas jasa maklon :<br /> 1) Apabila dalam perjanjian dapat dipisahkan antara imbalan atas jasa maklon dengan biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proses produksi, dan imbalan tersebut dibayarkan atau terutang pada atau setelah tanggal 1 Juli 2000, maka besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br /> 2) Apabila imbalan atas jasa maklon tersebut dibayarkan atau terutang sebelum tanggal 1 Juli 2000, maka tidak dipotong PPh Pasal 23 melainkan perusahaansubkontraktor wajib melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh dengan tarif sesuai Pasal 17 UU PPh.<br />c. Jenis jasa lain yang dapat dikategorikan dalam jasa maklon adalah jasa yang apabila dalam proses pengerjaannya, bahan baku dan spesifikasinya telah disediakan oleh pemesan.<br />9. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL,<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINAGUN<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-432/PJ.311/2000<br />Ditetapkan tanggal 27 September 2000<br />PPh PASAL 23 ATAS PENGHASILAN DARI PEMASANGAN IKLAN<br />Sehubungan surat Saudara Nomor ........................ tanggal 30 Agustus 2000 perihal tersebut di atas dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa : <br />a. PT METRO PERDANA INDONESIA ADVERTISING (PT MPIA) bergerak dalam bidang periklanan dan atas jasa pemasangan iklan untuk para klien di media cetak dan elektronik memperoleh imbalan berupa media supervision/agency commission yang besarnya berkisar antara 10% sampai dengan 17,65% dari jumlah biaya pemasangan iklan di media setelah dikurangi dengan discount media sebesar 20%. <br />b. Berdasarkan hal tersebut Saudara menanyakan apakah imbalan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 berdasarkan SE-10/PJ.3/1998 tanggal 19 Juni 1998.<br />2. Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh, yang dilakukan Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen ) dari perkiraan penghasilan neto. <br />4. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.3/1998 tanggal 19 Juni 1998 antara lain ditegaskan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan Periklanan sehubungan dengan kegiatan di bidang jasa periklanan yang berupa jasa teknik dipotong PPh Pasal 23 sedangkan atas jasa konsultasi dipotong PPh final. Lebih lanjut ditegaskan bahwa atas imbalan sehubungan dengan kegiatan pemasangan iklan di media tanpa melalui pihak ketiga bukan merupakan objek PPh Pasal 23. <br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa kegiatan jasa pemasangan iklan untuk para klien di media cetak sepanjang bukan termasuk dalam pengertian jasa teknik maupun jasa konsultasi dan dilakukan tanpa melalui pihak ketiga bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 maupun objek PPh final, namun demikian penghasilan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan PT MPIA dan dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK <br />S-409/PJ.313/2000<br />Ditetapkan tanggal 18 September 2000<br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK NOMOR KEP-176/PJ/2000 TANGGAL 26 JUNI 2000<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........................ tanggal 3 Agustus 2000 berkenaan hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut antara lain dijelaskan : <br />a. Dalam kontrak pengadaan dan pengawasan Air Conditioner disebutkan rincian biaya sebagai berikut :<br />AC : Rp 50.000.000,00 <br />Jasa Pemasangan : Rp 10.000.000,00 <br /> ------------------------- <br />Subtotal : Rp 60.000.000,00 <br />PPN 10% : Rp 6.000.000,00 <br /> ------------------------- <br />Total Kontrak : Rp. 66.000.000,00 <br /> ------------------------- <br />b. Dalam kontrak tersebut tidak dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang <br />c. Saudara menanyakan besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipungut.<br />2. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur sebagai berikut :<br />a. Pasal 4 : yang dimaksud dengan imbalan bruto dalam keputusan ini adalah jumlah imbalan yang dibayarkan atas pemberian jasa tersebut kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />b. Lampiran II : perkiraan penghasilan neto dari jasa instalasi/pemasangan adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br />3. Berdasarkan hal tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa apabila dalam kontrak tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang maka PPh Pasal 23 yang harus dipungut adalah sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari Rp. 60.000.000,-<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-407/PJ.31/2000<br />Ditetapkan tanggal 18 September 2000<br />PENERAPAN PPh PASAL 23 ATAS JASA PENYELIDIKAN DAN KEAMANAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........... tanggal 7 Agustus 2000 dan Nomor ........... perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa perusahaan Saudara bergerak dalam bidang jasa sebagai berikut : <br />a. Pelayanan Penjagaan Keamanan (Security Guard Services)<br />b. Pelatihan dan Pendidikan Keamanan (Security Training and Education)<br />c. Jasa Pelayanan dan Technical Keamanan (Technical Security Services)<br />d. Pengangkutan Uang Tunai dan Barang Berharga (Cash dan Valuables Transportation)<br />e. Konsultasi dan Investigasi (Consultation and Investigation)<br />Berdasarkan data lebih lanjut yang disampaikan oleh PT. G4SI disebutkan bahwa PT. G4SI menyediakan tenaga keamanan sekaligus pembayaran gajinya. Atas jasa yang diberikan, PT. G4SI menerima imbalan dari klien.<br />Sehubungan dengan hal tersebut Saudara mohon penegasan apakah imbalan jasa atas pelayanan penjagaan keamanan tersebut dikenakan PPh Pasal 23.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.<br />3. Berdasarkan KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 kegiatan pelayanan penjagaan keamanan tidak termasuk dalam pengertian jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994.<br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, dengan ini ditegaskan bahwa atas imbalan jasa penjagaan keamanan yang diterima oleh PT. G4SI, dimana penyediaan tenaga kerja dan pembayaran gaji berasal dari PT. G4SI, tidak termasuk jenis jasa yang imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000. Walaupun tidak termasuk sebagai penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23, imbalan jasa yang diterima PT. G4SI tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur Peraturan Perpajakan<br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-284/PJ.313/2000<br />Ditetapkan tanggal 21 Juli 2000 <br />PERMOHONAN PENEGASAN PPh PASAL 23 ATAS MAINTENANCE & SERVICE FEES (MAINTENANCE CHARGE) <br />Sehubungan surat Saudara Nomor .....................tanggal 6 Juni 2000 berkenaan hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut disebutkan antara lain : <br />a. Kegiatan utama EJIP adalah menjual tanah industri di kawasan Bekasi ke perusahaan-perusahaan industri dan telah terjual 98% sehingga kegiatan perusahaan kini lebih difokuskan pada pengelolaan/pemeliharaan kawasan berupa pemeliharaan kebersihan lingkungan umum, keamanan umum, pemeliharaan jalan dan tanaman hijau serta penerangan jalan umum. Atas kegiatan pengelolaan/pemeliharaan tersebut, EJIP memungut imbalan pemeliharaan dan pelayanan berupa maintenance & service fee (maintenance charge) dari para pembeli tanah. <br />b. Berdasarkan hal tersebut di atas, Saudara memohon penegasan PPh Pasal 23 atas maintenance & service fees (maintenance charge). <br />2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-01/PJ.33/1998 tanggal 10 Maret 1998 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Perhimpunan Penghuni dari Rumah Susun yang Strata Title, antara lain ditegaskan bahwa penghasilan dan biaya berkenaan dengan service charge menjadi penghasilan dan biaya bagi pengembang dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang berkenaan, kecuali penerimaan sewa dan service charge yang dibayar oleh penyewa kepada pengembang dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996. <br />3. Dalam butir 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-22/PJ.4/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan menegaskan bahwa yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa, temasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan "service charge" baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan. <br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa : <br />a. Penghasilan dari maintenance charge yang diterima atau diperoleh PT. EJIP dari para pembeli tanah tidak dipotong PPh Pasal 23, tetapi merupakan penghasilan bagi PT. EJIP yang wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh PT EJIP. <br />b. Namun demikian, apabila PT. EJIP juga melakukan kegiatan sewa menyewa atas lahan yang belum terjual dan atas kegiatan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan sewa dan maintenance charge dari penyewa, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan, maka atas penghasilan tersebut dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIRJEN PAJAK<br />DIREKTUR<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-271/PJ.311/2000<br />Ditetapkan tanggal 6 Juli 2000 <br />PPh ATAS JASA KONSTRUKSI <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ................... tanggal 9 Juni 2000 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa perusahaan Saudara bergerak dalam bidang konstruksi, dimana mendapat pekerjaan pembangunan jalan dan jembatan (Drill Site Construction) dari perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan MIGAS.<br />Sehubungan dengan hal tersebut Saudara mohon penjelasan apakah pemotongan PPh atas penghasilan dari jasa konstruksi tersebut berdasarkan KEP-59/PJ/1996 sebesar 15% x 30% (4,5%) atau berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 yaitu bersifat final dengan tarif sebesar 2%. <br />2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-59/PJ1996 tanggal 5 Agustus 1996 sudah tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1997, dan diganti dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997. <br />3. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa Lain yang Atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto yang Digunakan sebagai Dasar Pemotongan Pajak Penghasilan antara lain diatur bahwa termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong PPh Pasal 23 adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas berupa jasa penyemenan dasar; jasa penyemenan perbaikan; jasa pengontrolan pasir; jasa pengasaman; jasa peretakan hidrolika; jasa nitrogen dan gulungan pipa; jasa uji kandung lapisan; jasa reparasi pompa reda; jasa pemasangan instalasi dan perawatan; jasa penggantian peralatan/material; jasa mud logging; jasa mud engineering; jasa well logging & perforating; jasa stimulasi dan secondary decovery; jasa well testing & wire line service; jasa alat kontrol navigasi lepas pantai; jasa pemeliharaan untuk pekerjaan perforating; jasa stimulasi dan secondary decovery; jasa well testing & wire line service; jasa alat kontrol navigasi lepas pantai; jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling; jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling; jasa lainnya yang sejenis di bidang penambangan migas. Pajak Penghasilan yang dipotong atas imbalan jasa tersebut adalah sebesar 15% x 30% (4,5%) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM. <br />4. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 704/KMK.04/1996 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-42/PJ.4/1996 tanggal 31 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan antara lain diatur sebagai berikut : <br />a. Jasa Konstruksi adalah pemberian jasa perencanaan, jasa pelaksanaan dan jasa pengawasan yang produk akhirnya adalah berupa bangunan. <br />b. Bangunan adalah wujud hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan baik yang ada pada, di atas, di bawah tanah dan/atau air. <br />c. Atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi, dan Wajib Pajak Badan yang bergerak di bidang usaha jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan/atau jasa konsultan berupa imbalan yang diterima atau diperoleh dari bidang usaha tersebut dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Ketentuan ini berlaku bagi Wajib Pajak tersebut baik dalam kedudukannya sebagai kontraktor maupun sub kontraktor. <br />d. Besarnya tarif pengenaan PPh yang bersifat final atas penghasilan berupa imbalan sebagaimana tersebut di atas adalah sebagai berikut : <br />• atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi adalah 2%(dua persen); <br />• imbalan jasa perencanaan konstruksi adalah 4% (empat persen); <br />• atas imbalan jasa pengawasan konstruksi adalah 4% (empat persen); <br />• atas imbalan jasa konsultan adalah 4% (empat persen), dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa pembangunan jalan dan jembatan yang dikerjakan perusahaan Saudara tidak termasuk dalam pekerjaan penunjang di bidang migas sebagaimana tersebut dalam butir 3 di atas, tetapi merupakan jasa konstruksi yang atas imbalannya dipotong PPh bersifat final dengan tarif sebagaimana tersebut dalam butir 4.d. di atas. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-244/PJ.32/2000<br />Ditetapkan tanggal 30 Mei 2000<br />JASA ANGKUTAN YANG TIDAK DIKENAKAN PPN DAN PPh<br />Sehubungan dengan Surat Saudara Nomor ................... tanggal 5 Januari 2000 perihal tersebut di atas kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Makasar, yang salah satu tembusannya ditujukan kepada Dirjen Pajak, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />I. Dalam surat Direktur Keuangan PTP Nusantara XIV (Persero) tersebut dinyatakan bahwa :<br /> 1. PTP Nusantara XIV memiliki 3 (tiga) unit usaha Pabrik Gula antara lain PG Takalar, PG Bone dan PG Camming. Setiap tahunnya terjadi pengangkutan tebu milik Pabrik Gula sendiri dari kebun ke Pabrik.<br /> 2. Pengangkutan tebu dilakukan dengan :<br /> a. Angkutan dengan trailer yang ditarik traktor milik Pabrik Gula sendiri.<br /> b. Angkutan dengan truk pihak ketiga dengan upah/ongkos angkut yang dihitung atas dasar berat tebu yang diangkut.<br /> c. Angkutan dengan truk pihak ketiga yang disewa dengan sistem sewa harian.<br /> 3. Pemilik truk pihak ketiga dalam hal ini bisa perorangan, koperasi, atau Badan Usaha sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) ataupun bukan PKP.<br /> 4. Truk yang dipergunakan sebagai angkutan tersebut biasanya dengan plat nomor hitam.<br /> Atas permasalahan tersebut PTP Nusantara XIV menanyakan hal-hal sebagai berikut :<br /> 1. Apa yang dimaksud dengan pengertian angkutan umum di darat, di laut, di sungai dan di danau ?<br /> 2. Apakah jasa angkutan tebu sebagaimana butir I.2. di atas merupakan kategori jasa yang tidak dikenakan PPN sesuai bunyi pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 ?<br /><br /> 3. Apakah jasa angkutan tebu sebagaimana butir I.2. di atas merupakan kategori jasa yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan sesuai bunyi SE-08/PJ.313/1995 ?<br /><br /><br />II. Pajak Pertambahan Nilai.<br /> 1. Berdasarkan Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun1994 (UU PPN) jis Pasal 9 angka 9 dan Pasal 18 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 diatur bahwa jasa di bidang angkutan umum di darat, di laut, di danau, maupun di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh swasta adalah salah satu jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.<br /> 2. Dalam angka 6.1.2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-11/PJ.51/1995 tanggal 21 Maret 1995 tentang Pengenaan PPn BM Atas Kendaraan Bermotor seri PPN 10-95 antara lain ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kendaraan angkutan umum adalah kendaraan angkutan umum dalam trayek dan kendaraan angkutan umum tidak dalam trayek sepanjang menggunakan plat dasar nomor polisi dengan warna kuning.<br /> 3. Dalam butir 5 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-51/PJ.51/1995 tanggal 16 Oktober 1995 tentang Pengenaan PPN/PPnBM atas Kendaraan Bermotor (penyempurnaan I atas SE seri PPN 10-95) antara lain ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kendaraan angkutan umum, yaitu kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, sepanjang menggunakan plat dasar nomor polisi dengan warna kuning.<br /> 4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dan memperhatikan surat Direktur Keuangan PTP Nusantara XIV dengan ini ditegaskan bahwa :<br /> 4.1. Mengacu kepada batasan jasa angkutan umum di darat sebagaimana dimaksud pada butir 2 dan butir 3 dan memperhatikan kegiatan usaha jasa angkutan di laut, di sungai dan di danau pada umumnya, maka pengertian jasa angkutan di darat, di laut, di sungai dan di danau adalah sebagai berikut :<br /> a. Angkutan umum di darat adalah kendaraan bermotor dan atau alat angkutan darat lainnya yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan atau cara lain yang dapat dipersamakan dengan itu, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, sepanjang menggunakan plat dasar nomor polisi dengan warna kuning. <br />b. Angkutan umum di laut adalah kapal laut dan atau alat angkutan laut lainnya yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan atau cara lain yang dapat dipersamakan dengan itu, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek. <br />c. Angkutan umum di sungai adalah kapal sedang atau kecil (boat/tongkang), perahu tradisional dan atau alat angkutan sungai lainnya yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan atau cara lain yang dapat dipersamakan dengan itu, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek. <br />d. Angkutan umum di danau adalah kapal sedang atau kecil (boat), perahu tradisional dan atau alat angkutan danau lainnya yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan atau cara lain yang dapat dipersamakan dengan itu, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek. <br /> 4.2. Perlakuan PPN atas jasa pengangkutan tebu yang diserahkan kepada PTP Nusantara XIV sebagaimana tersebut pada butir 1.2. adalah sebagai berikut :<br /> a. Apabila jasa pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik dengan menggunakan kendaraan trailer yang ditarik traktor milik Perusahaan Gula sendiri, meskipun kegiatan tersebut tidak termasuk kegiatan pengangkutan barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran, namun karena tidak adanya penyerahan jasa (trailer dan traktor milik sendiri) maka kegiatan tersebut termasuk jasa angkutan umum di darat yang tidak dikenakan PPN. (vide Butir I.2 huruf a) <br />b. Apabila jasa pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik dengan kendaraan truk berplat dasar nomor polisi warna hitam yang dimiliki oleh pihak III (perorangan, koperasi, Badan Usaha) sesuai dengan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar berat tebu yang diangkut, maka kegiatan tersebut tidak termasuk sebagai jasa angkutan umum di darat dan atas penyerahan jasa angkutan tebu tersebut dikenakan PPN. (vide Butir I.2 huruf b) <br />c. Apabila kegiatan pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik dengan menggunakan truk baik itu berplat dasar nomor polisi warna hitam maupun kuning yang dimiliki oleh pihak III (perorangan, koperasi, Badan Usaha) yang dilakukan berdasarkan sewa untuk jangka waktu tertentu baik secara harian, mingguan maupun bulanan berdasar perjanjian tertulis atau tidak tertulis, maka kegiatan tersebut termasuk jasa persewaan alat angkutan darat yang dikenakan PPN (vide Butir I.2. huruf c). <br />III. Pajak Penghasilan<br /> 1. Berdasarkan Pasal 23 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15 % dari perkiraan penghasilan neto.<br /> 2. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 antara lain ditegaskan bahwa :<br /> • Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23, adalah sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi, truk, mobil derek dan taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasar suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi, yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat menggunakan kendaraan umum yang bersangkutan. <br />• Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23, adalah jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang yang mengangkut barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar banyak atau volume barang, berat barang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai di tempat tujuan pada waktunya. <br /> 3. Berdasarkan uraian di atas dengan ini ditegaskan bahwa :<br /> a. Jasa angkutan kendaraan perusahaan yang mengangkut tebu dari kebun ke pabrik dengan kendaraan berplat kuning sesuai dengan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar banyak atau volume barang, berat barang, jarak ketempat tujuan dimana kontrak tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai ditempat tujuan pada waktunya, maka kegiatan tersebut termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.<br /> b. Apabila kegiatan pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik dilakukan berdasarkan sewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu baik secara harian, mingguan maupun bulanan berdasar suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan dengan PTP Nusantara XIV dengan menggunakan kendaraan berplat kuning yang mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat lagi menggunakan kendaraan tersebut, maka kegiatan tersebut termasuk jasa persewaan alat angkutan darat dan merupakan objek PPh Pasal 23.<br /> c. Apabila kegiatan pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik dengan menggunakan kendaraan berplat hitam, maka kegiatan tersebut termasuk sebagai jasa persewaan alat angkutan darat dan merupakan objek PPh Pasal 23.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />DIREKTUR JENDERAL<br />ttd<br />MACHFUD SIDIK<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-02/PJ.42/2000<br />Ditetapkan tanggal 11 Februari 2000<br />PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS JASA MANAJEMEN DAN JASA KONSULTAN DI BIDANG MANAJEMEN<br />Untuk kejelasan dalam pelaksanaan pemungutan/pemotongan Pajak Penghasilan atas jasa manajemen dan jasa konsultan di bidang manajemen dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :<br />1. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen. <br />2. Dalam pengertian umum yang dimaksud dengan jasa konsultan adalah pemberian advis profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.<br />Berdasarkan pengertian tersebut, jasa konsultan manajemen adalah pemberian advis profesional di bidang manajemen di mana tenaga ahli tersebut tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan manajemen klien yang bersangkutan.<br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ1997 tanggal 22 Juli 1997, atas imbalan jasa manajemen sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 40% atau tarif efektif sebesar 6% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />4. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi Dan Jasa Konsultan, atas penghasilan berupa imbalan jasa konsultan (selain konsultan hukum dan konsultan pajak) dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 4% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />5. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut dalam butir 4, maka : <br />a. Atas imbalan jasa konsultan manajemen dikenakan Pajak Penghasilan Final sebesar 4% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Apabila kepada klien yang sama dan dalam jangka waktu yang sama berdasarkan suatu kontrak dilakukan pemberian jasa konsultan di bidang manajemen dan sekaligus dilakukan jasa manajemen (ikut serta langsung dalam pelaksanaan manajemen), maka atas keseluruhan imbalan jasa yang diterima dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 40% atau tarif efektif sebesar 6% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />Direktur Jenderal<br />ttd<br />Machfud Sidik<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-390/PJ.311/1999<br />Ditetapkan tanggal 15 Desember 1999<br />PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ....................tanggal 1 Nopember 1999 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa :<br />Klien Saudara PT Perwanal DMB & B (pihak I) mengadakan kontrak dengan Yayasan Tehnologi Komunikasi dan Pemasaran (pihak II), dimana pihak II akan memberikan pelayanan pemeriksaan, pengobatan gratis oleh Vicks dan penyuluhan, pemutaran film dengan menggunakan mobil unit penerangan kesehatan. Sehubungan hal di atas Saudara menanyakan apakah penghasilan atas kegiatan Yayasan Tehnologi Komunikasi dan Pemasaran harus dipungut PPh Pasal 23. <br />2. Dalam Surat Edaran Nomor SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 perihal Jasa Tehnik dan Jasa Manajemen menurut Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 ditegaskan hal-hal sebagai berikut :<br />I. Yang dimaksud dengan jasa tehnik ialah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : <br />a. Untuk suatu proyek tertentu <br />Dalam proyek tertentu ini jasa tehnik pada umumnya hanya diberikan sekali saja misalnya membangun gedung pabrik diperlukan penelitian misalnya berupa :<br />1. penelitian jenis tanah tempat bangunan itu akan didirikan;<br />2. pembuatan design bangunan;<br />3. pengawasan pelaksanaan bangunan itu.<br />b. Untuk membuat suatu jenis produk tertentu <br />Dalam membuat suatu produk tertentu ini jasa teknik dapat diberikan lebih dari sekali. Jasa teknik ini diberikan secara terus-menerus dalam rangka membuat produksi tertentu. Jasa teknik yang diberikan terus-menerus ini dapat berupa pemberian :<br />1. informasi teknik dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya;<br />2. bantuan berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pegawai dari pemberi jasa teknik, dan;<br />3. latihan atas para petugas dari pemakai jasa.<br />Namun adakalanya jasa teknik untuk pembuatan suatu jenis produk tertentu dapat pula diberikan sekali saja, misalnya kemacetan mesin, yang mengakibatkan produksi tidak bisa terlaksana sebagaimana mestinya.<br />c. Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen. <br />II. Yang dimaksud jasa manajemen ialah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan berupa imbalan manajemen ("manajemen fee"). <br />3. Dalam pasal 2 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa Lain Yang Atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto Yang Digunakan Sebagai Dasar Pemotongan Pajak Penghasilan diatur bahwa, Jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah : <br />a. Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; <br />b. Jasa akuntansi dan pembukuan; <br />c. Jasa penebangan hutan; <br />d. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan; <br />e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap; <br />f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas; <br />g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; <br />h. Jasa perantara; <br />i. Jasa penilai; <br />j. Jasa aktuaris; <br />k. Jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film; <br />l. Jasa selain yang tersebut pada huruf a sampai dengan k yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kecuali konstruksi dan jasa konsultan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. <br /><br />4. Berdasarkan hal-hal di atas, dengan ini ditegaskan bahwa : <br />a. Atas kegiatan berupa pelayanan pemeriksaan, pengobatan gratis dan penyuluhan, pemutaran film dengan menggunakan mobil unit penerangan kesehatan yang dilakukan oleh Yayasan Teknologi Komunikasi dan Pemasaran tidak termasuk dalam pengertian jasa teknik dan jasa manajemen sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Nomor : SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984, maupun jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997. <br />b. Meskipun bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, imbalan yang diterima atau diperoleh oleh Yayasan Teknologi Komunikasi dan Pemasaran sehubungan dengan kegiatan jasa tersebut tetap merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-374/PJ.311/1999<br />Ditetapkan tanggal 19 November 1999<br />PENEGASAN PEMOTONGAN PPH PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ....................tanggal 14 September 1999 perihal sebagaimana tersebut diatas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara tersebut dijelaskan bahwa : <br />a. PT. UME Persada Indonesia (UPI) melakukan pekerjaan reparasi (repair), menyediakan peralatan (equipment) dan material, perlengkapan (utensil), outfit, tenaga kerja dan jasa/service yang diperlukan untuk mereparasi (repair) memodifikasi (modification), dan merekonstruksi (reconstruction). <br />b. UPI bertanggung jawab penuh atas keamanan, keselamatan, kelancaran dan efisiensi kinerja para pekerja dan subkontraktornya termasuk apabila terjadi kecelakaan atau cedera. <br />c. Rincian ruang lingkup pekerjaan oleh pemberi kerja dan dilaksanakan oleh UPI diuraikan dalam Work Order yang diterbitkan pemberi kerja untuk setiap item. <br />d. Saudara menanyakan dan mohon penegasan hal-hal sebagai berikut : <br />1) Apakah untuk jenis pekerjaan tersebut dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif berapa persen ?<br />2) Apakah pekerjaan yang sifatnya reparasi, rekonstruksi dan modifikasi dikenakan PPh final atas jasa konstruksi (2 %) ?<br />3) Adakah tolok ukur yang jelas dan rinci yang dapat membedakan antara jasa konstruksi dan jasa pemeliharaan yang sifatnya modifikasi dan rekonstruksi ?<br />2. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan adalah jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan, jasa akuntansi dan pembukuan, jasa penebangan hutan, jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan, jasa pengeboran (jasa drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap, jasa penunjang dibidang penambangan migas, jasa penambangan dan penunjang dibidang penambangan selain migas, jasa perantara, jasa penilai, jasa aktuaris, jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film, jasa selain yang tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kecuali jasa konstruksi dan jasa konsultan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, selain yang dipotong PPh Pasal 21. <br />3. Dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 antara lain diatur : <br />a. Atas penghasilan berupa imbalan yang diterima oleh Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan Wajib Pajak Badan yang bergerak dibidang usaha jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan/atau jasa konsultan dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. <br />b. Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut : <br />• atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi adalah 2 % (dua persen); <br />• atas imbalan jasa perencanaan konstruksi adalah 4 % (empat persen); <br />• atas imbalan jasa pengawasan konstruksi adalah 4 % (empat persen);<br />dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. <br />c. Jasa Konstruksi adalah jasa perencanaan, jasa pelaksanaan, dan jasa pengawasan yang produk akhirnya adalah bangunan. <br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dengan ini ditegaskan sebagai berikut : <br />a. Imbalan yang dibayarkan atau terutang atas kegiatan reparasi (repair), menyediakan peralatan (equipment) dan material, perlengkapan (utensil), outfit, tenaga kerja dan jasa/service yang diperlukan untuk mereparasi (repair), memodifikasi (modification), dan merekonstruksi (reconstruction) bukan merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 27 Juli 1997. <br />b. Imbalan yang dibayarkan atau terutang atas kegiatan yang sifatnya reparasi, rekonstruksi dan modifikasi bukan merupakan obyek PPh Final atas jasa konstruksi sepanjang dalam kegiatan tersebut tidak terdapat unsur konstruksi dan bukan merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 27 Juli 1997. <br />c. Meskipun bukan merupakan obyek PPh final maupun PPh Pasal 23, penghasilan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a dan b tersebut merupakan obyek pajak yang dikenakan PPh berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan PT. UME Persada Indonesia. <br />d. Yang membedakan jasa konstruksi dengan jasa pemeliharaan yang bersifat modifikasi dan konstruksi adalah bahwa jasa konstruksi adalah jasa perencanaan, jasa pelaksanaan dan jasa pengawasan yang produk akhirnya adalah bangunan, sedangkan modifikasi dan rekonstruksi hanya bersifat pemeliharaan saja. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-359/PJ.313/1999<br />Ditetapkan tanggal 2 November 1999<br />PPN DAN PPh ATAS JASA TRAINING & SEMINAR<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : BIA.00005/VIII/99 tanggal 23 Agustus 1999 mengenai sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. PT Bina Indocipta Andalan (PT BIA) adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa manajemen dan keuangan yang meliputi jasa di bidang perpajakan, akuntansi, teknologi informasi dan training. PT BIA akan menyelenggarakan training dan seminar yang pesertanya terbuka untuk umum (perusahaan atau orang pribadi). Sehubungan dengan hal tersebut, Saudara mohon penegasan bagaimana pengenaan PPN dan PPh Pasal 23 atas jasa training dan seminar tersebut.<br />2. Pajak Penghasilan<br />2.1. Dalam Pasal 1 huruf b dan Pasal 3 huruf b Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa Lain Yang Atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa teknik adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM.<br />2.2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 antara lain ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan atau pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.<br />2.3. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa<br /> a. Dalam hal training dan seminar bersifat terbuka untuk umum, diselenggarakan ditempat yang disediakan oleh penyelenggara dengan materi/program/kurikulum yang ditentukan oleh penyelenggara yang bersangkutan, maka tidak termasuk obyek pemotongan PPh Pasal 23.<br /> b. Dalam hal training dan seminar diselenggarakan untuk peserta tertentu (tidak bersifat umum) dan dengan materi/program sesuai permintaan peserta, maka termasuk dalam pengertian jasa teknik. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima sehubungan dengan jasa training dan seminar tersebut wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM.<br />2.4. Tidak berkelebihan kiranya kami sampaikan bahwa atas penghasilan yang diterima oleh pengajar training dan seminar tersebut dipotong PPh Pasal 21, sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-281/PJ/1998 tanggal 28 Desember 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan kegiatan orang pribadi.<br />3. <br />4. PPN dan PPnBM<br />3.1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha.<br />3.2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999, diatur jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Jasa training atau pelatihan tenaga kerja termasuk jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN karena termasuk jasa di bidang tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 angka 3 peraturan tersebut di atas, sedangkan jasa penyelenggaraan seminar tidak dikecualikan dari pengenaan PPN.<br />3.3. Bahwa jasa penyelenggaraan seminar adalah bukan jasa pendidikan, oleh karena itu atas penyerahan jasa penyelenggaraan seminar oleh perusahaan/badan tertentu terutang PPN.<br />Namun dalam hal lembaga pendidikan baik pemerintah maupun swasta menyelenggarakan seminar masih dalam rangka disiplin ilmu/pendidikan yang dikelolanya, maka atas penyerahan jasa seminar oleh lembaga pendidikan tersebut tidak terutang PPN.<br />3.4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :<br /> a. Jasa training/pelatihan tenaga kerja dikecualikan dari pengenaan PPN, maka atas penyerahannya tidak terutang PPN.<br /> b. Jasa seminar yang diserahkan oleh PT Bina Indocipta Andalan yang bukan lembaga pendidikan adalah jasa yang dikenakan PPN, maka atas penyerahannya terutang PPN.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-243/PJ.311/1999<br />Diteetapkan tanggal 26 Juli 1999<br />JASA CLEANING SERVICE<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............... tanggal 11 Mei 1999 mengenai sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut, Saudara mohon penegasan apakah jasa cleaning service oleh perusahaan jasa cleaning service termasuk dalam pengertian jasa pembersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 dimana atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. <br />2. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d dan Pasal 3 huruf f Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 antara lain ditegaskan bahwa jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan.<br />Besarnya perkiraan penghasilan neto atas imbalan sehubungan dengan jasa pembersihan adalah 10%. <br />3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa jasa cleaning service termasuk jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997.<br />Dengan demikian atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan jasa cleaning service sehubungan dengan jasa cleaning service dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 10% atau 1,5% dari imbalan bruto.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br />SURAT<br />S-239/PJ.312/1999<br />Ditetapkan tanggal 23 Juli 1999 <br />JASA PERAWATAN MESIN/PABRIK <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........................ tanggal 24 Juni 1999 perihal tersebut di atas, dengan ini dijelaskan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Dalam surat tersebut, Saudara mengemukakan bahwa : <br />a. PT Ume Persada Indonesia bergerak di bidang usaha jasa perawatan mesin/pabrik peleburan dan pemurnian tembaga. Spesifikasi pekerjaan perusahaan adalah perbaikan dan penggantian pelapis tungku saluran tembaga cair yang terbuat dari batu bata tahan panas yang aus/rusak. <br />b. Saudara menanyakan apakah jasa tersebut termasuk dalam kategori jasa teknik yang dipotong PPh Pasal 23 sebesar 6% ? <br />2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984tanggal 15 Maret 1984 antara lain ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan "jasa teknik" adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : untuk suatu proyek tertentu, untuk membuat suatu jenis produk tertentu dan berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen. <br />3. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997, jasa perbaikan dan penggantian tungku saluran tembaga cair tersebut tidak termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong PPh Pasal 23. <br />4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa jasa perbaikan dan penggantian pelapis tungku saluran tembaga cair yang dilakukan oleh Perusahaan Saudara tidak termasuk dalam pengertian jasa teknik maupun jasa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, sehingga bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23. Namun penghasilan tersebut tetap merupakan objek pajak yang dikenakan PPh dengan tarif umum Pasal 17 dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN <br /><br /><br />SURAT <br />S-229/PJ.312/1999<br />Ditetapkan tanggal 20 Juli 1999<br />PERMOHONAN KONFIRMASI DAN PENJELASAN ATAS EKSPOR YANG MENGGUNAKAN NAMA/QUOTA EKSPORTIR LAIN (QQ)<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .....................tanggal 11 Januari 1999 mengenai hal tersebut di atas, dengan ini dijelaskan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut, Saudara mengemukakan hal-hal sebagai berikut : <br />a. Perusahaan Saudara adalah eksportir pemilik nama yang menyediakan jasa pemakaian nama perusahaan dalam rangka ekspor bagi suatu perusahaan eksportir pemilik barang (QQ), dimana seluruh kegiatan sehubungan dengan ekspor, segala resiko yang timbul atas barang yang diekspor merupakan tanggung jawab eksportir pemilik barang. <br />b. Dalam LC, PEB/PEBT yang telah dicap fiat muat disebutkan nama Perusahaan Saudara QQ nama eksportir pemilik barang. <br />c. Atas jasa penggunaan nama ekspor tersebut, Perusahaan Saudara menerima imbalan berupa "ekspor fee" sesuai dengan perjanjian. <br />d. Saudara menanyakan : <br />(1) Apakah transaksi antara Perusahaan Saudara dengan eksportir pemilik barang dapat dikategorikan sebagai transaksi ekspor yang menggunakan nama/quota eksportir lain sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-25/PJ.32/1989 tanggal 6 Desember 1989 ?<br />(2) Apakah ekspor fee yang diterima perusahaan Saudara merupakan objek PPh Pasal 23 ?<br />2. Pajak Penghasilan <br />2.1. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c butir 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 diatur bahwa atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto.<br />2.2. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP:128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 diatur bahwa salah satu jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah jasa perantara, dimana besarnya perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa perantara adalah 60% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.<br />2.3. Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa ekspor fee yang dibayarkan oleh eksportir pemilik barang kepada perusahaan Saudara merupakan jasa perdagangan yan termasuk dalam pengertian jasa perantara, sehingga harus dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 9% (15% x 60%) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.<br />3. Pajak Pertambahan Nilai <br />3.1 Berdasarkan Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, dinyatakan bahwa Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.<br />3.2 Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 menetapkan jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Jasa eksportir tidak termasuk Jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN.<br />3.3 Berdasarkan ketentuan butir 3.1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-25/PJ.32/1989 tanggal 6 Desember 1989 dinyatakan bahwa penyerahan BKP dari eksportir pemilik barang kepada eksportir pemilik kuota bukan merupakan penyerahan BKP sepanjang :<br /> o dalam dokumen PEB yang telah dicap fiat muat disebutkan nama eksportir pemilik nama/kuota QQ eksportir pemilik barang. <br />o eksportir pemilik nama/kuota menerbitkan surat permintaan pada Bank Devisa yang menangani ekspor tersebut untuk langsung memindahbukukan hasil ekspor dimaksud kedalam rekening eksportir pemilik barang. <br />o jasa yang diserahkan oleh eksportir pemilik nama/kuota hanya berupa penggunaan kuota ekspor, sedang seluruh kegiatan sehubungan dengan ekspor tersebut dilakukan oleh eksportir pemilik barang. <br />o atas jasa penggunaan kuota ekspor tersebut eksportir pemilik nama/kuota hanya menerima imbalan sebagaimana biasa disebut "ekspor fee". <br />3.4 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat diberikan penegasan bahwa penyerahan BKP dari eksportir pemilik barang kepada eksportir pemegang kuota tidak terutang PPN sedangkan jenis Jasa penggunaan nama/kuota eksportir (Jasa eksportir) termasuk jenis Jasa yang dikenakan PPN, sehingga atas penyerahan Jasa tersebut terutang PPN.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURET EDARAN <br />SE-25/PJ.43/1999 <br />Ditetapkan tanggal 18 Juni 1999 <br />PENETAPAN BENTUK STANDAR SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEMUSATAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPH PASAL 21 <br />Sehubungan dengan adanya usulan dari beberapa Kepala Kantor Wilayah DJP tentang bentuk standar Surat Keputusan Pemusatan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 yang sampai saat ini masih dalam bentuk surat biasa, dengan ini disampaikan kepada Saudara bentuk standar dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang persetujuan atau penolakan permohonan Wajib Pajak untuk melakukan pemusatan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21.<br />Dengan berlakunya Surat Edaran ini, untuk selanjutnya para Kepala Kantor Wilayah DJP harus sudah menggunakan bentuk standar dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak dimaksud dalam setiap pemberian jawaban atas permohonan Wajib Pajak untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 secara terpusat.<br />Dalam hal pemohon mempunyai banyak kantor cabang, akan tetapi berdasarkan hasil PSL dari KPP yang bersangkutan tidak semua kantor cabang dapat diberikan izin dipusatkan PPh Pasal 21-nya, maka kepada pemohon harus diberikan 2 Keputusan yaitu Keputusan untuk yang diizinkan dan Keputusan untuk yang ditolak. <br />Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. <br />DIREKTUR JENDERAL<br />ttd<br />A. ANSHARI RITONGA <br />Lampiran I<br />DEPARTEMEN KEUANGAN R.I.<br />DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />KANTOR WILAYAH....................................1) <br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR : KEP-/WPJ....BD.03/19....<br />TENTANG<br />PEMUSATAN PPh PASAL 21<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK, <br />Membaca : surat permohonan dari .................... nomor .............. tanggal ............tentang...........................;2) <br />Menimbang : 1. z <br /> 2. bahwa terdapat cukup alasan untuk mempertimbangkan permohonan Wajib Pajak untuk melaksanakan pemusatan pemotongan, pembayaran, dan pelaporan PPh Pasal 21; <br />Mengingat : 1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-172/PJ/1998tanggal 13 Agustus 1998; <br /> 2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-26/PJ.431/1998 tanggal 13 Agustus 1998; <br />MEMUTUSKAN : <br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEMUSATAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN PPh PASAL 21. <br />PERTAMA : Menerima permohonan dari ............... NPWP : ...........4) untuk melaksanakan pemusatan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 pada Kantor Pelayanan Pajak............5) atas kantor cabang............pada KPP..............;6) <br />KEDUA : Kantor Pusat..............7) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tahun takwim berakhir diwajibkan untuk menyampaikan ke KPP.............8) daftar nama pegawai tetap yang penghasilannya di atas PTKP dan jumlah pegawai tetap yang penghasilannya tidak melebihi PTKP secara terpisah, masing-masing untuk para pegawai tetap yang ditugaskan di kantor pusat dan kantor cabang tersebut di atas dengan menggunakan Formulir 1721-A bersama-sama dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan lampiran-lampirannya; <br />KETIGA : Menyampaikan ke KPP.............9) daftar nama pegawai tetap yang penghasilannya di atas PTKP dan jumlah pegawai tetap yang penghasilannya di bawah PTKP khusus untuk pegawai tetap yang ditugaskan di kantor cabang tersebut di atas dengan menggunakan Formulir 1721-A; <br />KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal penerbitan dengan ketentuan bahwa segala sesuatu akan diubah dan diperbaiki sebagaimana mestinya, apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini; <br />KELIMA : Jika dikemudian hari ternyata di cabang-cabang dimaksud di atas terdapat administrasi karyawan dan administrasi pembayaran gaji, maka keputusan ini kami batalkan. <br />Yth................................10) ...........,...............19.....11) <br />..................................... a.n. Direktur Jenderal <br />.................................... Kepala Kantor <br /> <br />Tembusan: NIP. .......................... <br /> ..................................12) <br />1. Kepala KPP...................13)<br />2. Kepala KPP...................<br />3. ....................................... <br />Lampiran II <br />PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />TENTANG PEMUSATAN PEMOTONGAN,<br />PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPh PASAL 21 <br />Nomor 1 : Diisi dengan nama Kantor Wilayah DJP yang bersangkutan; <br />Nomor 2 : Diisi dengan nama pemohon, nomor dan tanggal surat permohonannya; <br />Nomor 3 : Diisi dengan nama KPP yang melaporkan hasil Pemeriksaan Sederhana Lapangan beserta nomor dan tanggal laporan; <br />Nomor 4 : Diisi dengan nama dan NPWP pemohon; <br />Nomor 5 : Diisi dengan nama KPP dimana pemohon bermaksud untuk memusatkan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21-nya; <br />Nomor 6 : Diisi dengan nama kantor cabang dan KPP yang membawahinya. Dalam hal jumlah cabang tersebar dibeberapa KPP, maka daftar kantor cabang dan KPP terkait dapat dibuatkan dalam lampiran tersendiri dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini; <br />Nomor 7 : Diisi dengan nama pemohon; <br />Nomor 8 : Diisi dengan nama KPP dimana pemohon bermaksud untuk memusatkan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21-nya; <br />Nomor 9 : Diisi dengan nama KPP yang membawahi cabang-cabang yang dimintakan untuk dipusatkan PPh Pasal 21-nya. Dalam hal KPP terkait jumlahnya cukup banyak maka dapat dibuatkan dalam lampiran tersendiri dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini; <br />Nomor 10 : Diisi dengan nama dan alamat pemohon; <br />Nomor 11 : Diisi dengan tempat dan tanggal ditanda-tanganinya Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut; <br />Pasal 12 : Diisi dengan nama dan NIP Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan; <br />Pasal 13 : Diisi dengan nama KPP yang membawahi cabang-cabang yang dimohonkan untuk dipusatkan PPh Pasal 21-nya. Dalam hal jumlah tembusan cukup banyak maka dapat dibuatkan dalam lampiran tersendiri dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. <br />Lampiran III<br />DEPARTEMEN KEUANGAN R.I.<br />DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />KANTOR WILAYAH....................................1)<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR : KEP-/WPJ....BD.03/19....<br />TENTANG<br />PEMUSATAN PPh PASAL 21<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Membaca : surat permohonan dari ................... nomor .................. tanggal ................. tentang ...........................;2) <br />Menimbang : 1. bahwa setelah membaca Laporan Hasil Pemeriksaan Sederhana Lapangan KPP............. tentang Permohonan Pemusatan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 nomor : ..................tanggal.................;3)<br /> 2. bahwa terdapat cukup alasan untuk tidak mempertimbangkan permohonan Wajib Pajak untuk melaksanakan pemusatan pemotongan, pembayaran, dan pelaporan PPh Pasal 21;<br />Mengingat : 1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-172/PJ/1998tanggal 13 Agustus 1998;<br /> 2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-26/PJ.431/1998 tanggal 13 Agustus 1998;<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEMUSATAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN PPh PASAL 21.<br />PERTAMA : Menolak permohonan dari.............NPWP : ..........4) untuk melaksanakan pemusatan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 pada Kantor Pelayanan Pajak............5) atas kantor cabang............pada KPP..............;6)<br />KEDUA : Kantor cabang..............7) tetap melaksanakan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kantor cabang;<br />KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal penerbitan dengan ketentuan bahwa segala sesuatu akan diubah dan diperbaiki sebagaimana mestinya, apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini;<br />Yth................................8) ...........,...............19.....9) <br />...................................... a.n. Direktur Jenderal <br />...................................... Kepala Kantor <br />Tembusan: ..................................10) <br /> NIP. .......................... <br />1. Kepala KPP...................11)<br />2. Kepala KPP...................<br />3. ....................................... <br />Lampiran IV<br />PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />TENTANG PENOLAKAN PEMUSATAN PEMOTONGAN,<br />PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPh PASAL 21<br />Nomor 1 : Diisi dengan nama Kantor Wilayah DJP yang bersangkutan; <br />Nomor 2 : Diisi dengan nama pemohon, nomor dan tanggal surat permohonannya; <br />Nomor 3 : Diisi dengan nama KPP yang melaporkan hasil Pemeriksaan Sederhana Lapangan beserta nomor dan tanggal laporan; <br />Nomor 4 : Diisi dengan nama dan NPWP pemohon; <br />Nomor 5 : Diisi dengan nama KPP dimana pemohon bermaksud untuk memusatkan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21-nya; <br />Nomor 6 : Diisi dengan nama kantor cabang dan KPP yang membawahinya. Dalam hal jumlah cabang tersebar dibeberapa KPP, maka daftar kantor cabang dan KPP terkait dapat dibuatkan dalam lampiran tersendiri dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini; <br />Nomor 7 : Diisi dengan nama kantor cabang yang akan dimohon untuk dipusatkan PPh Pasal 21-nya; <br />Nomor 8 : Diisi dengan nama dan alamat pemohon; <br />Nomor 9 : Diisi dengan tempat dan tanggal ditanda-tanganinya Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut; <br />Nomor 10 : Diisi dengan nama dan NIP Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan;<br />Nomor 11 : Diisi dengan nama KPP sesuai dengan banyaknya KPP yang membawahi cabang-cabang yang dimohonkan untuk dipusatkan PPh Pasal 21-nya. Dalam hal jumlah tembusan cukup banyak maka dapat dibuatkan dalam lampiran tersendiri dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-182/PJ.313/1999<br />Ditetapkan tanggal 18 Juni 1999<br />PEMBEBASAN PAJAK ATAS PROYEK PEMERINTAH<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .......................... tanggal 22 April 1999 perihal tersebut di atas, dengan ini dijelaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menjelaskan bahwa : <br />a. Perwanal/DMB&B adalah perusahaan periklanan yang mendapat order dari IFES (International Foundation for Election System) yaitu yayasan di bawah USAID/UNDP yang ditunjuk Pemerintah RI untuk membantu Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pemilihan Indonesia yaitu melakukan kampanye pendidikan agar masyarakat benar-benar faham dengan pemilu dan prosedurnya; <br />b. Untuk melaksanakan tugas tersebut Perwanal/DMB&B melibatkan pihak ke-3 yaitu pihak pembuat materi iklan dan pihak yang memasangkan/menayangkan iklan yaitu televisi, koran, radio dan majalah; <br />c. Sehubungan dengan permasalahan tersebut Saudara menanyakan, apakah atas kegiatan tersebut otomatis dibebaskan dari pungutan PPN dan PPh Pasal 23 atau diperlukan Surat Keterangan Bebas dari Direktorat Jenderal Pajak. <br />2. Pajak Penghasilan<br />2.1. Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain mengatur bahwa penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik yang dibayarkan atau terutang oleh Subjek Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayarkan.<br />2.2. Berdasarkan Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 239/KMK.01/1996 tanggal 1 April 1996 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 463/KMK.01/1998 tanggal 21 Oktober 1998, yang dimaksud dengan Proyek Pemerintah adalah proyek yang tercantum dalam Daftar Isian Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP, termasuk proyek yang dibiayai dengan Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP)/Subsidiary Loan Agreement (SLA).<br />2.3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-10/PJ.3/1998 tanggal 15 Juni 1998 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Perusahaan Periklanan antara lain menegaskan bahwa :<br /> a. penghasilan sebagai imbalan atas jasa pembuatan bagian materi iklan yang diterima perusahaan periklanan merupakan imbalan atas jasa teknik sehingga dikenakan PPN Pasal 23 sebesar 15% x 40% x imbalan bruto. <br />b. Penghasilan sebagai Imbalan atas jasa supervisi pembuatan bagian materi iklan kepada pihak ketiga yang diterima perusahaan periklanan bukan merupakan objek PPh Pasal 23, namun penghasilan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan perusahaan periklanan dan dikenakan PPh dengan tarif Pasal 17. <br />c. Penghasilan sebagai imbalan atas jasa penayangan iklan di media yang diterima perusahaan media dari perusahaan periklanan bukan merupakan penghasilan yang harus dipotong PPh Pasal 23, namun penghasilan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan perusahaan media dan dikenakan PPh dengan tarif Pasal 17. <br />d. Penghasilan sebagai imbalan atas jasa konsultasi yang diterima perusahaan media dari perusahaan periklanan dikenakan PPh final dengan tarif sebesar 4% X imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />e. Penghasilan sebagai imbalan atas jasa pembuatan materi iklan, separasi warna dan lain-lain yang diterima Production House dari perusahaan periklanan merupakan imbalan atas jasa teknik sehingga dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% X 40% X imbalan bruto. <br />f. Dalam hal pembuatan materi iklan dan/atau penayangan yang dilakukan perusahaan luar negeri dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto oleh perusahaan yang melakukan pembayaran kepada perusahaan luar negeri. <br />2.4. Berdasarkan uraian tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa :<br />g. Bantuan kepada Pemerintah dari IFES bukan merupakan pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah di luar negeri karena tidak tercantum dalam Daftar Isian Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP, sehingga ketentuan pelaksanaan perpajakan terhadap proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri tidak dapat diterapkan terhadap bantuan tersebut. <br />h. Penghasilan perusahaan periklanan dan pihak ketiga yang membuat materi iklan dan menayangkan iklan dari IFES dikenakan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan perUndang-Undangan Pajak Penghasilan yang berlaku. <br />i. IFES tidak berkewajiban melaksanakan pemotongan pajak atas pembayaran order kepada perusahaan periklanan dan pihak yang membantu perusahaan periklanan karena bukan Wajib Pajak. <br />j. Meskipun IFES tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perwanal/DMM&B, penghasilan tersebut tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan Perwanal/DMB&B dan dikenakan Pajak penghasilan dengan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. <br />k. Perwanal/DMB&B merupakan pemberi hasil bagi pihak ketiga yang membuat materi iklan dari IFES, sehingga berkewajiban untuk memotong, menyetor dan melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima oleh pihak ketiga tersebut. <br />3. PPN dan PTLL<br />3.1. Dalam Pasal 4 huruf a dan c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, antara lain diatur Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.<br />3.2. Dalam Pasal 9 dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, antara lain disebutkan bahwa jasa di bidang penyiaran yaitu penyiaran radio dan televisi baik yang dilakukan oleh instansi Pemerintah maupun swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersil termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan pajak.<br />3.3. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-10/PJ.3/1998 tanggal 15 Juni 1998 tentang Perlakuan Perpajakan atas Perusahaan Periklanan antara lain ditegaskan :<br />a. Pembuatan materi iklan oleh pihak ketiga terutang PPN sebesar tagihan kepada klien (tagihan dari Perusahaan Media + fee). <br />b. Pemasangan iklan di media terutang PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar penggantian yang diterima. <br />3.4 Berdasarkan ketentuan di atas dengan ini ditegaskan bahwa :<br />c. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak berupa pembuatan materi iklan oleh Perwanal/DMB&B kepada IFES terutang PPN sebesar 10% dari jumlah total yang diterima. Apabila dari jumlah total pembayaran tersebut sudah termasuk unsur PPN maka PPN terutang sebesar 10/110 x jumlah bruto penyerahan barang dan atau jasa yang diterima. <br />d. Atas jasa pembuatan materi iklan yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPN sebesar 10% dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar tagihan kepada klien (tagihan dari Perusahaan Media + fee) dan Perwanal/DMB&B adalah sebagai pihak pemungut PPN. <br />e. Bahwa penayangan pemasyarakatan (sosialisasi) pemilihan umum 1999 pada media elektronik tidak termasuk sebagai penyiaran iklan yang dibiayai oleh sponsor dengan tujuan komersil, sehingga jasa penayangan tersebut termasuk jasa di bidang penyiaran yang tidak terutang PPN, kecuali apabila dilakukan melalui media cetak maka atas jasa penayangan tersebut terutang PPN. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL<br />ttd<br />A. ANSHARI RITONGA<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-178/PJ.313/1999<br />Ditetapkan tanggal 1 Juni 1999<br />JASA PERAKITAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ..........................tanggal 27 April 1999 dijelaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara menjelaskan bahwa : <br />a. Salah satu klien Saudara bergerak di bidang komputer yaitu PT. Galindra Multi Cipta memberikan pekerjaan merakit monitor komputer kepada PT. Pembina Galindra Electric dimana PT. Galindra Multi Cipta menyerahkan komponen-komponen berupa tabung layar monitor, rangka monitor, dan komponen lain secara lengkap. <br />b. PT. Galindra Multi Cipta memberikan pekerjaan merakit transformer (trafo) kepada PT. Galva Kami Industry. <br />c. Dalam transaksi tersebut di atas, PT. Pembina Galindra Electric dan PT. Galva Kami Industry hanya semata-mata memberikan jasa merakit atas petunjuk PT. Galindra Multi Cipta dan menerima imbalan berupa ongkos perakitan. <br />d. Atas transaksi atau kasus tersebut di atas, Saudara mohon penegasan apakah kasus di atas termasuk dalam pengertian jasa teknik ? <br />2. Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik dipotong PPh sebesar 15% dari penghasilan neto. <br />3. Dalam Surat Edaran Direktur Pajak Langsung No : SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 antara lain ditegaskan yang dimaksud dengan jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan yang dapat meliputi : untuk suatu proyek tertentu, untuk membuat suatu jenis produk tertentu, dan berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen. <br />4. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa Lain yang atas Imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan jasa perakitan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 tidak termasuk sebagai jenis jasa lain yang wajib dipotong PPh. <br />5. Berdasarkan uraian di atas dengan ini ditegaskan bahwa : <br />a. kegiatan merakit komponen komputer yang diberikan PT. Pembina Galindra Electric dan PT. Galva Kami Industry kepada PT. Galindra Multi Cipta sebagaimana dimaksud dalam butir 1, tidak termasuk pengertian jasa teknik sesuai dengan ketentuan butir 3 di atas. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. Pembina Galindra Electric dan PT. Galva Kami Industry tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT. Galindra Multi Cipta. <br />b. meskipun demikian penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. Pembina Galindra Electric dan PT. Galva Kami Industry sehubungan dengan perakitan tersebut merupakan penghasilan yang dikenakan PPh dengan tarif Pasal 17 dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh masing-masing. <br />Demikian agar dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-127/PJ.311/1999<br />Ditetapkan tanggal 10 Mei 1999<br />PPh PASAL 23 ATAS KOMISI PENJUALAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ....................tanggal 3 Maret 1999 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini dijelaskan bahwa :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara menjelaskan : <br />a. PT Sony Indonesia bergerak di bidang usaha penjualan, pemasaran dan distribusi barang elektronik "SONY" di seluruh daerah di Indonesia. <br />b. Dalam rangka meningkatkan usaha penjualan, PT Sony Indonesia memberikan komisi penjualan/penghargaan atau insentif kepada para dealer yang dihitung dengan point berdasarkan : <br />• pencapaian penjualan selama per 3 (tiga) bulan ke konsumen akhir; <br />• pengambilan/pembelian produk/model dari PT Sony Indonesia. Artinya makin banyak dan lengkap jenis/model yang dibeli oleh suatu dealer, maka point akan makin banyak; <br />• display, makin banyak barang "SONY" yang didisplay dalam toko para dealer, maka akan semakin besar point penghargaannya; <br />• disiplin pembayaran dealer/distributor ke PT Sony Indonesia, apabila suatu dealer tidak pernah terlambat membayar dari jangka waktu credit term yang disepakati, maka point penghargaan akan bertambah. <br />c. Sehubungan dengan hal tersebut Saudara mohon penegasan : <br />• apakah komisi/insentif yang diterima para distributor/dealer tersebut terutang PPh Pasal 23 atas jasa perantara sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 ataukah dipotong PPh Pasal 23 sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-02/PJ.33/1998 tanggal 16 Maret 1998. <br />• dalam hal penerima insentif/komisi adalah Wajib Pajak orang pribadi, apakah dikenakan PPh Pasal 21. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain disebutkan bahwa atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah, Subjek Pajak badan Dalam Negeri kepada Wajib Pajak Dalam Negeri berupa hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf (e) dipotong PPh oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari jumlah bruto. <br />3. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 6 dan Pasal 11 huruf a Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-281/PJ/1998 tanggal 28 Desember 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi, antara lain diatur bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh berupa komisi dan imbalan lain sehubungan dengan jasa dalam bidang pemasaran dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dari penghasilan bruto. <br />4. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-02/PJ.33/1998 tanggal 16 Maret 1998 antara lain ditegaskan bahwa penghargaan atas suatu prestasi tertentu seperti penghargaan dalam menjualkan suatu produk termasuk dalam pengertian hadiah atau penghargaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. <br />5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa perlakuan perpajakan atas penghasilan berupa komisi atau insentif dapat dibedakan sebagai berikut : <br />a. dalam hal imbalan yang dibayarkan tersebut berupa komisi dan penerimanya adalah Wajib Pajak badan maka PT Sony Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 60% atau 9% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Apabila penerima komisi adalah Wajib Pajak orang pribadi maka dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. <br />b. dalam hal imbalan yang dibayarkan tersebut berupa insentif dan penerimanya adalah Wajib Pajak badan maka PT Sony Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. Apabila penerima insentif tersebut adalah Wajib Pajak orang pribadi, maka dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURATDIRJEN PAJAK<br />S-72/PJ.313/1999<br />Ditetapkan tanggal 16 Maret 1999<br />PERMOHONAN KONFIRMASI MENGENAI PERLAKUAN PPh ATAS IMBALAN JASA PENYEDIA TENAGA KERJA BERDASARKAN KONTRAK PENYEDIA JASA PENYEDIAAN BIDANG PRODUKSI WILAYAH UTARA<br />Sehubungandengan suratSaudara Nomor ..........................tanggal 28 Oktober 1998 dijelaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudaramenjelaskan bahwa :<br /> a. UnocalIndonesia Company melakukan kontrakkerjasama dengan pihak ketiga (kontrakpenyedia tenaga kerja) untuk menyediakantenaga kerja untuk penunjang produksi dan penunjangadministrasi bagi Unocal Indonesia Company. Tenaga kerjadimaksud merupakan tenaga kerja level menengah kebawah untuk ditugaskan membantu kegiatan produksi seperti : maintenance helper, mechanic helper, field operation helper, technician, general clerk, warehouseman, mechanic, driver, foreman dan general labour. Sedangkan untuk jasa penunjangbidang administrasi meliputi general clerk, messenger, receptionist, cook helper, waiter, laundryman, dan lain-lain.<br /> b. Perusahaanjasa penyedia tenaga kerja tidakbertanggung jawab atas hasil kerjadari tenaga kerja tersebut karena tenaga kerjadiawasi oleh dan bertanggung jawab langsung kepada Unocal Indonesia Company.<br /> c. Perusahaan Jasa Penyedia Tenaga Kerja memperoleh bayaran untuk menggantipembayaran upah dan imbalan lain yang diterima oleh tenagakerja/reimbursement, dan prosentase tertentu (margin).<br />2. BerdasarkanPasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur pemotongan pajak sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas jasalain selain yang telah dipotong PPh Pasal21.<br />3. BerdasarkanKeputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa Lain yang atas Imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotonganPajak Penghasilan, kegiatan penyediaan tenaga kerja baikuntuk produksi maupun untuk administrasitidak termasuk dalam pengertian jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilansebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.<br /><br />4. Berdasarkanuraian di atas ditegaskan sebagai berikut :<br /> a. Jasapenyediaan tenaga kerja baik untukproduksi maupun administrasi tersebut tidak termasuk jenis jasa yang imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor :KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus1996. Dengan demikian Jasa Penyediaan Tenaga Kerja dari pihakketiga tidak dipotong PPh Pasal23. Walaupun tidak termasuksebagai penghasilan yang dipotong PPh Pasal23, penghasilan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.<br /> b. Olehkarena yang memberi gaji/upah kepada karyawan adalah perusahaan penyedia tenaga kerja, makapenghitungan, penyetoran dan pelaporan PPhPasal 21 atas imbalan yang diterima tenaga kerja dilakukanoleh perusahaan penyedia tenaga kerja sebagai pemberikerja.<br />Demikian agar dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-72/PJ.43/1999<br />Ditetapkan tanggal 15 Maret 1999<br />PENJELASAN/PENEGASAN ATAS JASA TEKNIK<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 358/III.1/0299 tanggal 16 Pebruari 1999 perihal tersebut diatas, dengan ini kami lampirkan fotocopy Surat Edaran Nomor SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 tentang Jasa Teknik dan Jasa Manajemen Menurut Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 (Seri PPh Pasal 23-03).<br />Demikian agar maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR<br />ttd<br />I MADE GDE ERATA<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-56/PJ.313/1999<br />Ditetapkan tanggal 12 Maret 1999<br />PENJELASAN/KEBERATAN ATAS PENOLAKAN PERMOHONAN SKB PPh PASAL 22 DAN 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ...................tanggal 23 Oktober 1998 sebagaimana tersebut di atas, dengan ini dijelaskan :<br />1. Dalam surat Saudara menjelaskan : <br />a. Saudara mengajukan permohonan SKB PPh Pasal 22 dan 23 ke Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto. <br />b. Menurut informasi dan kajian yang disimpulkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto bahwa Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman tidak termasuk dalam kriteria angka 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-28/PJ.4/1996 tanggal 15 Juli 1996 tentang perlakuan pemotongan/pemungutan PPh terhadap badan/lembaga pemerintah. <br />c. Atas penolakan permohonan SKB PPh Pasal 22 dan 23 tersebut, Saudara memohon penjelasan atas penolakan permohonan SKB PPh Pasal 22 dan 23, dengan alasan sebagai berikut : <br />• Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat dibentuk dengan Peraturan Pemerintah melalui Keputusan Menteri P dan K; <br />• Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat dibiayai dengan dana dari APBN; <br />• Penghasilan yang diterima Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman masuk dalam Mata Anggaran Pusat, yaitu Mata Anggaran Pengabdian Kepada Masyarakat (MAP. 0583); <br />• Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman merupakan subyek pemeriksaan aparat fungsional BPK dan BPKP.<br />2. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Subjek Pajak Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun dan bentuk badan usaha lainnya. <br />3. Pengertian lembaga dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak termasuk lembaga struktural resmi pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD. <br />4. Suatu badan atau lembaga termasuk lembaga struktural resmi pemerintah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : <br />a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan lain-lain; <br />b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; <br />c. Pembukuan keuangannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah yaitu Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). <br />d. Penghasilan lembaga tersebut dimasukkan dalam penerimaan pemerintah pusat atau daerah.<br />5. Berdasarkan data dari Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto dalam suratnya Nomor : S-05/WPJ.08/KP.09.05/1999 tanggal 8 Januari 1999 diketahui bahwa sumber dana Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman berasal dari :<br />a. APBN;<br />b. Masyarakat. <br />6. Berdasarkan ketentuan di atas dengan ini ditegaskan : <br />Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat-syarat dimaksud pada angka 4 di atas maka tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penghasilan yang diterima atau diperoleh badan/lembaga tersebut bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan, dan oleh sebab itu tidak dipotong atau dipungut PPh. <br />7. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut merupakan Subjek Pajak Penghasilan. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima atau diperoleh terutang PPh sesuai dengan ketentuan. <br />8. Oleh karena Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman tidak memenuhi syarat sebagai lembaga struktural resmi pemerintah yaitu sebagian dananya berasal dari masyarakat dimana penerimaan dan penggunaannya tidak melalui APBN, melainkan secara langsung dikelola dan digunakan oleh Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman, maka Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman memenuhi syarat sebagai Subjek Pajak Penghasilan. Pemberian SKB dari pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak lain dapat diajukan sepanjang Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman dapat menunjukkan bahwa pada akhir tahun tidak akan terutang Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.<br /><br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-12/PJ.313/1999<br />Ditetapkan tanggal 26 Januari 1999<br />PERMOHONAN PENJELASAN JASA TEKNIK<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .........................tanggal 29 Desember 1998 perihal tersebut di atas, dengan ini dijelaskan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara disampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />a. PT. Komparindo Mitra Sedaya adalah badan usaha yang salah satu kegiatan usahanya bergerak di bidang pelayanan jasa service/overhaule generating set, dan beberapa waktu yang lalu telah selesai mengerjakan overhaule engine generating set milik PT. Astra Agro lestari/PT. Tunggal Perkasa Plantation.<br />b. Atas tagihan pembayaran jasa yang diberikan oleh PT. Astra Agro Lestari/PT. Tunggal Perkasa Plantation kepada PT. Komparindo Mitra Sedaya dikenakan PPh Pasal 23.<br />c. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Saudara memohon penjelasan mengenai pengenaan PPh Pasal 23 atas kegiatan tersebut.<br />2. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 tentang Jasa Teknik dan Jasa Manajemen menurut Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik ialah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : <br />a. Untuk suatu proyek tertentu.<br />b. Untuk membuat suatu jenis produk tertentu.<br />c. Pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa Lain yang atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto yang Digunakan Sebagai Dasar Pemotongan Pajak Penghasilan bahwa service/overhaule generating set tidak termasuk dalam jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. <br />4. Berdasarkan uraian dalam butir 2 dan 3 di atas dengan ini ditegaskan bahwa pelayanan service overhaule engine generating set yang diberikan PT. Komparindo Mitra Sedaya kepada PT. Astra Agro Lestari/PT. Tunggal Perkasa Plantation tidak termasuk jasa yang imbalannya dipotong PPh Pasal 23. Meskipun demikian penghasilan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.<br />Demikian agar dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-191/PJ.32/1998<br />Ditetapkan tanggal 14 Agustus 1998<br />PERLAKUAN PPh PASAL 23 DAN PPN TERHADAP PENYERAHAN JASA PRODUKSI<br />Sehubungan surat Saudara Nomor : 059/FAD-IBF/V/98 tanggal 28 Mei 1998 perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara dinyatakan bahwa perusahaan Saudara selain bergerak dalam usaha memproduksi pakan ternak, juga menerima pesanan pakan ternak dari peternakan (Wajib Pajak Badan) dengan bahan-bahan baku disediakan oleh pemesan.<br />Sehubungan dengan itu Saudara menanyakan apakah penyerahan jasa produksi tersebut di atas terutang PPN dan juga harus dipotong PPh Pasal 23. <br />2. Pajak Pertambahan Nilai. <br />a. Sesuai Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, bahwa PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha. <br />b. Sesuai Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, bahwa jasa produksi tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. <br />c. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa jasa produksi atas pakan ternak terutang PPN. <br />3. Pajak Penghasilan : <br />a. Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan antara lain menyatakan jasa-jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah : <br />• Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; <br />• Jasa akuntansi dan pembukuan; <br />• Jasa penebangan hutan; <br />• Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan; <br />• Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap; <br />• Jasa penunjang di bidang penambangan migas; <br />• Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; <br />• Jasa perantara; <br />• Jasa penilai; <br />• Jasa aktuaris; <br />• Jasa pengisi suli suara (dubbing) dan/atau mixing film; <br />• Jasa selain yang tersebut pada huruf a sampai dengan huruf k yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kecuali jasa konstruksi dan jasa konsultan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996. <br />b. Berdasarkan hal tersebut pada butir 3 huruf a di atas, dengan ini ditegaskan bahwa jasa pemrosesan (produksi) dalam bentuk melakukan jasa penggilingan atas bahan baku yang telah disediakan oleh pelanggan Saudara, tidak termasuk sebagai jenis jasa lainnya sebagaimana yang Saudara maksudkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997. Oleh karena itu atas imbalan yang Saudara terima dari jasa giling ini bukan merupakan imbalan yang harus dipotong PPh Pasal 23. Namun demikian, perlu kami sampaikan bahwa imbalan tersebut merupakan penghasilan yang dikenakan pajak sehingga harus dilaporkan dalam SPT PPh Badan. <br />Demikian agar menjadi maklum.<br />DIREKTUR,<br />Ttd<br />Drs. DJONIFAR, AF. MA<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-146/PJ.33/1998<br />Ditetapkan tanggal 7 Juli 1998 <br />PPh ATAS RUMAH SUSUN STRATA TITLE <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 135/JLM/IV/98 tanggal 5 Mei 1998 perihal seperti tersebut pada pokok surat, dengan ini diberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang Saudara sampaikan sebagai berikut : <br />No Pertanyaan Jawaban <br />1. Dalam hal Perhimpunan Penghuni belum dibentuk dan pengembang sementara bertindak sebagai Perhimpunan Penghuni, apakah penerimaan sewa dan service charge yang diperoleh dari penghuni harus diakui dan dilaporkan pada SPT pengembang atau terutang PPh final. penghuni, harus dilaporkan dalam SPT Tahunnan PPh, dan penerimaan tersebut<br />tidak terutang PPh Pasal 23. 1.<br /> Penghasilan pengembang dalam melaksanakan tugas sebagai Perhimpunan Penghuni, dapat dibedakan : <br />a. Service charge dan sinking fund yang diterima dari pemilik Rusun atau <br />b. Dalam hal Rusun belum terjual secara strata title tetapi disewakan oleh pengembang, maka sewa, service charge, dan sinking fund merupakan penghasilan pengembang yang dikenakan PPh final berdasarkan<br />Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996.<br /><br />2. Apabila penerimaan service charge dan sinking fund oleh Perhimpunan Penghuni ternyata dalam perhitungan dan pelaporan SPT Tahunan PPh badan terdapat selisih lebih antara penghasilan dan biaya, apakah terhadap selisih lebih tersebut terutang PPh ? Ya, selisih lebih tersebut terutang PPh, namun karena sinking fund baru diakui sebagai penghasilan saat digunakan yang sekaligus dibiayakan, maka selisih lebih akan sangat kecil.<br />3. Sesuai butir 4.2. huruf b SE Dirjen Pajak Nomor : SE-01/PJ.33/1998, sinking fund merupakan penghasilan dan juga sebagai biaya pada saat digunakan, sedangkan pada butir 4.2. huruf c angka 2) penerimaan service charge dan sinking fund merupakan penghasilan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh badan untuk tahun yang bersangkutan,<br />perlakuan yang mana yang berlaku atas sinking fund tersebut ? Butir 4.2. huruf c angka 2) hanya merupakan penegasan bahwa service charge dan sinking fund merupakan penghasilan atau objek pajak, sedangkan pada butir 4.2 b,<br />menegaskan bahwa sinking fund tersebut adalah merupakan biaya dan sekaligus penghasilan<br />4. Apabila jumlah sinking fund yang diterima tidak sama dengan yang apakah digunakan, yang diakui sebagai<br />penghasilan adalah jumlah yang digunakan ?<br /> Ya, dan sisanya tetap sebagai deposit/pinjaman kepada penghuni<br />5. Apabila dana sinking fund disimpan di <br />bank (giro atau tabungan), apakah<br />bank diakui sebagai penghasilan<br />Perhimpunan Penghuni atau sebagai<br />deposit ? Ya, dan atas bunga tersebut bunga dipotong PPh final oleh Bank.<br />Demikian penjelasan untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />Drs. DJONIFAR AF, MA<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-140/PJ.312/1998<br />Ditetapkan tanggal 26 Juni 1998<br />PENANGGUHAN PPh PASAL 23 ATAS JASA BROKER ASURANSI<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ..........................tanggal 15 April 1998 dengan melampirkan surat Dewan Asuransi Indonesia kepada Direktur Peraturan Perpajakan Nomor 185/DAI/98 tanggal 12 Maret 1998 dan surat Saudara Nomor ..........................tanggal 29 Mei 1998 yang mengajukan penangguhan pemotongan PPh Pasal 23 atas Jasa Perantara Broker Asuransi, dengan ini disampaikan bahwa :<br />1. Perusahaan pialang asuransi menyerahkan jasa kepada perusahaan asuransi maupun tertanggung sehingga terjadi penutupan asuransi antara perusahaan asuransi dengan tertanggung. Imbalan yang diperolehnya berupa komisi pada umumnya ditetapkan dengan prosentase tertentu dari jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung. <br />2. Pembayaran premi asuransi dapat dilakukan sendiri oleh tertanggung atau melalui Perusahaan Pialang Asuransi. Dalam hal pembayaran premi asuransi dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi, jumlah premi yang dibayarkan kepada Perusahaan Asuransi pada umumnya sebesar premi neto (premi bruto dikurangi dengan imbalan/komisi yang menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi). Perusahaan Asuransi membukukan penghasilan premi baik yang dibayarkan langsung oleh tertanggung maupun yang melalui Perusahaan Pialang Asuransi sebesar premi bruto. Sedangkan komisi yang menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi dibebankan sebagai biaya. <br />3. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf h dan Pasal 3 huruf j. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, antara lain dinyatakan :<br />Jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah jasa perantara. Perkiraan Penghasilan netto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan dalam hal ini sebesar 60%. <br />4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa Perusahaan Asuransi adalah pemberi hasil kepada Perusahaan Pialang Asuransi. Oleh karena itu Perusahaan Asuransi wajib memotong PPh Pasal 23 atas imbalan jasa yang diterima atau dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 sebesar 15% x 60% atau 9% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM. Dengan demikian, usulan penangguhan pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan Jasa Perantara Pialang Asuransi tersebut dengan menyesal tidak dapat dikabulkan.<br />Demikian harap maklum.<br />DIREKTUR,<br />ttd,<br />Drs. DJONIFAR AF., MA<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-11/PJ.311/1998<br />Ditetapkan tanggal 17 Juni 1998<br />PEMOTONG PPh PASAL 23 ATAS IMBALAN YANG DITERIMA ATAU DPEROLEH PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI<br />Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan tentang pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas jasa pialang asuransi, dengan ini ditegaskan sebagai berikut :<br />1. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyerahkan jasa kepada Perusahaan Asuransi maupun tertanggung sehingga terjadi penutupan asuransi antara Perusahaan Asuransi dengan tertanggung. Imbalan yang diperolehnya berupa komisi pada umumnya ditetapkan dengan prosentase tertentu dari jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung. <br />2. Pembayaran premi asuransi dapat dilakukan sendiri oleh tertanggung atau melalui Perusahaan Pialang Asuransi. Perusahaan Asuransi membukukan penghasilan premi baik yang dibayarkan langsung oleh tertanggung maupun yang melalui Perusahaan Pialang Asuransi sebesar premi bruto, sedangkan komisi yang menjadi hak Perusahaan Pialang asuransi dibebankan sebagai biaya. <br />3. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Perusahaan Asuransi adalah pemberi hasil kepada Perusahaan Pialang Asuransi. Oleh karena itu Perusahaan Asuransi wajib memotong PPh Pasal 23 atas imbalan jasa yang diterima atau dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ1997 tanggal 22 Juli 1997 sebesar 15% x 60% atau 9% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM.<br />Demikian untuk diketahui dan untuk disebarluaskan kepada para Wajib Pajak.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />ttd<br />A. ANSHARI RITONGA<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-195/PJ.432/1998<br />Ditetapkan tanggal 1 Juni 1998<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23 <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 116/NYB/III/98 tanggal 3 Maret 1998 perihal seperti tersebut pada pokok surat, bersama ini kami sampaikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Berdasarkan surat Saudara dan kontrak Agreement terlampir Nomor COX-X-0731, perusahaan Saudara melakukan kegiatan Survey, Design & Install Outside Plant Equipment for Pilot Project, termasuk pekerjaan sipil dan instalasinya. Sesuai Agreement tersebut, pelaksanaan pekerjaan harus sesuai dengan standar dan spesifikasi teknik dari PT Telkom. <br />Saudara menanyakan perlakuan perpajakan atas pekerjaan tersebut. <br />2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 704/KMK.04/1996 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-42/PJ.4/1996 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan, antara lain diatur bahwa : <br />• Jasa konstruksi adalah pemberian jasa perencanaan, jasa pelaksanaan dan jasa pengawasan yang produk akhirnya berupa bangunan. <br />• Bangunan adalah wujud hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan baik yang ada pada, di atas, di bawah tanah dan/atau air. <br />3. Sesuai dengan ketentuan butir 3 dan 4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-42/PJ.4/1996 tanggal 31 Desember 1996, antara lain disebutkan bahwa besarnya tarif pengenaan PPh final atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi adalah 2% (dua persen) dan imbalan jasa perencanaan konstruksi adalah 4% (empat persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto tersebut adalah semua jumlah yang dibayarkan oleh pihak pemberi hasil kepada pemberi jasa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. <br />4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini dijelaskan bahwa sesuai dengan kontrak agreement (terlampir) dapat diketahui nilai untuk masing-masing item dipisahkan dalam Apendix Contract. Sehubungan dengan hal tersebut, maka : <br />a. Kegiatan pelaksanaan kontract berupa survey dan design, termasuk dalam pengertian jasa perencanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996. Oleh karena itu atas imbalan yang diterima atau diperoleh PT Nusatel Yudhabhakti sehubungan dengan pekerjaan survey dan design tersebut dipotong PPh final sebesar 4% (empat persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />b. Kegiatan pelaksanaan kontrak berupa install outside plant equipment, termasuk dalam pengertian jasa pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996. Oleh karena itu atas imbalan yang diterima atau diperoleh PT Nusatel Yudhabhakti sehubungan dengan pekerjaan instalasi dipotong PPh yang bersifat final sebesar 2% (dua persen) dari jumlah imbalan bruto (termasuk material) tidak termasuk PPN. <br />Demikian agar menjadi maklum. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR<br />ttd<br />I MADE GDE ERATA <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-100/PJ.312/1998<br />Ditetapkan tanggal 07 Mei 1998<br />OBJEK PEMOTONGAN PPh<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ..................... mengenai Objek Pemotongan PPh, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara dikemukakan bahwa : <br />a. PT Aneka Spring Telekomindo bergerak dalam bidang perdagangan alat-alat/peralatan telekomunikasi.<br />b. Hasil perusahaan Saudara berupa kontrak penjualan perangkat telekomunikasi berikut instalasinya/pemasangannya<br />c. Saudara mohon penjelasan apakah pembayaran terhadap penagihan atas kontrak penjualan peralatan tersebut merupakan obyek pemotongan PPh Final atau PPh Pasal 23.<br />2. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan, antara lain disebutkan bahwa atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa pelaksana konstruksi, dan Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang usaha jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi, dikenakan PPh yang bersifat final. <br />3. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-42/PJ.4/1996 tanggal 31 Desember 1996 antara lain disebutkan bahwa : <br />• Jasa konstruksi adalah jasa perencanaan, jasa pelaksanaan, dan jasa pengawasan yang produk akhirnya adalah berupa bangunan;<br />• Bangunan adalah wujud hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan baik yang ada pada, diatas, di bawah tanah dan/atau air;<br />• Jasa pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa pelaksanaan fisik pekerjaan konstruksi.<br />4. Berdasarkan uraian diatas, dengan ini ditegaskan bahwa penjualan perangkat telekomunikasi termasuk pemasangannya untuk menghindari kesalahan pemasangan yang berakibat peralatan tidak berfungsi tidak termasuk usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tanggal 20 Desember 1996 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak pada butir 3 diatas. Oleh karena itu, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh tidak dikenakan pemotongan PPh yang bersifat Final ataupun PPh Pasal 23, tetapi dikenakan PPh berdasarkan tarif umum pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun pajak yang bersangkutan.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL<br />ttd<br />A. ANSHARI RITONGA<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-51/PJ.312/1998<br />Ditetapkan tanggal 18 Maret 1998<br />PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN PADA PT (PERSERO) PELABUHAN INDONESIA (PELINDO) BERKENAAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996 TANGGAL 18 APRIL 1996<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............................. tanggal 3 Pebruari 1998 mengenai hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Surat Saudara pada pokoknya menyatakan : <br />a. Pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh BPKP atas PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV Cabang Ambon telah terjadi perbedaan pendapat antara Pemeriksa dengan Wajib Pajak terhadap perlakuan PPh atas penghasilan Wajib Pajak yang bersumber dari penghasilan Penambatan, Dermaga, Pelayanan Peti Kemas, Dermaga Khusus, Pas Pelabuhan, Pas Terminal Penumpang dan pendapatan Retribusi.<br />b. Wajib Pajak berpendapat bahwa pendapatan tersebut merupakan objek PPh final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tanggal 18 April 1996.<br />c. Di pihak lain Saudara berpendapat bahwa penghasilan tersebut bukan objek PPh final sesuai PP 29/1996 tersebut melainkan objek PPh yang harus dikenakan tarif umum sesuai pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 10 Tahun 1994.<br />2. Berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-336/PJ.433/1989 tanggal 18 Desember 1989 hal PPh Pasal 23 atas sewa (terlampir) dalam rangka menjawab pertanyaan Perum Pelabuhan II antara lain dinyatakan bahwa "Kegiatan bongkar/muat barang di lingkungan pelabuhan dengan menggunakan alat angkut milik dan dioperasikan oleh Perum Pelabuhan maupun pemakaian gudang/lapangan penumpukan milik dan dioperasikan oleh Perum Pelabuhan di lini pertama dan kedua tidak termasuk dalam pengertian sewa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, maka atas pembayaran penggunaan alat angkut dan pemakaian gudang/lapangan tersebut tidak terutang PPh Pasal 23".<br />3. Berdasarkan surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-225/PJ.43/1997 tanggal 23 Juni 1997 hal PPh atas Persewaan Tanah dan Bangunan dalam rangka menjawab surat PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II (terlampir) antara lain dinyatakan bahwa :<br />Penghasilan yang diterima atau diperoleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II sehubungan dengan penggunaan dan pemakaian sarana berupa gudang/lapangan penumpukan milik dan dioperasikan oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II di lini pertama dan lini kedua tersebut tidak dipotong PPh Pasal 23 maupun PPh Final sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996. Namun demikian penghasilan tersebut merupakan objek pajak yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh PT (Persero) Pelindo IV Cabang Ambon dengan dikenakan tarif umum sesuai Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.<br />4. Dengan demikian, pendapat Saudara bahwa penghasilan PT Persero Pelabuhan IV Cabang Ambon tersebut bukan objek PPh final sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun1996, melainkan objek PPh yang harus dikenakan tarif umum sesuai Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 10 Tahun 1994, telah sesuai dengan penegasan Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-336/PJ.433/1989 tanggal 18 Desember 1989 dan S-225/PJ.43/1997 tanggal 23 Juni 1997.<br />Demikian harap maklum.<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />Drs. DJONIFAR AF, MA<br /><br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK<br />S-38/PJ.312/1998<br />Ditetapkan tanggal 4 Maret 1998<br /> <br />PPh PASAL 23 ATAS JASA REPARASI DAN RESPESIFIKASI REDA EQUIPMENT<br /> <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .................... tanggal 4 Desember 1997 dengan ini dapat kami sampaikan hal-hal berikut :<br />1. Dalam suratnya PT Imeco Inter Sarana menyatakan bahwa :<br />a. PT Imeco Inter Sarana telah mendapatkan kontrak pekerjaan dari Maxus Southeast Sumatra Inc. untuk mengembalikan peralatan yang rusak menjadi kondisi baru dengan spesifikasi yang diperlukan.<br />b. Pekerjaan ini meliputi unsur Jasa dan unsur Barang (material) masing-masing 29,4% dan 70,6%. Dengan total nilai US$ 9.931.702,-.<br />c. Pembayaran atas kontrak tersebut, oleh pemberi kerja telah dipotong PPh Pasal 23 dengan dasar pengenaan Pajak (penghasilan bruto) sebesar keseluruhan nilai kontrak.<br />d. Atas pemotongan tersebut PT Imeco Inter Sarana minta penegasan mengenai dasar pengenaan pajak (penghasilan bruto) yang digunakan mengingat sebagian pekerjaan tersebut adalah penyediaan material bukannya jasa sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997.<br />2. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 Pasal 2 ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa jasa reparasi pompa reda (reda repair) merupakan jasa penunjang di bidang penambangan migas yang harus dipotong PPh Pasal 23. Besarnya perkiraan penghasilan netto atas pekerjaan ini adalah 30% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM.<br />3. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ.4/1996 tanggal 31 Desember 1996 butir 4 dinyatakan #yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan adalah semua jumlah yang dibayarkan oleh pihak pemberi hasil kepada pemberi jasa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan.<br />4. Berdasarkan uraian di atas, dengan ini disampaikan bahwa :<br />Mengacu pada pengertian penghasilan bruto yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ.4/1996 tanggal 31 Desember 1996 butir 4 maka yang dimaksud imbalan bruto dalam jasa-jasa yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 adalah semua jumlah yang dibayarkan oleh pihak pemberi hasil kepada pemberi jasa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan usaha pemberian jasa tersebut. <br />Oleh karena itu, jika dalam memberikan jasa ini termasuk didalamnya nilai material yang digunakan, maka imbalan bruto mencakup juga penggantian atas harga-harga material yang digunakan tersebut.<br /> <br />Demikian untuk dimaklumi<br />DIREKTUR<br />ttd<br />Drs. DJONIFAR AF,MA<br /> <br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-11/PJ.43/1997<br />Ditetapkan tanggal 11 Agustus 1997<br />JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PPh PASAL 23 (SERI PPh PASAL 23 NO. 09)<br />Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan yang mengubah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-59/PJ/1996tanggal 5 Agustus 1996, dengan ini diminta perhatian Saudara terhadap beberapa perubahan dan penegasan antara lain :<br />1. Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996. <br />2. Penghasilan berupa imbalan Jasa konsultan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996, kecuali atas jasa konsultan hukum dan konsultan pajak dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Jasa perancang bangunan dan jasa pemborong bangunan yang diatur dalam KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996 dinyatakan tidak berlaku dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. <br />4. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) tetap dikenakan pemotongan PPh seperti yang diatur dalam KEP-59/PJ/1996 kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap. <br />5. Atas penghasilan berupa imbalan jasa perantara, jasa penilai, jasa aktuaris dan jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film yang sebelumnya tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, dengan ditetapkannya KEP-128/PJ/1997 dikenakan pemotongan PPh sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa tersebut adalah sebagai berikut : <br />a. imbalan jasa perantara, sebesar 60%; <br />b. imbalan jasa penilai, sebesar 40%; <br />c. imbalan jasa aktuaris, sebesar 40%; <br />d. imbalan jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film, sebesar 40%, dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPn BM. <br />6. Surat Edaran ini mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1997. <br />7. Untuk kelancaran pelaksanaan Surat Edaran ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) agar memberikan penjelasan kepada para Wajib Pajak yang bersangkutan yang terdaftar di KPP masing-masing.<br />Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />DIREKTUR JENDERAL,<br />ttd.<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK<br />KEP-128/PJ/1997<br />Ditetapkan tanggal 22 Juli 1997<br />JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994, besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br /> b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultasi;<br /> c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk menetapkan kembali jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);<br /> 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3664)<br /> MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN<br />Pasal 1<br />Penghasilan berupa sewa dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah :<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996; <br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.<br />Pasal 2<br />(1) Jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah :<br /> a. Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; <br />b. Jasa akuntansi dan pembukuan; <br />c. Jasa penebangan hutan; <br />d. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan; <br />e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap; <br />f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas; <br />g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; <br />h. Jasa perantara; <br />i. Jasa penilai; <br />j. Jasa aktuaris; <br />k. Jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film; <br />l. Jasa selain yang tersebut pada huruf a sampai dengan huruf k yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kecuali jasa konstruksi dan jasa konsultan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996;<br />yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. <br />(2) Yang dimaksud dengan jasa penunjang di bidang penambangan migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa : <br />a. jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan bubur semen secara tepat<br />di antara pipa selubung dan lubang sumur; <br />b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud :<br />• penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;<br />• penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;<br />• perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;<br />• penutupan sumur; <br />c. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa; <br />d. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikkan produktifitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan; <br />e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic fracturing), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil; <br />f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen and coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur; <br />g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing) penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi; <br />h. jasa reparasi pompa reda (reda repair); <br />i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan; <br />j. jasa penggantian peralatan/material; <br />k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur; <br />l. jasa mud engineering; <br />m. jasa well logging & perforating; <br />n. jasa stimulasi dan secondary decovery; <br />o. jasa well testing & wire line service; <br />p. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling; <br />q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling; <br />r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling; <br />s. jasa lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas. <br />(3) Yang dimaksud dengan jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum yang berupa : <br />a. jasa pengeboran; <br />b. jasa penebasan; <br />c. jasa pengupasan dan pembongkaran; <br />d. jasa penambangan; <br />e. jasa pengangkutan/sistem transportasi kecuali jasa angkutan umum; <br />f. jasa pengolahan bahan galian; <br />g. jasa reklamasi tambang; <br />h. jasa pelaksana mekanikal, elektrikal, penggalian pemindahan tanah, manufaktur dan fabrikasi; <br />i. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum. <br />Pasal 3<br />Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, adalah sebagai berikut :<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 40% <br />b. imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum dan konsultan pajak 40% <br />c. imbalan jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan 40% <br />d. imbalan jasa akuntansi dan pembukuan 40% <br />e. imbalan jasa penebangan hutan 40% <br />f. imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan 10% <br />g. imbalan jasa pengeboran di bidang penambangan migas, kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap 30% <br />h. imbalan jasa penunjang di bidang penambangan migas 30% <br />i. imbalan jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas 30% <br />j. imbalan jasa perantara 60% <br />k. imbalan jasa penilai 40% <br />l. imbalan jasa aktuaris 40% <br />m. imbalan jasa suli suara (dubbing) dan/atau mixing film 40% <br />n. imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l 10%<br />dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.<br />Pasal 4<br />Dengan berlakunya keputusan ini maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996 dinyatakan tidak berlaku.<br />Pasal 5<br />Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1997.<br />Ditetapkan di : Jakarta<br />pada tanggal : 22 Juli 1997<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-225/PJ.311/1996<br />Ditetapkan tanggal 29 Nopember 1996 <br />PERMOHONAN PEMBEBASAN/PENURUNAN TARIF PPh PASAL 23 FINAL ATAS PERSEWAAN RUMAH SEWA BERTINGKAT <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 0974/110/1.713 tanggal 31 Oktober 1996 mengenai permohonan pembebasan/penurunan tarif PPh Pasal 23 final atas persewaan rumah sewa bertingkat, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Perusahaan Daerah Pembangunan Sarana Jaya adalah perusahaan daerah yang bertindak sebagai pengelola rumah sewa bertingkat yang diperuntukan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. <br />2. Dalam melaksanakan pengelolaan tersebut, PD. Pembangunan Sarana Jaya selalu memberikan subsidi yang besarnya rata-rata setiap tahun Rp 434.662.571,- dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1995. <br />3. Sehubungan dengan adanya pemberian perlakuan khusus terhadap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana dan Rumah Sederhana, Saudara mohon agar atas penerimaan sewa Rumah Sewa Bertingkat dapat diberikan pembebasan/pengurangan tarif PPh Pasal 23 final. <br />4. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan antara lain diatur bahwa, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan sebesar 6% (enam) persen dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final. <br />5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan bahwa : <br />a. Penerapan tarif final secara umum atas sewa sudah mempertimbangkan segala biaya yang dikeluarkan oleh penyewa yang bertujuan untuk kemudahan dan penyederhanaan prosedur. Perlakuan khusus terhadap Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, dan Rumah Susun Sederhana diberikan terhadap transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan saja. <br />b. Dengan demikian permohonan Saudara untuk mendapatkan pembebasan/penurunan tarif PPh Pasal 23 atas sewa Rumah Sewa bertingkat tidak dapat dikabulkan. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />Pjs. DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. MOCH. SOEBAKIR <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-211/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 8 Nopember 1996<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 303A/PT02.H2/U/1996 tanggal 8 Oktober 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara dikemukakan hal-hal sebagai berikut : <br />• Pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan di Universitas Indonesia sebagian dananya dialokasikan pada DIP proyek Universitas Indonesia.<br />• Dalam pelaksanaan pekerjaan Non Fisik penyelenggaraan pendidikan tersebut, Pimpinan Proyek Universitas Indonesia mengadakan kerjasama kontraktual dengan Program/Fakultas seperti : <br />a. Penyelenggaraan Pendidikan S2 dan S3 Program Pascasarjana; <br />b. Penyelenggaraan Pendidikan SP1 IK Fakultas Kedokteran; <br />c. Penyelenggaraan Pendidikan SP1 IKG Fakultas Kedokteran Gigi; <br />d. Penyelenggaraan Pendidikan Ahli Perundang-undangan Fakultas Hukum; <br />e. Penyelenggaraan Pengenalan Program Studi/Penataran P4 Mahasiswa.<br />• Sehubungan dengan uraian di atas, Saudara mohon penegasan mengenai PPh Pasal 23 atas pembayaran yang diterima dari Pimpinan Proyek Universitas Indonesia sehubungan dengan pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan tersebut.<br />2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, disebutkan bahwa Subyek Pajak badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun dan bentuk badan usaha lainnya.<br />Pengertian lembaga dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang tersebut di atas, tidak termasuk lembaga struktural resmi pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD. <br />3. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-28/PJ.4/1996 tanggal 15 Juli 1996 ditegaskan bahwa suatu badan atau lembaga termasuk lembaga struktural resmi pemerintah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : <br />a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan lain-lain; <br />b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; <br />c. Pembukuan keuangannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah yaitu Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); <br />d. Penghasilan lembaga tersebut dimasukkan dalam penerimaan pemerintah pusat atau daerah.<br />4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : <br /> . Dalam hal Program/Fakultas-fakultas di lingkungan Universitas Indonesia memenuhi syarat sebagaimana tersebut pada butir 3 di atas, maka atas imbalan yang diterima atau diperoleh oleh Program/Fakultas-fakultas tersebut tidak terutang PPh Pasal 23.<br />Selanjutnya kepada Program/Fakultas-fakultas dimaksud dapat mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 ke Kantor Pelayanan Pajak setempat. <br />a. Bendaharawan Program/Fakultas-fakultas di lingkungan Universitas Indonesia sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas, wajib memotong/memungut PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23 atas pembayaran-pembayaran yang dilakukan kepada para dosen/pengajar atau kepada pihak ketiga berdasarkan ketentuan yang berlaku.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />Pjs. DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. MOCH. SOEBAKIR<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-213/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 8 Nopember 1996<br />PENGENAAN PPh PASAL 23 TERHADAP JASA PEMBUATAN KUITANSI<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : TEL.59/KU320/KUG-34/96 tanggal 11 September 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara dikemukakan bahwa : <br />a. PT Telkom mendapat kepercayaan sebagai penyelenggara jasa telepon selular dari PT Komselindo dengan membuat kuitansi tagihan kepada para pelanggan.<br />b. Atas jasa pembuatan kuitansi tersebut Saudara mohon penegasan apakah jasa pembuatan kuitansi merupakan objek PPh Pasal 23.<br />2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, diatur bahwa atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. <br />3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996, disebutkan bahwa jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah : <br />a. Jasa perancang bangunan, jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;<br />b. Jasa pemborong bangunan;<br />c. Jasa akuntansi dan pembukuan;<br />d. Jasa penebangan hutan;<br />e. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan;<br />f. Jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas;<br />g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;<br />h. Jasa selain yang tersebut pada huruf a sampai dengan huruf g yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.<br />4. Mengingat bahwa jasa pembuatan kuitansi yang dilakukan oleh PT Telkom tidak termasuk dalam pengertian jasa lain yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 seperti tersebut pada angka 3 di atas, maka atas imbalan yang diterima atau diperoleh oleh PT Telkom sehubungan dengan jasa pembuatan kuitansi tersebut tidak terutang PPh Pasal 23, dan karenanya tidak perlu dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Komselindo.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />Pjs. DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. MOCH. SOEBAKIR<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-199/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 18 Oktober 1996<br />PPh ATAS KOMISI PENJUALAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............................ tanggal 27 Juni 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Dalam surat Saudara antara lain disebutkan bahwa : <br />o PT City Island Utama adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembangunan apartemen/kondominium yang akan dijual dengan sistem strata title.<br />o Dalam melakukan pemasaran, PT City Island Utama menggunakan jasa pemasaran dari PT "Y" sebagai agen pemasaran utama, serta perusahaan lain dan perseorangan lainnya.<br />o Atas jasa penjualan ini, PT "Y" akan menerima komisi penjualan sebesar 5% dari setiap unit yang dijual langsung oleh PT "Y" dan 1% dari setiap unit yang dijual oleh perusahaan lain atau perseorangan lainnya.<br />o Perusahaan lain ataupun perseorangan yang melakukan penjualan tersebut akan mendapat komisi penjualan sebesar 4% dari setiap unit yang dijual.<br />Berdasarkan keterangan di atas, Saudara menanyakan : <br />e. Apakah atas komisi penjualan yang dibayarkan oleh PT City Island Utama kepada PT "Y", perusahaan lainnya dan perseorangan wajib dipotong PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 ?<br />f. Seandainya dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 apakah ada kewajiban pemotongan/pemungutan dan pasal lainnya yang dapat diterapkan untuk kasus di atas ?<br />2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996, ditegaskan bahwa jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : <br />a. jasa perancang bangunan, jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;<br />b. jasa pemborong bangunan;<br />c. jasa akuntansi dan pembukuan;<br />d. jasa penebangan hutan;<br />e. jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan;<br />f. jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas;<br />g. jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;<br />h. jasa selain yang tersebut pada huruf a sampai dengan huruf g yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.<br />4. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 6 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-02/PJ/1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi disebutkan bahwa honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh pemberi jasa dalam bidang pemasaran, dipotong PPh Pasal 21.<br />3. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut : <br />d. Jasa pemasaran yang diberikan oleh PT "Y" kepada PT City Island Utama tidak termasuk dalam pengertian jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 jo. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996. Dengan demikian, atas komisi penjualan yang dibayarkan oleh PT City Island Utama kepada PT "Y" tidak dipotong PPh Pasal 23.<br />e. Demikian pula jasa pemasaran yang diberikan oleh perusahaan lain sebagai Wajib Pajak badan, tidak termasuk objek PPh Pasal 23. Oleh karenanya, atas komisi penjualan yang dibayarkan oleh PT City Island Utama kepada perusahaan lain tersebut tidak dipotong PPh Pasal 23.<br />f. Meskipun atas komisi penjualan yang diterima atau diperoleh PT "Y" dan perusahaan lain sebagai Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b di atas tidak dipotong PPh Pasal 23, tidak berarti bahwa penghasilan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPh. Oleh karena itu, penghasilan tersebut harus digunggungkan dengan penghasilan lainnya dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh perusahaan yang bersangkutan.<br />g. Adapun atas komisi penjualan yang dibayarkan oleh PT City Island Utama kepada Wajib Pajak orang pribadi, dipotong PPh Pasal 21.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-170/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 10 September 1996 <br />PPh PASAL 23, 26 & PPN ATAS PEMBAYARAN KOMISI PENJUALAN KEPADA WP DALAM NEGERI & KOMISI PENJUALAN KEPADA WP LUAR NEGERI<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ............... tanggal 23 Agustus 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Perusahaan Saudara melakukan transaksi pembayaran atas komisi penjualan baik kepada Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar negeri dalam rangka penjualan export dan penjualan lokal. <br />2. Atas pembayaran komisi penjualan tersebut, Saudara mohon penegasan perlakuan PPh Pasal 23, PPh pasal 26 maupun PPN-nya. <br />3. PAJAK PENGHASILAN <br /> 3.1. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun1994, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dana dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas. <br /> 3.2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun1994, diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan yang dibayarkan atau terutang oleh Subjek Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. <br /> 3.3. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 6 jo. Pasal 11 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-02/PJ/1995, antara lain disebutkan bahwa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah komisi dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lain yang dilakukan oleh pemberi jasa dalam bidang pemasaran.<br />Atas penghasilan bruto berupa komisi yang diterima atau diperoleh tersebut dipotong PPh Pasal 21 sesuai dengan tarif umum berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. <br /><br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br /> a. Pembayaran atas komisi penjualan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri merupakan obyek PPh Pasal 21, oleh karena itu PT Sulindafin wajib memotong PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan tersebut berdasarkan tarif umum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. <br /><br /> b. Pembayaran atas komisi penjualan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri, bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23. Dengan demikian, atas pembayaran komisi tersebut tidak perlu dilakukan pemotongan pajak. <br /> c. Sedangkan terhadap pembayaran atas komisi penjualan kepada Wajib Pajak luar negeri, baik badan maupun orang pribadi merupakan obyek PPh Pasal 26. Oleh karena itu, PT Sulindafin wajib memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran komisi tersebut sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. Dalam hal Subyek Pajak luar negeri tersebut penduduk dari negara yang mempunyai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) dengan Indonesia, maka besarnya tarif PPh Pasal 26 adalah sesuai dengan yang ditentukan dalam tax treaty tersebut. <br />5. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI <br /> 5.1. Usaha PT Sulindafin transaksinya meliputi dalam negeri dan luar negeri sehingga sering terjadi pembayaran komisi terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri. Atas pembayaran komisi tersebut PT Sulindafin mohon penjelasan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan berapa tarif Pajak Pertambahan Nilainya. <br /> 5.2. Sesuai dengan Pasal 4 huruf c dan huruf e Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, yang menyatakan bahwa penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar negeri di dalam Daerah Pabean merupakan obyek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. <br /> 5.3. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.52/1996tanggal 29 Maret 1996 angka 2.1 huruf a dan huruf f, jasa perdagangan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dalam hal : <br /> - Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean. <br /> - Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean. <br /> 5.4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka atas permasalahan tersebut dapat diberikan penegasan sebagai berikut : <br /> a. Komisi perdagangan yang dibayar oleh PT Sulindafin kepada pengusaha jasa perdagangan di dalam negeri terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% karena pengusaha jasa perdagangan dan pengusaha penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean. <br /> b. Komisi perdagangan yang dibayar oleh PT Sulindafin kepada pengusaha jasa perdagangan di luar negeri terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% karena pembeli barang dan pengusaha jasa berada di luar Daerah Pabean dan penjual sebagai penerima jasa berada di dalam Daerah Pabean. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />PGS. DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. MOCH. SOEBAKIR<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-169/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 10 September 1996<br />PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : RMI/DJP/9608-239 tanggal 15 Agustus 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Dalam surat Saudara, dikemukakan hal-hal sebagai berikut : <br />a. PT Mutiara Biru Perkasa (PT MBP) adalah perusahaan PMDN yang bergerak dibidang pengeboran minyak dan gas bumi (drilling contractor), mendapat kontrak untuk melakukan pengeboran minyak dan gas bumi dari perusahaan minyak "JOB Pertamina - Talisman" di lapangan Tanjung, Kalimantan, selama kurang lebih 2 tahun yang berakhir pada bulan Mei 1996. <br />b. Selama masa kontrak berlangsung pihak Pertamina tidak memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 sehubungan adanya surat Dirjen Pajak Nomor : S-12/PJ.531/1984 tanggal 7 April 1984, dan pembayaran terakhir yang seharusnya direalisasi oleh pihak Pertamina pada bulan Juni 1996 ditahan dengan alasan adanya instruksi BPKP untuk memotong PPh Pasal 23 sebesar 6% terhitung mulai awal kontrak. <br />c. Berkenaan dengan hal tersebut, Saudara mohon penegasan : <br />• apakah surat Dirjen Pajak No. S-12/PJ.531/1984 tanggal 7 April 1984 masih berlaku sampai tanggal 5 Agustus 1996; <br />• apabila harus dipotong PPh Pasal 23, sebesar beberapa persen, dan apakah berlaku surut terhitung sejak awal kontrak; <br />• apabila pembayaran imbalan jasa tersebut dilaksanakan setelah tanggal 5 Agustus 1996 apakah dikenakan Peraturan PPh Pasal 23 yang baru. <br />2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 antara lain diatur bahwa imbalan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, yang merupakan obyek Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia. Dalam Surat Dirjen Pajak Nomor : SE-21/PJ.31/1991 tanggal 31 Desember 1991 antara lain ditegaskan bahwa apabila kontraktor drilling hanya semata-mata melakukan jasa pengeboran, maka atas imbalan yang dibayarkan tidak perlu dipotong oleh pihak Pertamina maupun Kontraktor Kontrak Bagi Hasil/Kontrak Karya karena jasa tersebut bukan merupakan obyek PPh Pasal 23. <br />3. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, diatur bahwa atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15 % dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. <br />4. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf f jo Pasal 2 huruf h Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996, disebutkan bahwa jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah jasa pengeboran dan jasa penunjang dibidang penambangan migas, dengan perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan pajak adalah sebesar 30% dari jumlah bruto. <br />5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />a. Mengingat bahwa sampai berlakunya Keputusan Dirjen Pajak Nomor :<br />KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996, jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas bukan merupakan obyek PPh Pasal 23, maka atas imbalan sehubungan dengan jasa tersebut yang diterima atau diperoleh oleh PT MBP sebelum tanggal 5 Agustus 1996 tidak terutang PPh Pasal 23. Oleh karenanya pihak Pertamina tidak perlu memotong PPh Pasal 23. Dengan demikian, surat Dirjen Pajak Nomor : S-12/PJ.531/1984 tanggal 7 April 1984 hanya berlaku sampai tanggal 5 Agustus 1996. <br />b. Sedangkan atas imbalan sehubungan dengan jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas yang diterima atau diperoleh oleh PT MBP sejak berlakunya Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-59/PJ/1996 tanggal 5 Agustus 1996 merupakan objek PPh Pasal 23, sehingga Pertamina wajib memotong imbalan yang dibayarkan tersebut sebesar 15% x 30% (4,5%) dari jumlah bruto. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />Pgs. DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. MOCH. SOEBAKIR <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-109/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 29 Agustus 1996 <br />PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 329/DS/IKPT/VII/96 tanggal 16 Juli 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Dalam surat Saudara disebutkan bahwa PT Inti Karya Persada Tehnik melakukan kontrak dengan Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) untuk melaksanakan pelatihan berupa Program Pengembangan Manajer yang terdiri dari Tim Leadership, Tim Communication dan Tim Motivation. Berkaitan dengan hal tersebut, ditanyakan hal-hal sebagai berikut : <br />a. Apakah jasa pelatihan merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atau tidak; <br />b. Apabila jasa pelatihan merupakan objek PPh Pasal 23, termasuk dalam kelompok jasa yang mana dan apa dasar hukumnya. <br />2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belaspersen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-76/PJ/1995 antara lain diatur bahwa besarnya perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa tehnik ditentukan sebesar penghasilan neto atas imbalan jasa teknik ditentukan sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto. <br />4. Dalam hal lembaga pendidikan tersebut bersifat umum dan penyelenggaraan pelatihan dilakukan di tempat yang disediakan oleh lembaga pendidikan dengan materi/program/kurikulum yang ditentukan oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan, maka atas imbalan jasa pelatihan tersebut, tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23. Namun, apabila penyelenggaraan pelatihan dilakukan untuk peserta tertentu (tidak bersifat umum) dan dengan materi/program sesuai dengan pengguna jasa, maka jasa pelatihan termasuk dalam pengertian jasa teknik sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984. <br />5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jasa pelatihan berupa Program Pengembangan Manajer yang terdiri dari Tim Leadership, Tim Communication dan Tim Motivation yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia termasuk dalam pengertian jasa teknik. Oleh karena itu, jasa pelatihan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23.<br />Dengan demikian, atas imbalan yang diterima atau diperoleh oleh Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia terutang PPh Pasal 23 dan karenanya harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% x jumlah bruto. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd <br />Drs. ABRONI NASUTION <br /><br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-159/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 29 Agustus 1996<br />PAJAK PENGHASILAN PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 16 Juli 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara disebutkan bahwa PT XYZ Tehnik melakukan kontrak dengan Yayasan Pendidikan ABC untuk melaksanakan pelatihan berupa Program Pengembangan Manajer yang terdiri dari Tim Leadership, Tim Communication dan Tim Motivation. Berkaitan dengan hal tersebut, ditanyakan hal-hal sebagai berikut : <br />a. Apakah jasa pelatihan merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atau tidak; <br />b. Apabila jasa pelatihan merupakan objek PPh Pasal 23, termasuk dalam kelompok jasa yang mana dan apa dasar hukumnya.<br />2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-76/PJ/1995 antara lain diatur bahwa besarnya perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa tehnik ditentukan sebesar penghasilan neto atas imbalan jasa teknik ditentukan sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto. <br />4. Dalam hal lembaga pendidikan tersebut bersifat umum dan penyelenggaraan pelatihan dilakukan di tempat yang disediakan oleh lembaga pendidikan dengan materi/program/kurikulum yang ditentukan oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan, maka atas imbalan jasa pelatihan tersebut, tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23. Namun, apabila penyelenggaraan pelatihan dilakukan untuk peserta tertentu (tidak bersifat umum) dan dengan materi/program sesuai dengan pengguna jasa, maka jasa pelatihan termasuk dalam pengertian jasa teknik sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984. <br />5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jasa pelatihan berupa Program Pengembangan Manajer yang terdiri dari Tim Leadership, Tim Communication dan Tim Motivation yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia termasuk dalam pengertian jasa teknik. Oleh karena itu, jasa pelatihan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23. Dengan demikian, atas imbalan yang diterima atau diperoleh oleh Yayasan Pendidikan ABC terutang PPh Pasal 23 dan karenanya harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% x jumlah bruto.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN, <br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br /><br /><br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK<br />KEP-59/PJ/1996<br />Ditetapkan tanggal 5 Agustus 1996<br />JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br /> b. bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 telah diatur Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;<br /> c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan kembali jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan, dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);<br /> 2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3636);<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENG-HASILAN BERDASARKAN PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENG-HASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN.<br />Pasal 1<br />(1) Jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah : <br />a. Jasa perancang bangunan, jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; <br />b. Jasa pemborong bangunan; <br />c. Jasa akuntansi dan pembukuan; <br />d. Jasa penebangan hutan; <br />e. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan; <br />f. Jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas; <br />g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; <br />h. Jasa selain yang tersebut pada huruf a sampai dengan huruf g yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, selain yang telah dipotong PPh pasal 21. <br />(2) Yang dimaksud dengan jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah semua jasa di bidang penambangan migas dan panas bumi selain jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, jasa perancang bangunan, dan jasa pemborong bangunan, yaitu : <br />a. jasa pengeboran ( jasa driling) : <br />b. penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan secara tepat dari bubur semen antara pipa selubung dan lubang sumur ; <br />c. penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud :<br />• penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong,<br />• penyumbatan kembali zona yang berproduksi air,<br />• perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal,<br />• penutupan sumur; <br />d. Pengontrol pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi kedalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa; <br />e. Pengasaman (matrik aciding), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikkan produktifitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan ; <br />f. Peretakan hidrolika (hidrolic fraturing) , yaitu pekerjaan yang dilakukan untuk dipergunakan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, sebagai contoh perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil; <br />g. nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen & coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga sumur itu akan mengalir sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian akan menjadi besar dari gas nitrogen yang telah dipompakan kedalam cairan buatan dalam sumur ; <br />h. uji kandung lapisan (drill stem testing) penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan produksi <br />i. pekerjaan reparasi pompa reda (reda repair) ; <br />j. jasa pemasangan instalasi dan perawatan ; <br />k. jasa penggantian peralatan/materi <br />l. Jasa Mud loging, pemasukan lumpur dalam sumur ;al ; <br />m. Jasa Mud Engineering ; <br />n. Jasa Well Logging & Perforating ; <br />o. Jasa Stimulasi dan Secondary Decovery ; <br />p. Jasa Well testing & Wire Line Service ; <br />q. Jasa alat kontrolnavigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling ; <br />r. Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling ; <br />s. Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan Drilling ; <br />t. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas. <br />(3) Yang dimaksud dengan jasa penambangan dan jasa penunjang dibidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum selain jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, jasa perancang bangunan, dan jasa pemborong bangunan, yaitu : <br />a. Jasa pengeboran ; <br />b. Jasa penebasan ; <br />c. Jasa pengupasan dan pembongkaran lapisan tertutup ; <br />d. Jasa penambangan ; <br />e. Jasa pengangkutan/sistem transportasi kecuali jasa angkutan umum ; <br />f. Jasa pengolahan bahan galian : <br />g. Jasa reklamasi tambang ; <br />h. Jasa pelaksana mekanikal, elektrikal, penggalian, pemindahan tanah, manufaktur dan fabrikasi ; <br />i. Jasa lainnya yang sejenis dibidang pertambangan umum. <br />Pasal 2<br />Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, adalah sebagai berikut :<br />a) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 40% ;<br />b) Imbalan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan 40% ;<br />c) Imbalan jasa perancang bangunan, jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan 40% ;<br />d) Imbalan jasa akuntansi dan pembukuan 40% ;<br />e) Imbalan jasa penebangan hutan 40% ;<br />f) Imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan 10% ;<br />g) Imbalan jasa konstruksi atau jasa pemborong bangunan 10% ;<br />h) Imbalan jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas 30% ;<br /> i) Imbalan jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas 30% ;<br />j) Imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf h 10%.<br />Pasal 3<br />Dengan berlakunya keputusan ini maka keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995 sebagaimana telah diubah dengan KEP-76/PJ/1995 tanggal 2 Oktober 1995 dinyatakan tidak berlaku.<br />Pasal 4<br />Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di : Jakarta<br />pada tanggal : 5 Agustus 1996<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK <br />S-126/PJ.313/1996<br />Ditetapkan tanggal 25 Juli 1996<br />PPh PASAL 23 ATAS KOMISI AGEN <br />Sehubungan dengan surat saudara Ref. No. : 019/F/95 tanggal 19 Juni 1996 perihal PPh Pasal 23 Atas Komisi Agen, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Dalam surat saudara disebutkan bahwa perusahaan saudara melakukan penjualan melalui distributor (sebuah PT). Atas penjualan yang dilakukan distributor tersebut, perusahaan saudara memberikan komisi 3% dari harga jual dan memotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.<br />Tetapi distributor tersebut menolak pemotongan PPh Pasal 23.Untuk itu saudara mohon penjelasan apakah atas komisi tersebut dipotong PPh Pasal 23. <br />2. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 menyebutkan : <br />(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan : <br /> a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : <br /> 1) dividen; <br /> 2) bunga; termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; <br /> 3) royalti; <br /> 4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; <br /> b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; <br /> c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas : <br /> 1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; <br /> 2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. <br />3. Berdasarkan ketentuan di atas, dengan ini ditegaskan bahwa komisi penjualan yang dibayarkan kepada distributor tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23, sehingga tidak dipotong PPh 23. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd <br />Drs. ABRONI NASUTION <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-127/PJ.311/1996 <br />Ditetapkan tanggal 25 Juli 1996 <br />PENJELASAN MENGENAI PPN DAN PPh ATAS PEMBAYARAN BIAYA DIKLAT OLEH BENDAHARAWAN DEPARTEMEN TENAGA KERJA <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ....................tanggal 11 Juni 1996 perihal Penjelasan mengenai PPN dan PPh yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Setiabudi, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Dalam surat Saudara disebutkan bahwa : <br />- Pihak Departemen Tenaga Kerja bekerjasama dengan pihak Trade And Management Development Institut (TMDI) untuk melaksanakan Pendidikan dan Latihan Manajemen bagi pimpinan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia, dengan sebagian biaya dibebankan pihak Departemen Tenaga Kerja. <br />- Setelah kegiatan tersebut selesai, Departemen Tenaga Kerja memungut PPN sebesar 10% dan PPh Pasal 22 sebesar 1,5%. Pihak Trade And Management Development keberatan atas pemungutan tersebut karena berdasarkan Pasal 9 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, pelatihan bagi tenaga kerja tidak dikenakan PPN. <br /><br />- Sehubungan dengan hal itu, Direktur Jasa Tenaga Kerja Luar Negeri mohon penjelasan mengenai masalah di atas.<br />2. PAJAK PENGHASILAN <br />Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-76/PJ/1995 menentukan bahwa jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah : <br />1. Jasa perancang bangunan, jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; <br />2. Jasa pemborong bangunan; <br />3. Jasa akuntansi dan pembukuan; <br />4. Jasa penebangan hutan; <br />5. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan; <br />6. Jasa selain yang tersebut pada butir 1 sampai dengan butir 5 yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. <br />Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka atas imbalan yang dibayarkan oleh Bendaharawan Departemen Tenaga Kerja kepada TRADE AND MANAGEMENT DEVELOPMENT INSTITUT tersebut termasuk imbalan jasa pada butir 6. Oleh karena itu pembayaran atas imbalan tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 1,5% (satu setengah persen). <br />3. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI <br />3.1. Berdasarkan Pasal 4A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 jo Pasal 9 angka 6 dan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 beserta penjelasannya, jasa pendidikan yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa di bidang pendidikan yang meliputi : <br />a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. <br />b. Jasa pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus.<br />3.2. Berdasarkan uraian di atas, maka jasa penyelenggaraan pendidikan dan latihan manajemen bagi pimpinan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang dilaksanakan oleh pihak Depnaker dengan pihak Trade and Management Development Institute, termasuk pengertian jasa pendidikan yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, oleh karena itu atas penyerahannya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. <br />Dengan demikian, pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Depnaker kepada pihak Trade and Management Development Institute atas Penyelenggaraan pendidikan dan latihan manajemen tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. <br />3.3. Dalam hal jumlah harga yang tercantum dalam kontrak telah termasuk Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terlanjur dibayarkan bersama harga kontrak tersebut harus dikembalikan. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN, <br />ttd <br />Drs. ABRONI NASUTION <br /><br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-89/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 15 Mei 1996<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23 OLEH PT XYZ ATAS PEMBAYARAN KEPADA PTABC<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 26 Maret 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara dikemukakan bahwa PT ABC membuat perjanjian dengan PT XYZ untuk melakukan pekerjaan yang meliputi Engineering Services, Construction Supervision, dan pengadaan equipment/material (Equipment Supply) dengan nilai kontrak seluruhnya sebesar US $ 5,451,407,00 (Lump Sum Contract). Pekerjaan yang menjadi tanggung jawab PT ABC adalah sampai dengan Mechanical Completion of The Plant.<br />Saudara mohon penegasan, berapa besar (%) PPh Pasal 23 yang harus dikenakan pada PT ABC. <br />2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-76/PJ/1995 antara lain diatur bahwa besarnya perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa konstruksi atau jasa pemborong bangunan ditentukan sebesar 10 % (sepuluh persen) dari jumlah bruto. <br />4. Mengingat bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh PT ABC merupakan satu paket pekerjaan yang meliputi Engineering Services, Construction Supervision, dan Equipment/Material Supply serta Mechanical Completion of The Plant, maka jasa yang dilakukan oleh PT ABC termasuk dalam pengertian jasa pemborong. Oleh karena itu, atas imbalan yang diterima atau diperoleh oleh PT ABC terutang PPh Pasal 23 sebesar 15% x 10% x jumlah bruto.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN, <br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK <br />S-87/PJ.33/1996<br />Ditetapkan tanggal 13 Mei 1996 <br />PERMOHONAN PEMBEBASAN PPh PASAL 23 <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : ...................... tanggal 29 April 1996, Saudara mengajukan permohonan agar perusahaan Saudara mendapat fasilitas pembebasan PPh Pasal 23, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Pemotongan PPh Pasal 23 dikenakan terhadap pembayaran-pembayaran yang tertera dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan pembayaran-pembayaran jenis jasa yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-76/PJ/1995 tanggal 2 Oktober 1995. <br />2. Pemotongan tersebut sifatnya adalah pembayaran dimuka yang dapat diperhitungkan dengan PPh terutang dalam SPT Tahunnan PPh tahun yang bersangkutan. <br />3. Pembebasan terhadap pemotongan PPh Pasal 23 hanya dapat diberikan apabila perusahaan Saudara memenuhi ketentuan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995 yang pelaksanaannya oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Setempat. <br />Demikian penjelasan untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN <br />ttd <br />ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-78/PJ.311/1996<br />Ditetapkan tanggal 19 April 1996<br />PEMBEBASAN PPh PASAL 23 ATAS PENGHASILAN YANG DIPEROLEH PERUSAHAAN ANJAK PIUTANG<br />Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 13 Nopember 1995 perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara, Saudara mengemukakan hal-hal sebagai berikut : <br />a. Asosiasi Factoring Indonesia adalah asosiasi dari perusahaan anjak piutang di Indonesia.<br />Gambaran mengenai bidang usaha perusahaan anjak piutang adalah, perusahaan anjak piutang membeli piutang perusahaan lain yang masih belum jatuh tempo dan dengan memberikan pembayaran secara tunai kepada perusahaan lain tersebut.<br />Perusahaan anjak piutang dalam pembelian piutang akan mengenakan discount, provisi dan service charge kepada perusahaan lain tersebut. Dengan demikian, perusahaan anjak piutang menerima penghasilan berupa service charge, provisi dan discount. <br />b. Penghasilan berupa discount, provisi dan service charge tersebut apabila dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, maka hasil pemotongan tersebut adalah sekitar 12 kali lebih besar dari PPh terutang. Pemungutan PPh Pasal 23 yang jauh lebih besar dari Pajak Penghasilan terutang tersebut sebenarnya tidak sesuai lagi dengan tujuan pengenaan PPh Pasal 23, yaitu menyelaraskan pembayaran dimuka dengan pajak yang terutang. <br />c. Meskipun Perusahaan Anjak Piutang dapat mengajukan restitusi atas kelebihan pembayaran pajak tersebut, namun proses restitusinya memerlukan waktu 1 tahun. Akibatnya Perusahaan Anjak Piutang akan mengalami masalah "cash flow" yang berakibat perusahaan tidak fleksibel karena beban "cost of fund" yang besar. <br />d. Terhadap penghasilan pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) dibebaskan dari pengenaan pemotongan PPh Pasal 23. <br />e. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Saudara mengajukan permohonan pembebasan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan Perusahaan Anjak Piutang tersebut.<br />2. Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a jo. Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, bunga termasuk discount adalah objek pemotongan PPh Pasal 23 dan dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.<br />Sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, atas penghasilan yang diterima oleh bank tidak dipotong PPh Pasal 23.<br />3. Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 dan Pasal 2 huruf d Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989, kegiatan anjak piutang dapat dilakukan oleh Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, atau Perusahaan Pembiayaan.<br />Kegiatan usaha anjak piutang adalah suatu kegiatan usaha yang lazim dilakukan dalam usaha bidang perbankan, yang penghasilannya terdiri dari discount, provisi dan service charge.<br />Dengan demikian apabila terhadap penghasilan perusahaan anjak piutang yang bukan bank misalnya lembaga pembiayaan bukan bank dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, sedangkan yang dilakukan oleh bank tidak dikenakan PPh Pasal 23, padahal kedua perusahaan tersebut sebagian modalnya juga berupa modal pinjaman, maka akan timbul perlakuan yang tidak sama dan mengakibatkan persaingan yang tidak sehat antara usaha anjak piutang yang dilakukan oleh bank dan bukan bank.<br />Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut dan karena adanya kemiripan kegiatan usahanya, maka penghasilan perusahaan anjak piutang bukan bank dapat perlakuan perpajakan yang sama dengan kegiatan anjak piutang yang dilakukan oleh perusahaan bank, yaitu penghasilan berupa discount, provisi dan service charge tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23.<br />4. <br />5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penghasilan dari perusahaan anjak piutang yang dilakukan oleh baik perusahaan bank, lembaga keuangan bukan bank maupun perusahaan pembiayaan, penghasilan yang diterima atau diperoleh berupa discount, sevice charge dan provisi tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 oleh perusahaan yang membayarkannya.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-22/PJ.312/1996<br />Ditetapkan tanggal 6 Maret 1996<br />PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PEMBERIAN KUPON BELANJA TERHADAP PENERIMA BUNGA TABUNGAN TERTENTU DARI BANK SURYA<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : ........................tanggal 19 Desember 1995perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara disebutkan bahwa Bank Surya memberikan bonus berupa "Kupon Belanja Golden Truly" senilai Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) kepada nasabahnya yang memperoleh bunga minimal Rp 90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah) setiap bulan atau kelipatannya. Ditanyakan apakah atas pemberian kupon tersebut terutang PPh Pasal 25 dengan tarif 20% atau PPh Pasal 23 dengan tarif 15%. <br />2. Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh Subjek Pajak badan dalam negeri kepada Wajib Pajak dalam negeri, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto. <br />3. Sesuai dengan Pasal 1 huruf c Keputusan Menteri Keuangan No. 600/KMK.04/1995 tanggal 14 Desember 1995, yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah hadiah dan penghargaan perlombaan. <br />4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberian bonus berupa "Kupon Belanja Golden Truly" oleh Bank Surya kepada nasabahnya adalah merupakan hadiah yang diberikan tidak melalui cara undian dan oleh karena itu, atas kupon tersebut terutang PPh Pasal 23.<br />Dengan demikian, Bank Surya selaku pihak yang memberikan hadiah berupa kupon belanja kepada nasabahnya wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto.<br />Perlu dijelaskan bahwa dalam hal hadiah berupa kupon belanja tersebut diberikan melalui cara undian, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1 jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian pihak Bank Surya wajib memotong atau memungut PPh yang bersifat final, sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto nilai hadiah undian.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-40/PJ.313/1996<br />Ditetapkan tanggal 5 Maret 1996<br />PENJELASAN MASALAH PPh PASAL 23 DAN PPN ATAS JASA BINATU<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .................... tanggal 25 Oktober 1995 perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />Dalam surat Saudara disebutkan bahwa saudara bermaksud mendirikan perusahaan jasa binatu yang sebagian besar jasanya ditujukan kepada hotel-hotel, restoran dan sebagian lagi kepada pemakai akhir. Sehubungan dengan hal tersebut Saudara menanyakan :<br />a. Apakah atas terhutang atau dilakukan pembayaran terhadap tagihan jasa binatu terkena pemotongan PPh Pasal 23 ?<br />(Menunjuk Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-76/PJ/1995, tanggal 2 Oktober 1995);<br />b. Apakah jasa tersebut termasuk jasa kena pajak ?<br /> I. Pajak Penghasilan<br /> Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 sebagaimana diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-76/PJ/1995 menyatakan :<br />"Jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun1994 adalah :<br /> 1. Jasa perancang bangunan, jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;<br /> 2. Jasa pemborong bangunan;<br /> 3. Jasa akuntansi dan pembukuan;<br /> 4. Jasa penebangan hutan;<br /> 5. Jasa pembasmian hama dan pembersihan;<br /> 6. Jasa selain yang tersebut pada butir 1 sampai dengan 5 yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,yang dilakukan oleh Wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha tetap, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21".<br /> Berdasarkan ketentuan di atas, dapat ditegaskan bahwa atas pembayaran tagihan jasa binatu tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 karena tidak termasuk dalam pengertian jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : 76/PJ/1995 tanggal 2 Oktober 1995.<br /> II. Pajak Pertambahan Nilai<br /> 1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha.<br /> 2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4A Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 jo. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, jasa binatu tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga jasa binatu adalah Jasa Kena Pajak dan atas penyerahan jasa binatu oleh perusahaan binatu kepada pihak manapun, termasuk kepada perusahaan perhotelan/restoran atau tamu hotel, terutang Pajak Pertambahan Nilai.<br /> 3. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka atas penyerahan jasa binatu oleh PT SENTANA MUKTIRANDRA kepada pihak manapun, termasuk kepada perusahaan perhotelan/restoran, terutang Pajak Pertambahan Nilai.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />SURAT DIRJEN <br />S-479/PJ.53/1996<br />Ditetapkan tanggal 19 Februari 1996<br />JASA TEHNIK DALAM PERFILMAN NASIONAL<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor .......................... SDM tanggal 25 Januari 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun1994, selama peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah tersebut belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tersebut, yang belum dicabut dan diganti, dinyatakan masih berlaku. <br />2. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dengan ini diberikan penegasan bahwa ketentuan yang dimaksud dalam surat kami kepada Saudara Nomor S-711/PJ.32/1989 tanggal 26 Mei 1989, dinyatakan masih berlaku.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />DIREKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI<br />DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG LAINNYA<br />ttd<br />SAROYO ATMOSUDARMO<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-27/PJ.33/1996<br />Ditetapkan tanggal 8 Januari 1996 <br />PENJELASAN SURAT S-182/PJ.31/1995 TANGGAL 7 NOPEMBER 1995 TENTANG PENEGASAN SKB PPh PASAL 23 <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........................ tanggal 5 Desember 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini dijelaskan sebagai berikut : <br />1. Sesuai dengan Ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 saat terutang PPh Pasal 23 adalah saat dibayarkan atau terutang oleh pemotong pajak.<br />Pengertian dibayarkan adalah apabila pengeluaran (sewa) itu telah dibayarkan tanpa memperhatikan apakah pengeluaran tersebut telah dibukukan sebagai biaya atau sebagai uang muka.<br />Pengertian terutang adalah apabila sewa itu bagi pemotong pajak sudah merupakan kewajiban atau utang walaupun belum dilakukan pembayaran, hal ini dijumpai pada pemotong pajak yang menggunakan pembukuan secara akrual. <br />2. SKB PPh Pasal 23 yang diterbitkan oleh Kepala KPP Jakarta Kebayoran baru kepada PT. Danareksa Jakarta International tanggal 14 Juli 1995 Nomor : 163/WPJ.04/KP.0805/SKB/Ps.23/95 antara lain menyebutkan : <br />a. Nilai sewa untuk masa Maret sampai dengan Agustus 1995 (6 bulan) adalah sebesar Rp. 2.196.981.468,-. <br />b. SKB ini berlaku mulai tanggal diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember 1995. <br />3. Berdasarkan uraian di atas maka : <br />a. SKB pemotongan PPh Pasal 23 tersebut penerbitannya telah memenuhi ketentuan yang berlaku dan tidak dapat berlaku surut dan berlaku mulai tanggal 14 Juli 1995 sampai dengan 31 Desember 1995. <br />b. Apabila PT. Bursa Efek Jakarta sebagai pemotong pajak PPh Pasal 23 dalam masa pajak Maret sampai dengan Juni 1995 telah membukukan sewa sebagai biaya masukan yang terutang harus dipotong PPh Pasal 23 oleh PT. Bursa Efek Jakarta, karena PT. Dana-Reksa Jakarta International pada bulan-bulan tersebut belum memiliki SKB PPh Pasal 23. <br />Oleh karena itu diminta agar Saudara segera melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 bagian bulan Maret sampai dengan Juni 1995 dan atas keterlambatan penyetoran dan laporan akan dikenakan sanksi perpajakan yang berlaku. <br />Demikian penjelasan untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />ABRONI NASUTION <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-179/PJ.33/1995<br />Ditetapkan tanggal 7 Nopember 1995<br />SAAT BERLAKUNYA SE-08/PJ.313/1995<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : GARUDA/UZ-2103/95 tanggal 5 Oktober 1995, perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini dijelaskan sebagai berikut : <br />1. Saat berlakunya SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 adalah tanggal dikeluarkannya Surat Edaran tersebut, yaitu tanggal 10 Juli 1995. <br />2. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 bahwa pemotongan PPh Pasal 23 adalah saat pembayaran atau terutangnya sewa, oleh karena itu walaupun perjanjian sewa dibuat sebelum tanggal 10 Juli 1995 apabila pembayaran sewa dilakukan setelah tanggal 10 Juli 1995 maka atas sewa yang dibayar atau terutang wajib dipotong PPh Pasal 23. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />ABRONI NASUTION <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-169/PJ.33/1995<br />Ditetapkan tanggal 6 Nopember 1995 <br />PERMOHONAN PEMBEBASAN PPh PASAL 23 <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ...................tanggal 28 Agustus 1995 perihal tersebut diatas, dengan ini kami jelaskan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Subjek Pajak badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan Komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun dan bentuk badan usaha lainnya. <br />2. Departemen Pertahanan Keamanan merupakan instansi pemerintah yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak Penghasilan sesuai dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. <br />3. Sehubungan dengan Surat Perjanjian Kerja (SPK) Nomor : 28.03/IML/SPK/XI/1994 tanggal 28 Nopember 1994 antara Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut Bakosurtanal dengan Ditjen Renumgar Dephankam tentang Pekerjaan Aplikasi Teknik Komputer dalam Praktek Perang Laut Dirgantara, maka perlakuan Pajak Penghasilannya sebagai berikut : <br />3.1. Departemen Pertahanan Keamanan dapat diberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak setempat atas pembayaran yang diterima atau diperoleh dari KPKN. <br />3.2. Bendaharawan Proyek Kerjasama Penelitian Hankam Kelautan wajib memotong/memungut pajak-pajak negara misalnya PPh Pasal 21 atas biaya penelitian yang dibayarkan kepada peneliti dan PPh Pasal 22, Pasal 23/Pasal 26 atas pembayaran-pembayaran yang dilakukan kepada para pegawai atau pihak ketiga. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-150/PJ.33/1995<br />Ditetapkan tanggal 4 Oktober 1995<br />PPh PASAL 23 ATAS DENDA KETERLAMBATAN PEMBAYARAN KONTRAK JUAL-BELI<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 5492/ST/95 tanggal 29 Agustus 1995 perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini kami jelaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a 2) dan Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, bahwa pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. <br />2. Di dalam surat Saudara, Saudara menyatakan bahwa PT X melakukan penjualan barang dan jasa secara kredit jangka pendek kepada langganan-langganannya. Apabila pembeli tidak melunasi kewajibannya pada waktunya, PT X mengenakan denda keterlambatan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan antara PT X dengan pembeli. Kesepakatan ini umumnya didokumentasikan pada kontrak jual beli atau dokumen Purchase Order atau kadang-kadang hanya tertera pada faktur penjualan yang diterbitkan oleh PT X. <br />3. Oleh karena denda keterlambatan pembayaran dikaitkan dengan perjanjian jual-beli suatu barang dan jasa, maka pembebanan denda oleh PT X kepada pelanggannya bukan merupakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 maupun Pasal 26 Undang-Undang PPh, dan bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 atau Pasal 26.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br /> <br />SURAT <br />S-238/PJ.102/1995<br />Ditetapkan tanggal 3 Oktober 1995<br />PELAKSANAAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23<br />Berkenaan dengan surat Saudara Nomor : IDS 295/0138/0360.DEM/P8995/vW tanggal 30 Juni 1995 perihal pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :<br />1. Berdasarkan Pasal 2 (a) Protokol dari Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia - Jerman, dalam hal suatu proyek kontruksi di Indonesia dilaksanakan oleh perusahaan yang berkedudukan di Jerman melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, maka yang dianggap sebagai penghasilan BUT tersebut adalah biaya kontruksinya saja. Dengan demikian harga barang yang dipasok untuk proyek tersebut tidak dimasukkan sebagai dasar pengenaan. <br />2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, atas imbalan jasa kontruksi yang dibayarkan atau terutang kepada BUT dipotong pajak sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto sebesar 10%. <br />3. Dari hal tersebut di atas, maka atas pembayaran yang diterima atau diperoleh Siemens AG dari PT. PLN sehubungan dengan kontrak No. 002/PT.PJP/922/1994/M tanggal 16 Agustus 1994, dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 1,5% (15% dari 10%) dari imbalan jasa kontruksinya saja.<br />Demikian untuk dimaklumi mestinya.<br />A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR HUBUNGAN PERPAJAKAN<br />INTERNASIONAL<br />ttd<br />Drs. RACHMANTO<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-139/PJ.31/1995<br />Ditetapkan tanggal 21 September 1995<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........................tanggal 6 September 1995 perihal pada pokok surat di atas, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Subjek Pajak Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun dan bentuk badan usaha lainnya. <br />2. Pengertian lembaga dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak termasuk lembaga struktural resmi pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD. <br />3. Sehubungan dengan perjanjian antara Pimpinan Proyek Universitas Indonesia dengan Fakultas Teknik Universitas Indonesia Nomor : 224A/Sekr/Pelita/K/UI/1995 tanggal 21 Juli 1995, mengenai pelaksanaan pekerjaan Non Fisik Penyelenggaraan Pendidikan Percepatan Insinyur diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang meliputi : <br />a. Persiapan; <br />b. Pelaksanaan Pendidikan; <br />c. Penyelenggaraan Tugas Akhir; <br />d. Penyelenggaraan Penunjang Pendidikan, antara lain : <br />• Pengelolaan; <br />• Pemberian Beasiswa; <br />• Monitoring dan Evaluasi; <br />• dan lain-lain. <br />4. Selain itu terdapat beberapa pekerjaan non fisik lainnya yang dilakukan antara Pimpinan Proyek Universitas Indonesia dengan Fakultas-Fakultas seperti : <br />a. Penyelenggaraan Pendidikan S2 dan S3 Program Pascasarjana; <br />b. Penyelenggaraan Pendidikan SP1 IK Fakultas Kedokteran; <br />c. Penyelenggaraan Pendidikan SP1 IKG Fakultas Kedokteran Gigi; <br />d. Penyelenggaraan Pendidikan Ahli perundang-undangan Fakultas Hukum; <br />e. Penyelenggaraan pengenalan program studi/penataran P4 mahasiswa. <br />Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlakuan pajaknya sebagai berikut :<br />1. Kepada Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Fakultas-Fakultas sebagaimana disebut pada butir 3 dan butir 4 di atas, sebagai lembaga struktural resmi pemerintah dapat diberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak setempat atas pembayaran yang diterima atau diperoleh dari Pimpinan Proyek Universitas Indonesia. <br />2. Bendaharawan Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Bendaharawan Fakultas-Fakultas sebagaimana tersebut pada butir 3 dan butir 4 di atas, wajib memotong/memungut pajak-pajak negara misalnya PPh Pasal 21 atas pembayaran-pembayaran yang dilakukan kepada para dosen/pengajar atau kepada pihak ketiga.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />PGS. DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />DIREKTUR HUBUNGAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL<br />ttd<br />Drs. RACHMANTO<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-129/PJ.33/1995<br />Ditetapkan tanggal 4 September 1995<br />PENGENAAN PAJAK TERHADAP PROYEK PENINGKATAN PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ....................tanggal 31 Juli 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini kami jelaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Subjek Pajak Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun dan bentuk badan usaha lainnya. <br />2. Pengertian lembaga dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak termasuk lembaga struktural resmi pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD. <br />3. Sehubungan dengan kontrak kerja sama antara Direktorat Pembinaan Penelitian dan<br />Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan : <br />a. Pimpinan Kelembagaan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Mataram, SPP Nomor : 029/P4M/DPPM/95/PM/1995 tertanggal 1 Juni 1995; <br />b. Pimpinan Kelembagaan Penelitian Universitas Indonesia, SPP Nomor :<br />005/P4M/DPPM/95/PHB IV/1/1995 tertanggal 1 Juni 1995; <br />c. Pimpinan Kelembagaan Penelitian IKIP Ujung Pandang, SPP Nomor :<br />038/P4M/DPPM/L 3311/95/BBI/1995 tertanggal 1 Juni 1995;<br />maka perlakuan pajaknya sebagai berikut : <br />3.1. Kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat dari Universitas Mataram, Universitas Indonesia dan IKIP Ujung Pandang sebagai lembaga struktural resmi pemerintah dapat diberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 dan/atau PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak setempat atas pembayaran yang diterima atau diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tersebut.<br />3.2. Bendaharawan Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat dari Universitas Mataram, Universitas Indonesia dan IKIP Ujung Pandang wajib memotong/memungut pajak-pajak negara misalnya PPh Pasal 21 atas biaya penelitian yang dibayarkan kepada peneliti, dan PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/Pasal 26 serta PPN, atas pembayaran-pembayaran yang dilakukan kepada para pegawai atau kepada pihak ketiga.<br />3.3. Jasa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat adalah jasa dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat termasuk dalam kelompok jasa yang tidak dikenakan PPN.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-126/PJ.33/1995<br />Ditetapkan tanggal 29 Agustus 1995<br />PEMBEBASAN PEMOTONGAN PPh 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 27 Juli 1995 Nomor ....................perihal seperti pada pokok surat, disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 651/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan berupa bunga dan diskonto dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan pada Bank di Indonesia, serta sertifikat Bank Indonesia tidak termasuk Objek Pajak Penghasilan. <br />2. Yayasan Dana Tabungan Pesangon (YDTP-MIGAS) didirikan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 1431K/78/M.PE/1989 Kep-693/Men/1989 tanggal 28 Oktober 1989 dengan Akta Notaris Ny. Sulami Mustafa SH Nomor : 80 tanggal 16 Januari 1990, walaupun tujuan yayasan adalah memberikan jaminan dan kesejahteraan kepada tenaga kerja pemborong sub sektor Migas pada saat putusnya atau berakhirnya kontrak hubungan kerja, namun YDTP-MIGAS tidak termasuk Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. <br />3. Berdasarkan uraian di atas maka Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong sub sektor perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (YDTP-MIGAS) tidak dapat dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan, serta sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf c PP. No. 51 Tahun 1994 Jo. Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 651/KMK.04/1994, dan wajib dipotong PPh sebesar 15% dari jumlah bruto oleh pihak yang membayarkan.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. MENTERI KEUANGAN<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-123/PJ.313/1995<br />Ditetapkan tanggal 28 Agustus 1995<br />PENJELASAN ATAS PENGGUNAAN FORMULIR BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara tertanggal 26 Juni 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Bentuk formulir Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang baru yang berlaku mulai tahun 1995 adalah : <br />a. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 = Bentuk KP.PPh 2.6/BP-95 <br />b. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 final = Bentuk KP.PPh 2.7/BP-95<br />(contoh terlampir). <br />2. Formulir sebagaimana disebut pada butir 1 di atas dapat diperoleh pada Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar dan dapat Saudara cetak sendiri sesuai bentuk dan isi formulir tersebut. <br />3. Penggunaan continous form sebagai pengganti formulir Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang sudah baku tersebut dapat Saudara lakukan sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut : <br />a. Jumlah Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang akan diterbitkan melebihi 100 lembar. <br />b. Bentuk dan isi continous form sebagai pengganti formulir Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 harus sesuai dengan bentuk dan isi formulir yang sudah dibakukan. <br />c. Untuk dapat digunakan sebagai kredit pajak, tiap-tiap lembar harus dibubuhi tanda tangan asli (bukan cap tanda tangan) oleh pemotong PPh Pasal 23 dan mencantumkan NPWP dari Pemotong yang bersangkutan. <br />d. Wajib Potong PPh Pasal 23, harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak ditempat pemotong pajak yang bersangkutan terdaftar. <br />4. Dengan telah tersedianya Formulir Pemotongan PPh Pasal 23/Formulir Pemotongan PPh Pasal 23 Final yang baru, maka formulir Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 bentuk lama tidak boleh Saudara gunakan lagi. <br />5. Dalam hal sudah terlanjur menggunakan formulir Bukti Pemotongan PPh bentuk yang lama (KP.PPh.3.30), maka Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut tetap syah dan dapat digunakan sebagai kredit Pajak PPh.<br />Demikian untuk dapat dimaklumi.<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-124/PJ.313/1995<br />Ditetapkan tanggal 28 Agustus 1995<br />PEMOTONGAN PPh SEBESAR 15% ATAS UANG THT OLEH PT. TASPEN (PERSERO) CABANG UJUNG PANDANG<br />Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 17 Juni 1995 perihal tersebut diatas, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Sesuai surat Saudara, atas Tabungan Hari Tua (THT) yang diselenggarakan oleh PT. Taspen (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 dikenakan PPh 15% dari jumlah bruto. <br />2. Sesuai dengan Bab I Butir 5 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun1981, Tabungan Hari Tua (THT) yang diselenggarakan oleh PT. Taspen (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 pada hakekatnya suatu program asuransi dwiguna yang dikaitkan dengan usia pensiun ditambah dengan asuransi kematian. <br />3. Sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 pembayaran premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi-guna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan, tidak boleh dikurangkan sebagai biaya untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap. <br />4. Sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi-guna, dan asuransi bea siswa bukan merupakan objek PPh. <br />5. Berdasarkan uraian di atas maka perlakuan perpajakan terhadap iuran THT Taspen oleh pejabat negara dan atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberlakukan sama dengan pembayaran premi asuransi dwiguna sedangkan pembayaran THT Taspen oleh PT. Taspen kepada para pensiunan atau yang berhak menerima THT Taspen oleh perusahaan asuransi kepada orang pribadi diberlakukan sama dengan pembayaran santunan asuransi dwiguna oleh perusahaan asuransi kepada orang pribadi sebagaimana dimaksud pada butir 3 dan butir 4.<br />Dengan demikian atas pembayaran THT Taspen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan (gaji) dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, yang pajaknya ditanggung Pemerintah. Di lain pihak pada waktu THT Taspen dibayarkan oleh PT. Taspen kepada para pensiunan atau yang berhak menerimanya, atas THT Taspen tersebut tidak dipotong PPh Pasal 21. <br />6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 5 di atas mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995, sehingga apabila kepada penerima THT Taspen telah terlanjur dipotong PPh Pasal 21 sebesar 15% PT. Taspen wajib mengembalikannya kepada yang berhak.<br />Demikian untuk dapat dimaklumi.<br />A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-117/PJ.33/1995<br />Ditetapkan tanggal 8 Agustus 1995<br />PENEGASAN PPh PASAL 23 ATAS SEWA BUS/MINIBUS UNTUK ANTAR JEMPUT KARYAWAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ......................... tanggal 27 Juli 1995 perihal seperti dimaksud pada pokok surat, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan surat Direktur Jenderal Pajak Nomor : S-313/PJ.311/1993 tanggal 2 Desember 1993 dan Nomor : S-320/PJ.311/1993 tanggal 20 Desember 1993 kepada PT. Hiba Utama, bahwa jasa pengangkutan karyawan/antar jemput karyawan dari halte-halte yang ditentukan ke lokasi tempat kerja dan sebaliknya dikatagorikan jasa angkutan darat dan tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991. <br />2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 yang mulai berlaku 1 Januari 1995 antara lain mengatur ketentuan tentang perluasan objek pemotongan/pemungutan pajak penghasilan oleh pihak lain (perluasan "withholding tax") dan penegasan beberapa ketentuan yang selama ini dipandang kurang jelas.<br />Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut sudah diterbitkan antara lain Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. : SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995, yang menegaskan bahwa sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu baik secara harian, mingguan maupun bulanan berdasar suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan dengan Wajib Pajak badan atau BUT dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang membayarkan. <br />3. Dengan berlakunya SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 maka ketentuan-ketentuan sebelumnya yang bertentangan dengan SE tersebut tidak berlaku lagi, sehingga kedua surat DJP kepada PT. Hiba Utama tersebut di atas tidak berlaku dan atas pembayaran sewa kendaraan kepada PT. Hiba Utama wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% (= 6%) dari jumlah bruto. <br />4. Dapat ditambahkan bahwa bukti pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 6% dari jumlah bruto tersebut harus diberikan kepada PT. Hiba Utama dan bagi PT. Hiba Utama PPh Pasal 23 yang dipotong tersebut merupakan kredit pajak.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-112/PJ.311/1995<br />Ditetapkan tanggal 1 Agustus 1995<br />PERMOHONAN PEMBEBASAN ATAU KERINGANAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 21 Juni 1995 perihal seperti tersebut di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Dalam surat Saudara, dijelaskan bahwa PT. XYZ yang bergerak di bidang usaha "Cleaning Service" mendapat kontrak pekerjaan dari PT. ABC sebesar Rp. 2.758.250,00. Atas jasa "Cleaning Service" tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% x Rp. 2.758.250,00 atau sebesar Rp. 165.495,00. Atas pemotongan PPh Pasal 23 dimaksud Saudara mengajukan permohonan untuk mendapatkan pembebasan atau keringanan pemotongan. <br />2. Sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995 bahwa atas imbalan jenis jasa pembersihan dan jasa pembasmian hama yang dilakukan Wajib Pajak Badan dalam negeri dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto. Sedangkan perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa pembersihan dan jasa pembasmian hama adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. <br />3. Berdasarkan uraian pada butir 1 dan 2 maka pemotongan atas imbalan jasa "Cleaning Service" yang diterima atau diperoleh PT. XYZ oleh PT. ABC telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pemotongan tersebut diberlakukan kepada semua pihak yang memperoleh penghasilan berupa imbalan jasa "Cleaning Service" dan merupakan pembayaran pajak pendahuluan dalam tahun berjalan yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.<br />Demikian agar maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN, <br />ttd<br />Drs. ABRONI NASUTION<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-1122/PJ.311/1995 <br />Ditetapkan tanggal 1 Agustus 1995 <br />PERMOHONAN PEMBEBASAN ATAU KERINGANAN PPh PASAL 23 <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : 017/TAL/VI/1995 tanggal 21 Juni 1995 perihal seperti tersebut di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : <br />1. Dalam surat Saudara, dijelaskan bahwa PT. Tunas Agung Lestari yang bergerak di bidang usaha "Cleaning Service" mendapat kontrak pekerjaan dari PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam (Persero) sebesar Rp. 2.758.250,00. Atas jasa "Cleaning Service" tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% x Rp. 2.758.250,00 atau sebesar Rp. 165.495,00. Atas pemotongan PPh Pasal 23 dimaksud Saudara mengajukan permohonan untuk mendapatkan pembebasan atau keringanan pemotongan. <br />2. Sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995 bahwa atas imbalan jenis jasa pembersihan dan jasa pembasmian hama yang dilakukan Wajib Pajak Badan dalam negeri dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto. <br />Sedangkan perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa pembersihan dan jasa pembasmian hama adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. <br />3. Berdasarkan uraian pada butir 1 dan 2 maka pemotongan atas imbalan jasa "Cleaning Service" yang diterima atau diperoleh PT. Tunas Agung Lestasi oleh PT. Batu Bara Bukit Asam telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pemotongan tersebut diberlakukan kepada semua pihak yang memperoleh penghasilan berupa imbalan jasa "Cleaning Service" dan merupakan pembayaran pajak pendahuluan dalam tahun berjalan yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. <br />Demikian agar maklum. <br />A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN, <br />ttd <br />Drs. ABRONI NASUTION <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-94/PJ.313/1995<br />Ditetapkan tanggal 17 Juli 1995<br />IURAN ANGGOTA KEPADA XYZ<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : .................. tanggal 25 April 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini diberitahukan penegasan sebagai berikut :<br />1. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, termasuk sebagai Subyek Pajak badan antara lain adalah persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi sejenis, lembaga dan bentuk badan usaha lainnya. XYZ, sebagai asosiasi perusahaan termasuk sebagai Subjek Pajak badan dan kepadanya diberikan NPWP dan mempunyai kewajiban perpajakan sebagaimana Wajib Pajak lainnya termasuk mengisi dan memasukkan SPT Tahunan PPh Badan. <br />2. Iuran kepada XYZ sebesar US $10 per m3 ekspor hasil produksi plywood sebagaimana diuraikan dalam surat Saudara bagi XYZ merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan, sedangkan bagi anggota XYZ walaupun namanya iuran, tetapi karena bersifat mengikat dan merupakan kewajiban yang harus dibayar, dapat diperhitungkan sebagai biaya. <br />3. Apabila ternyata dikemudian hari iuran tersebut sebagian atau seluruhnya dikembalikan kepada anggota, maka bagi XYZ merupakan pengurangan penghasilan, sedangkan bagi anggota pengembalian tersebut merupakan penghasilan. <br />4. Iuran kepada XYZ bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, sehingga tidak perlu dipotong PPh Pasal 23. <br />5. Berdasarkan butir 2 surat Saudara tersebut, penjualan ekspor kayu lapis dan lain-lain ke Jepang harus dilakukan melalui perusahaan ABC. Jasa ekspor (fee) sebesar US $5 per m3 yang dibayarkan kepada ABC merupakan biaya, dan bagi ABC merupakan penghasilan.<br />Apabila ABC merupakan Wajib Pajak dalam negeri, maka atas pembayaran fee tersebut tidak terutang PPh Pasal 23, namun terutang PPh Pasal 25 sebesar 15% dari jasa ekspor yang diterimanya, diberlakukan sama dengan penerimaan atas handling fee sesuai dengan SE-07/PJ.242/1984 tanggal 10 Maret 1984. <br />Dalam hal ABC merupakan Wajib Pajak luar negeri, maka perlakuan PPh atas jasa penjualan tersebut adalah sebagai berikut :<br />• Sebelum 1 Januari 1995 hanya dikenakan apabila jasa tersebut dilakukan di Indonesia; <br />• Setelah 1 Januari 1995 dikenakan PPh Pasal 26 tanpa memperhatikan jasa tersebut dilakukan di Indonesia atau di luar Indonesia.<br /> Perlu juga ditegaskan bahwa apabila ABC berdomisili di negara yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia, maka pengenaan pajaknya sesuai dengan perjanjian/treaty tersebut. <br />6. Ketentuan seperti diuraikan di atas sudah berlaku sejak berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan yaitu mulai Januari 1984.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-08/PJ.313/1995<br />Ditetapkan tanggal 10 Juli 1995<br />PPh PASAL 23 ATAS PERSEWAAN ALAT ANGKUTAN DARAT<br />Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c.1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto. Untuk membedakan apakah pembayaran sewa atas penggunaan kendaraan angkutan darat termasuk sebagai sewa atau penghasilan lain sehubungan penggunaan harta yang dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atau termasuk sebagai penerimaan jasa angkutan darat, perlu diberikan penegasan sebagai berikut :<br />1. Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah :<br /> 1.1. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu baik secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994, misalnya untuk antar jemput karyawan suatu perusahaan atau antar jemput anak sekolah suatu Yayasan atau untuk kepentingan lainnya, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat lagi menumpang kendaraan umum yang bersangkutan.<br /> 1.2. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sesuai tersebut pada butir 1.1. di atas.<br /> 1.3. Sewa kendaraan berupa truck, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi tersebut pada butir 1.1 dan butir 1.2 yang disewa atau charter oleh suatu perusahaan angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.<br />2. Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 :<br /> 2.1. Jasa angkutan kendaraan perusahaan taksi yang disewa/charter sesuai tarif argometer.<br /> 2.2. Jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang yang mengangkut barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar banyak atau volume barang, berat barang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai ditempat tujuan pada waktunya.<br /> 2.3. Jasa angkutan kereta api yang dilakukan oleh Perumka Kereta Api.<br />3. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas sewa : <br /> 3.1. Yang wajib memotong Pajak PPh Pasal 23 atas sewa tersebut pada butir 1 adalah :<br /> a). Subjek Pajak badan dalam negeri termasuk yayasan dan bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;<br /> b). Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994.<br /><br /> c). Badan Pemerintah;<br /> d). Penyelenggara kegiatan.<br /> 3.2. Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa :<br /> a. Besarnya PPh Pasal 23 atas sewa adalah 15% dari perkiraan penghasilan netto;<br /> b. Besarnya perkiraan penghasilan netto adalah sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995.<br /><br /> 3.3. Pemotong PPh Pasal 23 atas sewa sebagaimana dimaksud pada butir 3.1. wajib memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 23 yang terutang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 beserta peraturan pelaksanaannya.<br />Ketentuan-ketentuan sebelumnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku. Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-47/PJ.313/1995<br />Ditetapkan tanggal 22 Mei 1995<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23 ATAS JASA PEMBORONG BANGUNAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara kepada Bapak Menteri Keuangan yang tembusannya telah kami terima yaitu surat Nomor : 168/MGT/AYK/III/95 tanggal 30 Maret 1995 perihal keringanan pajak, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 juncto Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995, atas imbalan jasa konstruksi atau jasa pemborong bangunan dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% dari perkiraan Penghasilan Neto atau sebesar 1,5% (15% x 10%) dari jumlah bruto. <br />2. Maksud pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 1,5% (satu setengah persen) adalah : <br />a. melengkapi pelaksanaan sistem pemenuhan kewajiban pajak secara self assesment, yaitu dengan pemotongan berarti Wajib Pajak telah melakukan angsuran pajak pada saat diterima atau diperolehnya penghasilan. <br />b. Agar tidak memberatkan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak karena pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tidak bersifat final sehingga dapat dikreditkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak. <br />3. Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa konstruksi dan jasa borongan bangunan sebesar 10%, dengan pertimbangan : <br />a. Dalam Rencana Anggaran Belanja (RAB) yang disampaikan pemborong bangunan lazimnya mencantumkan keuntungan pemborong sebesar 10% dari nilai pekerjaan. <br />b. Pemotongan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% terhadap pemborong/rekanan pemerintah yang menerima pembayaran dari dana APBN / APBD telah berlaku sejak 1 Januari 1984 (sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 965/KMK.04/1983 yang telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :382/KMK.04/1989).<br />Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, pembayaran jasa pemborong bangunan tidak lagi dipotong PPh Pasal 22 tetapi dipotong PPh Pasal 23 sebesar 1,5% dari nilai borongan, dan diberlakukan baik bagi pemborong yang menerima pembayaran dari proyek dana APBN/APBD maupun pemborong yang melakukan pekerjaan dari proyek-proyek swasta. <br />c. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 hanya dengan tarif 15% (lima belas persen) dari Perkiraan Penghasilan Neto, sedangkan tarif tertinggi Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) adalah 30% (tiga puluh persen). <br />4. Berdasarkan uraian di atas, untuk sementara kami belum dapat mengabulkan permintaan Saudara untuk meninjau keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995, namun demikian masukan/usul Saudara atas perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa pemborongan rumah sederhana akan kami perhatikan dengan mempertimbangkan data-data penyampaian SPT PPh Tahun1995 yang akan datang, khususnya bagi pemborong rumah sederhana.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-165/PJ.432/1995<br />Ditetapkan tanggal 9 Mei 1995<br />PPh PASAL 23 ATAS JASA<br />Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 7 Februari 1995 perihal seperti tersebut pada pokok surat, dengan ini dijelaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, jasa-jasa seperti tersebut dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.: KEP-10/PJ/1995 berupa jasa perancang bangunan, jasa perancang interior, jasa perancang pertamanan, jasa pemborong bangunan, jasa akuntansi dan pembukuan, jasa pembersihan danpembasmian hama, jasa penebangan hutan, yang terhutang atau dibayarkan oleh Badan Pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, kepada Wajib Pajak dalam Negeri dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />2. PT Hewlett Packard Berca Servisindo (HPSI) bergerak di bidang jasa konsultasi sistem informasi dan jasa perbaikan/perawatan komputer berupa :<br />a. Instalasi mesin-mesin komputer,<br />b. Pemeliharaan dan perbaikan komputer,<br />c. Bantuan operasi,<br />d. Pemberian Training<br />e. Konsultasi <br />3. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan penjelasan dalam surat Saudara maka, atas imbalan yang diterima/diperoleh PT HPSI dari jasa konsultasi dan sistem informasi adalah termasuk dalam pengertian penghasilan sebagai objek pemotongan PPh pasal 23.<br />Sedangkan yang semata-mata hanya jasa perbaikan/perawatan komputer bukan merupakan objek pemotongan PPh pasal 23. Namun apabila jasa konsultasi sistem informasi dan jasa perbaikan/perawatan komputer dilakukan dalam satu paket/kontrak, maka dasar pemotongan PPh pasal 23 adalah jumlah bruto imbalan jasa dari kedua jenis jasa tersebut di atas.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK PENGHASILAN<br />ttd.<br />Drs. ISMAIL MANAF<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-85/PJ.1011/1995<br />Ditetapkan tanggal 5 Mei 1995<br />PEMOTONGAN PPh ATAS JASA<br />Berkenaan dengan surat Saudara nomor ......................Tanggal 21 Maret 1995 perihal seperti tersebut pada pokok surat dengan ini ditegaskan sebagai berikut :<br />Berdasarkan Pasal 5 P3B Indonesia - Jepang definisi BUT tidak mencakup pemberian jasa diluar yang berkaitan dengan Konstruksi. Dengan demikian maka pemberian jasa berupa perbaikan pemeliharaan mesin pabrik peleburan di Kuala Tanjung dan pusat pembangkit listrik di Patohan tidak menimbulkan BUT, sehingga imbalan yang dibayarkan kepada penduduk Jepang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 26.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR HUBUNGAN PERPAJAKAN <br />INTERNASIONAL<br />ttd.<br />Drs. RACHMANTO<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-06/PJ.43/1995<br />Ditetapkan tanggal 9 Februari 1995<br />BATAS BUNGA SIMPANAN ANGGOTA KOPERASI YANG TIDAK DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN (SERI PPh PASAL 23/26 NO. 1)<br />Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 605/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994, tentang Batas Bunga Simpanan Anggota Koperasi Yang Tidak Dipotong Pajak Penghasilan, yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketentuan Pasal 23 ayat (4) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut :<br />1. Batas bunga simpanan anggota koperasi, yang tidak dipotong PPh Pasal 23 sebesar jumlah yang tidak melebihi Rp. 144.000,00 (seratus empat puluh empat ribu rupiah) setiap bulannya. Atas bunga simpanan yang jumlahnya di atas Rp. 144.000,00 dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari seluruh bunga yang diterima dan bersifat final.<br />Contoh : <br />a. Tn. A menerima bunga simpanan Koperasi ABC untuk 1 bulan (Januari 1995) sebesar Rp. 140.000,00.<br />Atas bunga sebesar Rp. 140.000,00 tersebut tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23. <br />b. Koperasi XYZ menerima bunga simpanan dari Koperasi ABC untuk 1 bulan (Januari 1995) sebesar Rp. 1.000.000,00.<br />Pemotongan PPh Pasal 23 atas bunga tersebut oleh Koperasi ABC adalah 15% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 150.000,00.<br />Pemotongan sebesar Rp. 150.000,00 tersebut bersifat final, dengan demikian tidak dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh dan penghasilan bunga sebesar Rp. 1.000.000,00 tidak dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh. <br />2. Anggota koperasi tidak dibedakan antara orang pribadi dan badan hukum dalam negeri. <br />3. Sebagai pemotong pajak adalah koperasi (tanpa penunjukkan khusus). <br />4. Koperasi berkewajiban : <br />a. Memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dan membuat Bukti Pemotongan Pajak (3 lembar) dan memberikan satu lembar Bukti Pemotongan Pajak (tidak dapat digunakan sebagai kredit pajak) kepada anggota pada saat terutang atau dibayarkan bunga tersebut. <br />b. Menyetorkan secara kolektip uang pemotongan pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro, dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (Bentuk KP.PDIP 1-95) dimana kolom nama dan NPWP diisi dengan nama dan NPWP koperasi, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya PPh Pasal 23. <br />c. Melaporkan hasil pemotongan PPh Pasal 23 dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 23/Pasal 26 selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak PPh Pasal 23. <br />5. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas berlaku sejak 1 Januari 1995, berarti atas bunga simpanan anggota koperasi yang terutang atau dibayarkan sejak bulan Januari 1995.<br />Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br /><br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK<br />KEP-10/PJ/1995<br />Ditetapkan tanggal 31 Januari 1995<br /> <br />PERKIRAAN PENGHASILAN NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN DAN JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994<br /> <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /> <br />Menimbang : dst.<br /> <br />Mengingat : dst.<br /> <br />MEMUTUSKAN:<br /> <br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERKIRAAN PENGHASILAN NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN DAN JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994.<br /><br /> <br />Pasal 1<br /> <br />Jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah :<br />1. Jasa perancang bangunan, jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;<br />2. Jasa pemborong bangunan;<br />3. Jasa akuntansi dan pembukuan;<br />4. Jasa pembersihan dan jasa pembasmian hama;<br />5. Jasa penebangan hutan;<br />yang dilakukan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap.<br /> <br />Pasal 2<br /> <br />Perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, adalah sebagai berikut :<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri 80%<br />b. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap 40%<br />c. imbalan jasa teknik, jasa manajemen dan jasa konsultan 40%<br />d. imbalan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 selain jasa pemborong bangunan 40%<br />e. imbalan jasa konstruksi atau jasa pemborong bangunan 10%<br />dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.<br /> <br />Pasal 3<br /> <br />Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.<br /> <br /> <br /> Ditetapkan di Jakarta<br />Pada tanggal 31 Januari 1995<br /><br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> ttd<br /> FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br /><br /><br />KEPUTUSAN DIRJEN PAJAK<br />KEP-50/PJ/1994<br />Ditetapkan tanggal 27 Desember 1994<br />PENUNJUKAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI TERTENTU SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />Menimbang :<br />a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23; <br />b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tentang penunjukan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;<br />Mengingat :<br />Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENUNJUKAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI TERTENTU SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23.<br />Pasal 1<br />Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang selanjutnya disebut sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23, adalah :<br />a. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas; <br />b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.<br />Pasal 2<br />Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.<br />Pasal 3<br />Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak.<br />Pasal 4<br />Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-421/PJ.43/1991tanggal 27 Desember 1991 dinyatakan tidak berlaku.<br />Pasal 5<br />Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />Pada tanggal 27 Desember 1994<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-2878/PJ.51/1994<br />Ditetapkan tanggal 19 Desember 1994 <br />PPN ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN PPh PASAL 23 ATAS MAAKLOON <br />Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 15 Juli 1994 (tanpa nomor) dan tanggal 23 September 1994 Nomor ............................, perihal seperti tersebut pada pokok surat, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : <br />I. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI <br />1. Sesuai Pasal 1 huruf d angka 1 huruf ( c ) Undang-undang PPN 1984, pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak adalah termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak.<br />Sesuai Penjelasan Undang-undang PPN 1984, yang dimaksud dengan Pengalihan Barang dalam keadaan bergerak yaitu perpindahan Barang Kena Pajak karena suatu pesanan atau permintaan untuk menghasilkan Barang dengan bahan dan atas petunjuk dari si pemesan. <br />2. Sesuai butir 1 di atas, saat terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak adalah pada saat penyerahan hasil pengerjaan oleh pihak yang mengerjakan kepada pemesan, dan pihak yang mengerjakan harus mengenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah fee yang diminta ditambah biaya bahan yang dibeli oleh pihak yang mengerjakan untuk penyelesaian pembuatan barang tersebut.<br />Sedangkan atas penyerahan bahan baku dan bahan pembantu dari PT. Koryo Puspita Indonesia kepada pihak yang mengerjakan tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, dan tidak terutang PPN. <br />II.PAJAK PENGHASILAN <br />1. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 j.o. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984, atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik yang dibayar/terutang dipotong Pajak Penghasilan sebesar 9% dari jumlah bruto. <br />2. Sesuai dengan Agreement antara PT. Seung II Bintang Mitra (PT. SIBM) dengan PT. Koryo Puspita Indonesia (PT. KPI); PT. SIBM melaksanakan pekerjaan maakloon sarung tangan golf yang bahan utama dan tambahan serta ukuran rincinya ditentukan oleh PT. KPI. <br />3. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maakloon tersebut tidak termasuk dalam pengertian jasa teknik seperti dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-08/PJ.222/1984. Dengan demikian atas imbalan sehubungan dengan maakloon yang terutang/dibayarkan kepada PT. SIBM tidak dipotong PPh Pasal 23. <br />Demikian untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />Ttd<br />FUAD BAWAZIER <br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-22/PJ.43/1992<br />Ditetapkan tanggal 20 Agustus 1992 <br />FORMULIR PENUNJUKAN WAJIB PAJAK PERSEORANGAN SEBAGAI PEMOTONG PPh PASAL 23 <br />Dalam rangka pelaksanaan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-421/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991 tentang penunjukan Wajib Pajak Perseorangan sebagai pemotong PPh Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut : <br />1. Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, maka formulir penunjukan Wajib Pajak Perseorangan sebagai Pemotong PPh Pasal 23 (KP.PPh.3.51) sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-31/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991 perlu disempurnakan sebagaimana terlampir. <br />2. Formulir KP.PPh.3.51 yang disempurnakan tersebut sudah dicetak oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dan sudah dikirimkan ke Kantor-Kantor Pelayanan Pajak. <br />3. Dalam penunjukan Wajib Pajak Perseorangan sebagai pemotong PPh Pasal 23, agar Saudara menggunakan bentuk formulir KP.PPh.3.51 yang sudah disempurnakan tersebut. Dengan demikian bentuk Formulir KP. PPh. 3.51 sesuai dengan lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-31/PJ.43/1991 tidak dipergunakan lagi. <br />Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. <br />A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, <br />Ttd <br />Drs. WALUYO DARYADI KS <br /> <br />DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br /> <br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR : <br />TENTANG<br />PENUNJUKAN SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23<br />UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983<br /> <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /> <br />Menimbang : bahwa Wajib Pajak Perseorangan tertentu telah ditunjuk sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas sewa;<br /> <br />Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3262);<br /> 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);<br /> 3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-106/PJ.11/1991 tanggal 6 Juni 1991 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;<br /> 4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-421/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991 tentang Penunjukkan Wajib Perseorangan Sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983;<br /> <br />M E M U T U S K A N<br /> <br />Menetapkan : Menunjuk sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan atas pembayaran sewa, kepada :<br /> Nama : ........................................................................................................................................................................<br /> N P W P : <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /> Alamat : ........................................................................................................................................................................<br />........................................................................................................................................................................<br /> Keputusan penunjukan sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 2 ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan akan ditinjau kembali apabila kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.<br /> <br /> Ditetapkan di .................................................<br />pada tanggal .................................................<br />----------------------------------------------------------------------<br />A.n. Direktur Jenderal Pajak<br />Kepala Kantor Pelayanan Pajak<br />................................................<br /> <br /> <br />___________________________<br />NIP. <br />PPh. 3.51<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-16/PJ.44/1992<br />Ditetapkan tanggal 12 Mei 1992<br />PEMBAGIAN BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI DAN TANTIEM<br />Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang PPh 1984 besarnya penghasilan kena pajak ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya atau imbalan yang dibayarkan atas pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan berupa antara lain upah, gaji, bonus, gratifikasi dan jasa produksi. Berkenaan dengan timbulnya salah pengertian dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan atas pembayaran Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi dan Tantiem, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Pembayaran Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi kepada karyawan perusahaan termasuk dalam pengertian biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh 1984, sehingga dalam menghitung penghasilan kena pajak pembayaran Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi kepada karyawan tersebut dapat mengurangi penghasilan bruto. <br />2. Apabila Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi yang dibayarkan kepada karyawan maupun Direksi dan Komisaris dibebankan kepada Retained Earning maka pembayaran tersebut merupakan penggunaan Retained Earning, sehingga bukan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh 1984.<br />Dengan demikian pembayaran Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi semacam ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung penghasilan kena pajak. <br />3. Tantiem merupakan bagian keuntungan yang diberikan kepada Direksi dan Komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan pada suatu prosentase/jumlah tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak. Oleh karena itu pemberian Tantiem tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dan bagi si penerimanya merupakan penghasilan sehingga dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. <br />4. Pembayaran gaji yang melebihi kewajaran, bonus, jasa produksi dan gratifikasi yang dibayarkan kepada pemegang saham yang juga menjadi Komisaris, Direksi atau Pegawai merupakan pembagian laba yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.<br />Pembayaran-pembayaran kepada pemegang saham tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf g merupakan dividen, sehingga dipotong PPh sesuai dengan Pasal 23/26 UU PPh 1984.<br />Dengan penegasan ini, maka ketentuan yang sudah ada yang bertentangan dengan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN<br />SE-13/PJ.433/1992<br />Ditetapkan tanggal 23 Maret 1992<br />PPh PASAL 23 ATAS IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN JASA TEKNIK/ JASA MANAJEMEN YANG DIBAYARKAN OLEH BENDAHARAWAN<br />Sesuai dengan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, maka tarif Pasal 23 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia diubah dari 15% (lima belas persen) menjadi 9% (sembilan persen) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1992.<br />Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini disampaikan rekaman surat Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Anggaran Nomor S-62/PJ.43/1992 tanggal 4 Maret 1992 yang dapat dipakai sebagai pedoman pelaksanaan.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK PENGHASILAN,<br />Ttd<br />Drs. ISMAEL MANAF<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-31/PJ.43/1991<br />Ditetapkan tanggal 27 Desember 1991 <br />PETUNJUK PELAKSANAAN PENUNJUKAN WAJIB PAJAK PERSEORANGAN <br />SEBAGAI PEMOTONG PPh PASAL 23 ( KEP. DIRJEN PAJAK NOMOR : KEP-421/PJ.43/1991)<br />Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-421/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991 tentang Penunjukan Wajib Pajak Perseorangan sebagai Pemotong PPh Pasal 23, dengan ini disampaikan petunjuk sebagai berikut : <br />1. Orang Pribadi atau perseorangan yang dapat ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 harus mempunyai NPWP dan terbatas pada dokter, notaris, arsitek, akuntan, pengacara, perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan dan orang asing yang sudah menjadi subyek pajak dalam negeri. <br />2. Perseorangan yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 tidak perlu mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat perseorangan yang bersangkutan berdomisili. <br />3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat perseorangan sebagaimana dimaksud butir 1 menerbitkan "Surat Keputusan Penunjukan Wajib Pajak Perseorangan sebagai Pemotong PPh Pasal 23". Bentuk dan isi surat keputusan dimaksud terlampir (Lampiran I). <br />4. Untuk saat ini : <br />a. Obyek Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dapat dipotong pajaknya oleh Wajib Pajak perseorangan sebagaimana dimaksud pada butir 1 adalah terbatas pada pembayaran sewa. <br />b. Yang ditunjuk sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 23 tersebut pada butir a adalah Wajib Pajak Perseorangan sebagaimana yang dimaksud pada butir 1 yang diketahui benar-benar melakukan sewa. <br />5. Penatausahaan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada butir 3 dengan menggunakan "Buku Register Penerbitan SK Penunjukan Wajib Pajak Perseorangan sebagai pemotong pajak PPh Pasal 23". Bentuk dan isi buku register dimaksud terlampir (Lampiran II). <br />6. Perseorangan yang sudah ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 berkewajiban memotong, menyetor dan melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. <br />7. Penyetoran PPh Pasal 23 dan pelaporan SPT Masanya oleh Wajib Pajak Perseorangan ditatausahakan dalam Buku Tabelaris PPh Pasal 23/26. <br />8. Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang mengetahui ada obyek PPh Pasal 23 di wilayahnya, sedangkan perseorangan yang berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 bertempat tinggal di wilayah/terdaftar sebagai Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak lain, supaya mengirimkan data dimaksud dengan menggunakan KP.PDIP.3.1 (d.h. KP Data.1) ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. <br />9. Sehubungan dengan adanya ketentuan ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak supaya memberikan penyuluhan kepada para Wajib Pajak Perseorangan yang telah ditunjuk sebagai pemotong pajak PPh Pasal 23 tersebut tentang hak dan kewajibannya selaku pemotong PPh Pasal 23. <br />Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd.<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD <br />________________________________________<br />DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />_____________________________________________ <br />Lampiran I<br />Surat Edaran Dirjen Pajak<br /> Nomor : SE-31/PJ.43/1991<br /> Tanggal : 27 Desember 1991<br /> <br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR : ...................................<br /> <br />TENTANG<br />PENUNJUKAN WAJIB PAJAK PERSEORANGAN SEBAGAI PEMOTONG<br />PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 UNDANG-UNDANG NOMOR 7<br />TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br /> <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /> <br />Memperhatikan : Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.<br /> <br />Menimbang : bahwa sudah saatnya Direktur Jenderal Pajak menunjuk Wajib Pajak Perseorangan sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sesuai dengan ketentuan Pasal 23, ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.<br /> <br />M E M U T U S K A N :<br /> <br />Menetapkan : Menunjuk sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan atas pembayaran sewa kepada :<br /> Nama : ..........................................................................................................................<br /> NPWP : <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> Alamat : ..........................................................................................................................<br /> ..........................................................................................................................<br /> Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal .......................................... 19 .......... dengan ketentuan akan ditinjau kembali apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan.<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> Ditetapkan di ....................................<br />pada tanggal ....................................<br /> <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK<br />...................................................<br /> <br /> <br />........................................... <br />NIP. <br />KP.PPn.3.51.<br /> <br /> <br /> <br /> Lampiran II<br />Surat Edaran Dirjen Pajak<br /> Nomor : SE-31/PJ.43/1991<br /> Tanggal : 27 Desember 1991<br /> <br />BUKU REGISTER PENUNJUKAN WAJIB PAJAK PERSEORANGAN<br /> SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 <br /> <br />Nomor<br />Urut NPWP NAMA / ALAMAT WAJIB POTONG NOMOR DAN TANGGAL<br />SURAT KEPUTUSAN KETERANGAN<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br />KP.PPn.3.52.<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-294/PJ.321/1991<br />Ditetapkan tanggal 24 Januari 1991 <br />KEWAJIBAN PERPAJAKAN (PPN DAN PPh PASAL 23) BAGI PENYELENGGARA PAMERAN <br />A. Pajak Pertambahan Nilai.<br />1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf 1 Undang-undang PPN 1984 bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah orang atau badan yang dalam lingkungan usahanya menghasilkan barang atau melakukan usaha jasa yang terutang PPN. <br />2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-undang PPN 1984 jis Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 dan butir 3 huruf j Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor : PENG-139/PJ.63/1989, penyerahan Jasa Kena Pajak, termasuk jasa perusahaan dan jasa perdagangan, yang dilakukan di Daerah Pabean Indonesia oleh Pengusaha Kena Pajak terutang PPN. <br />3. Sesuai dengan penjelasan dalam surat Saudara tersebut bahwa klien Saudara bergerak dalam bidang penyelenggaraan pameran, kegiatan usaha dimulai dari menyiapkan kertas kerja pameran, menawarkan kepada calon peserta pameran, menyewa tempat dan alat-alat, menyusun dan mengorganisasikan dalam suatu pameran untuk kepentingan peserta pameran, kegiatan tersebut termasuk dalam kelompok jasa perusahaan dan perdagangan.Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka klien Saudara adalah Pengusaha Jasa Kena Pajak (PKP) yang atas penyerahan jasa kepada peserta pameran terutang PPN. Apabila dalam menyewa alat-alat dari pihak lain dipungut PPN, maka PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. <br />B. Pajak Penghasilan.<br />1. Dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dinyatakan bahwa atas penghasilan sewa yang terutang atau yang dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri kepada Wajib Pajak dalam negeri dipotong PPh sebesar 15% dari jumlah bruto oleh pihak yang membayarkan. <br />2. Dalam kasus yang Saudara utarakan, PT. X yang kegiatannya menyelenggarakan pameran dagang di arena promosi dan menyewa tempat pameran berikut alat-alat pameran, berdasarkan ketentuan di atas wajib memotong PPh Pasal 23 atas biaya sewa yang dibayarkan kepada pemilik gedung dan peralatan tersebut. Selanjutnya peserta pameran yang dikoordinasikan oleh PT. X wajib memotong PPh Pasal 23 atas biaya sewa ruangan dan peralatan yang dibayarkan kepada PT. X.<br />Perlu kami tambahkan, bahwa agar permasalahannya menjadi lebih jelas, dalam mengajukan pertanyaan hendaknya Saudara mengemukakan kasus nyata yang jelas. <br />Demikian kiranya Saudara maklum. <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD <br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-22/PJ.43/1991<br />Ditetapkan tanggal 9 Januari 1991 <br />PPh PASAL 23 ATAS SEWA BANGUNAN MILIK PENGELOLA DANA PENSIUN <br />Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 566/KMK.04/1991 tanggal 19 Juni 1991 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-11/PJ.3/1991 tanggal 8 Juli 1991, penghasilan dana pensiun yang diterima atau diperoleh dari penanaman modal dibidang tanah dan bangunan merupakan obyek Pajak Penghasilan.<br />Sehubungan dengan ketentuan tersebut, dengan ini kami mintakan perhatian Saudara terhadap hal-hal sebagai berikut : <br />1. Penghasilan dari sewa dan imbalan sehubungan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh pengelola dana pensiun adalah merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23. Sesuai dengan Surat Edaran di atas, badan-badan yang menyewa atau membayarkan imbalan sehubungan dengan penggunaan harta berupa tanah dan bangunan kepada pengelola dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan berkewajiban memotong PPh Pasal 23 mulai masa pajak Agustus 1991. <br />2. Berkenaan dengan ketentuan pada butir 1 diatas, Saudara agar memantau kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dimaksud oleh Wajib Pajak di wilayah Saudara yang menyewa tanah dan/atau bangunan milik dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, antara lain dengan mengingatkan secara tertulis para Wajib Pajak badan di wilayah Saudara yang menurut pengamatan Saudara menyewa tanah dan/atau bangunan dimaksud. Selanjutnya supaya dipantau SPT Masa PPh Pasal 23 dari para Wajib Pajak badan tersebut sejak bulan Agustus 1991. <br />Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-151/PJ.321/1991<br />Ditetapkan tanggal 20 Juni 1991<br />PERMOHONAN KONFIRMASI MENGENAI JASA FILING<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ................................. tanggal 23 Mei 1991 perihal tersebut di atas, dengan ini dijelaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)<br /> 1.1. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b UU PPN 1984 jo. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1984 jo. angka 3 huruf r Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor : PENG-139/PJ.63/1989 tanggal 27 Maret 1989, atas penyerahan jasa penyimpanan/pergudangan terutang PPN.<br /> 1.2. Mengingat ketentuan di atas, maka atas penyerahan jasa filing dengan cara menyimpan data/catatan-catatan di dalam disket komputer dan di dalam locker yang dilakukan oleh PT. Citra Air/Lane Moving & Storage, terutang PPN.<br />2. Pajak Penghasilan (PPh)<br /> 2.1. Berdasarkan keterangan dalam surat Saudara, jasa yang dilakukan oleh PT. Citra Air/Lane Moving & Storage dimaksud dalam butir 1.2. termasuk dalam pengertian sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang PPh 1984.<br /> 2.2. Mengingat butir 2.1. apabila Badan Pemerintah, BUMN/D, atau Wajib Pajak Badan melakukan pembayaran atau terutang imbalan atas sewa dimaksud, harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD<br /><br /><br /><br /> <br />SURAT MENTERI KEUANGAN<br />S-268/MK.04/1991<br />Ditetapkan tanggal 19 Maret 1991 <br />PENGHAPUSAN ATAS UANG INSENTIF <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........................tanggal 14 Januari 1991 perihal seperti tersebut pada pokok surat, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Atas pembayaran uang insentif (upah pungut) Pendapatan Asli Daerah kepada pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat untuk tahun 1987/1988 sejumlah Rp 41.416.922,25 dapat kami setujui untuk tidak dipotong PPh Pasal 21. <br />2. Adapun atas uang insentif (upah pungut) yang dibayarkan kepada pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat untuk tahun anggaran 1988/1989 sampai dengan 1990/1991 yang telah dipotong supaya disetorkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. <br />3. Mulai tahun anggaran 1991/1992 atas pembayaran uang insentif (upah pungut) Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat untuk Golongan III dan IV tetap terhutang dan wajib dipotong PPh Pasal 21. <br />4. Selanjutnya agar PPh Pasal 21 atas uang insentif (upah pungut) yang telah dipotong tersebut di atas disetorkan ke Kantor Pos dan Giro atau Bank Penerima Setoran Pajak dengan menggunakan Formulir Surat Setoran Pajak (KP.PDIP.5.1), selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya, dan atas pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 tersebut wajib dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Bendaharawan Pemerintah Daerah Tk. I Sumatera Barat terdaftar. <br />Demikian agar Saudara maklum. <br />MENTERI KEUANGAN<br />ttd.<br />J.B. SUMARLIN <br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-07/PJ.43/1991<br />Ditetapkan tanggal 30 Januari 1991<br />PENGGUNAAN CONTINOUS FORM SEBAGAI BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23<br />Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh para pemotong PPh Pasal 23 untuk dapat menggunakan continous form sebagai pengganti Formulir Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 (KP.PPh 4B), dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :<br />1. Pada prinsipnya penggunaan keluaran computer (continous form) oleh pemotong pajak PPh Pasal 23 sebagai pengganti formulir KP.PPh.4B (Bukti Pemotongan PPh Pasal 23) dapat disetujui apabila Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang akan diterbitkan tersebut jumlahnya melebihi 100 (seratus) lembar. <br />2. Bentuk serta isi dari continous form sebagai pengganti formulir KP.PPh.4B tersebut harus sesuai dengan Formulir KP.PPh.4B yang asli dan menggunakan warna putih. <br />3. Untuk dapat dipergunakan sebagai kredit pajak, maka tiap-tiap lembar harus dibubuhi tanda tangan asli (bukan cap tanda tangan) oleh Pemotong Pajak PPh Pasal 23 dan mencantumkan NPWP dari Pemotong yang bersangkutan. <br />4. Untuk dapat menggunakan continous form sebagai Bukti Pemotongan PPh Pasal 23, Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimana Pemotong Pajak yang bersangkutan terdaftar. Bentuk dan isi "Surat Keputusan Persetujuan Penggunaan Continous Form sebagai bukti Pemotongan PPh Pasal 23" adalah sebagaimana terlampir (Lampiran I). <br />5. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 yang menggunakan continous form sebagai Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 harus mencantumkan nomor Surat Persetujuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak pada Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut sebagaimana dimaksud pada butir 4 seperti contoh terlampir (lampiran II).<br />Demikian penegasan ini untuk dimaklumi.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD<br />________________________________________<br />DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />KANTOR PELAYANAN PAJAK<br />................................................... Lampiran I<br />Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak<br /> Nomor : SE-07/PJ.43/1991<br /> Tanggal : 30 Januari 1991<br /> <br />SURAT PERSETUJUAN PENGGUNAAN CONTINUOUS FORM SEBAGAI<br />BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23<br />NOMOR : ........................................................<br /> <br /> Kepala Kantor Pelayanan Pajak ................................................................ dengan ini menerangkan bahwa kepada Wajib Pajak tersebut di bawah ini :<br /> <br /> N a m a : .......................................................................................<br /> N P W P : .......................................................................................<br /> Alamat : .......................................................................................<br /> <br />diberikan persetujuan untuk menggunakan continuous form sebagai Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebanyak ........ (....................................................................................................) lembar dengan ketentuan bentuk dan isi dari continuous form tersebut sama dengan Formulir KP.PPh.4B.<br /> <br /> Surat Persetujuan ini berlaku untuk tahun pajak 19 ......................... <br /> <br /> <br /> .........................., ....................... 19.....<br />KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK<br />...........................................................<br /> <br /> <br />............................................<br />NIP. .....................................<br />Tembusan :<br />1. Direktur Pajak Penghasilan<br />2. Kepala Pusat PDIP<br />3. Kepala Kantor Wilayah .................................<br /> <br />KP.PPh.3-31<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br />DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />-----------------------------------------------------------------------------<br />Surat Persetujuan K P P .......................................<br />Nomor : ...............................................................<br />Tanggal : ............................................................... Lampiran II<br />Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak<br /> Nomor : SE-07/PJ.43/1991<br /> Tanggal : 30 Januari 1991<br /> <br /> Lembar ke-1 untuk : Wajib Pajak<br />Lembar ke-2 untuk : K P P<br />Lembar ke-3 untuk : Pemotong Pajak<br /> <br />BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23<br />NOMOR : ........................................................<br /> <br />Nama Wajib Pajak : .......................................................................................<br />N P W P : .......................................................................................<br />Alamat : .......................................................................................<br /> <br /> <br />PENGHASILAN : JUMLAH PPh YANG DIPOTONG<br />1. Bunga : <br />2. Dividen : <br />3. Royalty : <br />4. Sewa : <br />5. Imbalan lainnya : __________________________________<br /> JUMLAH : <br /> <br /> .........................., ....................... 19.....<br /> <br />PEMOTONG PAJAK :<br />N a m a : <br />NPWP :<br /> <br />Cap dan<br />Tanda tangan<br />PERHATIAN : <br />JUMLAH PAJAK PENGHASILAN YANG DIPOTONG DI ATAS MERUPAKAN ANGSURAN ATAS PAJAK PENGHASILAN YANG TERHUTANG UNTUK TAHUN PAJAK YANG BERSANGKUTAN. SIMPANLA BUKTI PEMOTONGAN INI BAIK-BAIK DAN BERITAHU- KANLAH JUMLAH YANG TELAH DIPOTONG INI DALAM SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN.<br /> <br /> <br />KP.PPh.4B.<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-30/PJ.313/1990<br />Ditetapkan tanggal 2 Oktober 1990<br />PPh PASAL 23 ATAS "DRILLING MUD ENGINEERING SERVICES"<br />Sehubungan dengan adanya pertanyaan dari perusahaan-perusahaan pemakai jasa "Drilling Mud Engineering Services" mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran yang berhubungan dengan pelaksanaan jasa tersebut, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Pemberian jasa "Drilling Mud Engineering Services" meliputi sebelum dan sesudah operasi pengeboran minyak bumi, termasuk pekerjaan-pekerjaan :<br />A. SEBELUM OPERASI PENGEBORAN DIMULAI :<br />1. Mempersiapkan keperluan material "lumpur pengeboran" sebelum operasi pengeboran dimulai termasuk "mud testing equipment" dan suku cadangnya, disesuaikan dengan kebutuhan selama operasi pengeboran berlangsung.<br />2. Memeriksa/menguji semua peralatan yang akan digunakan untuk pembuatan "lumpur pengeboran" seperti mud hopper, solid control equipment maupun mud testing equipment.<br />3. Menghitung/mempersiapkan dan membuat "lumpur pengeboran" sebelum operasi pengeboran dimulai dan disesuaikan dengan program pengeboran yang telah disediakan.<br />2. B. SELAMA OPERASI PENGEBORAN :<br />1. Mengadakan pemeriksaan/analisa serta menjaga kondisi "lumpur pengeboran" secara berkala.<br />2. Membantu drilling personnel bilamana terjadi kesulitan-kesulitan/perubahan-perubahan kondisi lubang bor seperti hilang lumpur (mud lost circulation), pipa bor terjepit (stuck), semburan gas (gas kick & blow-out) dan lain-lain.<br />3. Membuat laporan keadaan lapisan bawah tanah (jenis/sifat-sifat, keadaan dan kandungan lapisan bawah tanah).<br />4. Membuat laporan biaya setiap hari (bahan lumpur dan bahan kimia yang dipakai).<br />3. Mengingat jenis-jenis pekerjaan yang termasuk dalam "drilling mud engineering services" tersebut diatas memenuhi persyaratan sebagai jasa teknik yang dilakukan terus menerus, maka sesuai penegasan Direktur Jenderal Pajak pada Surat Edaran Nomor SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984, pekerjaan "Drilling Mud Engineering Services" tersebut termasuk dalam pengertian jasa teknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. <br />4. Dengan demikian atas pembayaran imbalan sehubungan dengan pelaksanaan jasa "Drilling Mud Engineering Services" tersebut wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-58/PJ.43/1990<br />Ditetapkan tanggal 9 Pebruari 1990 <br />PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 YANG DITANGGUNG OLEH PEMBERI HASIL<br />Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1989, atas penghasilan berupa bunga deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 15% dan bersifat final. Dalam hal ini bank atau Lembaga Keuangan Bukan Bank yang membayarkan bunga tersebut wajib memotong Pajak Penghasilan tersebut.<br />Berdasarkan data di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, terdapat bank penyelenggara tabungan yang menanggung Pajak Penghasilan atas pembayaran bunga yang dibayarkan kepada nasabahnya.<br />Sehubungan dengan hal tersebut diatas dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Pajak Penghasilan atas bunga tabungan yang ditanggung oleh bank tidak dapat dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak dari bank yang bersangkutan. <br />2. Bank harus menyetorkan dan melaporkan pajak yang seharusnya dipotong atas pembayaran bunga tabungan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />Agar seluruh bank dapat mengetahui mengenai hal tersebut diatas kami harapkan bantuan Saudara untuk menyebarluaskan hal tersebut ke seluruh bank.<br />Demikian agar menjadikan Saudara maklum, dan atas kerjasama Saudara diucapkan terima kasih.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-28/PJ.433/1989<br />Ditetapkan tanggal 29 Juni 1989 <br />PPh PASAL 23 ATAS SEWA FILM <br />Sehubungan dengan adanya surat dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak Manado nomor : S-393/WPJ.09/KI.11/1989 tanggal 31 Maret 1989 dan surat Dewan Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) nomor : 006/GPBSI-Pst/III/1988 tanggal 29 Maret 1988 perihal seperti tersebut pada pokok surat, bersama ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Pembayaran sewa film dari pengusaha bioskop kepada pemilik atau distributor film dengan nama dan bentuk apapun adalah merupakan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. <br />2. Dengan demikian meskipun pengusaha bioskop yang melakukan pembayaran sewa film menggunakan istilah lain selain sewa, seperti pembayaran bagian pemilik film, biaya film dan sebagainya, atas pembayaran tersebut tetap terhutang PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. <br />Demikian untuk menjadikan perhatian Saudara. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK PENGHASILAN,<br />ttd<br />Drs. WAHONO <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-511/PJ.22/1988<br />Ditetapkan tanggal 24 Maret 1988 <br />PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 <br />Berkenaan dengan surat Saudara nomor : ............................. tanggal 9 November 1987 perihal seperti tersebut pada pokok surat, bersama ini kami jelaskan bahwa dalam Lembaran Penerangan Pajak Seri PPh 4 angka Romawi III nomor 3 huruf b tidak dikenakan tambahan administrasi berupa kenaikan sebesar 100% atas PPh Pasal 23 yang tidak atau kurang disetorkan, melainkan hanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun1983.<br />Demikian harap maklum. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd<br />WAHONO <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-623/PJ.22/1986<br />Ditetapkan tanggal 6 Mei 1986<br />PPh PASAL 23 ATAS JASA GIRO YANG DITERIMA OLEH PERJAN PEGADAIAN (SERI PPh PASAL 23-15)<br />Berkenaan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa giro yang diterima oleh Perjan Pegadaian, dengan ini kami beritahukan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 956/KMK.04/1983 tanggal 31 Desember 1983, Perjan Pegadaian tidak termasuk Subyek Pajak dari Pajak Penghasilan, sehingga atas jasa giro yang diterimanya tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. <br />2. Perjan Pegadaian yang telah terlanjur dipotong PPh Pasal 23 oleh bank atas jasa giro yang diterimanya perlu segera mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) PPh Pasal 23 yang telah terlanjur dipotong kepada Kepala Inspeksi Pajak Perusahaan Negara dan Daerah. <br />3. Kami mengharap bantuan Saudara untuk meneruskan penegasan kami ini kepada bank-bank lainnya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd.<br />Drs. SALAMUN A.T.<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-1506/PJ.22/1985<br />Ditetapkan tanggal 8 Juli 1985 <br />PENEGASAN LEBIH LANJUT ATAS PPh PASAL 23 <br />Berkenaan dengan surat Saudara Nomor : IM-163-85 tanggal 10 April 1985 perihal seperti tersebut di atas, dengan ini kami berikan penegasan sebagai berikut : <br />1. Pengecualian bank atau lembaga keuangan lainnya dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 berlaku atas semua jenis-jenis penghasilan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. <br />2. Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat terjadinya pembayaran atau pada saat pembayaran tersebut terhutang ("accrued"), lihat juga surat Direktur Pajak Langsung Nomor : S-1150/PJ.22/1985 tanggal 23 April 1985 (terlampir). <br />3. Selain itu PPh Pasal 23 terhutang juga atas penghasilan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta. <br />4. Penjelasan Undang-undang bermaksud menjelaskan materi yang diatur dalam batang tubuh Undang-undang. Penjelasan tersebut dapat berupa contoh maupun penjelasan lebih lanjut atas materi yang diatur dalam batang tubuh Undang-undang, sehingga apabila penjelasan tidak mencantumkan semua hal yang diatur dalam batang tubuh, maka yang mempunyai kekuatan mengikat bagi pelaksanaan Undang-undang adalah materi yang tercantum pada batang tubuh Undang-undang. Penjelasan itu menganggap salah satu dari hal-hal tersebut telah cukup, sebagai suatu contoh. Hendaknya tidak diartikan, bahwa penjelasan mengatur hal yang lain dari pada materi yang termuat dalam batang tubuh. Penjelasan sesuai dengan namanya adalah menjelaskan, baik semua hal yang termuat dalam batang tubuh, ataupun menyebut satu hal saja sebagai contoh. <br />Demikian penegasan kami harap Saudara maklum. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd<br />MANSURY <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-1468/PJ.24/1985<br />Ditetapkan tanggal 04 Juli 1985<br />PEMBEBASAN PUNGUTAN PPh PASAL 22 DAN PASAL 23<br />Berkenaan dengan surat Saudara nomor : 00125/Ku.060/KUG.21/85 tanggal Mei 1985 tentang Pembebasan Pungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23, bersama ini kami jelaskan sebagai berikut :<br />1. PPh Pasal 22 yang dipungut atas ganti rugi yang diterima Perumtel untuk pemindahan saluran/jaringan adalah pelengkap PPh Pasal 25 yang dibayar Perumtel berdasarkan RAPB, yang masih akan diperhitungkan pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.<br />Dalam ganti rugi itu mengandung unsur laba atau penghasilan, apabila : <br />a. Ganti rugi melebihi harga perolehan tanah/jaringan telekomunikasi sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam PP. No. 36 Tahun 1983 Pasal 3.<br />b. Nilai Saluran/jaringan yang dipindahkan itu sudah jauh berkurang akibat penghapusan setelah pemakaian bertahun-tahun.<br />2. Jasa giro tidak termasuk dalam pengertian bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1983 sehingga atasnya terhutang PPh Pasal 23. Sesuai dengan surat edaran Dir. Jend. Pajak No. SE-10/PJ.22/1985 tanggal 13 Maret 1985 pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa giro mulai berlaku sejak 1 April 1985.<br />Demikian Penjelasan kami.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd<br />MANSURY<br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-1464/PJ.22/1985<br />Ditetapkan tanggal 3 Juli 1985 <br />PPh ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA YANG DIPEROLEH LEMBAGA KEUANGAN <br />Berkenaan dengan surat Saudara Nomor ................................. tanggal 21 Mei 1985 perihal seperti tersebut pada pokok surat ini, dengan ini kami beritahukan hal-hal sebagai berikut : <br />1. Sesuai dengan konsideran maupun penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1983 penangguhan pelaksanaan pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya mempunyai tujuan untuk lebih mendorong masyarakat guna ikut serta dalam upaya pemupukan dana untuk kepentingan pembangunan. <br />2. Mengingat fungsi Lembaga Keuangan adalah untuk mengumpulkan dana untuk kemudian disalurkan ke masyarakat untuk keperluan pembangunan, maka deposito antar Lembaga keuangan tidak memenuhi sasaran sebagaimana yang hendak dicapai oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1983, sehingga kendatipun bunga deposito antar Lembaga Keuangan tidak terhutang Pajak Penghasilan Pasal 23, namun bunga dimaksud tetap merupakan bagian penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan. <br />Demikian penegasan kami harap Saudara maklum. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG<br />ttd<br />M A N S U R Y <br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-1360/PJ.22/1985<br />Ditetapkan tanggal 30 Mei 1985<br />PENANGGUHAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPEDES<br />Berkenaan dengan surat Saudara tanggal 6 Mei 1985 Nomor : ...................... perihal seperti tersebut pada pokok surat ini, dengan ini kami beritahukan, bahwa :<br />a. Setelah mempelajari alasan-alasan yang Saudara kemukakan kami dapat menyetujui, bahwa Simpedes di perlakukan sama dengan deposito berjangka atau tabungan-tabungan lainnya, selama belum terbukti, bahwa penabung Simpedes itu bukan termasuk Wajib Pajak besar yang penghasilannya melebihi PTKP. <br />b. Dengan demikian pemungutan PPh atas bunga yang berasal dari Simpedes ditangguhkan pelaksanaannya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. SALAMUN A.T.<br />________________________________________<br /> Lampiran Surat DJP<br /> Nomor : S-1360/PJ.22/1985<br /> Tanggal : 30 Mei 1985<br /> <br />BANK RAKYAT INDONESIA<br /> <br />KANTOR BESAR<br />Jl. Veteran No. 8, Tromolpos 94 Jakarta<br />Telp. 374208<br />Alamat kawat : KAB.BRI<br />Telex : 44300 - 44782 - 44783 - 45205<br />JAKARTA INDONESIA<br /> <br />No. : B.152-DIR/1985 Jakarta, 6 Mei 1985<br />Lampiran : <br />Perihal : Permohonan pembebasan<br />pungutan PPh atas bunga. Kepada Yth.<br />Bapak Direktur Jenderal Pajak<br />Jl. Gatot Subroto<br />Jakarta - Selatan<br /> <br /> <br /> Dengan hormat,<br /> Pertama-tama kami sampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami pada tanggal 29 April, untuk mendapat penjelasan dan petunjuk langsung dari Bapak.<br /> Sebagaimana kami kemukakan pada pertemuan itu, mengiringi kebijaksanaan Bank Indonesia tanggal 1 Juni 1983, serta dalam rangka memberikan pelayanan lengkap kepada masyarakat di pedesaan, BRI telah memperkenalkan program simpanan pedesaan, yang diberi nama Simpedes.<br />Untuk menarik minak penabung, dalam simpedes diberikan kelonggaran untuk menarik dana setiap kali dibutuhkan.<br /> Dalam percobaan yang dilakukan di Sukabumi sejak bulan November 1984, Simpedes mendapat sambutan baik dari masyarakat, seperti terlihat dari jumlah penabung yang terus meningkat sbb :<br />________________________________________<br /> DES. '84 JAN. '85 FEBR. '85 MARET '85<br />________________________________________<br />Penabung 2.655 orang 3.564 orang 4.550 orang 4.948 orang<br />Uang (000) Rp. 307.000 Rp. 279.766 Rp. 277.372 Rp. 317.522<br /> <br /> Menurut angket yang dilakukan, ternyata kelonggaran untuk menarik dana sewaktu-waktu, dianggap oleh penabung sebagai faktor yang penting, sekalipun dalam praktek di Sukabumi rata-rata transaksi setor 1,08 kali tiap bulan dan rata-rata transaksi penarikan 0,30 kali tiap bulan. Perbandingan antara transaksi setor : penarikan 3 : 1.<br />Rendahnya tingkat transaksi penarikan dibandingkan dengan transaksi penyetoran, memperlihatkan bahwa masyarakat memperlakukan Simpedes lebih sebagai tabungan daripada sebagai Giro.<br /> Sebagai tambahan informasi dapat kami sampaikan angka-angka Susenas tentang pendapatan percapita dari masyarakat pedesaan Jawa Barat sebagai berikut :<br />- tahun 1980 : Rp. 161.250/capita/tahun<br />- taksiran tahun 1985 : Rp. 282.000/capita/tahun<br />Angka-angka ini memberikan indikasi bahwa penghasilan rata-rata penabung Simpedes masih berada di bawah PTKP.<br /> Berdasarkan keadaan di atas, kami mengajukan permohonan agar penabung Simpedes dibebaskan dari pungutan PPh, sebagaimana halnya dengan penabung Tabanas.<br /> Demikian permohonan kami, atas perhatian dan kebijaksanaan Bapak kami sampaikan terima kasih. <br /> <br /> BANK RAKYAT INDONESIA<br />DIREKSI<br /> <br /> <br /> Hartawan S.<br />NIP. 06092950 Supari Dh.<br />NIP. 02223663<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />SURAT <br />S-1150/PJ.22/1985<br />Ditetapkan tanggal 23 April 1985<br />POTONGAN PPh PASAL 23 <br />1. Berkenaan dengan surat Saudara Nomor .........................tanggal 3 April 1985 perihal pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa ruangan dengan ini kami beritahukan hal-hal sebagai berikut :<br />Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan pemotongan pajak sebesar 15% dilakukan atas jumlah bruto yang dibayarkan dan atas semua pembayaran yang berkenaan dengan penyewaan ruangan tersebut. <br />2. Istilah "terhutang" sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) hendaknya dibaca sebagai satu kesatuan dalam hubungan kata-kata "yang dibayarkan atau yang terhutang". Kata-kata tersebut adalah sebagai kebalikan bagi kata-kata "yang diterima atau diperoleh" sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Apabila kata-kata "yang diterima atau diperoleh" dalam Pasal 4 dilihat dari pihak yang mendapatkan penghasilan (Wajib Pajak) maka kata-kata "yang dibayarkan atau yang terhutang" dalam Pasal 23 (juga dalam Pasal 26) dilihat dari pihak yang memberikan penghasilan (Pemotong Pajak). Berhubung dengan itu terhutangnya PPh Pasal 23 itu harus dikaitkan pula dengan metode pembukuan dari Pemotong Pajak, yaitu apakah Pemotong Pajak mempergunakan metode "cash basis" atau "accrual basis". Apabila pembukuan Pemotong Pajak mempergunakan metode "accrual basis", maka berdasarkan "accrual basis" itu, sewa tersebut telah merupakan biaya (apabila dilihat dari pihak Wajib Pajak yang mendapatkan penghasilan sewa, yang mempergunakan metoda "accrual basis", sewa tersebut telah merupakan penghasilan), maka PPh Pasal 23 atau Pasal 26 telah terhutang. <br />3. Pasal 1 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan No.948/KMK.04/1983 tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak merupakan pengaturan lebih lanjut atas ketentuan yang termuat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang KUP 1984, khusus yang mengenai penyetoran PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.<br />Untuk menentukan saat terhutangnya bagi perusahaan yang seyogyanya mempergunakan "accrual accounting", maka penerapan "accrual basis" berdasarkan perjanjian sewa menyewa dapat dipakai sebagai pegangan, kecuali apabila telah terjadi penagihan uang sewa atau pembayaran uang sewa sebelum saat terhutang berdasarkan penerapan "accrual basis" berdasarkan perjanjian sewa menyewa. <br />A.n DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd<br />Drs. MANSURY <br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-10/PJ.22/1985 <br />Ditetapkan tanggal 13 Maret 1985 <br />PPh PASAL 23 ATAU PASAL 26 ATAS JASA GIRO, BUNGA MONEY ON CALL DAN DEPOSIT ON CALL <br />1. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sejak 1 Januari 1984 pembayaran penghasilan berupa Jasa giro, bunga money on call dan deposit on call harus dipotong PPh Pasal 23 atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.<br />Hal tersebut telah ditegaskan kepada Direksi Bank Indonesia dengan surat Direktur Jenderal Pajak Nomor : S-09/PJ.22/1985 tanggal 4 Januari 1985 yang foto copynya bersama ini kami lampirkan. <br />2. Kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 yang berlaku surut sejak 1 Januari 1984 ternyata telah menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi pembayar penghasilan (pada umumnya adalah bank-bank) untuk melaksanakannya karena kemungkinan rekening sudah ditutup atau tidak aktif lagi ataupun saldo rekening yang masih ada tidak mencukupi untuk membayar pajak yang akan dipotongkan. <br />3. Untuk tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan yang tidak perlu bagi pembayar penghasilan yang bersangkutan, dengan ini kami beritahukan bahwa kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 terhadap jasa giro, bunga money on call dan deposit on call berlaku sejak tanggal 1 April 1985. <br />4. Kendatipun kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 berlaku sejak 1 April 1985 tidak berlebihan kami tegaskan disini, bahwa Wajib Pajak yang menerima penghasilan berupa jasa giro, bunga money on call dan deposit on call tetap wajib mencantumkan penghasilan-penghasilan tersebut sebagai bagian dari Penghasilan Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan 1984. <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. SALAMUN A.T. <br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-416/PJ.233/1985 <br />Ditetapkan tanggal 14 Februari 1985 <br />PPh PASAL 21 ATAS UANG MUKA THT DAN THT KEPADA PEGAWAI BANK BUMI DAYA <br />Berkenaan dengan surat Saudara Nomor ........................ tanggal 22 Januari 1985 perihal seperti tersebut pada pokok surat, bersama ini diberikan penegasan sebagai berikut : <br />1. Penerapan tarif efektif rata-rata dimaksudkan untuk tidak mengakibatkan pengenaan tarif yang tinggi sebagai berikut adanya penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus, seperti antara lain berupa tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua dan sebagainya yang masa perolehannya melebihi satu tahun, tetapi diterima sekaligus. <br />2. Contoh penghitungan pada surat Saudara tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang ada, hanya terhadap penghasilan teratur hendaknya terlebih dahulu dikurangkan biaya jabatan dan iuran pensiun seperti dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan b Buku Petunjuk PPh Pasal 21. <br />3. Sehubungan dengan penegasan tersebut pada butir 1 dan 2, maka PPh Pasal 21 atas uang muka THT dihitung atas dasar tarif efektif rata-rata sebesar 7,8 % dari jumlah penghasilan netto, dan bukan dihitung dengan tarif marginal pada lapisan terendah sebesar 15% atas penghasilan Kena Pajak. <br />Demikian penegasan kami untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd <br />Drs. MANSURY <br /><br /><br /><br />SURAT MENTERI KEUANGAN<br />S-742/MK.011/1984<br />Ditetapkan tanggal 12 Juli 1984<br />PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ATAS USAHA FINANCIAL LEASING<br />Memperhatikan Pasal 1 ayat (2) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.KEP-122/MK/IV/1974, 32/M/SK/2/1974 dan 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Pebruari 1974 tentang Perizinan usaha leasing, maka kegiatan "financial leasing" termasuk kegiatan usaha dari Lembaga Keuangan.<br />Berhubung dengan itu, maka pembayaran yang diterima oleh perusahaan-perusahaan leasing berdasarkan Keputusan Bersama Tiga Menteri tersebut diatas, dalam rangka perjanjian-perjanjian "financial leasing" tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23.<br />Demikianlah agar Saudara maklum.<br />MENTERI KEUANGAN,<br />ttd<br />RADIUS PRAWIRO<br /><br /><br /><br />SURAT<br />S-12/PJ.531/1984<br />Ditetapkan tanggal 7 April 1984<br />PELAKSANAAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23 OLEH KONTRAKTOR DAN PERTAMINA. (SERI PPh PASAL 23 - 06)<br />Pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 Pasal 23 yang dilakukan oleh Kontraktor P.S, Kontraktor K.K. dan Kontraktor lainnya, maupun oleh Pertamina sendiri terhadap Subkontraktor, supplier dan rekanan lainnya, masih diliputi keragu-raguan; hal mana terlihat dari masih banyaknya surat-surat dari mereka yang menanyakan atau minta penegasan mengenai hal-hal tersebut pada lampiran surat ini.<br />Dengan ini kami memberitahukan kepada Saudara mengenai hal-hal yang dipersoalkan serta penegasan yang dapat kami berikan, dan selanjutnya kami harapkan untuk dapat diteruskan kepada yang bersangkutan.<br />Atas bantuan dan kerjasama ini kami sampaikan terimakasih sebesar-besarnya.<br />A.n DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />u.b<br />DIREKTUR PENGUSUTAN DAN PENGENDALIAN WILAYAH,<br />ttd<br />SARWONO PRAWIROSUROYO <br />________________________________________<br />LAMPIRAN <br />Surat Nomor : S-12/PJ.531/1984.<br />Tanggal : 7 April 1984.<br />No Hal-hal yang dipersoalkan Penegasan / Jawaban<br />1. Pembayaran kepada Kontraktor Drilling Tidak dikenakan PPh Ps. 23, melainkan harus membayar/melunasi sendiri PPh Pasal 25.<br />2. Pembayaran kepada Kontraktor CEMENTING SERVICE Tidak dikenakan PPh Pasal 23, melainkan harus melunasi sendiri PPh Ps. 25.<br />3. Pembayaran Sewa (rental) atas Cementing truck, Slurry mixer dan sebagainya Dikenakan PPh Pasal 23 Jika Cementing truck, Slurry mixer dan sebagainya itu disewa oleh Kontraktor Cementing Service, maka PPh Pasal 23 harus dikenakan dan pemotongannya dilakukan oleh Kontraktor Cementing Service selaku penyewa terhadap pihak yang menyewakan.<br />4. Reda Submergible Repair Pembayaran kepada Kontraktor yang melakukan pekerjaan reparasi, tidak termasuk dalam pengertian pembayaran kepada atau untuk JASA TEHNIK, maka dari itu tidak terkena P.Ph pasal 23. Tetapi apabila pekerjaan itu dilakukan oleh Perusahaan Asing yang tidak mempunyai BUT di Indonesia, maka atas pembayaran kepadanya dikenakan PPh pasal 26.<br />5. Pembayaran kepada Kontraktor Welhead& B.O.P. Service/maintenance Pada hakekatnya pembayaran ini adalah untuk pembayaran kontrak atas pemasangan instalasi dan perawatan Well Head, Blow up preventers, dan Ball Valves. Hal ini termasuk didalam pengertian Constructon, maka dari itu tidak termasuk dalam pengertian Jasa Tehnik. PPh Ps. 23 tidak dikenakan, melainkan wajib memenuhi PPh Pasal 25 yang harus dilakukan oleh kontraktor sendiri.<br />6. Pembayaran kepada kontraktor pengadaan barang (Oilfield materials and equipment supply). Tidak dikenakan PPh pasal 23, tetapi Kontraktor/supplier wajib memenuhi PPh Pasal 25.<br />7. Survey Directional Drilling Sebagaimana survey lainnya, seperti survey jenis tanah untuk keperluan tempat bangunan, survey mengenai mutu suatu produk dan sebagainya, adalah termasuk dalam pengertian Jasa Tehnik, maka oleh karena itu pembayaran kepada perusahaan yang melakukan survey itu harus dikenakan PPh Pasal 23.<br />8. Pengertian Jasa Tehnik dan Jasa Manajemen Pengertian ini telah ditentukan secara jelas didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-08/PJ.222/1984 Tanggal 15 Maret 1984. (Seri PPh 23-03) photokopi terlampir.<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-11/PJ.222/1984<br />Ditetapkan tanggal 28 Maret 1984 <br />PEMBETULAN KESALAHAN KETIK PADA ANGKA ROMAWI II SE-08/PJ.222/1984 TANGGAL 15 MARET 1984 (SERI PPh PASAL 23-04) <br />Dengan ini diberitahukan bahwa dalam Surat Edaran tanggal 15 Maret 1984 No. SE-08/PJ.222/1984 perihal Jasa tekhnik dan jasa manajemen menurut Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 (Seri PPh Pasal 23-03) terdapat kesalahan ketik pada kalimat yang tertera pada angka Romawi II yang perlu dibetulkan. Setelah dilakukan pembetulan kalimat pada angka Romawi II tersebut berbunyi sebagai berikut :<br />Yang dimaksud jasa manajemen ialah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan manajemen ("management fee").<br />Demikian, kesalahan ketik tersebut dibetulkan. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG<br />ttd<br />Drs. MANSURY <br /><br /><br /><br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR KEP - 170/PJ./2002<br /><br /> TENTANG<br /><br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1)<br /> HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH <br /> DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak <br /> Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, jenis <br /> jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain <br /> sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa <br /> manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak <br /> Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br />b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak <br /> Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan;<br />c. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 telah diatur ketentuan mengenai Pajak <br /> Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;<br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan <br /> kembali Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto <br /> sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang <br /> Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik <br /> Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) <br /> sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara <br /> Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor <br /> 3985);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari <br /> Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; <br /> Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636);<br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha <br /> Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran <br /> Negara Republik Indonesia Nomor 4057);<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO <br />SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 <br />TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR <br />17 TAHUN 2000.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />(1) Dalam keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan <br /> jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan <br /> pengadaan material/barangnya.<br /><br />(2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering <br /> adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam <br /> kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan <br /> dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang <br />dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah:<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain <br /> sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan <br /> yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;<br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa <br /> lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 <br /> tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 <br /> Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang <br /> telah dipotong PPh Pasal 21.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan <br />penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau <br />bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah <br />Nomor 29 Tahun 1996, adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa <br />konsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal <br />23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah <br />terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II <br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Pada saat mulai berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak <br />Nomor : KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini <br />dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 28 Maret 2002<br />DIREKTUR JENDERAL,<br /><br />ttd<br /><br />HADI POERNOMO<br /><br /><br /> KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR KEP - 170/PJ./2002<br /><br /> TENTANG<br /><br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1)<br /> HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH <br /> DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak <br /> Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, jenis <br /> jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain <br /> sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa <br /> manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak <br /> Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br />b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak <br /> Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan;<br />c. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 telah diatur ketentuan mengenai Pajak <br /> Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;<br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan <br /> kembali Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto <br /> sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang <br /> Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik <br /> Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) <br /> sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara <br /> Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor <br /> 3985);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari <br /> Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; <br /> Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636);<br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha <br /> Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran <br /> Negara Republik Indonesia Nomor 4057);<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO <br />SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 <br />TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR <br />17 TAHUN 2000.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />(1) Dalam keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan <br /> jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan <br /> pengadaan material/barangnya.<br /><br />(2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering <br /> adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam <br /> kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan <br /> dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang <br />dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah:<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain <br /> sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan <br /> yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;<br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa <br /> lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 <br /> tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 <br /> Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang <br /> telah dipotong PPh Pasal 21.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan <br />penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau <br />bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah <br />Nomor 29 Tahun 1996, adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa <br />konsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal <br />23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah <br />terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II <br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Pada saat mulai berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak <br />Nomor : KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini <br />dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 28 Maret 2002<br />DIREKTUR JENDERAL,<br /><br />ttd<br /><br />HADI POERNOMO<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />NOMOR: KEP 170/PJ/2002 <br /> <br />TENTANG<br /> <br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD <br />DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 <br />TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR <br />DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 <br /> <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /> <br />Menimbang :<br />a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang¬-Undang No. 17 Tahun 2000, jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan, dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br />b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasiian atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan; <br />c. bahwa dengan Peraturan Pemerintah No.140 Tahun 2000 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;<br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan kembali Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-¬Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang No. 17 Tahun 2000;<br /> <br />Mengigat :<br />1. Undang Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (LN RI Tahun 1983 No.50; TLN RI No.3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang undang No. 17 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No. 127; TLN RI No.3985);<br />2. Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan (LN RI Tahun 1996 No. 46; TLN RI No.3636);<br />3. Peraturan Pemerintah No.140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (LN RI Tahun 2000 No.255; TLN RI No.4057);<br /> <br />M E M U T U S K A N : <br /> <br />Menetapkan :<br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000.<br /> <br />Pasal 1<br />(1) Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya.<br />(2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan Jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br /> <br />Pasal 2<br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah:<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29Tahun 1996;<br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak, Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang No. 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. <br /> <br />Pasal 3<br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenaKan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1996, adalah sebagaimama dimaksud dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.<br /> <br />Pasal 4<br />Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa korsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang¬Undang No.17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.<br /> <br />Pasal 5<br />Pada saat mulai terlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP 305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 dinyatakan tidak berlaku.<br /> <br />Pasal 6<br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002. <br /> <br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /> <br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 28 Maret 2002<br />DIREKTUR JENDERAL, <br />ttd.<br /> HADI POERNOMO<br /> NIP.060027375<br /> <br /> <br />PERKIRAAN PENGHASILAN NETO <br />ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN PENGHASILAN LAIN<br /> SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA <br />KECUALI SEWA DAN PENGHASILAN LAIN <br />SEHUBUNGAN DENGAN PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN <br />YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN <br />YANG BERSIFAT FINAL <br />BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996<br /> <br />NO JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO<br />1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan Pengguanan harta khusus kendaraan angkutan darat. 20% <br />dari jumlah bruto <br />tidak termasuk PPN<br />2. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1995 dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat. 40%<br />dari jumlah bruto <br />tidak termasuk PPN<br /> <br /> <br />DIREKTUR JENDERAL,<br />ttd.<br />HADI POERNOMO <br />NIP 060027375<br /> <br /> <br />LAMPIRAN II<br /> <br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO<br />ATAS JASA TEKHIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI,<br />JASA KONSULTAN DAN JASA LAIN<br />YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN<br />SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C<br />UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK<br />PENGHASILAN<br />SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR<br />DENGAN UNDANG UNDANG NOMO 17 TAHUN 2000<br /> <br /> <br />NO. JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN<br />PENGHASILAN NETO<br />1. a. Jasa profesi.<br />b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi<br />c. Jasa akuntansi dan pembukuan<br />d. Jasa penilai<br />e. Jasa aktuaris 50 %<br />dari jumlah bruto <br />tidak termasuk PPN<br />2. a. Jasa tehnik dan jasa manajemen<br />b. Jasa perancang/desain :<br /> Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;<br /> Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan;<br /> Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan;<br /> Jasa perancang iklan/logo;<br /> Jasa perancang alat kemasan.<br />c. Jasa instalasi/pemasangan :<br /> Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; <br /> Jasa instalasi/pemasangan peralatan; <br />d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan :<br /> Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel;<br /> Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan;<br /> Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan;<br /> Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;<br />e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap.<br />f. Jasa penunjang dibidang penambangan migas.<br />g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.<br />h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara.<br />i. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.<br />j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah.<br />k. Jasa maklon.<br />l. Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.<br />m. Jasa perantara.<br />n. Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan KPEI.<br />o. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996<br />p. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum<br />q. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film.<br />r. Jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi, termasuk jasa internet.<br />s. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.<br /> 40 %<br />dari jumlah bruto <br />tidak termasuk PPN<br />3.<br /> Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan /pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; <br /> 13 1/3 %<br />dari jumlah bruto <br />tidak termasuk PPN<br />4. a. Jasa perencanaan konstruksi.<br />b. Jasa pengawasan konstruksi.<br /> 26 2/3 % <br />dari jumlah bruto <br />tidak termasuk PPN<br />5. a. Jasa pembasmian hama dan Jasa pembersihan.<br />b. Jasa Catering<br />c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.<br /> 10 % <br />dari jumlah bruto <br />tidak termasuk PPN<br /> <br />DIREKTUR JENDERAL.<br />ttd.<br />HADI POERNOMO<br />NIP.060027375<br /> <br /> <br />LAMPIRAN III<br /> <br />YANG DIMAKSUD DENGAN JASA PENUNJANG <br />Dl BIDANG PENAMBANGAN MIGAS, JASA PENAMBANGAN <br />DAN JASA PENUNJANG Dl BIDANG PENAMBANGAN SELAIN MIGAS,<br />JASA PENUNJANG Dl BIDANG PENERBANGAN DAN BANDAR UDARA, <br />JASA MAKLON DAN JASA TELEKOMUNIKASI<br /> YANG BUKAN UNTUK UMUM<br /> <br />1. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penamban¬gan Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf f Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa : <br />a. jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penem¬patan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur;<br />b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud:<br /> penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;<br /> penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;<br /> perbaikan dan penyemenan dasar yang gagal;<br /> penutupan sumur;<br />c. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkon¬solidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;<br />d. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;<br />e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misal¬nya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;<br />f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dan gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;<br />g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;<br />h. jasa reparasi pompa reda (reda repair);<br />i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan;<br />j. jasa penggantian peralatan/material;<br />k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;<br />I. jasa mud engineering;<br />m. jasa well logging & perforating:<br />n. jasa stimulasi dan secondary decovery;<br />o jasa well testing & wire line service;<br />p. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;<br />q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;<br />r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;<br />s. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas.<br /> <br />2. Yang dimaksud dengan Jasa Penambangan dan Jasa Penun¬jang di bidang Penambangan Selain Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g lampiran II Keputusan ini adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa :<br />a. jasa pengeboran;<br />b. jasa penebasan;<br />c. jasa pengupasan dan pengeboran;<br />d. jasa penambangan;<br />e. jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angku¬tan umum;<br />f. jasa pengolahan bahan galian;<br />g. jasa reklamasi tambang;<br />h. jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;<br />i. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.<br /> <br />3. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penerban¬gan dan Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf h Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara berupa :<br />a. Bidang Aeronautika, termasuk :<br /> Jasa Pendaratan, Penempatan, Penyimpanan Pesawat Udara dan Jasa lainnya sehubungan dengan pendaratan pesawat udara; <br /> Jasa penggunaan Jembatan Pintu (Avio Bridge);<br /> Jasa Pelayanan Penerbangan;<br /> Jasa Ground Handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat;<br /> Jasa penunjang lainnya di bidang aeronautika.<br />b. Bidang Non-Aeronautika, termasuk :<br /> Jasa boga, yaitu jasa penyediaan makanan dan minuman serta pembersihan pantry pesawat;<br /> Jasa penunjang lainnya di bidang non-aeronautika.<br /> <br />4. Yang dimaksud dengan Jasa Maklon sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf k Lampiran II Keputusan ini adalah semua pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), sedangkan spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebahagian atau seluruhnya disediakan oleh penggunan jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.<br /> <br />5. Yang dimaksud dengan Jasa Telekomunikasi Yang Bukan Untuk Umum sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf p Lampiran II Keputusan ini adalah semua kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang sifat, bentuk, peruntukan dan pengoperasiannya terbatas hanya untuk kalangan tertentu saja, dalam arti tidak dapat melayani/digu¬nakan secara bebas oleh umum termasuk :<br />a. Jasa komunikasi satelit (VSAT);<br />b. Jasa interkoneksi;<br />c. Sirkit Iangganan;<br />d. Sambungan Data Langsung;<br />e. Sambungan Komunikasi Data Paket;<br />f. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum lainnya.<br /> <br /> <br />DIREKTUR JENDERAL,<br />ttd.<br />HADI POERNOMO<br />NIP. 060027375<br /> <br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR KEP - 128/PJ./1997<br /><br /> TENTANG<br /><br /> JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PASAL 23 <br /> AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA <br />TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 DAN PERKIRAAN PENGHASILAN <br /> NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah <br /> diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,besarnya perkiraan penghasilan neto <br /> dan jenis jasa lain ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br />b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak <br /> Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultasi;<br />c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk menetapkan kembali jenis jasa lain <br /> yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-<br /> undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 <br /> Tahun 1994 dan perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak <br /> Penghasilan Pasal 23 dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik <br /> Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah <br /> diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang <br /> Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang<br /> Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan <br /> Lembaran Negara Nomor 3567);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha <br /> Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 112, <br /> Tambahan Lembaran Negara Nomor 3664)<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG <br />PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 <br />TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR <br />10 TAHUN 1994 DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PEMOTONGAN <br />PAJAK PENGHASILAN<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />Penghasilan berupa sewa dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15%(lima belas <br />persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah :<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain<br /> sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan<br /> berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;<br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan<br /> pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang<br /> Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun <br /> 1994, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain jasa yang telah <br /> dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />(1) Jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal <br /> 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan <br /> Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah :<br /> a. Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;<br /> b. Jasa akuntansi dan pembukuan;<br /> c. Jasa penebangan hutan;<br /> d. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan;<br /> e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas)<br /> kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;<br /> f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;<br /> g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;<br /> h. Jasa perantara;<br /> i. Jasa penilai;<br /> j. Jasa aktuaris;<br /> k. Jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film;<br /> l. Jasa selain yang tersebut pada huruf a sampai dengan huruf k yang pembayarannya<br /> dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan <br /> Belanja Daerah, kecuali jasa konstruksi dan jasa konsultan yang telah dikenakan Pajak <br /> Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor <br /> 73 Tahun 1996;<br /><br /> yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, selain yang telah dipotong<br /> PPh Pasal 21.<br /><br />(2) Yang dimaksud dengan jasa penunjang di bidang penambangan migas sebagaimana dimaksud pada<br /> ayat (1) huruf f adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa :<br /> a. jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan bubur semen secara tepat<br /> di antara pipa selubung dan lubang sumur;<br /> b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk<br /> maksud-maksud :<br /> - penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;<br /> - penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;<br /> - perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;<br /> - penutupan sumur;<br /> c. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bagian-bagian formasi<br /> yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan<br /> menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;<br /> d. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus<br /> formasi dan menaikkan produktifitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang<br /> tidak diinginkan;<br /> e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic fracturing), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara <br /> pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus <br /> sangat kecil;<br /> f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen and coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk<br /> menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga<br /> aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai <br /> akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;<br /> g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing) penyelesaian sementara suatu sumur baru agar<br /> dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;<br /> h. jasa reparasi pompa reda (reda repair);<br /> i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan;<br /> j. jasa penggantian peralatan/material;<br /> k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;<br /> l. jasa mud engineering;<br /> m. jasa well logging & perforating;<br /> n. jasa stimulasi dan secondary decovery;<br /> o. jasa well testing & wire line service;<br /> p. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;<br /> q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;<br /> r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;<br /> s. jasa lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas.<br /><br />(3) Yang dimaksud dengan jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas<br /> sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang<br /> di bidang pertambangan umum yang berupa :<br /> a. jasa pengeboran;<br /> b. jasa penebasan;<br /> c. jasa pengupasan dan pembongkaran;<br /> d. jasa penambangan;<br /> e. jasa pengangkutan/sistem transportasi kecuali jasa angkutan umum;<br /> f. jasa pengolahan bahan galian;<br /> g. jasa reklamasi tambang;<br /> h. jasa pelaksana mekanikal, elektrikal, penggalian pemindahan tanah, manufaktur dan<br /> fabrikasi;<br /> i. jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana<br />dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah<br />terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, adalah sebagai berikut :<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,<br /> kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan<br /> tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh berdasarkan<br /> Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 40%<br />b. imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum dan konsultan pajak 40%<br />c. imbalan jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan 40%<br />d. imbalan jasa akuntansi dan pembukuan 40%<br />e. imbalan jasa penebangan hutan 40%<br />f. imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan 10%<br />g. imbalan jasa pengeboran di bidang penambangan migas,<br /> kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap 30%<br />h. imbalan jasa penunjang di bidang penambangan migas 30%<br />i. imbalan jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas 30%<br />j. imbalan jasa perantara 60%<br />k. imbalan jasa penilai 40%<br />l. imbalan jasa aktuaris 40%<br />m. imbalan jasa suli suara (dubbing) dan/atau mixing film 40%<br />n. imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l 10%<br /><br />dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang<br />Mewah.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />Dengan berlakunya keputusan ini maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ./1996 tanggal<br />5 Agustus 1996 dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1997.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di JAKARTA<br />pada tanggal 22 Juli 1997<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />ttd<br /><br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR KEP - 96/PJ./2001<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-176/PJ./2000 TENTANG JENIS JASA LAIN <br /> DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C <br /> UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH <br /> TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 <br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak <br /> Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang <br /> Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, <br /> dipandang perlu untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto atas usaha jasa konstruksi <br /> dan jasa konsultan;<br />b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengubah Pasal 4 dan <br /> Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ./2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang <br /> Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf <br /> c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir <br /> dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik <br /> Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) <br /> sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara <br /> Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor <br /> 3985);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari <br /> Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; <br /> Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636);<br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha <br /> Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran <br /> Negara Republik Indonesia Nomor 4057);<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK <br />NOMOR KEP-176/PJ./2000 TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA <br />DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK <br />PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000.<br /><br /><br /> Pasal I<br /><br />Mengubah Pasal 4 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ./2000 tanggal 26 Juni 2000 sehingga <br />menjadi sebagai berikut :<br /><br /> "Pasal 4<br /><br /> (1) Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa <br /> konstruksi adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa <br /> dan pengadaan material/barangnya;<br /> (2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi adalah <br /> jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam <br /> kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang <br /> akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak."<br /><br /><br /> Pasal II<br /><br />Mengubah butir 1 dan mengubah butir 3 menjadi butir 5 serta menambahkan butir 3 dan 4 Lampiran <br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ./2000 tanggal 26 Juni 2000 sehingga menjadi <br />sebagaimana dalam Lampiran Keputusan ini.<br /><br /><br /> Pasal III<br /><br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini <br />dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 7 Februari 2001<br />DIREKTUR JENDERAL,<br /><br />ttd<br /><br />MACHFUD SIDIK<br /><br /><br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br /> Keputusan Dirjen Pajak No. KEP - 305/PJ./2001, Tgl. 18-04-2001 <br />Lampiran: 01PJ_KEP305.htm <br /><br /> KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR KEP - 305/PJ./2001<br /><br /> TENTANG<br /><br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1)<br /> HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH <br /> DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang <br /> Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, <br /> jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan <br /> lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa <br /> manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak <br /> Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br />b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak <br /> Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan;<br />c. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 telah diatur ketentuan mengenai Pajak <br /> Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;<br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu menetapkan <br /> kembali Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto <br /> sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 <br /> tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 <br /> Tahun 2000;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik <br /> Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) <br /> sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara <br /> Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor <br /> 3985);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari <br /> Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46;<br /> Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636);<br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha <br /> Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran <br /> Negara Republik Indonesia Nomor 4057);<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO <br />SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 <br />TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG <br />NOMOR 17 TAHUN 2000.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang <br />dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto <br />adalah :<br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain <br /> sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan <br /> yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;<br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa <br /> lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 <br /> tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 <br /> Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang <br /> telah dipotong PPh Pasal 21.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan <br />penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau <br />bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah <br />Nomor 29 Tahun 1996, adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa <br />konsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam <br />Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah <br />diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud pada Lampiran <br />II Keputusan ini.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />(1) Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan <br /> jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan<br /> pengadaan material/barangnya.<br /><br />(2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering <br /> adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam <br /> kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan <br /> dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Pada saat mulai berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak <br />Nomor : KEP-176/PJ./2000 tanggal 26 Juni 2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : <br />KEP-96/PJ./2001 tanggal 7 Februari 2001 dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2001.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini <br />dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 18 April 2001<br />DIREKTUR JENDERAL,<br /><br />ttd<br /><br />HADI POERNOMO<br />Peraturan Terkait<br />Daftar peraturan terkait, yang terbaru di urutan teratas. <br /> Keputusan Dirjen Pajak No. KEP - 96/PJ./2001, Tgl. 07-02-2001 <br />PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-176/PJ./2000 TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 ... <br /> Peraturan Pemerintah No. 140 TAHUN 2000, Tgl. 21-12-2000 <br />PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI <br /> Undang-Undang No. 17 TAHUN 2000, Tgl. 02-08-2000 <br />PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN <br /> Keputusan Dirjen Pajak No. KEP - 176/PJ./2000, Tgl. 26-06-2000 <br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ... <br /> Peraturan Pemerintah No. 29 TAHUN 1996, Tgl. 18-04-1996 <br />PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN <br /> Undang-Undang No. 7 TAHUN 1983, Tgl. 31-12-1983 <br />PAJAK PENGHASILAN <br /><br /><br />SURAT<br />S-359/PJ.313/1999<br />Ditetapkan tanggal 2 November 1999<br />PPN DAN PPh ATAS JASA TRAINING & SEMINAR<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : BIA.00005/VIII/99 tanggal 23 Agustus 1999 mengenai sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. PT Bina Indocipta Andalan (PT BIA) adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa manajemen dan keuangan yang meliputi jasa di bidang perpajakan, akuntansi, teknologi informasi dan training. PT BIA akan menyelenggarakan training dan seminar yang pesertanya terbuka untuk umum (perusahaan atau orang pribadi). Sehubungan dengan hal tersebut, Saudara mohon penegasan bagaimana pengenaan PPN dan PPh Pasal 23 atas jasa training dan seminar tersebut.<br />2. Pajak Penghasilan<br />2.1. Dalam Pasal 1 huruf b dan Pasal 3 huruf b Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ/1997 tanggal 22 Juli 1997 tentang Jenis Jasa Lain Yang Atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa teknik adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM.<br />2.2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 antara lain ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan atau pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.<br />2.3. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa<br /> a. Dalam hal training dan seminar bersifat terbuka untuk umum, diselenggarakan ditempat yang disediakan oleh penyelenggara dengan materi/program/kurikulum yang ditentukan oleh penyelenggara yang bersangkutan, maka tidak termasuk obyek pemotongan PPh Pasal 23.<br /> b. Dalam hal training dan seminar diselenggarakan untuk peserta tertentu (tidak bersifat umum) dan dengan materi/program sesuai permintaan peserta, maka termasuk dalam pengertian jasa teknik. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima sehubungan dengan jasa training dan seminar tersebut wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM.<br />2.4. Tidak berkelebihan kiranya kami sampaikan bahwa atas penghasilan yang diterima oleh pengajar training dan seminar tersebut dipotong PPh Pasal 21, sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-281/PJ/1998 tanggal 28 Desember 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan kegiatan orang pribadi.<br />3. <br />4. PPN dan PPnBM<br />3.1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha.<br />3.2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999, diatur jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Jasa training atau pelatihan tenaga kerja termasuk jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN karena termasuk jasa di bidang tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 angka 3 peraturan tersebut di atas, sedangkan jasa penyelenggaraan seminar tidak dikecualikan dari pengenaan PPN.<br />3.3. Bahwa jasa penyelenggaraan seminar adalah bukan jasa pendidikan, oleh karena itu atas penyerahan jasa penyelenggaraan seminar oleh perusahaan/badan tertentu terutang PPN.<br />Namun dalam hal lembaga pendidikan baik pemerintah maupun swasta menyelenggarakan seminar masih dalam rangka disiplin ilmu/pendidikan yang dikelolanya, maka atas penyerahan jasa seminar oleh lembaga pendidikan tersebut tidak terutang PPN.<br />3.4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :<br /> a. Jasa training/pelatihan tenaga kerja dikecualikan dari pengenaan PPN, maka atas penyerahannya tidak terutang PPN.<br /> b. Jasa seminar yang diserahkan oleh PT Bina Indocipta Andalan yang bukan lembaga pendidikan adalah jasa yang dikenakan PPN, maka atas penyerahannya terutang PPN.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br /> <br />SURAT EDARAN<br />SE-08/PJ.222/1984<br />Ditetapkan tanggal 15 Maret 1984<br />JASA TEKHNIK DAN JASA MANAJEMEN MENURUT PASAL 23 DAN PASAL 26 UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984<br />(SERI PPh PASAL 23 - 03)<br />Berhubung dengan beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami mengenai arti jasa teknik dan jasa manajemen yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d dan Pasal 26 huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, maka memperhatikan sejarah perumusan Pasal-Pasal tersebut, dapat ditegaskan hal-hal sebagai berikut :<br />I. Yang dimaksud dengan jasa teknik ialah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :<br />a. Untuk suatu proyek tertentu.Dalam proyek tertentu ini jasa teknik pada umumnya hanya diberikan sekali saja misalnya membangun gedung pabrik diperlukan penelitian misalnya berupa : <br /> 1. Penelitian jenis tanah tempat bangunan itu akan didirikan; <br /> 2. Pembuatan design bangunan; <br /> 3. Pengawasan pelaksanaan bangunan itu. <br />b. Untuk membuat suatu jenis produk tertentu. Dalam membuat produk tertentu ini jasa teknik dapat diberikan lebih dari sekali. Jasa teknik ini diberikan secara terus menerus dalam rangka membuat produksi tertentu. Jasa teknik yang diberikan terus menerus ini dapat berupa pemberian :<br /> (1) informasi teknik dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya;<br /> (2) bantuan berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pegawai dari pemberi jasa tekhnik, dan<br /> (3) latihan atas para petugas dari pemakai jasa. Namun ada kalanya jasa teknik untuk pembuatan suatu jenis produk tertentu dapat pula diberikan sekali saja, misalnya kemacetan mesin, yang mengakibatkan produksi tidak bisa terlaksana sebagaimana mestinya.<br />c. Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.<br />II. Yang dimaksud jasa manajemen ialah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen dalam balas jasa berupa imbalan manajemen ("management fee").<br />Demikian untuk mendapat perhatian Saudara.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd<br />Drs. MANSURY<br /><br /><br /><br />SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK<br />SE-10/PJ.313/1992<br />Ditetapkan tanggal 30 Maret 1992<br />HUBUNGAN PPh PASAL 23/26 DENGAN BIAYA PERUSAHAAN<br />Dari hasil penelitian ataupun pemeriksaan sering dijumpai terjadinya kekhilafan ataupun kesalahan yang dilakukan Wajib Pajak yaitu Wajib Pajak telah membayar/membebankan biaya bunga, sewa, royalty, technical fee, management fee serta imbalan atas jasa lainnya sebagai pengurangan penghasilan bruto, tetapi Wajib Pajak yang bersangkutan tidak memotong dan menyetor PPh Pasal 23/26.<br />Berhubung pihak yang menerima/memperoleh penghasilan tidak diberi bukti pemotongan PPh Pasal 23 oleh pemotong, maka pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh pihak penerima penghasilan yang bersangkutan tidak mencantumkan PPh Pasal 23 sebagai kredit pajak.<br />Atas kasus tersebut diatas, penanganan perpajakannya adalah sebagai berikut :<br />1. Biaya-biaya tersebut harus diteliti apakah memenuhi ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 dan tidak bertentangan dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.<br />Dalam hal biaya-biaya tersebut telah dibebankan sebagai pengurang atas penghasilan bruto dan memenuhi ketentuan Pasal 6 jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1991 maka tidak perlu dilakukan koreksi fiskal, walaupun PPh Pasal 23/26 tidak dipotong dan atau tidak disetor oleh Wajib Pajak.<br />Perlu diingatkan kembali bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1991, dalam hal pembayaran-pembayaran tersebut melibatkan dua pihak yang mempunyai hubungan istimewa maka apabila transaksi tersebut tidak wajar harus dilakukan koreksi. <br />2. Terhadap pemotong PPh Pasal 23/26 yang tidak memotong dan atau menyetorkan PPh Pasal 23/26, sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun1983 harus diterbitkan SKP dan atau STP.<br />Penerbitan SKP harus berpedoman pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-08/PJ.22/1989 tanggal 31 Januari 1989 dengan cara : <br />a. Mengirimkan Surat Tegoran dengan diberi batas waktu penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23/26; <br />b. Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi Surat Tegoran, maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) ditambah dengan sanksi 100% sesuai dengan Pasal 13 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan denda administrasi Rp. 10.000,00 sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. <br />c. Apabila setelah menerima Surat Tegoran kemudian Wajib Pajak menyetor dan melaporkan PPh Pasal 23/26, maka jika Wajib Pajak belum melunasi sanksi bunga karena terlambat membayar, KPP harus menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas sanksi bunga ex Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.<br />3. Bagi pemotong PPh Pasal 23/26, setelah membayar PPh Pasal 23/26 tersebut maka dapat membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26 (Bentuk KP PPh 3.30/KP PPh 3.31) dan menyerahkan kepada penerima hasil (pihak yang dipotong).<br />Atas jumlah PPh Pasal 23/26 yang seharusnya telah dipotong dari jumlah yang dibayarkan, tetapi pemberi hasil belum melakukannya sehingga jumlah yang dibayarkan adalah jumlah bruto, maka masalah tersebut hanya merupakan masalah perhitungan pembayaran antara pemberi hasil dan penerima hasil. <br />4. Bukti pemotongan PPh Pasal 23 (Bentuk KP. PPh 3.30/dahulu KP.PPh 4b) yang diterima oleh pihak yang dipotong dapat dikreditkan dari PPh yang terutang pada SPT Tahunnan PPh nya.<br />Apabila SPT Tahunnan PPh dari pihak yang dipotong sudah dimasukkan, sedang Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 terlambat diterima, maka untuk dapat mengkreditkan PPh Pasal 23 tersebut, pihak yang dipotong harus membetulkan SPT Tahunan PPh 1770/1771 sepanjang terhadap pihak yang dipotong tersebut belum pernah dikeluarkan ketetapan pajak dalam tahun yang bersangkutan. <br />5. Apabila terhadap pihak yang dipotong sudah diterbitkan ketetapan pajak, maka pihak yang dipotong dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas ketetapan pajak dimaksud karena terjadi kesalahan tulis, kesalahan hitung sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, dengan dilampiri Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang diterima terlambat tersebut.<br />Demikian untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />Drs. MAR'IE MUHAMMAD<br /><br />SURAT EDARAN<br />SE-01/PJ.222/1989<br />Ditetapkan tanggal 05 Januari 1989<br />PERBEDAAN PENGENAAN PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 23<br />Sehubungan dengan masih adanya keragu-raguan tentang perbedaan pengenaan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23 terhadap imbalan/honorarium atas jasa yang dilakukan oleh perseorangan atau badan sebagaimana diatur dalam SE-08/PJ.222/1984 serta REF.No. S-796/PJ.22/1984tanggal 19 September 1984,bersama ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Atas pembayaran imbalan/honorarium oleh Wajib Pajak badan dalam negeri kepada perseorangan, tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli dan Badan dalam negeri lainnya yang melakukan jasa teknik dan/atau jasa manajemen wajib dipotong PPh Pasal 23. <br />2. Atas pembayaran imbalan/honorarium oleh Wajib Pajak badan dalam negeri kepada perseorangan, tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli di dalam negeri yang melakukan jasa-jasa selain jasa teknik dan/atau jasa manajemen wajib dipotong PPh Pasal 21. <br />3. Atas pembayaran imbalan/honorarium oleh Wajib Pajak perseorangan kepada perseorangan lain, tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli di dalam negeri yang melakukan jasa apapun, termasuk jasa teknik dan jasa manajemen, wajib dipotong PPh Pasal 21.<br />Demikian untuk mendapat perhatian Saudara.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd<br />Drs. WAHONO<br /><br />SURAT<br />S-344/PJ.43/2003<br />Ditetapkan tanggal 9 September 2003<br />MASALAH PENGENAAN PPH PASAL 23 ATAS PENJUALAN SOFTWARE BERLISENSI<br /> Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 4 Juli 2003 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan sebagai berikut : <br />a. PT ACC mendapatkan persetujuan sebagai Re-seller oleh Microsoft Regional Sales Corporation untuk menjual, mendistribusikan sofware produk jadi Microsoft. Dalam perjanjian seluruh media CD software toolkit dan penerbitan sertifikat lisensi dilakukan oleh Microsoft Operation Pte Ltd.<br />b. Dalam praktek sehari-hari sering terjadi perselisihan PT ACC dengan pihak customer karena atas penjualan software computer ini dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 berupa royalti sebesar 15% atau customer mengacu pada Keputusan Dirjen Nomor KEP-170/PJ/2002 melakukan pemotongan berupa jasa teknik sebesar 40% x 15% atau melakukan pemotongan berupa jasa software computer sebesar 40% x 15%.<br />c. Saudara mohon penegasan atas permasalahan : <br />1. atas penjualan Software Komputer program umum tersebut bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, atau<br />2. atas penjualan software computer produk jadi berlisensi (original copy) yang bersifat umum terutang PPh Pasal 23 berupa royalti atau berupa jasa teknik/jasa sofware;<br />3. atas pembayaran untuk pembelian software dari Microsoft tersebut dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif berdasarkan P3B berupa royalti atau tidak.<br />2. Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia - Amerika dan Protokol Indonesia - Amerika, antara lain diatur sebagai berikut : <br />a. Pasal 7 ayat (3) :<br />Royalti sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 13 ayat (3), sehubungan dengan penggunaan, atau hak untuk menggunakan barang atau hak-hak untuk menggunakan barang atau hak-hak sebagaimana disebutkan dalam ayat tadi yang berada di suatu Negara Pihak pada Perjanjian akan diperlakukan sebagai penghasilan yang bersumber di Negara Pihak pada Perjanjian tersebut.<br />b. Pasal 13 <br />i. Ayat (1) :<br />Royalti yang bersumber di salah satu Negara Pihak pada Perjanjian yang diperoleh penduduk Negara lainnya pada Perjanjian dapat dikenakan pajak oleh kedua Negara tersebut.<br />ii. Ayat (2) :<br />Tarif pajak yang dikenakan oleh suatu Negara Pihak pada Perjanjian atas royalti yang bersumber di Negara Pihak pada Perjanjian tersebut dan dimiliki oleh Pihak yang menikmati royalti tersebut yang merupakan penduduk Negara Pihak lainnya pada Perjanjian tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto royalti sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3). <br />3. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 beserta penjelasan, diatur bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk royalti.<br />Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dijelaskan bahwa pada dasarnya imbalan royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan : <br />a. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek, dagang, formula, atau rahasia perusahaan; <br />b. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan; <br />c. informasi, yaitu yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama. <br />4. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahunn 2000 antara lain diatur bahwa atas penghasilan dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan : <br />a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti; <br />b. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. <br />5. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diatur bahwa atas penghasilan berupa royalti yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. <br />6. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa : <br />a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. <br />b. Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan imbalan jasa tersebut adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />c. Yang dimaksud dengan jumalh imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />7. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut : <br />a. Pembelian software saja tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 <br />b. Apabila pembelian software komputer disertai dengan pemberian lisensi, maka termasuk dalam pengertian royalti yang dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto. <br />c. Software maintenance termasuk jasa perawatan, pemeliharaan, perbaikan sehubungan dengan software komputer dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN. <br />d. Atas royalti yang dibayarkan oleh PT ACC kepada Microsoft Regional Sales Corporation (Perusahaan Amerika) dan mengingat beneficial owner royalti tersebut adalah Microsoft Amerika, maka perlakuan Pajak Penghasilan atas royalti tersebut adalah berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia - Amerika. Dengan demikian terhadap royalti yang dibayarkan oleh PT ACC kepada Microsoft Regional Sales Corporation dikenakan berdasarkan PPh Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Amerika sebagaimana tercantum dalam angka 2 huruf b. <br />e. Untuk penerapan ketentuan P3B sebagaimana tersebut pada huruf d, pihak Microsoft Regional Sales wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan odan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority di Amerika kepada PT ACC sebagai pihak yang membayarkan penghasilan dan menyerahkan fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PT ACC terdaftar. <br />f. Apabila Microsoft Regional Sales tidak dapat menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) dimaksud, maka atas pembayaran imbalan royalti tersebut dikenakan pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan. <br /> Demikian agar Saudara maklum.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur<br />Sumihar Petrus Tambunan<br />NIP 060055232<br /> <br /><br />SURAT EDARAN<br />SE-37/PJ.223/1988<br />Ditetapkan tanggal 10 Nopember 1988<br />PEMOTONGAN PPh PASAL 23 ATAS JASA RECRUITMENT<br />Sehubungan dengan beberapa pertanyaan tentang PPh Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 1984 atas pembayaran sebagai imbalan jasa recruitment, bersama ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Pemberian jasa recruitment adalah bertujuan untuk mencari tenaga-tenaga yang memiliki keahlian yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh klien, sehingga hasilnya berupa informasi untuk disampaikan kepada klien tersebut. <br />2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 ditegaskan bahwa jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman dibidang manajemen. Pengertian manajemen disini adalah meliputi segala bidang manajemen, termasuk diantaranya manajemen produksi, manajemen personalia, manajemen pemasaran, dan lain-lain. <br />3. Pemberian jasa recruitment adalah merupakan jasa teknik, oleh karenanya atas imbalan yang dibayarkan oleh wajib pajak dalam negeri kepada wajib pajak dalam negeri lainnya sehubungan dengan pemberian jasa recruitment tersebut wajib dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto.<br />Demikian untuk mendapat perhatian Saudara.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK LANGSUNG,<br />ttd.<br />Drs. WAHONO<br /><br />SURAT<br />S-407/PJ.31/2000<br />Ditetapkan tanggal 18 September 2000<br />PENERAPAN PPh PASAL 23 ATAS JASA PENYELIDIKAN DAN KEAMANAN<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ........... tanggal 7 Agustus 2000 dan Nomor ........... perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa perusahaan Saudara bergerak dalam bidang jasa sebagai berikut : <br />a. Pelayanan Penjagaan Keamanan (Security Guard Services)<br />b. Pelatihan dan Pendidikan Keamanan (Security Training and Education)<br />c. Jasa Pelayanan dan Technical Keamanan (Technical Security Services)<br />d. Pengangkutan Uang Tunai dan Barang Berharga (Cash dan Valuables Transportation)<br />e. Konsultasi dan Investigasi (Consultation and Investigation)<br />Berdasarkan data lebih lanjut yang disampaikan oleh PT. G4SI disebutkan bahwa PT. G4SI menyediakan tenaga keamanan sekaligus pembayaran gajinya. Atas jasa yang diberikan, PT. G4SI menerima imbalan dari klien. Sehubungan dengan hal tersebut Saudara mohon penegasan apakah imbalan jasa atas pelayanan penjagaan keamanan tersebut dikenakan PPh Pasal 23.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.<br />3. Berdasarkan KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 kegiatan pelayanan penjagaan keamanan tidak termasuk dalam pengertian jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994.<br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, dengan ini ditegaskan bahwa atas imbalan jasa penjagaan keamanan yang diterima oleh PT. G4SI, dimana penyediaan tenaga kerja dan pembayaran gaji berasal dari PT. G4SI, tidak termasuk jenis jasa yang imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-176/PJ/2000 tanggal 26 Juni 2000. Walaupun tidak termasuk sebagai penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23, imbalan jasa yang diterima PT. G4SI tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh. <br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. Direktur Jenderal<br />Direktur Peraturan Perpajakan<br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br /><br /><br />KEP-176/PJ/2000<br /><br /> KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR KEP - 176/PJ./2000<br /><br /> TENTANG<br /><br />JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1)<br /> HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH <br /> DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a.bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan <br /> lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal <br /> Pajak;<br />b.bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tanggal 18 April 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;<br />c.bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tanggal 20 Desember 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan;<br />d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu menetapkan kembali Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto <br /><br /> sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang <br /> Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari <br /> Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;<br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha <br /> Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan;<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO <br />SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 <br />TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR <br />10 TAHUN 1994.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang <br />dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah :<br /><br />a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan <br /> yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;<br /><br />b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 <br /> Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain <br /> jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan <br />penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan<br />yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 <br />Tahun 1996, adalah sebagaimana dimaksud pada lampiran I Keputusan ini.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-<br />undang Nomor 10 tahun 1994 adalah sebagaimana dimaksud pada lampiran II Keputusan ini.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto dalam Keputusan ini adalah jumlah imbalan yang dibayarkan atas pemberian jasa tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara <br />pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-128/PJ./1997 <br />tanggal 22 Juli 1997 dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2000.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 26 Juni 2000<br />DIREKTUR JENDERAL<br /><br />ttd<br /><br />MACHFUD SIDIK<br /><br /><br />SURAT EDARAN <br />SE-08/PJ.313/1995<br />Ditetapkan tanggal 10 Juli 1995<br />PPh PASAL 23 ATAS PERSEWAAN ALAT ANGKUTAN DARAT<br />Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c.1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto. Untuk membedakan apakah pembayaran sewa atas penggunaan kendaraan angkutan darat termasuk sebagai sewa atau penghasilan lain sehubungan penggunaan harta yang dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atau termasuk sebagai penerimaan jasa angkutan darat, perlu diberikan penegasan sebagai berikut :<br />1. Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah :<br /> 1.1. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu baik secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994, misalnya untuk antar jemput karyawan suatu perusahaan atau antar jemput anak sekolah suatu Yayasan atau untuk kepentingan lainnya, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat lagi menumpang kendaraan umum yang bersangkutan.<br /> 1.2. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sesuai tersebut pada butir 1.1. di atas.<br /> 1.3. Sewa kendaraan berupa truck, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi tersebut pada butir 1.1 dan butir 1.2 yang disewa atau charter oleh suatu perusahaan angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.<br />2. Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 :<br /> 2.1. Jasa angkutan kendaraan perusahaan taksi yang disewa/charter sesuai tarif argometer.<br /> 2.2. Jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang yang mengangkut barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasar banyak atau volume barang, berat barang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai ditempat tujuan pada waktunya.<br /> 2.3. Jasa angkutan kereta api yang dilakukan oleh Perumka Kereta Api.<br />3. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas sewa : <br /> 3.1. Yang wajib memotong Pajak PPh Pasal 23 atas sewa tersebut pada butir 1 adalah :<br /> a). Subjek Pajak badan dalam negeri termasuk yayasan dan bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;<br /> b). Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994.<br /><br /> c). Badan Pemerintah;<br /> d). Penyelenggara kegiatan.<br /> 3.2. Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa :<br /> a. Besarnya PPh Pasal 23 atas sewa adalah 15% dari perkiraan penghasilan netto;<br /> b. Besarnya perkiraan penghasilan netto adalah sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995.<br /><br /> 3.3. Pemotong PPh Pasal 23 atas sewa sebagaimana dimaksud pada butir 3.1. wajib memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 23 yang terutang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 beserta peraturan pelaksanaannya.<br />Ketentuan-ketentuan sebelumnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku. Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />ttd<br />FUAD BAWAZIER<br /><br /><br />SURAT DIRJEN PAJAK<br />S-265/PJ.313/2004<br />Ditetapkan tanggal 23 Maret 2004 <br />PPh PASAL 23 JASA ANGKUTAN UMUM DI DARAT <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK, <br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 14 Oktober 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: <br />1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa: <br />a. CV ABC adalah suatu perusahaan yang salah satu bidang usahanya adalah pengangkutan barang. Dalam Surat Perjanjian Jasa Pengangkutan Material Tambang dan Material Pabrik dengan PT XYZ. Unit Bisnis Pertambangan Nikel tanggal 24 Agustus 2001, disepakati bersama bahwa: <br />1) Pengangkutan material tambang dan material pabrik dilakukan dari lokasi material ke lokasi pabrik milik PT XYZ; <br />2) Imbalan jasa angkutan dihitung dan dibayarkan berdasarkan banyaknya atau olume material yang diangkut, berat material dan jarak (km) ke lokasi pabrik; <br />3) Kendaraan angkutan yang digunakan adalah milik CV ABC dengan menggunakan plat dasar nomor polisi warna kuning. <br />b. Saudara berpendapat bahwa jasa pengangkutan material tambang dan material pabrik yang dilakukan perusahaan Saudara termasuk kategori jasa angkutan yang tidak dikenakan atau bukan objek pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan SE-08/PJ.313/1995 maupun KEP-170/PJ/2002 <br />c. Saudara mohon penegasan mengenai permasalahan tersebut. <br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), diatur bahwa atas jasa lain selain jasa telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 diatur antara lain bahwa: <br />a. Lampiran I angka 1 : Untuk jasa berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, besarnya perkiraan penghasilan neto ditetapkan sebesar 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; <br />b. Pasal 1 ayat (2) : yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa dan jasa adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya kecuali dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. <br />4. Sesuai angka 2.2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tentang PPh Pasal 23 atas Persewaan Alat Angkutan Darat, ditegaskan bahwa jasa angkutan darat yang mengangkut barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasarkan banyaknya atau volume barang, berat barang, dan jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai ke tempat tujuan merupakan jasa angkutan darat yang tidak dikenakan PPh Pasal 23. <br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa: <br />a. Sepanjang jasa angkutan darat yang dilakukan oleh CV ABC dilakukan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasarkan banyaknya atau volume barang, berat barang, dan jarak ke tempat tujuan, dan sepanjang kontrak/perjanjian tersebut dibuat semata-mata demi terjaminnya barang yang diangkut tersebut sampai ke tempat tujuan, maka merupakan jasa angkutan darat yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23; <br />b. Apabila jasa angkutan darat yang dilakukan oleh CV ABC tidak memenuhi persyaratan tersebut pada huruf a, maka jasa merupakan jasa persewaan alat angkutan darat yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 20% X 15% atau 3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. <br />Demikian agar saudara maklum. <br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />Pjs. DIREKTUR, <br />ttd <br />GUNADI <br /><br /><br /><br />SURAT<br />NOMOR S-973/PJ.313/2002<br />Ditetapkan tanggal 30 Desember 2002<br />Nomor : S-973/PJ.313/2002<br />Sifat : Biasa<br />Hal : Pertanyaan Mengenai PPh Pasal 23 Atas Jasa angkutan Darat<br />Sehubungan dengan surat Saudara atanpa Nomor tanggal 3 Oktober 2002 perihal tersebut diatas , dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat tersebut Saudara megemukakan bahwa :<br /> a. PT. MJ Tbk. Bergerak dalam bidang jasa angkutan barang. Jenis barang yang diangkut adalah semen, biji/pasir besi, makanan, kantong, kaca, dsb. Transaksi berdasarkan delivery erder dan tidak ada kontrak kerja. Bersarnya ongkos angkut ditentukan dengan hitungan per rit/ton dengan tarif kesepakatan antara penyedia dan pangguna jasa angkutan;<br /> b. Sehubungan dengan berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002, Saudara menanyakan apakah Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 masih berlaku sehingga penghasilan PT MR tersebut merupakan penghasilan jasa angkutan darat yang tidak merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.<br />2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubugnan dengan penggunaan harta dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelanggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.<br />3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa dan Perkiraan Pengahsilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf c Undang-undang PPh antara ditegaskan bahwa :<br /> a. Pasal 2 huruf a : Pengahsilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengguaan harta, dan imbalan jasa dipotong PPh pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiran penghsilan neto adalah sewa dan penghsilan lain sehubugnan dengan pnggunaan harta,kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunaan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;<br /><br /> b. Lampiran I angka 1 : besarnya perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat adalah 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.<br />4. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995 tentang PPh Pasal 23 atas persewaan alat angkutan darat antara lain ditegaskan bahwa :<br /> a. Termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 :<br /> 1) Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi,, truk, mobil derek dan taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu secara harian, mingguan maupun bulanan berdasarkan suatu perjanjian tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Badan atau Wajib pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat menggunakan kendaraan umum yang bersangkutan;<br /> 2) Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23;<br /> 3) Sewa kendaraan berupa truk, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicharter oleh suatu perusahaan angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.<br /> b Termasuk sebagai jasa angkutan darat dan tidak merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah :<br /> 1) Jasa angkutan kendaraan perusahaan taksi yang disewa/dicharter sesuai dengan tarif argometer;<br /> 2) Jasa angkutan kendaraan perusahaan angkutan barang dari temmpat pengiriman ke tempat tujuan berdasarkan kontrak/perjanjian angkutan yang dibayar berdasarkan banyak atau Volume barang, berat berang, jarak ke tempat tujuan, sepanjang kontrak/perjanjian tersebut sampai ke tempat tujuan pada waktunya;<br /> 3) Jasa angkutan kereta api yang dilakukan oleh Perum Kereta Api.<br />5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, dengan ini diberikan penegasan kembali bahwa kegiatan usaha PT MR merupakan :<br /> a. Kegiatan persewaan alat angkutan darat, dalam hal melayani pengguna jasa berdasarkan permintaan khusus dengan imbalan jasa disepakati bersama. Imbalan jasa merupakan penghasilan sewa yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%x20% atau 3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN oleh pengguna jasa ditunjuk Undang-undang sebagai pemotong pajak; <br /> b. Kegiatan jasa angkutan darat, dalam hal melayani pengguna jasa untuk rute tertentu sesuai izin trayek dan tarif angkutan yang berlaku umum, Imbalan tersebut merupakan imbalan jasa angkutan darat yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, namun demikian penghasilan tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan. Selain itu PT MR wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan sesuai ketentuan umum.<br />Demikian agar Saudara maklum.<br />a.n. Direktur Jenderal <br />Direktur, <br /> <br />IGN Mayun Winangun<br />NIP 060041978<br />Tembusan :<br />1. Direktur Jenderal Pajak<br />2. Direktur Pajak Penghasilan<br />3. Kakanwil VII DJP Jaya Khusus<br />4. Kepala KPP Perusahaan Masuk BursaUnknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-5146419398744385592009-06-04T22:44:00.001-07:002009-06-04T22:44:24.217-07:00KEBERATAN PAJAKUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 28 TAHUN 2007<br />TENTANG<br />PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983<br />TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN<br /><br /><br />Pasal 24<br />Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan<br />besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan<br />Peraturan Menteri Keuangan.<br />30. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai<br />berikut:<br />Pasal 25<br />(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya<br />kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:<br />a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;<br />b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;<br />c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;<br />d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau<br />e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak<br />ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan<br />perpajakan.<br />(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa<br />Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang<br />terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut,<br />atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak<br />dengan disertai alasan yang menjadi dasar<br />penghitungan.<br />(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)<br />bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau<br />sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila<br />Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu<br />tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar<br />kekuasaannya.<br />(3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas<br />surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi<br />pajak yang masih harus dibayar paling sedikit<br />sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam<br />pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat<br />keberatan disampaikan.<br />(4) Keberatan . . .<br />- 37 -<br />(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),<br />atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan<br />sehingga tidak dipertimbangkan.<br />(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh<br />pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk<br />menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat<br />keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat,<br />atau melalui cara lain yang diatur dengan atau<br />berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi<br />tanda bukti penerimaan surat keberatan.<br />(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan<br />pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib<br />memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang<br />menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi,<br />atau pemotongan atau pemungutan pajak.<br />(7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka<br />waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam<br />Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang<br />belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,<br />tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal<br />penerbitan Surat Keputusan Keberatan.<br />(8) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan<br />permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada<br />ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak<br />sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan<br />ayat (1a).<br />(9) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau<br />dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi<br />administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh<br />persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan<br />keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar<br />sebelum mengajukan keberatan.<br />(10) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan<br />banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar<br />50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada<br />ayat (9) tidak dikenakan.<br /><br />33. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai<br />berikut:<br />Pasal 27<br />(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding<br />hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat<br />Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam<br />Pasal 26 ayat (1).<br />(2) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan<br />pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha<br />negara.<br />(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia<br />dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan<br />sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan<br />dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan<br />tersebut.<br />(4) Dihapus.<br />(4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan<br />pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal<br />Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis halhal<br />yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan<br />yang diterbitkan.<br />(5) Dihapus.<br />(5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka<br />waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam<br />Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas<br />jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan<br />keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan<br />sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.<br />(5b) Jumlah . . .<br />- 40 -<br />(5b) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan<br />permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada<br />ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak<br />sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan<br />ayat (1a).<br />(5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan<br />permohonan banding belum merupakan pajak yang<br />terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.<br />(5d) Dalam hal permohonan banding ditolak atau<br />dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi<br />administrasi berupa denda sebesar 100% (seratusUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-57648890101701161432009-06-04T22:43:00.003-07:002009-06-04T22:43:52.966-07:00TIDAK DIPUNGUT PPNKEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN<br />129/KMK.04/2003<br />Ditetapkan tanggal 9 April 2003<br />PEMBEBASAN DAN/ATAU PENGEMBALIAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI SERTA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH TIDAK DIPUNGUT ATAS IMPOR BARANG DAN/ATAU BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT ATAU DIPASANG PADA BARANG LAIN DENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR DAN PENGAWASANNYA<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan pembebasan dan/ atau pengembalian Bea Masuk;<br /> b. Bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Cukai tidak dipungut atas Barang Kena Cukai yang diekspor;<br /> c. Bahwa berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 143 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, atas impor Barang Kena Pajak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pabean dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan pajak yang terutang tidak dipungut;<br /> d. Bahwa untuk meningkatkan ekspor nonmigas dipandang perlu menyederhanakan tata cara pemberian pembebasan dan/atau pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai, serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut yang semula ditangani BINTEK Keuangan melalui penanganan fasifitas oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;<br /> e. Bahwa penggunaan produksi barang hasil olahan dari perusahaan yang mendapat pembebasan dan/atau pengernbalian Bea Masuk, dan/atau Cukai, serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, sebagai penunjang perekonomian di dalam negeri perlu semakin ditingkatkan;<br /> f. Bahwa terhadap pelaksanaan pemberian pembebasan dan/atau pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai, serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai perlu dilaksanakan pengawasan;<br /> g. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan f perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Dan/Atau Pengembalian Bea Masuk Dan/Atau Cukai Serta Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut Atas Impor Barang Dan/Atau Bahan Untuk Diolah, Dirakit Atau dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor Dan Pengawasannya;<br /> <br />Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);<br /> 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);<br /> 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612);<br /> 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 3613);<br /> 5. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3638) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3717);<br /> 6. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4199);<br /> 7. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi Dan Tugas Departemen;<br /> 8. Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Di Lingkungan Departemen Kauangan;<br /> 9. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;<br /> 10 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 37/KMK.04/2002;<br /><br /> 11 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan;<br /> 12 Keputusan Menteri Keuangan No. 453/KMK.04/2002 tetang Tata Laksana Kepabeanan Di Bidang Impor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.04/2003;<br /><br /> 13 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.04/2002 tentang Tata Laksana Kepabeanan Di Bidang Ekspor;<br />M E M U T U S K A N :<br />Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBEBASAN DAN/ATAU PENGEMBALIAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI SERTA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH TIDAK DIPUNGUT ATAS IMPOR BARANG DAN/ATAU BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT ATAU DIPASANG PADA BARANG LAIN DENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR DAN PENGAWASANNYA<br /><br />BAB I<br />KETENTUAN UMUM<br />PasaI 1<br />Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :<br />1. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.<br />2. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.<br />3. Pembebasan adalah pembebasan Bea Masuk (BM) dan/atau Cukai atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.<br />4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) Tidak Dipungut adalah fasilitas tidak dipungut PPN dan PPnBM atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor sepanjang atas impor barang dan/atau bahan tersebut dibebaskan dan pengenaan Bea Masuk.<br />5. Pengembalian adalah pengembalian BM dan/atau Cukai yang telah dibayar atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang telah diekspor.<br />6. Pejabat adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.<br />7 Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat atau kawasan dengan batas?batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.<br />Pasal 2<br />(1) Terhadap barang dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan Pembebasan dan PPN dan PPnBM tidak dipungut.<br />(2) Terhadap barang dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang telah dibayar BM dan/atau Cukainya dan telah diekspor dapat diberikan Pengembalian.<br />(3) Terhadap barang hasil olahan yang bahan bakunya berasal dari impor yang diserahkan ke Kawasan Berikat untuk diproses lebih lanjut dapat diberikan Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut.<br />(4) Terhadap hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, barang jadi yang rusak dan bahan baku yang rusak yang bahan bakunya berasal dari impor dapat dijual ke dalam negeri dengan membayar BM dan/ atau Cukai serta PPN dan PPnBM.<br />Pasal 3<br />Pemberian Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3), dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya atas nama menteri Keuangan.<br />Pasal 4<br />(1) Untuk mendapatkan Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipunqut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Perusahaan wajib memiliki Nomor Induk Perusahaan (NIPER) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.<br />(2) Untuk mendapatkan NIPER, Perusahaan mengajukan Data Induk Perusahaan (DIPER) kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan menggunakan formulir DIPER sebagaimana contoh dalam Lampiran I Keputusan Menteri Keuangan ini.<br />(3) Berdasarkan pengajuan DIPER, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penelitian administratif dari penelitian lapangan terhadap kebenaran data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).<br />(4) Hasil penelitian administratif dan lapangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dituangkan dalam berita Acara.<br />(5) Persetujuan atau penolakan terhadap permohonan NIPER diberikan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga hari terhitung sejak tanggal Berita Acara.<br />(6) Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan beurut-turut terhitung sejak NIPER diterbitkan perusahaan tidak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemberian Pembebasan dan/anu Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut, NIPER dicabut<br />(7) Terhadap perusahaan yang telah disetujui permohonan NIPER-nya, wajib memasang papan nama dengan tulisan:<br />NAMA PERUSAHAAN : PT ######<br />NIPER NOMOR : #######..<br />(8) NIPER yang telah diterbitkan Bapeksta Keuangan/BINTEK Keuangan dinyatakan tetap berlaku sebagai NIPER yang dapat digunakan untuk mendapat Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut berdasarkan Keputusan Menteri Keuarigan ini<br />BAB II<br />PEMBEBASAN DAN PPN DAN PPnBM TIDAK DIPUNGUT<br />Pasal 5<br />Untuk memperoleh Pembebasan dan PPN dan PPnBM tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :<br />a. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya;<br />b. Diajukan oleh produsen yang mengimpor barang dari/atau bahan dan mengekspor hasil produksinya atau produsen yang menyerahkan hasil produksi nya ke Kawasan Berikat untuk diolah, dirakit atau dipasang pada barang lain;<br />c. Barang dan/atau bahan yang diimpor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain terutama harus diekspor.<br />Pasal 6<br />Permohonan diajukan dengan ketentuan sebagai berikut <br />a. Menyampaikan surat permohonan dengan menggunakan Formulir A1 sebagaimana contoh dalam Lampiran II Keputusan Menteri Kuangan ini;<br />b. Melampirkan Daftar Keterkaitan antara barang dan/atau bahan asal impor dengan hasil produksi yang diekspor atau yang diserahkan ke Kawasan Berikat atau dijual ke dalam negeri dengan menggunakan Formulir A2 sebagaimana contoh dalam Lampiran Ill Keputusan Menteri Keuangan ini.<br />Pasal 7<br />Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diproses untuk disetujui atau ditolak oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.<br />Pasal 8<br />Dalam hal permohonan disetujui, pemohon wajib :<br />a. Menyerahkan jaminan berupa Jaminan Bank, Custom bond atau Surat Sanggup Bayar (SSB) kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar IBM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM yang terutang sebelum pengeluaran barang dilakukan;<br />b. Menyimpan dan memelihara dokumen, buku?buku dan laporan yang berkaitan dengan kegiatan impor dan ekspor sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia;<br />c. Menyampaikan laporan?laporan ke Direktonat Jenderal Bea dan Cukai yang berupa :<br /> 1.1. Laporan Ekepor (LE) bagi produsen yang langsung mengekspor hasil produksinya, sekurang?kurangnya 6 (enam) bulan sekali, dengan menggunakan Formulir A3 dan A4 sebagaimana contoh terlampir dalam Lampiran IV dan V Keputusan Menteri Keuangan ini, disertai :<br /> Dokurnen Impor:<br /> a) Copy Pemberitahuan Impor Barang (PIB)/Pemberitahuan Impor Barang Tertentu (PIBT) yang telah dberikan persetujuan keluar oleh Pejabat;<br /> b) Copy Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ) di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan Dokumen ekspor :<br /> a) Laporan Pemeriksaan Bea dan Cukai (LPBC) asli/Laporan Hasil Pemeriksaan (LHT) asli;<br /> b) Copy Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah mendapat persetujuan muat oleh Pejabat;<br /> c) Copy Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB) atau dokumen pengangkutan lain yang disamakan.<br /> 2.2. Laporan Penyerahan ke Kawasan Berikat bagi produsen yang menyerahkan hasil produksinya ke Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut, sekurang?kurangnya 6 (enam) bulan sekali, dengan menggunakan Formulir A7 dan A8 sebagaimana contoh dalam Lampiran VI dan VII Keputusan Menteri Keuangan ini, disertai Dokumen impor:<br /> a) Copy PIB/PIBT yang telah diberikan persetujuan keluar oleh Pejabat;<br /> b) Copy STTJ di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Dokumen penyerahan :<br /> a) Bukti penyerahan barang ke Kawasan Berikat yang telah disahkan oleh Pejabat;<br /> b) Bukti kontrak penjualan ke perusahaan pengolahan di Kawasan Berikat.<br /> 3.3 Laporan Penjualan ke dalam negeri bagi produsen yang menjual hasil produksinya ke dalam negeri menggunakan Formulir A9 dan A10 sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII dan IX Keputusan Menteri Keuangan ini, disertai<br /> 1) Dokumen impor:<br /> a) Copy PIB/PIBT yang telah diberikan Persetujuan keluar oleh Pejabat;<br /> b) Copy STTJ di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan<br /> 2) Dokumen penyerahan berupa faktur penjualan ke dalam negeri.<br />Pasal 9<br />Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikembalikan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah laporan-laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c disetujui.<br />Pasal 10<br />(1) Realisasi ekspor harus terlaksana dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal pengimporan, kecuali terhadap perusahaan yang memiliki masa produksi lebih dari 12 (dua belas) bulan dapat diberikan pengecualian oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan;<br />(2) Penyerahan ke Kawasan Berikat harus terlaksana dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pengimporan sampai dengan tanggal pemasukan barang ke Kawasan Berikat.<br />(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak terpenuhi, BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM yang terutang atas impornya wajib dibayar.<br />(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang mengenai BM dan/atau Cukai ditambah dengan bunga 2% (dua persen) dari pungutan yang seharusnya dibayar setiap bulan selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan :<br /> a. Terhitung sejak tanggal jatuh ternpo jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), sepanjang barang dan/atau bahan masih berada dalam persediaan perusahaan yang mendapat Pembebasan serta PPN dan PPnBM tidak dipungut;<br /> b. Terhitung sejak tanggal jatuh tempo jangka waktu yang ditetapkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br />(5) Kewajban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang mengenai PPN dan PPnBM ditambah denda sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku<br />BAB III <br />PENGEMBALIAN <br />Pasal 11<br />Pengembalian dapat diberikan kepada :<br />a. Produsen yang mengekspor sendiri hasil produksinya (Eksportir Produsen);<br />b. Produsen yang menyerahkan hasil produksinya ke Kawasan Berikat.<br />Pasal 12<br />Untuk memperoleh Pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) harus memenuhi :<br />a. Dalam hal barang telah diekspor :<br /> 1.1. Telah diperiksa oleh Pejabat;<br /> 2.2. Tanggal LPBC/LHP tidak melebihi 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal B/L atau AWB atau dokumen pengangkutan lain yang disamakan, sampai dengan tanggal permohonan diterima Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;<br /> 3.3. Impor telah dilakukan selama?lamanya 24 (dua puluh empat) bulan sebelum pengapalan barang ekspor.<br />b. Dalam hal barang yang dimasukkan ke Kawasan Berikat :<br /> 1.1 Telah dipaksa oleh Pejabat;<br /> 1.2. Tanggal nota pemeriksaan Pejabat tidak melebihi 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal pemeriksaan sampai dengan tanggal permohonan diterima Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.<br /><br />Pasal 13<br />(1) Permohonan Pengembalian diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya.<br />(2) Permohonan diajukan dengan menggunakan Formulir B sebagaimana contoh dalam Lampiran X Keputusan Menteri Keuangan ini, dengan melampirkan :<br /> a. Daftar Keterkaitan antara barang dan/atau bahan asal impor dengan barang yang diekspor atau diserahkan ke Kawasan Berikat dengan menggunakan Formulir B3 sebagaimana contoh dalam Lampiran XI Keputusan Menteri Keuangan ini;<br /> b. Dokumen impor berupa ;<br /> 1. Copy PIB/ PIBT yang telah diberikan persetujuan keluar oleh Pejabat;<br /> 2. Surat Setoran Bea dan Cukai (SSBC) asli lembar ke-3 atau Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP) Bukti Pembayaran Pabean, Cukai, dan Pajak (BPPCP).<br /> c. Dokumen ekspor berupa :<br /> 1. Copy PEB yang telah mendapat persetujuan muat oleh Pejabat;<br /> 2. LPBC/LHP;<br /> 3. Copy B/L atau AWB atau dokumen pengangkutan lain yang disamakan.<br /> d. Dokumen penyerahan barang ke Kawasan Berikat :<br /> 1. Bukti penyerahan ke Kawasan Berikat;<br /> 2. Copy Faktur Pajak;<br /> 3. Copy kontrak penjualan ke Kawasan Berikat.<br />Pasal 14<br />Permohonan diperoses untuk disetujui atau ditolak dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.<br />Pasal 15<br />Dalam hal permohonan disetujui, pemohon wajib menyimpan dan memelihara dokumen, buku-buku dan catatan secara rinci sehubungan dengan Pengembalian yang diterimanya selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia.<br />BAB IV<br />PENJUALAN KE DALAM NEGERI<br />Pasal 16<br />(1) Terhadap barang hasil produksi yang bahan bakunya berasal dari impor dapat dijual ke dalam negeri setelah ada realisasi ekspor dan/ atau penyerahan ke Kawasan Berikat, dengan ketentuan :<br /> a. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya dan dilaksanakan pemeriksaan fisik oleh Pejabat;<br /> b. Barang yang akan dijual ke dalam negeri sebanyak-banyaknya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah realisasi ekspor dan/ atau penyerahan ke Kawasan Berikat;<br /> c. Membayar BM dan/atau Cukai berdasarkan tarif barang jadi dengan pembebanan dan nilai pabean bahan baku pada saat diimpor;<br /> d. Membayar PPN dan PPnBM yang semula tidak dipungut dengan dasar pengenaan pajak sebesar nilai impor ditambah sanksi sesuai ketentuan yang berlaku;<br /> e. Pemungut PPN dan PPnBM pada saat penyerahan barang ke dalam negeri.<br />(2) Penjualan ke dalam negeri menggunakan Formulir A9 dan A10 sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII dan IX Keputusan Menteri Keuangan ini, disertai :<br /> a. Copy PIB/PIBT yang telah diberikan persetujuan keluar oleh Pejabat;<br /> b. Copy STTJ di Drektorat Jenderal Bea dan Cukai; dan<br /> c. Faktur penjualan ke dalam negeri.<br />Pasal 17<br />Atas penjualan ke dalam negeri yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dikenakan denda 100%b (seratus persen) dan BM dan/atau Cukai yang seharusnya dibayar.<br />Pasal 18<br />(1) Penjualan ke dalam negeri harus terlaksana dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pengimporan sampai dengan tanggal pemasukan barang ke dalam negeri, kecuali terhadap perusahaan yang memiliki masa produksi lebih dari 12 (dua belas) bulan dapat diberikan pengecualian oleh DIrektur Jenderal Bea dam Cukai atas naMa Menteri Keuangan.<br />(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM yang terutang atas impornya wajib dibayar.<br />(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepaniang mengenai BM dan/atau Cukai ditambah dengan bunga 2% (dua persen) dari pungutan yang seharusnya dibayar setiap bulan selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan :<br /> a. Terhitung sejak tanggal jatuh tempo jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sepanjang barang dan/atau bahan masih berada dalam persediaan perusahaan yang mendapat Pembebasan serta PPN dan PPnBM tidak dipungut<br /> b. Terhitung sejak tanggal jatuh tempo jangka waktu yang ditetapkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br />(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang mengenai PPN don PPnBM ditambah denda sesuai ketentuan Perpajakan yang berlaku.<br />Pasal 19<br />Realisasi ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), adalah realisasi ekspor terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2003.<br />BAB V<br />PENGAWASAN<br />Pasal 20<br />Pengawasan terhadap pemberian Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari Direktorat Jenderal Pajak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dengan cara audit terhadap perusahaan penerima Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut.<br />Pasal 21<br />Pelaksanaan audit di bidang kepabeanan, cukai dan/atau perpajakan dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai ketentuan yang berlaku tentang pelaksanaan audit di bidang kepabeanan dan/atau cukai dan/atau perpajakan.<br />BAB VI<br />KETENTUAN LAIN-LAIN<br />Pasal 22<br />(1) Atas hasil produksi yang bahan bakunya mendapat Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang seharusnya diekspor atau harus ada di perusahaan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, penerima Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut Wajib :<br /> a. Membayar BM dan/atau Cukai yang terutang ditambah denda sebesar 100% (seratus persen) dari BM dan/atau Cukai yang seharusnya dibayar;<br /> b. Membayar PPN dan PPnBM yang semula tidak dipungut ditambah sanksi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.<br />(2) Tata cara pembayaran BM dan/atau Cukai, dan denda serta pembayaran PPN dan PPnBM sebagaimana diatur dalam ayat, (1) ditetapkan bersama-sama maupun sendiri-sendiri oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan Direktur Jenderal Pajak.<br />Pasal 23<br />(1) Hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, barang jadi yang rusak dan bahan baku yang rusak yang bahan bakunya berasal dari impor yang dijual di dalam negeri dikenakan :<br /> a. BM sebesar 5% (lima persen) dari harga jual;<br /> b. Cukai sesuai dengan ketentuan tarif yang berlaku; dan<br /> c. PPN dan PPnBM yang semula tidak dipungut dengan dasar pengenaan pajak sebesar nilai impor.<br />(2) Atas penjualan di dalam negeri barang hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, barang jadi yang rusak dan bahan baku yang rusak dikenakan PPN dan/atau PPnBM.<br />(3) Terhadap barang?barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum dijual di dalam negeri dilakukan pemeriksaan oleh Pejabat;<br />(4) Hasil produksi sampingan sisa hasil produksi, barang jadi yang rusak dan bahan baku yang rusak yang bahan bakunya berasal dari impor yang seharusnya ada di perusahaan kecuali telah diselesaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tidak capat dipertanggungjawabkan selain dikenakan:<br /> a. BM dan/atau Cukai, dikenakan denda 100% (seratus persen) dari BM dan/ atau Cukai yang seharusnya dibayar;<br /> b. PPN dan PPnBM, dikenakan juga denda sesuai ketentuan yang berlaku.<br />Pasal 24<br />(1) Terhadap barang ekspor yang pemah memperoleh Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang diimpor kembali, pada waktu pemasukannya wajib diserahkan jaminan sebesar pungutan BM dan/atau Cukai dengan harga dan tarif barang jadi disertai bukti ekspor berupa PEB dan LPBC/LHP kepada Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai tempat pemasukan.<br />(2) Terhadap barang ekspor yang pernah memperoleh Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang diimpor kembali, pada waktu pemasukannya, PPN dan PPnBM wajib dibayar sesuai ketentuan yang berlaku.<br />(3) Barang ekspor yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tidak dapat diekspor kembali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dipungut BM dan/atau Cukai yang terutang sesuai tarif pada waktu impor bahan dan/atau barang.<br />Pasal 25<br />(1) Hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi barang jadi yang rusak dan bahan baku yang rusak dapat dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat.<br />(2) Terhadap hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, barang jadi yang rusak dan bahan baku yang rusak yang dimusnahkan tidak dipungut BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM.<br />(3) Permohonan pemusnahan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai yang mengawasi wilayah pemohon.<br />(4) Hasil pemusnahan dituangkan dalam Berita Acara Pemusnahan.<br />Pasal 26<br />Atas pernbayaran sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) dan pemusnahan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (4) dipertanggungjawabkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan Formulir A5 dan A6 sebagaimana contoh dalam Lampiran XII dan XIII Keputusan Menteri Keuangan ini.<br />Pasal 27<br />Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kelebihan Pembebasan dan/atau Kelebihan Pengembalian, maka atas kelebihan tersebut harus dikembalikan dan dikenakan sanksi 100% (seratus persen) ditambah bunga atas kelebihan Pembebasan dan/atau Pengembalian sebesar 2% (dua persen) setiap bulan selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak :<br />a. tanggal PIB untuk Pembebasan;<br />b. tanggal Surat Perintah Membayar Kembali (SPMK) untuk Pengembalian.<br />BAB VII<br />KETENTUAN PERALIHAN<br /> <br />Pasal 28<br />(1) Terhadap semua keputusan Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang diterbitkan oleh Kepala Bapeksta Keuangan/Kepala BINTEK Keuangan atau pejabat yang ditunjuknya yang masih berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku Keputusan dimaksud.<br />(2) Hal-hal yang perlu diatur dalam rangka proses peralihan penyerahan wewenang dari Kepala BINTEK Keuangan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai diatur febih lanjut antara Kepala BINTEK Keuangan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.<br />BAB VIII<br />KETENTUAN PENUTUP<br /> <br />Pasal 29<br />Ketentuan teknis yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan Direktur Jenderal Pajak baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dengan berlandaskan Undang-undang Perpajakan, Undang-undang Kepabeanan dan Undang-undang Cukai.<br />Pasal 30<br />Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku :<br />(1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 615/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Dan Pengembalian Bea Masuk Dan/Atau Cukai Serta Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut Atas Impor Barang Dan/Atau Bahan Untuk Diolah, Dirakit Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor Dan Pengawasannya dinyatakan tidak berlaku;<br />(2) Semua peraturan pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 615/KMK.05/1997 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan ini dan belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.<br />Pasal 31<br />Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2003.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan menempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 9 April 2003<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />ttd.<br />B O E D I O N O<br />-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br />Lampiran I<br />129/KMK.04/2003<br />DATA INDUK PERUSAHAAN <br />UNTUK PENGAJUAN PERMOHONAN KEPADA <br />DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI<br />NAMA PERUSAHAAN :.......................................................<br />NOMOR INDUK PERUSAHAAN <br /> : <br /> <br /><br />TANGGAL (DDMMYY) <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /> <br />________________________________________<br />DATA INDUK PERUSAHAAN UNTUK <br />PENGAJUAN PERMOHONAN KEPADA <br />DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI<br /> Pada hari ini ...............tanggal.................bulan..............tahun dua ribu...............bertempat di.....................kami yang bertanda tangan di bawah ini : <br /> <br /> Nama :.....................................................<br /> Jabatan :.....................................................<br /> Nama Perusahaan :.....................................................<br /> Alamat :.....................................................<br />untuk dan atas nama perusahaan diatas, menyatakan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal-pasal di bawah ini : <br />Pasal 1<br />(1) Kami menyatakan bahwa seluruh keterangan yang tercantum dalam Data Induk Perusahaan ini benar adanya dan memberi hak kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran datanya.<br />(2) Apabila dikemudian hari ada perubahan data sehingga tidak sesuai lagi, maka kami akan memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak perubahan terjadi.<br /> <br />Pasal 2<br />Kami menyatakan tunduk pada ketentuan yang menjadi landasan pemberian Pembebasan dan/atau Pengembalian BM dan /atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang kami terima dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.<br />Pasal 3<br />Kami wajib menyelenggarakan administrasi dan pembukuan untuk mempertanggung jawabkan Pembebasan dan/atau Pengembalian BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang kami terima dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan cara yang lazim dilakukan dalam dunia usaha.<br />Pasal 4<br />Kami menyatakan bahwa setiap permohonan Pembebasan dan/atau Pengembalian BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut dan laporan yang kamu ajukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah benar dan dapat dibuktikan melalui catatan akuntansi perusahaan dan dokumen lain yang terkait.<br />Pasal 5<br />(1) Apabila dikemudian hari ternyata kami menerima Pembebasan dan/atau Pengembalian BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut lebih dari yang seharusnya atau menurut ketentuan bukan menjadi hak kami, kami wajib mengembalikan/membayar kelebihan tersebut.<br />(2) Apabila kelebihan dimaksud ayat (1) diakibatkan oleh kelalaian kami, maka kami wajib :<br /> (a) mengembalikan pokok kelebihan dalam tempo 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal tagihan<br /> (b) Membayar biaya administrasi sebesar pokok kelebihan dimaksud ayat (1) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal tagihan;<br /> (c) Membayar bunga 2% setiap bulan untuk atas kelebihan pembayaran setiap keterlambatan pembayaran pada ayat (1) dan (2) terhitung sejak tanggal diterima fasilitas.<br />(3) Memberikan hak kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk membekukan saldo rekening kami pada seluruh bank serta mendahulukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas hasil penjualan harta kekayaan perusahaan terhadap semua kewajiban kami..<br /> <br />Pasal 6<br />Dengan menandatangai pernyataan ini, kami memberi kuasa kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menguji, menelusuri dan membuktikan kebenaran setiap permohonan, laporan keterkaitan beserta bukti-bukti pendukung lainnya melalui metode audit pada catatan/pembukuan perusahaan kami.<br /> a.n. PT/CV.................................................<br />Mengetahui : Materai <br />Rp 6000<br /> <br />------------------------- -------------------------<br />Dewan Komisaris <br /> Foto <br />3 x 4 <br /> <br /> Foto<br />3 x 4 <br /> <br /> <br /> Disetujui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai : <br />Nomor Induk : <br /> <br />Tanggal : ..........................20... <br /> Yang Menyetujui, <br /> <br /> ------------------------ <br /> ----------------------- <br /><br /><br /><br /><br /><br />________________________________________<br />DATA INDUK PERUSAHAAN<br />I. DATA UMUM PERUSAHAAN<br />1. Nama Perusahaan :.................................................................<br />2 NPWP <br /> : <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br />3 Alamat Kantor Pusat :.................................................................<br /> <br /> Kode pos : <br /> <br /><br />4 Telp/Telex/Fax <br /> : <br /> <br /><br />5 Alamat Surat Menyurat :................................................................<br /> :................................................................<br /> <br /> Kode pos : <br /> <br /><br />6 Status Usaha :<br /> a. Produsen<br /> [ ] d. Kontraktor [ ]<br /> b Eksportir [ ] e. Sub Kontraktor [ ]<br /> c. Importir [ ] <br />7 Pengajuan permohonan dan pemenuhan kewajiban akan disampaikan melalui :<br /> a Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di [ ]<br /> b KWBC/KPBC [ ] di.....................<br />8 Status Penanaman Modal :<br /> a. PMA [ ] b. PMDN [ ] c Non PMA/PMDN [ ]<br />9 Kedudukan Kantor Cabang <br />NO ALAMAT/NPWP TELP/TELEX/FAX<br />1 2/3 4/5/6<br />1 .............................................................................<br />.............................................................................<br /> <br /> <br /><br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br />2 .............................................................................<br />.............................................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br />3 .............................................................................<br />.............................................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br />4 .............................................................................<br />.............................................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />5 Dst. <br /><br />II DATA PENANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN<br /> 1. Nama Dewan Direksi Perusahaan<br /> NO JABATAN NAMA/ALAMAT TELEPON<br />1 2 3/4 5<br />1 ...............................................................<br /> ...........................................<br />...........................................<br />...........................................<br /> <br /> <br /><br />2 ...............................................................<br /> ...........................................<br />..........................................<br />..........................................<br /> <br /> <br /><br />3 ..............................................................<br /> ...........................................<br />...........................................<br />...........................................<br /> <br /> <br /><br /><br />4 ..............................................................<br /> ...........................................<br />...........................................<br />...........................................<br /> <br /> <br /><br />5 ..............................................................<br /> ...........................................<br />...........................................<br />...........................................<br /> <br /> <br /><br />6 ..............................................................<br /> ...........................................<br />...........................................<br />...........................................<br /> <br /> <br /><br />7 Dst <br /><br /> 2 Nama Pemegang Saham atau Pemilik Modal (sesuai akta terakhir)<br /> NO. NAMA/ALAT PEMEGANG SAHAM TELEPON<br />1 2/3 4<br />1 ..............................................................<br />..............................................................<br />..............................................................<br /> <br /> <br /><br />2 ..............................................................<br />..............................................................<br />..............................................................<br /> <br /> <br /><br />3 ..............................................................<br />..............................................................<br />..............................................................<br /> <br /> <br /><br />4 Dst <br /><br /> <br />3 Akte pendirian perusahaan dan perubahan-perubahannya.<br /> NO. URAIAN AKTE PENDIRIAN & PERUBAHAN NO & TGL AKTE<br /> NO & TGL LEMBARAN BERITA NEGARA<br />1 Akte Pendirian ..............................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /><br /> ..............................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br />2 Perubahan Terakhir ..............................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /> ..............................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /><br /> <br />4 Nama pejabat dan pejabat pengganti yang menandatangani permohonan dan dokumen lainnya<br /> NO URAIAN NAMA/JABATAN DI PERUSAHAAN<br />1 2 3/4<br />1 Pejabat Penandatangan ..............................................................<br />..............................................................<br /><br />2 Pejabat Pengganti ke I ..............................................................<br />..............................................................<br /><br />3 Pejabat Pengganti ke II ..............................................................<br />..............................................................<br /><br /><br /> <br />5 Produk yang dihasilkan<br /> NO NAMA PRODUK PRODUKSI/TAHUN PENJUALAN<br /> KUANTITAS RUPIAH EKSPOR IMPOR<br />1 2 3 4 5 6<br />1<br /><br /><br /><br /><br /><br />2<br /><br /><br /><br /><br /> Produk Utama<br />....................................................<br />...................................................<br />....................................................<br />Dst<br /><br />Produk Sampingan<br />....................................................<br />....................................................<br />...................................................<br />Dst<br /> <br />......................<br />.....................<br />.....................<br /><br /><br /><br />......................<br />......................<br />......................<br /><br /> <br />......................<br />......................<br />......................<br /><br /><br /><br />......................<br />......................<br />......................<br /><br /> <br />......................<br />......................<br />......................<br /><br /><br /><br />......................<br />......................<br />......................<br /><br /> <br />......................<br />......................<br />......................<br /><br /><br /><br />......................<br />......................<br />......................<br /><br /><br /><br /><br /> <br />III DATA PERPAJAKAN DAN PERBANKAN<br /> 1. Status wajib pajak :<br /> a. PKP [ ] b. Non PKP [ ]<br /><br />2 Keputusan pengukuhan sebagai :<br /> Nomor :................................... Tanggal <br /> <br /> <br /> <br />Jenis Usaha :................................... <br /><br />3 Bank yang digunakan perusahaan<br /> NO NAMA/ALAMAT BANK KODE/ NO REKENING<br />1 2/3 4/5<br />1 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br /><br />........................................................<br /><br />2 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br />........................................................<br /><br />3 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br />........................................................<br /><br />4 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br />........................................................<br /><br />5 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br />........................................................<br /><br />6 Dst <br /><br />4 Anggota group (bagi perusahaan yang tergabung dalam group)<br /> NO NAMA/ALAMAT PERUSAHAAN NPWP<br />1 2/3 4<br />1 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />2 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />3 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />4 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />5 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />6 ........................................................<br />........................................................<br />........................................................<br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />7 ........................................................<br />........................................................<br /><br /> <br /> <br /> <br /><br /><br />8 Dst <br /><br /><br />IV DATA PRODUKSI<br /> 1. Status pemilikan pabrik (diisi apabila perusahaan sebagai produsen)<br /> a. milik sendiri [ ] b. sewa/kontrak [ ] c. sewa/beli [ ]<br /><br /> <br />2 Metode produksi berdasarkan :<br /> a. produksi pesawan (job order) [ ]<br /> b. produksi massa (massa production) [ ]<br /> c. Produksi campuran (mix production) [ ]<br /> <br />3 Kedudukan pabrik<br /> NO. ALAMAT TELP/TELEX/FAX<br /> KODE POS/NPWP <br />1 2/3/4 5/6/7<br />1<br /><br /><br /> .........................................................................................<br />.........................................................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br />2<br /><br /><br /> .........................................................................................<br />.........................................................................................<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br />3 Dst <br /><br /><br />V DATA PEMBUKUAN <br /> YA/ADA TIDAK<br />1. Apakah laporan keuangan sudah diperiksa akuntan publik? [ ] [ ]<br />2 Apakah perusahaan mempunyai sistem akuntansi?............. [ ] [ ]<br />3 Apakah perusahaan mempunyai pembukuan dengan jenis sebagai berikut : <br /> a. Kartu stok bahan baku.................................................... [ ] [ ]<br /> b. Kartu pembelian impor dan lokal..................................... [ ] [ ]<br /> c Buku kas, buku piutang dan hutang dagang...................... [ ] [ ]<br /> d Buku Bank..................................................................... [ ] [ ]<br /> e Kartu produksi............................................................... [ ] [ ]<br /> f Kartu barang jadi .......................................................... [ ] [ ]<br /> g Catatan limbah, reject, scap........................................... [ ] [ ]<br /> h Buku penjualan ekspor dan lokal................................... [ ] [ ]<br />4 Apakah pemakaian bahan baku untuk memproduksi barang ekspor jumlah/kuantitasnya dapat ditelusuri dari kartu produksi?................ [ ] [ ]<br />5 Apakah perusahaan menggunakan sistem subkontrak (makloon) dengan perusahaan lain untuk memproduksi barang?...................... [ ] [ ]<br />6 Apakah administrasi perusahaan sudah menggunakan komputer?.... [ ] [ ]<br /><br /><br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br /> ttd <br /> BOEDIONO<br />________________________________________<br />Lampiran II<br />FORMULIR -A1<br />Nomor : Kepada<br />Lampiran : Yth. Direktur Jenderal Bea dan Cukai<br />Perihal : Permohonan Pembebasan Bahan Baku ................................................<br /> di -<br /> ....................................<br /> Yang bertanda tangan di bawah ini, kami pimpinan dari :<br /> Nama Perusahaan :......................................................................<br /> NPWP` :......................................................................<br /> NIPER :......................................................................<br /> Alamat Kantor :......................................................................<br /> :......................................................................<br /> Telepon :..................................,Fax :.............................<br /> Alamat Pabrik :......................................................................<br /> Dalam kedudukan sebagai Eksportir Produsen, dengan ini mengajukan permohonan pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPn BM tidak dipungut atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit atau dipasang pada barang lain dengan tujuan diekspor. <br /> Bersama ini kami lampirkan pula dokumen pendukung antara lain berupa :<br />1. Rencana impor dan ekspor selama kurun waktu waktu 12 bulan;<br />2 Realisasi ekspor 12 bulan yang lalu atau kontrak ekspor;<br />3 Foto copy kartu NPWP (khusus untuk perusahaan baru atau perusahaan lama yang pindah alamat).<br /> Apabila permohonan ini disetujui, kami menyatakan tunduk pada peraturan yang menjadi dasar pemberian pembebasan BM dan/atau cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut ini.<br /> Materai Rp 6000<br /> .................,............20.....<br />Pemohon,<br /> Tanda tangan :................................<br /> Nama :................................<br /> Jabatan :................................<br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />FORMULIR - A2<br />RENCANA IMPOR DAN EKSPOR DAN KEBUTUHAN <br />BARANG DAN/ATAU BAHAN BAKU IMPOR SELAMA 12 BULAN<br /> NAMA PERUSAHAAN :...........................................<br /> NIPER :...........................................<br /> PERIODE :.....................S/D.................<br /> <br /> hal........dari...........hal<br />RENCANA PRODUKSI/HASIL OLAHAN UNTUK EKSPOR/DISERAHKAN KE<br /> KAWASAN BERIKAT/DIJUAL KE DALAM NEGERI KEBUTUHAN BARANG/BAHAN IMPOR<br />NO <br />URUT KODE <br />HS URAIAN BARANG EKSPOR DISERAHKAN KE KB/DIJUAL KE DALAM NEGERI SATUAN KODE SAT JUMLAH NO <br />URUT KODE <br />HS URAIAN BARANG DAN/ATAU BAHAN IMPOR SATUAN KODE SAT JUMLAH<br />1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br /> <br /> <br />PERKIRAAN NILAI IBM DAN/ATAU CUKAI YANG DIMINTA UNTUK DIBEBASKAN <br />PPN DAN PPn BM YANG TIDAK DIPUNGUT = Rp...............................,00 (........................................)<br /> <br />DAFTAR PELABUHAN BONGKAR : KODE PELABUHAN .......................,............................20.........<br />1. ..................................................... ................................. <br />PEMBUAT :......................... TTD :.........................<br />PEMERIKSA :......................... TTD :..........................<br /><br /><br /><br />2 ..................................................... ................................ <br />3 .................................................... ................................ <br />4 ..................................................... ................................ <br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />FORMULIR - A3<br />Nomor :................................. Kepada<br />Lampiran :................................ Yth. Direktur Jenderal Bea dan Cukai/<br />Perihal : Laporan Ekspor atas Barang dan/atau Bahan<br /> asal Impor di - <br /> ..........................................<br /> Yang Bertanda tangan di bawah ini, kami pimpinan dari :<br /> Nama Perusahaan :.....................................................<br /> NPWP :.....................................................<br /> NIPER :.....................................................<br /> Alamat Kantor :.....................................................<br /> :.....................................................<br /> Telepon :............................., Fax :.................<br /> Alamat Pabrik :.....................................................<br />dengan ini mengajukan Laporan Ekspor yang ke...............sebagai pertanggungjawaban kami atas penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang telah mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPn BM tidak dipungut.<br /> Penggunaan barang dan/atau bahan sebagaimana tercantum pada Formulir A4 terlampir adalah benar yang dapat dibuktikan melalui pembukuan kami.<br /> Apabila dikemudian hari hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembukuan kami membuktikan bahwa Laporan Ekspor ini telah kami laporkan dengan tidak sebenarnya, kami bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.<br /> Materai Rp 6000<br /> .................,............20.....<br />Pelapor,<br /> Tanda tangan :................................<br /> Nama :................................<br /> Jabatan :................................<br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />FORMULIR - A4<br />LAPORAN EKSPOR ATAS PENGGUNAAN BARANG DAN/ATAU BAHAN ASAL IMPOR YANG MENDAPAT PEMBEBASAN BM DAN/ATAU CUKAI SERTA PPN DAN PPnBM TIDAK DIPUNGUT<br /> NAMA PERUSAHAAN :........................................<br /> NIPER :........................................<br /> LAPORAN KE :........................................<br /> <br /> hal.............dari...............<br />REALISASI EKSPOR PEMAKAIAN BARANG DAN/ATAU BAHAN NILAI IMPOR<br />NO <br />URUT KODE HS <br />BARANG LPBC/LHP PEB NO <br />URUT KODE HS NOMOR<br />PIB/PIBT TGL<br />PIB/<br />PIBT JUMLAH<br />SATUAN BM/<br />CUKAI<br />(RP) PPN/<br />PPnBM<br />(Rp)<br /> NO/TGL JML/SAT NO/TGL JML/SAT <br />1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13<br /> <br /> <br /> TOTAL NILAI BM/CUKAI = Rp......................,00<br />TOTAL NILAI PPN/PPnBM = Rp......................,00<br /><br /><br /> ......................................... ...............................,20..<br /> PEMBUAT :......................... TTD :.........................................<br />PEMERIKSA :......................... TTD :.........................................<br /><br /><br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />FORMULIR -A7<br />Nomor :................................. Kepada<br />Lampiran :................................ Yth. Direktur Jenderal Bea dan Cukai/<br />Perihal : Laporan Penyerahan Barang Hasil Olahan ke<br /> Kawasan Berikat<br /> di - <br /> ..........................................<br />Yang Bertanda tangan di bawah ini, kami pimpinan dari :<br /> Nama Perusahaan :.....................................................<br /> NPWP :.....................................................<br /> NIPER :.....................................................<br /> Alamat Kantor :.....................................................<br /> :.....................................................<br /> Telepon :............................., Fax :.................<br /> Alamat Pabrik :.....................................................<br />Dengan ini menyampaikan Laporan Penyerahan Barang Hasil Olahan ke Kawasan Berikat ke ............sebagai pertanggungjawaban kami atas penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang telah mendapat Pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut.<br /> Penggunaan barang dan/atau bahan sebagaimana tercantum pada Formulir A8 terlampir adalah benar dan dapat dibuktikan melalui pembukuan kami.<br /> Apabila dikemudian hari, hasil pemeriksaan terhadap pembukuan kami membuktikan bahwa laporan ini telah kami laporkan dengan tidak sebenarnya, kami bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.<br /> Materai Rp 6000<br /> .................,............20.....<br />Pelapor,<br /> Tanda tangan :................................<br /> Nama :................................<br /> Jabatan :................................<br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd,<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />FORMULIR -A8<br />LAPORAN PENYERAHAN BARANG HASIL OLAHAN ATAS PENGGUNAAN BARANG ATAU BAHAN IMPOR KEKAWASAN BERIKAT YANG MENDAPAT PEMBEBASAN BM DAN/ATAU CUKAI SERTA PPN DAN PPnBM TIDAK DIPUNGUT <br /> NAMA PERUSAHAAN :........................................<br /> NIPER :........................................<br /> LAPORAN KE :........................................<br /> <br />REALISASI PENYERAHAN KE KAWASAN BERIKAT REALISASI IMPOR<br />NO <br />URUT KODE <br />HS URAIAN BARANG <br />DAN/ATAU BAHAN <br />HASIL OLAHAN JML & SATUAN NO/TGL<br />BC.40 NO <br />URUT HS BARANG DAN/ATAU BAHAN IMPOR NO/TGL<br />PIB/PIBT JML<br />SATUAN NILAI BM/CUKAI<br />NILAI PPN/PPnBM<br />(RP)<br />1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br /> <br /> <br /><br /> TOTAL NILAI BM/CUKAI = Rp........................,00.<br />TOTAL NILAI PPN/PPnBM = Rp........................,00.<br /><br /><br /> ...............................,.........................................20...<br /> PEMBUAT :................................ TTD :..........................................<br />PEMERIKSA :................................ TTD :..........................................<br /><br /><br /><br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />Lampiran VIII<br />FORMULIR -B<br /> DIISI PETUGAS<br />No. :............................<br /><br />Tgl :............................<br /><br /><br /> <br />Nomor :................................. Kepada<br />Lampiran :................................ Yth. Direktur Jenderal Bea dan Cukai/<br />Perihal : Permohonan Pengembalian Bea Masuk dan/atau<br /> Cukai di - <br /> ..........................................<br />Yang Bertanda tangan di bawah ini, kami pimpinan dari :<br /> Nama Perusahaan :................................................................................<br /> NPWP :................................................................................<br /> NIPER :.................................................................................<br /> Alamat Kantor :..................................................................................<br /> :Telp :.........................Telex :.................,Fax :..............<br /> Alamat Pabrik :............................. ....................................<br />dalam kedudukan sebagai produsen ...................dengan ini mengajukan permohonan pengembalian Bea Masuk dan/atau cukai sebesar Rp..................(..............dengan huruf...........) atas barang dan/atau bahan baku asal impor yang digunakan untuk membuat barang ekspor sebagaimana perhitungan dalam Formulir-B3 terlampir.<br />Bersama ini kami lampirkan pula dokumen-dokumen pendukung sebagai berikut :<br />1. Daftar keterkaitan (formulir -B3);<br />2. Bukti asli pembayaran bea masuk/cukai (asli SSBC lembar ke-3 atau SSPCP/BPPCP;<br />3 Bukti Ekspor :<br /> - Asli LPBC/LHP<br /> - Foto Copy PEB yang telah disahkan oleh pejabat BC;<br /> - Foto Copy B/L atau AWB atau dokumen pengangkutan lain yang disamakan<br />4 Bukti Penyerahan BKP ke KB : *)<br /> - Copy BC 4,0;<br /> - Copy kontrak penjualan ke KB;<br /> - Copy Faktur Pajak Penjualan<br />5 SSB Nomor :.................................................<br />Jika permohonan kami setujui, harap nilai tersebut dipindahbukukan pada rekening kami :<br />Nomor :...................................................................................................<br />Nama Bank :...................................................................................................<br />Alamat Bank :...................................................................................................<br /> Demikian ini kami menyatakan bahwa atas barang dan/atau bahan impor yang kami ajukan dalam permohonan ini belum pernah mendapatkan pembebasan dan/atau pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai dari pemerintah.<br /> Apabila ternyata permohonan yang kami ajukan tidak benar, kami bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.<br /> Materai Rp 6000<br /> .................,............20.....<br />Pelapor,<br /> Tanda tangan :................................<br /> Nama :................................<br /> Jabatan :................................<br />*) hanya dilampirkan bagi perusahaan yang menyerahkan BKP ke KB/EPTE<br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />Lampiran IX<br />FORMULIR -B3<br /> DIISI OLEH PETUGAS DJBC<br />No. :...../..../......../......../...<br /><br />Tgl :............................<br /><br /><br />KETERKAITAN ANTARA BARANG EKSPOR/DIMASUKAN KE KAWASAN BERIKAT <br />DENGAN BARANG DAN/ATAU BAHAN ASAL IMPOR YANG DIPAKAI<br />PERIODE IMPOR-EKSPOR :.....................S/D..............................<br /> hal..........dari...........hal<br />BARANG EKSPOR/BARANG YANG DIMASUKAN KE<br /> KAWASAN BERIKAT BARANG DAN/ATAU BAHAN ASAL IMPOR YANG DIPAKAI<br />NO NO/TGL<br />LPBC.4.0 URAIAN BARANG<br />DAN/ATAU BAHAN HS SATUAN JUMLAH NO URAIAN BARANG<br />DAN/ATAU BAHAN/HS &<br />TARIP BM/CUKAI SATUAN JML JUMLAH<br />BM/CUKAI<br />(Rp) NO/TGL<br />PIB/PIBT NO/TGL<br />SSP/<br />SSPCP/<br />BPPCP<br />1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br /> <br /> <br /> Jumlah (Rp) <br /><br /> ..........................................,...........................20......<br /> PEMBUAT :................................ TTD :..........................................<br />PEMERIKSA :................................ TTD :..........................................<br /><br /><br /><br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />Lampiran X<br />FORMULIR-A9<br />Nomor :................................. Kepada<br />Lampiran :................................ Yth. Direktur Jenderal Bea dan Cukai/<br />Perihal : Laporan Penjualan Barang Hasil Produksi ke <br /> Dalam Negeri di - <br /> ..........................................<br />Yang Bertanda tangan di bawah ini, kami pimpinan dari :<br /> Nama Perusahaan :.....................................................<br /> NPWP :.....................................................<br /> NIPER :.....................................................<br /> Alamat Kantor :.....................................................<br /> :.....................................................<br /> Telepon :............................., Fax :.................<br /> Alamat Pabrik :.....................................................<br />dengan ini menyampaikan Laporan Penjualan Barang Hasil Produksi ke Dalam Negeri ke..................sebagai pertanggungjawaban kami atas penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang telah mendapat Pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut.<br /> Penggunaan barang dan/atau bahan sebagaimana tercantum pada Formulir A10 terlampir adalah benar dan dapat dibuktikan melalui pembukuan kami.<br /> Apabila dikemudian hari, hasil pemeriksaan terhadap pembukuan kami membuktikan bahwa laporan ini kami laporkan tidak sebenarnya, kami bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.<br /> <br /> Materai Rp 6000<br /> .................,............20.....<br />Pelapor,<br /> Tanda tangan :................................<br /> Nama :................................<br /> Jabatan :................................<br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />Lampiran XI<br />FORMULIR -A10<br />LAPORAN PENJUALAN BARANG HASIL PRODUKSI ATAS PENGGUNAAN BARANG DAN./ATAU BAHAN IMPOR KE DALAM NEGERI YANG MENDAPAT PEMBEBASAN BM DAN/ATAU CUKAI SERTA PPN DAN PPnBM TIDAK DIPUNGUT<br /> NAMA PERUSAHAAN :........................................<br /> NIPER :........................................<br /> LAPORAN KE :........................................<br /> <br /> hal............dari....hal<br />REALISASI PENJUALAN KE DALAM NEGERI REALISASI IMPOR<br />NO <br />URUT KODE <br />HS URAIAN BARANG DAN/ATAU BAHAN HASIL PRODUKSI JUMLAH &<br />SATUAN NO/TGL FAKTUR PENJUALAN NO <br />URUT HS BARANG DAN/ATAU BAHAN IMPOR NO/TGL<br />PIB/PIBT JUMLAH SATUAN NILAI BM/CUKAI NILAI PPN/PPnBM (Rp)<br />1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br /> <br /> <br /><br /> TOTAL NILAI BM/CUKAI = Rp........................,00.<br />TOTAL NILAI PPN/PPnBM = Rp........................,00.<br /><br /><br /> .........................,...........................................20.......<br /> PEMBUAT :................................ TTD :..........................................<br />PEMERIKSA :................................ TTD :..........................................<br /><br /><br /><br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA <br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />Lampiran XII<br />FORMULIR -A5<br />Nomor :................................. Kepada<br />Lampiran :................................ Yth. Direktur Jenderal Bea dan Cukai/<br />Perihal : Laporan Pemusnahan/Penjualan waste/reject/sisa <br /> barang/bahan yang tidak dapat diekspor<br /> di - <br /> ..........................................<br />Yang Bertanda tangan di bawah ini, kami pimpinan dari :<br /> Nama Perusahaan :.....................................................<br /> NPWP :.....................................................<br /> NIPER :.....................................................<br /> Alamat Kantor :.....................................................<br /> :.....................................................<br /> Telepon :............................., Fax :.................<br /> Alamat Pabrik :.....................................................<br />dengan ini menyampaikan Laporan ke...............atas Pemusnahan/Penjualan Waste/reject/sisa barang dan/atau bahan yang tidak dapat diekspor *) sebagai pertanggungjawaban kami atas penggunaan Barang dan/atau bahan asal impor yang telah mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut. Sebagai kelengkapan dokumen, bersama ini kami lampirkan :<br />1. Formulir-A6<br />2 SSBC/SSP/SSPCP/BPPCP<br />3 Copy PIB/PIBT<br />4 Copy Faktur Penjualan ;dan<br />5 Berita Acara Pemusnahan<br /> Pemusnahan/Penjualan Barang dan/atau bahan sebagaimana tercantum pada Formulir-A6 terlampir, adalah benar yang dapat dibuktikan melalui pembukuan kami.<br /> Apabila dikemudian hari, hasil pemeriksaan terhadap pembukuan kami membuktikan bahwa laporan ini telah kami laporkan dengan tidak sebenarnya, kami bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.<br /> <br /> Materai Rp 6000<br /> .................,............20.....<br />Pelapor,<br /> Tanda tangan :................................<br /> Nama :................................<br /> Jabatan :................................<br />*) Coret yang tidak perlu<br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONO<br />________________________________________<br />Lampiran XIII<br />FORMULIR-A6<br />DAFTAR BARANG REJECT/WASTE/SISA BARANG DAN/ATAU BAHAN IMPOR YANG DIJUAL/DIMUSNAHKAN<br /> NAMA PERUSAHAAN :........................................<br /> NIPER :........................................<br /> LAPORAN KE :........................................<br /> <br /><br />REALISASI PENJUALAN/PEMUSNAHAN PEMAKAIAN BARANG DAN/ATAU BARANG IMPOR<br />NO NO/TGL. BERITA ACARA/BUKTI BAYAR NO URAIAN BARANG DAN/ATAU BAHAN/HS NO/TGL<br />/PIB/PIBT JUMLAH SATUAN NILAI BM/<br />CUKAI/PPN<br />/PPnBM (Rp)<br />1 2 3 4 5 6 7<br /> <br /> <br /><br /> .........................,...........................................20.......<br /> PEMBUAT :................................ TTD :..........................................<br />PEMERIKSA :................................ TTD :..........................................<br /><br /><br /><br />________________________________________<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BOEDIONOUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-86719793757635689012009-06-04T22:43:00.001-07:002009-06-04T22:43:18.933-07:00PERATURAN TENTANG METERAIPERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 15/PMK.03/2005<br /><br />TENTANG<br /><br />BENTUK, UKURAN, WARNA, DAN DESAIN METERAI TEMPEL TAHUN 2005<br /><br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa dalam rangka untuk meningkatkan pengamanan meterai tempel sebagai upaya untuk <br /> menghindari/mencegah tindakan pemalsuan terhadap meterai tempel, perlu dilakukan perubahan <br /> terhadap bentuk, ukuran, warna, dan desain meterai tempel Tahun 2002;<br />b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, perlu menetapkan Peraturan <br /> Menteri Keuangan tentang Bentuk, Ukuran, Warna, dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005;<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia <br /> Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya <br /> Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia <br /> Tahun 2000 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3950);<br />3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004;<br /><br />MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BENTUK, UKURAN, WARNA, DAN DESAIN METERAI TEMPEL<br />TAHUN 2005.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />Bentuk, ukuran, warna, dan desain Meterai Tempel Tahun 2005 nominal Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah) adalah <br />sebagai berikut :<br /><br />a. bentuk meterai tempel nominal Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah) adalah segi empat dengan ukuran 32 <br /> mm x 24 mm;<br /><br />b. cetakan dasar terdiri dari garis-garis yang berwarna biru dan kuning dengan relief teks "DITJEN", <br /> "PAJAK";<br /><br />c. blok gelombang warna kuning di sebelah kanan gambar Garuda;<br /><br />d. cetakan utama mempunyai sifat dapat diraba dengan warna biru dan hitam (atau hijau) terdiri dari:<br /> 1. teks "METERAI", "TEMPEL" berada di bagian bawah;<br /> 2. angka nominal 3000 (tiga ribu) dan teks "TIGA RIBU RUPIAH" berada di atasnya dengan <br /> warna gradasi warna merah dan hitam berada di sebelah kiri atas;<br /> 3. lambang Negara Republik Indonesia berada di sebelah kanan dengan warna merah dan hitam; <br /> dan<br /> 4. ornamen-ornamen tradisional, roset yang dibentuk oleh garis-garis positif dan negatif, disertai <br /> mikroteks "PAJAKPAJAK" dengan warna gradasi merah dan hitam berada di bagian bawah <br /> mengelilingi teks "METERAI", "TEMPEL";<br /><br />e. terdapat foil hologram berupa strip dengan ukuran 5 mm x 24 mm yang memuat gambar logo Ditjen <br /> Pajak, teks "RI" dan teks "PAJAK" yang masing-masing terlihat utuh atau tidak utuh;<br /><br />f. jenis kertas sekuriti meterai tempel, warna putih, berlapis pada satu sisi dengan berat dasar sekitar <br /> 84 gr/m2, memiliki serat-serat tampak berwarna biru, dan bagian belakang kertas mengandung <br /> perekat yang berwarna kehijau-hijauan;<br /><br />g. terdapat lubang perforasi berbentuk oval disisi kiri dan kanan (di antara perforasi berbentuk bulat) dan <br /> perforasi berbentuk bintang di tengah cetakan yang dapat diketahui dengan menerawangkan cetakan;<br /><br />h. menggunakan kertas sekuriti UV dull yang memiliki serat-serat tak tampak yang akan memendar biru <br /> dan kuning di bawah sinar Ultra Violet;<br /><br />i. terdapat cetakan tak tampak berupa blok diapositip teks "DITJEN PAJAK" yang akan memendar merah <br /> di bawah sinar Ultra Violet;<br /><br />j. terdapat blok bergelombang yang berwarna merah, dimana pada bagian atasnya akan memendar <br /> kemerahan sedangkan pada bagian bawah akan memendar kekuningan bila dilihat di bawah sinar <br /> Ultra Violet;<br /><br />k. terdapat latent image huruf "M" pada elemen hiasan di atas gambar garuda yang terlihat pada <br /> kemiringan tertentu (kurang lebih 15°); dan<br /><br />l. terdapat mikroteks "PAJAKPAJAK" yang dicetak menggunakan huruf yang sangat halus dan hanya <br /> dapat diamati dengan loupe.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />Bentuk, ukuran, warna, dan desain Meterai Tempel Tahun 2005 nominal Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah) <br />adalah sebagai berikut :<br /><br />a. bentuk meterai tempel nominal Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah) adalah segi empat dengan ukuran <br /> 32 mm x 24 mm;<br /><br />b. cetakan dasar terdiri dari garis-garis yang berwarna biru dan merah dengan relief teks "DITJEN", <br /> "PAJAK";<br /><br />c. blok bergelombang warna merah di sebelah kanan gambar Garuda;<br /><br />d. cetakan utama mempunyai sifat dapat diraba dengan merah dan hitam terdiri dari:<br /> 1. teks "METERAI", "TEMPEL" berada di bagian bawah;<br /> 2. angka nominal 6000 (enam ribu) dan teks "ENAM RIBU RUPIAH" berada di atasnya dengan <br /> warna gradasi biru dan hitam berada di sebelah kiri atas;<br /> 3. lambang Negara Republik Indonesia berada di sebelah kanan dengan warna hitam; dan<br /> 4. ornamen yang dibentuk oleh garis-garis positif dan negatif, disertai mikroteks "PAJAKPAJAK" <br /> dengan warna gradasi biru dan hitam berada di bagian bawah mengelilingi teks "METERAI", <br /> "TEMPEL";<br /><br />e. terdapat foil hologram berupa strip dengan ukuran 5 mm x 24 mm yang memuat gambar logo Ditjen <br /> Pajak, teks "RI" dan teks "PAJAK" yang masing-masing terlihat utuh atau tidak utuh;<br /><br />f. jenis kertas sekuriti meterai tempel, warna putih, berlapis pada satu sisi dengan berat dasar sekitar <br /> 84 gr/m2, memiliki serat-serat tampak berwarna biru dan bagian belakang kertas mengandung <br /> perekat yang berwarna kehijau-hijauan;<br /><br />g. terdapat lubang perforasi berbentuk oval disisi kiri dan kanan (di antara perforasi berbentuk bulat) dan <br /> perforasi berbentuk bintang di tengah cetakan yang dapat diketahui dengan menerawangkan cetakan;<br /><br />h. menggunakan kertas sekuriti UV dull yang memiliki serat-serat tak tampak yang akan memendar biru <br /> dan kuning di bawah sinar Ultra Violet;<br /><br />i. terdapat cetakan tak tampak berupa blok diapositip teks "DITJEN PAJAK" yang akan memendar merah <br /> di bawah sinar Ultra Violet;<br /><br />j. terdapat blok bergelombang yang berwarna merah, dimana pada bagian atasnya akan memendar <br /> kemerahan sedangkan pada bagian bawah akan memendar kekuningan bila dilihat di bawah sinar <br /> Ultra Violet;<br /><br />k. terdapat lutent image huruf "M" pada elemen hiasan di atas gambar garuda yang terlihat pada <br /> kemiringan tertentu (kurang lebih 15°); dan<br /><br />l. terdapat mikroteks "PAJAKPAJAK" yang dicetak menggunakan huruf yang sangat halus dan hanya <br /> dapat diamati dengan loupe.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Meterai tempel yang menggunakan desain sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor <br />323/KMK.03/2002 tentang Bentuk, Ukuran, dan Warna Benda Meterai Desain Tahun 2002, masih dapat <br />dipergunakan sampai dengan tanggal 30 September 2005.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor <br />323/KMK.03/2002 tentang Bentuk, Ukuran, dan Warna Benda Meterai Desain Tahun 2002, dinyatakan tidak <br />berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2005.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan <br />penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di : Jakarta<br />pada tanggal : 22 Februari 2005<br />MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />ttd<br /><br />JUSUF ANWAR<br /><br /><br /><br /> <br />KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA <br /> NOMOR 323/KMK.03/2002<br /><br /> TENTANG<br /><br /> RALAT KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 323/KMK.03/2002 <br /> TANGGAL 3 JULI 2002 TENTANG BENTUK, UKURAN, DAN WARNA BENDA METERAI DISAIN TAHUN 2002<br /><br /> MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Berhubung dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut terdapat kekeliruan, maka dengan ini diadakan ralat <br />sebagai berikut:<br /><br />I. Pada Pasal 3 huruf c angka 1 tertulis:<br /><br /> "1. Pada pojok kiri atas terdapat cetakan berbentuk segi sepuluh (dexagonal) yang memuat <br /> Gambar Burung Garuda Pancasila di tengah-tengah lingkaran oval dengan angka tahun <br /> percetakan tertulis di bagian atas Burung Garuda."<br /><br /> seharusnya:<br /><br /> "1. Pada pojok kiri atas terdapat cetakan berbentuk segi delapan (oktagonal) yang memuat <br /> gambar Burung Garuda Pancasila di tengah-tengah lingkaran oval dengan angka tahun <br /> percetakan tertulis di bagian atas Burung Garuda."<br /><br />II. Pada Pasal 4 huruf c angka 1 tertulis:<br /><br /> "1. Pada pojok kiri atas terdapat cetakan berbentuk segi sepuluh (dexagonal) yang memuat <br /> Gambar Burung Garuda Pancasila di tengah-tengah lingkaran oval dengan angka tahun <br /> percetakan tertulis di bagian atas Burung Garuda."<br /><br /> seharusnya:<br /><br /> "1. Pada pojok kiri atas terdapat cetakan berbentuk segi delapan (oktagonal) yang memuat <br /> gambar Burung Garuda Pancasila di tengah-tengah lingkaran oval dengan angka tahun <br /> percetakan tertulis di bagian atas Burung Garuda."<br /><br /> Dengan ralat ini, maka kekeliruan tersebut dianggap telah dibetulkan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 19 September 2002<br />A.n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />SEKRETARIS JENDERAL<br /><br />ttd<br /><br />AGUS HARYANTO<br /><br /><br /><br />PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 24 TAHUN 2000<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS<br /> PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI<br /><br /> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional maka peran serta segenap masyarakat perlu ditingkatkan <br /> dalam menghimpun dana pembiayaan yang sumbernya sebagian besar dari sektor perpajakan;<br />b. besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai yang <br /> berlaku sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat;<br />c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur kembali mengenai <br /> besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai;<br /> <br />Mengingat :<br /><br />1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;<br />2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 69, <br /> Tambahan Lembaran Negara Nomor 3313);<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA <br />BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai <br />adalah dokumen yang berbentuk :<br />a. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian <br /> mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;<br />b. akta-akta Notaris termasuk salinannya;<br />c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya;<br />d. surat yang memuat jumlah uang, yaitu :<br /> 1) yang menyebutkan penerimaan uang;<br /> 2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;<br /> 3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau<br /> 4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau <br /> diperhitungkan;<br />e. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau<br />f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu :<br /> 1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;<br /> 2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk <br /> tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea <br /> Meterai dengan tarif Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).<br /><br />(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d dan huruf e :<br /> a. yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), <br /> tidak dikenakan Bea Meterai;<br /> b. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai <br /> dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 <br /> (tiga ribu rupiah);<br /> c. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai <br /> dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tanpa batas <br />pengenaan besarnya harga nominal.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />(1) Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan <br /> Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu <br /> rupiah), sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan <br /> Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).<br /><br />(2) Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang <br /> mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea <br /> Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) sedangkan yang mempunyai harga nominal <br /> lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 <br /> (enam ribu rupiah).<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun <br />1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, dinyatakan tidak berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /><br /><br /> Pasal 7<br /><br />Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2000.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan <br />penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br /> Ditetapkan di Jakarta<br /> pada tanggal 20 April 2000<br /> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br /> ttd<br /><br /> ABDURRAHMAN WAHID<br /><br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 20 April 2000<br />Pj. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,<br /><br /> ttd<br /><br />BONDAN GUNAWAN<br /><br /><br /><br /> LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 51<br /><br /><br /><br /><br /><br /> PENJELASAN<br /> ATAS<br /><br /> PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 24 TAHUN 2000<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS<br /> PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI<br /><br />UMUM<br /><br />Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang <br />menjunjung tinggi hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk berperan serta dalam <br />pembangunan.<br /><br />Dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan untuk meningkatkan keikutsertaan segenap <br />warga masyarakat untuk berperan serta menghimpun dana pembangunan, maka salah satu cara dalam <br />mewujudkannya adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran Bea Meterai atas dokumen-dokumen <br />tertentu yang digunakan.<br /><br />Besarnya tarif Bea Meterai yang berlaku sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial <br />ekonomi masyarakat sehingga perlu dilakukan penyesuaian yang wajar. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-undang <br />Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif <br />Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, <br />diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya 6 (enam) kali.<br /><br />Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka perlu diatur kembali mengenai besarnya tarif Bea Meterai dan <br />besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br />PASAL DEMI PASAL<br /><br />Pasal 1<br /><br /> Huruf a<br /><br /> Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, dibebani <br /> kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau surat-surat yang <br /> dipegangnya.<br /><br /> Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, dan <br /> surat pernyataan.<br /><br /> Huruf b<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Huruf c<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Huruf d dan huruf e<br /><br /> Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d dan huruf e ini juga meliputi <br /> jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing.<br /><br /> Untuk menentukan nilai rupiahnya, maka jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan <br /> dengan nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat <br /> dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak <br /> dikenakan Bea Meterai.<br /><br /> Huruf f<br /><br /> Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semula tidak <br /> kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian di muka <br /> pengadilan, maka lebih dahulu harus dilakukan pemeteraian kemudian.<br /><br /> Angka 1)<br /><br /> Surat-surat yang dimaksud huruf f angka 1 ini tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian, <br /> misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah <br /> barang. Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila <br /> kemudian dipakai sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, maka terlebih dahulu <br /> dilakukan pemeteraian kemudian.<br /><br /> Surat-surat kerumahtanggaan, misalnya daftar harga barang. Daftar ini dibuat tidak <br /> dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak <br /> dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini <br /> digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga ini terlebih dahulu dilakukan <br /> pemeteraian kemudian.<br /><br /> Angka 2)<br /><br /> Surat-surat yang dimaksud dalam huruf f angka 2 ini ialah surat-surat yang karena <br /> tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah <br /> maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai.<br /><br /> Misalnya tanda penerimaan uang yang dibuat dengan tujuan untuk keperluan intern <br /> organisasi tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian tanda penerimaan uang <br /> tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, maka tanda <br /> penerimaan uang tersebut harus dilakukan pemeteraian kemudian terlebih dahulu.<br /><br />Pasal 2<br /><br /> Ayat (1)<br /><br /> Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) yang dikenakan Bea Meterai dengan <br /> tarif Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) adalah dokumen yang semula berdasarkan Undang-<br /> undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dikenakan Bea Meterai dengan tarif <br /> sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah). Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun <br /> 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar <br /> Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah).<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Huruf a<br /><br /> Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang tidak dikenakan <br /> Bea Meterai adalah dokumen yang semula berdasarkan Undang-undang Nomor 13 <br /> Tahun 1985 tentang Bea Meterai dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar <br /> Rp 500,00 (lima ratus rupiah). Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun <br /> 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai tidak dikenakan Bea Meterai;<br /><br /> Huruf b<br /><br /> Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b yang dikenakan Bea <br /> Meterai dengan tarif Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) adalah dokumen yang semula <br /> berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dikenakan <br /> Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 500,00 (lima ratus rupiah). Kemudian dengan <br /> Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai <br /> dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah);<br /><br /> Huruf c<br /><br /> Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c yang dikenakan Bea <br /> Meterai dengan tarif Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) adalah dokumen yang semula <br /> berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dikenakan <br /> Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah), kemudian dengan <br /> Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai <br /> dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah).<br /> <br />Pasal 3<br /><br /> Dalam Pasal ini ditetapkan penggunaan Bea Meterai dengan tarif tunggal atas Cek dan Bilyet Giro <br /> sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah).<br /><br /> Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan otomasi kliring, maka pengenaan tarif Bea Meterai sebesar <br /> Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tersebut dengan tidak memperhatikan besarnya harga nominal dari Cek <br /> dan Bilyet Giro. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan kliring, Bank cukup menyediakan 1 (satu) <br /> macam bentuk buku Cek dan 1 (satu) macam bentuk buku Bilyet Giro.<br /><br /> Semula berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai atas Cek dan Bilyet <br /> Giro dikenakan Bea Meterai sebesar Rp 500,00 (lima ratus rupiah) dan Rp 1.000,00 (seribu rupiah), <br /> dengan memperhatikan besarnya harga nominal. Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 <br /> Tahun 1989 tentang Perubahan Besarnya Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Harga Nominal yang <br /> Dikenakan Bea Meterai atas Cek dan Bilyet Giro, diubah menjadi Rp 500,00 (lima ratus rupiah), <br /> dengan tidak memperhatikan besarnya harga nominal. Terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor <br /> 7 Tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, diubah menjadi Rp 1.000,00 (seribu rupiah), <br /> dengan tidak memperhatikan besarnya harga nominal.<br /><br />Pasal 4<br /><br /> Ayat (1)<br /><br /> Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) <br /> dikenakan Bea Meterai berdasarkan harga nominal per lembar.<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif <br /> sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dikenakan Bea Meterai berdasarkan jumlah <br /> harga nominal dari sekumpulan efek tersebut.<br /><br />Pasal 5<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 6<br /><br /> Pelaksanaan teknis yang diatur oleh Menteri Keuangan antara lain bentuk, ukuran, dan warna benda <br /> meterai, tata cara pelunasan Bea Meterai, pengadaan dan pengelolaan Benda Meterai.<br /><br />Pasal 7<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /><br /><br /> TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3950<br /><br /><br /> <br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 13 TAHUN 1985<br /><br /> TENTANG<br /><br /> BEA METERAI<br /><br /> DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br /><br /> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap warganya untuk berperan <br /> menghimpun dana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan <br /> dalam negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka mencapai <br /> tujuan Pembangunan Nasional;<br /><br />b. bahwa Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 <br /> (Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan <br /> di Indonesia;<br /><br />c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea <br /> Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat;<br /><br />d. bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu dikeluarkan undang-undang baru <br /> mengenai Bea Meterai yang menggantikan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921);<br /><br />Menimbang :<br /><br />1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;<br /><br />2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan <br /> (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);<br /><br /> Dengan persetujuan<br /> DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Dengan mencabut Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) <br />sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 <br />(Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan <br />Undang-undang Nomor 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38).<br /><br />Menetapkan :<br /><br />UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI<br /><br /><br /> BAB I<br /> KETENTUAN UMUM<br /><br /> Pasal 1<br /><br />(1) Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang<br /> ini.<br /><br />(2) Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :<br /><br /> a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud <br /> tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang <br /> berkepentingan;<br /><br /> b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh <br /> Pemerintah Republik Indonesia;<br /><br /> c. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula <br /> parap, teraan atau cap tandatangan atau cap parap, teraan cap nama atau tanda <br /> lainnya sebagai pengganti tandatangan;<br /><br /> d. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh <br /> Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum dilunasi <br /> sebagaimana mestinya;<br /><br /> e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas <br /> melayani permintaan pemeteraian kemudian.<br /><br /><br /> BAB II<br /> OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI<br /><br /> Pasal 2<br /><br />(1) Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk :<br /><br /> a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan <br /> sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat <br /> perdata;<br /><br /> b. akta-akta notaris termasuk salinannya;<br /><br /> c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;<br /><br /> d. surat yang yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) :<br /> 1) yang menyebutkan penerimaan uang;<br /> 2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening <br /> di bank;<br /> 3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;<br /> 4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah <br /> dilunasi atau diperhitungkan;<br /><br /> e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih <br /> dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah);<br /><br /> f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari <br /> Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).<br /><br />(2) Terhadap dokumen sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan <br /> huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).<br /><br />(3) Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan <br /> digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:<br /> a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;<br /> b. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika <br /> digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula;<br /><br />(4) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, yang <br /> mempunyai harga nominal lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari <br /> Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp.500,- (lima ratus rupiah) <br /> dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang <br /> Bea Meterai.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan <br />harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya <br />enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />Tidak dikenakan Bea Meterai atas :<br /><br />a. dokumen yang berupa :<br /> 1) surat penyimpanan barang;<br /> 2) konosemen;<br /> 3) surat angkutan penumpang dan barang;<br /> 4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam <br /> angka 1), angka 2), dan angka 3);<br /> 5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;<br /> 6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;<br /> 7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud <br /> dalam angka 1) sampai angka 6).<br /><br />b. segala bentuk Ijazah;<br /><br />c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada <br /> kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan <br /> pembayaran itu;<br /><br />d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;<br /><br />e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan <br /> itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank;<br /><br />f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;<br /><br />g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh <br /> bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;<br /><br />h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;<br /><br />i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :<br />a. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;<br />b. dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen <br /> itu dibuat;<br />c. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, <br />kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.<br /><br /><br /> BAB III<br /> BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA<br /> <br /> Pasal 7<br /><br />(1) Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, <br /> pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /><br />(2) Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :<br /> a. menggunakan benda meterai;<br /> b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /><br />(3) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang <br /> dikenakan Bea Meterai.<br /><br />(4) Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.<br /><br />(5) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan <br /> dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas <br /> dan sebagian lagi di atas meterai tempel.<br /><br />(6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas <br /> semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.<br /><br />(7) Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.<br /><br />(8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas <br /> meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas <br /> tidak bermeterai.<br /><br />(9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak <br /> dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.<br /><br /><br /> Pasal 8<br /><br />(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang <br /> dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) <br /> dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.<br /><br />(2) pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus melunasi Bea <br /> Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian.<br /><br /><br /> Pasal 9<br /><br />Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi bea Meterai <br />yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.<br /><br /><br /> Pasal 10<br /><br />Pemeteraian-kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan<br />Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang tetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /><br /><br /> BAB IV<br /> KETENTUAN KHUSUS<br /> <br /> Pasal 11<br /><br />(1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, <br /> masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :<br /> a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya atau <br /> kurang dibayar;<br /> b. meletakan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan <br /> tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;<br /> c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea <br /> Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;<br /> d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar <br /> sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya <br /><br />(2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan <br /> sanksi administratif dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br /><br /> Pasal 12<br /><br />Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini <br />daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.<br /><br /><br /> BAB V<br /> KETENTUAN PIDANA<br /><br /> Pasal 13<br /><br />Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana :<br /><br />a. barangsiapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru dan <br /> memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;<br /><br />b. barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukan <br /> ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;<br /><br />c. barangsiapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan <br /> untuk dijual atau dimasukan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, <br /> tanda-tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan <br /> seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakan dengan <br /> melawan hak;<br /><br />d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan <br /> untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.<br /><br /><br /> Pasal 14<br /><br />(1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 <br /> ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya <br /> 7 (tujuh) tahun.<br /><br />(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.<br /><br /><br /> BAB VI<br /> KETENTUAN PERALIHAN<br /><br /> Pasal 15<br /><br />(1) Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterainya yang dibuat sebelum <br /> Undang-undang ini berlaku, bea meterainya tetap terhutang berdasarkan aturan Bea <br /> Meterai 1921 (Zegelverordening 1921).<br /><br />(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.<br /><br /><br /> Pasal 16<br /><br />Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan <br />berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan <br />Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan <br />tanggal 31 Desember 1988.<br /><br /><br /> BAB VII<br /> KETENTUAN PENUTUP<br /><br /> Pasal 17<br /><br />Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br /> Pasal 18<br /><br />Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan <br />penempatannya dalam Lembaran negara Republik Indonesia<br /><br /><br /><br /><br /> Disahkan di Jakarta <br /> pada tanggal 27 Desember 1985<br /> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br /><br /> ttd<br /><br /> SOEHARTO<br /><br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 27 Desember 1985<br />MENTERI/SEKRETARIS NEGARA<br />REPUBLIK INDONESIA<br /><br /> ttd<br /><br />SUDHARMONO, S.H.<br /><br /><br /><br /><br /> LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 69<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> PENJELASAN<br /> ATAS<br /><br /> UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 13 TAHUN 1985<br /><br /> TENTANG<br /><br /> BEA METERAI<br /><br />UMUM<br /><br />Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang <br />Dasar 1945 memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk <br />berperan serta dalam pembangunan Nasional.<br /><br />Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi <br />kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen-dokumen tertentu yang <br />digunakan.<br /><br />Pengaturan pengenaan bea Meterai selama ini yang terdapat dalam Aturan Bea Meterai 1921 <br />(Zegelverordening 1921) (staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah beberapa kali diubah, <br />terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), <br />yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang No 7 Tahun 1969 (Lembaran <br />Negara Tahun 1969 Nomor 38) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan <br />di Indonesia sehingga perlu disederhanakan.<br /><br />Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas dan Bea Meterai<br />sebanding melainkan hanya Bea Meterai tetap yang besarnya Rp.1.000,- (seribu rupiah) dan <br />Rp 500,- (lima ratus rupiah).<br /><br />Selanjutnya untuk kesederhanaan dan kemudahan pemenuhan Bea Meterai maka pelunasannya cukup <br />dilakukan dengan menggunakan meterai tempel dan kertas meterai, sehingga masyarakat tidak perlu <br />lagi datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk memperoleh Surat Kuasa Untuk Menyetor <br />(SKUM).<br /><br />Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini, <br />yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum.<br /><br />Untuk melunasi Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar beserta dendanya (jika ada) dilakukan <br />dengan cara pemeteraian kemudian (nexegeling).<br /><br /><br />PASAL DEMI PASAL <br /><br />Pasal 1<br /><br /> ayat (1)<br /><br /> Cukup jelas.<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Cukup jelas.<br /><br />Pasal 2<br /><br /> Ayat (1)<br /><br /> Huruf a<br /><br /> Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, <br /> dibebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau <br /> surat-surat yang dipegangnya.<br /><br /> Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, <br /> surat hibah, surat pernyataan.<br /><br /> Huruf b<br /><br /> Cukup jelas.<br /><br /> Huruf c<br /><br /> Cukup jelas.<br /><br /> Huruf d, huruf e, dan huruf f<br /><br /> Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e, dan <br /> huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yang <br /> dinyatakan dalam mata uang asing.<br /><br /> Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal <br /> tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan <br /> yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah <br /> dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai.<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Cukup jelas.<br /><br /> Ayat (3)<br /><br /> Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semula <br /> tidak kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian <br /> di muka pengadilan maka lebih dahulu harus dilakukan pemeteraian-kemudian.<br /><br /> Huruf a<br /><br /> Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan <br /> sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang <br /> lain untuk menjualkan sebuah barang.<br /> <br /> Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila <br /> kemudian dipakai sebagai alat pembuktian dimuka Pengadilan, maka terlebih <br /> dahulu dilakukan pemeteraian-kemudian.<br /><br /> Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar barang. <br /> Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, <br /> oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai.<br /><br /> Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai <br /> alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan <br /> pemeteraian-kemudian.<br /><br /> Huruf b<br /><br /> Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yang karena <br /> tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya kemudian <br /> diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai.<br /><br /> Misalnya tanda penerimaan tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian <br /> tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka <br /> Pengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukan <br /> pemeteraian-kemudian terlebih dahulu.<br /><br /> Ayat (4)<br /><br /> Lihat penjelasan ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f.<br /><br />Pasal 3<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 4<br /><br /> Huruf a<br /><br /> Angka 1<br /><br /> Cukup jelas.<br /><br /> Angka 2<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Angka 3<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Angka 4<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Angka 5<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Angka 6<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Sebagai contoh surat perjanjian jual beli.<br /> Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.<br /><br /> Huruf c<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /><br />Pasal 5<br /><br /> Huruf a<br /><br /> Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf a, adalah pada <br /> saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, <br /> bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya.<br /><br /> Huruf b<br /><br /> Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf b, adalah pada saat <br /> dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari <br /> yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada <br /> saat ditandatanganinya perjanjian tersebut. <br /><br /> Huruf c<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 6<br /><br /> Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerima <br /> kuitansi.<br /><br /> Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah <br /> tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.<br /><br /> Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli <br /> sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang <br /> bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang <br /> dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.<br /> <br /> Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terhutang <br /> oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.<br /><br />Pasal 7<br /><br /> Ayat (1)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut <br /> tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini.<br /><br /> Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi <br /> pelunasan Bea Meterai, misalnya membubuhkan tanda-tera sebagai pengganti benda <br /> meterai di atas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan peraturan <br /> perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.<br /><br /> Ayat (3)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Ayat (4)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Ayat (5)<br /><br /> Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, ballpoint dan sebagainya.<br /><br /> Ayat (6)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Ayat (7)<br /><br /> Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali <br /> pemakaian, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam <br /> kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai.<br /><br /> Andaikata bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan <br /> dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain <br /> tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya <br /> tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.<br /><br /> Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini <br /> belum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas <br /> meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan <br /> suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai <br /> tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang <br /> demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.<br /><br /> Ayat (8)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Ayat (9)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 8<br /><br /> Ayat (1)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 9<br /><br /> Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di <br /> Indonesia.<br /><br /> Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus dibubuhi meterai terlebih dahulu <br /> yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan cara <br /> pemeteraian-kemudian tanpa denda.<br /> <br /> Namun apabila dokumen tersebut baru dilunasi Bea Meterainya sesudah digunakan, maka <br /> pemeteraian-kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200% (dua ratus persen).<br /><br />Pasal 10<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 11<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 12<br /><br />Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 lima) tahun dihitung sejak tanggal dokumen <br />dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi.<br /><br />Pasal 13<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 14<br /><br /> Ayat (1)<br /> <br /> Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tanpa <br /> izin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang <br /> menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara.<br /><br /> Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan <br /> kejahatan yang diperbuatnya.<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 15<br /><br /> Ayat (1)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /> Ayat (2)<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 16<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 17<br /><br /> Cukup jelas<br /><br />Pasal 18<br /><br /> Cukup jelas<br /><br /><br /><br /><br /> TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3313Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-25784596647266911232009-06-04T22:41:00.002-07:002009-06-04T22:42:27.774-07:00PPN TELEPON GENGGAMSURAT<br />S-3435/PJ.531/1996<br />Ditetapkan tanggal 23 Desember 1996<br />PPN ATAS PENGGUNAAN TELEPON GENGGAM<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ..........................tanggal 4 November 1996 perihal telepon genggam, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :<br />1. Saudara menanyakan dalam surat tersebut, apakah biaya yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan sehubungan dengan penggunaan telepon genggam oleh karyawannya dapat dibiayakan, dan PPN yang dapat dikreditkan. <br />2. Pasal 8 ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 menyatakan bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha tidak dapat dikreditkan. <br />3. Sesuai Pasal 2 ayat (1) angka 3 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 643/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994, Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang terutang PPN, dapat dikreditkan. <br />4. Berdasarkan ketentuan tersebut pada butir 2 dan butir 3, serta memperhatikan pertanyaan Saudara pada butir 1, maka Pajak Masukan atas biaya penggunaan telepon genggam dapat dikreditkan apabila memenuhi syarat-syarat : <br />a. Digunakan semata-mata untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan perusahaan untuk menghasilkan barang/jasa yang atas penyerahannya terutang PPN. <br />b. Rekening/tagihan atas nama perusahaan yang bersangkutan. <br />c. Tidak digunakan untuk kepentingan pribadi pegawai perusahaan. <br />d. Tercatat sebagai peralatan milik perusahaan (bukan pemberian dalam bentuk natura atau bukan pemberian laba/bonus). <br />Penggunaan yang tidak memenuhi keempat syarat tersebut secara kumulatif menyebabkan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan.<br />Demikian agar menjadi maklum.<br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />DIREKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI<br />DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG LAINNYA<br />ttd<br />SAROYO ATMOSUDARMOUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-65074935049359343202009-06-04T22:41:00.001-07:002009-06-04T22:41:28.369-07:00PENJUALAN FOBSURAT EDARAN <br />SE-08/PJ.52/1996<br />Ditetapkan tanggal 29 Maret 1996<br />PPN ATAS JASA PERDAGANGAN (SERI PPN 31 - 95)<br />Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : <br />1. Yang dimaksud dengan Jasa Perdagangan adalah Jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, karena menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Jasa perdagangan dengan demikian dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, maupun jasa mencarikan penjual.<br />2. Pengusaha pemberi jasa perdagangan dan penerima jasa perdagangan dapat berada didalam Daerah Pabean atau diluar Daerah Pabean. Dengan demikian jasa perdagangan tersebut dapat terutang PPN atau tidak terutang PPN yang dapat dijelaskan sebagai berikut : <br />2.1. Jasa perdagangan dikenakan PPN dalam hal : <br />a. Pengusaha jasa Perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean;<br />b. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean;<br />c. Pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean;<br />d. Pengusaha jasa perdagangan berada diluar Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean;<br />e. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di luar Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean<br />f. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean.<br />2.2. Jasa perdagangan tidak dikenakan PPN dalam hal : <br />g. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada diluar Daerah Pabean sepanjang penjual barang tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia dan pembayaran jasa tersebut dilakukan secara langsung oleh penjual barang tersebut kepada pengusaha jasa perdagangan.<br />h. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean sepanjang pembeli barang tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia dan pembayaran jasa tersebut dilakukan secara langsung oleh pembeli barang tersebut kepada pengusaha jasa perdagangan.<br />i. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean;<br />j. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang berada di dalam Daerah Pabean.<br />3. Apabila penjual tersebut pada butir 2.2.a atau pembeli tersebut pada butir 2.2.b mempunyai BUT di Indonesia, maka sekalipun pembayaran atas penggantian jasa tersebut dibayarkan langsung oleh pengusaha yang berarti tidak melalui BUT-nya di Indonesia, penyerahan jasa tersebut merupakan penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean dan oleh karena itu terutang PPN.<br />Demikian untuk dimaklumi. <br />DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br />ttd<br />FUAD BAWAZIERUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-12163220751797937662009-06-04T22:40:00.001-07:002009-06-04T22:40:53.219-07:00PPN TIDAK BISA DIKREDITKANkita lihat dulu pengertian pajak masukan menurut UU PPN Pasal 1 <br /><br />24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang <br />Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. <br /><br /><br />trus di Pasal 9 ada negative list<br /><br /><br />Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk : <br />a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; <br />b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; <br />c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang <br />dagangan atau disewakan; <br />d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum <br />Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; <br />e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana; <br />f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud <br />dalam Pasal 13 ayat (5); <br />g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur <br />Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6); <br />h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak; <br />i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa <br />Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-39506238725230501992009-06-04T22:39:00.000-07:002009-06-04T22:40:14.675-07:00PPN BARANG PROMOSIJENIS : SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /><br />NOMOR : S-1112/PJ.322/2005<br /><br />TANGGAL : 30 DESEMBER 2005<br /><br />PERIHAL : PERTANYAAN PENGENAAN PPN ATAS INSENTIF/BONUS <br /><br /><br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 09 September 2005 hal sebagaimana tersebut pada pokok surat, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:<br /><br />1. Surat Saudara pada dasarnya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:<br /><br />a. Kenyataan di lapangan pemberian insentif/bonus/hadiah dan penghargaan yang terjadi pada beberapa produsen seperti ABC, BCA, PQR, dll kepada dealer/distributornya tidak diperhitungkan secara jelas dan transparan dengan jumlah yang signifikan. Atas pemberian insentif/bonus/hadiah dan penghargaan ini tidak dikenakan PPN tetapi hanya dipotong PPh Pasal 21 untuk Wajib Pajak Pribadi atau PPh Pasal 23 untuk Wajib Pajak Badan, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-12/PJ.43/2002 tentang Intensifikasi Kewajiban Pemotong PPh dan PPN Dalam Rangka Peningkatan Potensi Perpajakan;<br /><br />b. Saudara memohon penjelasan dan penegasan apakah atas pemberian insentif/bonus/hadiah dan penghargaan, merupakan objek PPN mengingat margin Laba Kotor yang diperoleh distributor hanya sekitar 5%. Seringkali terjadi margin tersebut lebih kecil bahkan hingga 0%, sehingga Pajak Keluaran = Pajak Masukan. Kondisi tersebut menyebabkan PPN terutang lebih kecil hingga nihil, padahal dealer menerima bonus/insentif/hadiah dan penghargaan.<br /><br />2. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, diatur antara lain:<br /><br />a. Pasal 1A ayat (1) huruf d, yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena pajak.<br /><br />Dalam memori penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d disebutkan bahwa pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.<br /><br /> b. Pasal 4, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:<br /><br />- Huruf a, penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;<br /><br />- Huruf c, penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.<br /><br />3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, antara lain mengatur:<br /><br />a. Pasal 1 angka 3, dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan pemberian cuma-cuma adalah Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.<br /><br /> b. Pasal 4:<br /><br />- Ayat (1), atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak baik yang dilakukan secara tersendiri atau menyatu dengan barang yang dijual terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak;<br /><br />- Ayat (5), Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.<br /><br />c. Pasal 5 ayat (1), disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak produksi sendiri yang tergolong mewah, juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.<br /><br />4. Sesuai dengan pengertian dan peristilahan perdagangan insentif adalah penghargaan yang diberikan terhadap suatu subjek karena kinerja yang melampaui suatu standar yang telah ditetapkan.<br /><br />5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas serta memperhatikan isi surat Saudara pada angka 1 dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:<br /><br />a. Atas pemberian bonus/insentif/hadiah/penghargaan dari main dealer kepada dealer/distributor sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya atau imbalan prestasi terutang PPN.<br /><br />b. Dalam hal bonus/insentif/hadiah/penghargaan tersebut diberikan dalam bentuk Barang Kena Pajak, maka atas pemberian bonus/insentif/hadiah/penghargaan tersebut termasuk dalam kategori pemberian cuma-cuma dan atas penyerahannya terutang PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada butir 4 di atas, serta harus diterbitkan Faktur Pajak.<br /><br />Demikian disampaikan. <br /><br /><br />DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN,<br /><br /> ttd<br /><br />HERRY SUMARDJITO<br /><br /><br /><br />PENEGASAN ATAS PAJAK MASUKAN ATAS PEMBELIAN BARANG UNTUK PROMOSI <br />Surat Dirjen Pajak : S-1136/PJ.54/2000 <br />Tanggal : 21-Jul-2000 <br /><br />--------------------------------------------------------------------------------<br /><br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX, tanggal 22 Juni 2000 hal sebagaimana tersebut pada <br /><br />pokok surat, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut:<br /><br /><br /><br />1. Dalam surat Saudara dijelaskan bahwa:<br /><br /><br /><br /> a. PT ABC adalah Wajib Pajak yang bergerak di bidang industri sabun cuci dan mandi. Dalam <br /><br /> rangka menghadapi persaingan, perusahaan Saudara melakukan promosi yaitu dengan <br /><br /> cara setiap penjualan sabun detergent 1 Kg (AAA 1 Kg) dikaitkan dengan sebuah piring <br /><br /> sebagai barang promosi kepada konsumen dan harga jual sabun sudah termasuk harga <br /><br /> barang promosi.<br /><br /><br /><br /> b. Selajutnya Saudara mohon penjelasan:<br /><br /><br /><br /> b.1. Apakah Pajak Masukan atas pembelian barang promosi tersebut dapat dikreditkan <br /><br /> dengan Pajak Keluaran.<br /><br /><br /><br /> b.2. Apakah atas penyerahan barang promosi tersebut masih dikenakan Pajak <br /><br /> Pertambahan Nilai.<br /><br /><br /><br />2. Dalam Pasal 1 huruf n dan o Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan <br /><br /> Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan <br /><br /> Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 diatur bahwa:<br /><br /><br /><br /> a. Huruf (n), Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual atau Penggantian atau Nilai <br /><br /> Impor atau Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai <br /><br /> sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang.<br /><br /><br /><br /> b. Huruf (o), Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau <br /><br /> seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk <br /><br /> pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan <br /><br /> dalam Faktur Pajak.<br /><br /><br /><br />3. Dalam pasal 9 ayat (8) Undang-undang yang sama beserta penjelasannya diatur bahwa Pajak <br /><br /> Masukan yang tidak dapat dikreditkan antara lain bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena <br /><br /> Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. <br /><br /> Dalam memori penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran yang <br /><br /> berhubungan langsung dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan <br /><br /> produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen. Selanjutnya agar Pajak Masukan dapat <br /><br /> dikreditkan, juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan <br /><br /> adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.<br /><br /><br /><br />4. Berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan pada butir 2 dan 3 serta dengan memperhatikan isi <br /><br /> surat Saudara pada butir 1, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:<br /><br /><br /><br /> a. Dalam hal harga jual sabun detergent 1 Kg (AAA 1 Kg) sudah termasuk harga barang <br /><br /> promosi, maka atas barang promosi tersebut tidak perlu lagi dikenakan Pajak Pertambahan <br /><br /> Nilai secara tersendiri.<br /><br /><br /><br /> b. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar perusahaan atas perolehan barang promosi tersebut <br /><br /> dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran atas penyerahan sabun detergent.<br /><br /><br /><br />Demikian untuk dimaklumi.<br /><br /><br /><br />DIREKTUR,<br /><br />ttd<br /><br />MOCH. SOEBAKIRUnknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-73610473087103035192009-06-04T22:38:00.002-07:002009-06-04T22:39:05.718-07:00PAJAK PEMAKAIAN SENDIRIPajak Masukan atas Pemakaian Sendiri Barang Kena Pajak<br />(KEP - 87/PJ./2002, SE - 04/PJ.51/2002, SE - 01/PJ./1991 )<br />• Pemakaian Sendiri yang bersifat bukan produktif (tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha), PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran dan sekaligus Pajak Masukan tetapi tidak dapat dikreditkan.<br />Misalnya ;<br />Perusahaan produsen minuman ringan yang menggunakan sendiri produknya untuk minuman para karyawannya. PPN atas pemakaian minuman ringan tersebut diperlakukan sebagai Pajak Keluaran dan sebagai biaya.<br />• Pemakaian sendiri yang bersifat produktif (berhubungan langsung dengan usaha), PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran dan sekaligus Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.<br />Mulai tanggal 18 Februari 2002, berdasarkan KEP-87/PJ/2002 jo SE-04/PJ.51/2002, atas Pemakaian sendiri yang bersifat produktif tidak terutang PPN.<br />Misalnya ;<br />Perusahaan produsen mobil truck yang menggunakan sendiri produknya untuk alat angkut inventorynya. Atas penggunaan mobil truk ini tidak terutang PPN<br /><br /><br /><br />Perihal : PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PEMAKAIAN SENDIRI DAN ATAU PEMBERIAN CUMA-CUMA BARANG KENA PAJAK DAN ATAU JASA KENA PAJAK<br />Tanggal Terbit : 18 Februari 2002<br /> KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK<br /> NOMOR KEP - 87/PJ./2002<br /><br /> TENTANG<br /><br /> PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS <br /> PEMAKAIAN SENDIRI DAN ATAU PEMBERIAN CUMA-CUMA BARANG KENA PAJAK DAN ATAU JASA KENA PAJAK<br /><br /> DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br /><br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 diatur antara lain bahwa Dasar Pengenaan Pajak untuk pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;<br />b. bahwa untuk kepastian hukum dan kelancaran pelaksanaan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas pemakaian sendiri dan atau pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri Dan Atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak.<br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak <br /> Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, <br /> Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang <br /> Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan <br /> Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);<br />2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang <br /> Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas <br /> Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 18 <br /> Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran <br /> Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 4061);<br />3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan <br /> Pajak;<br />4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000 tentang Syarat-Syarat Faktur Pajak <br /> Sederhana sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor <br /> KEP-425/PJ./2001;<br />5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, <br /> Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar <br /> sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-323/PJ./2001.<br /><br /> MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan :<br /><br />KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK <br />PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PEMAKAIAN SENDIRI DAN ATAU PEMBERIAN CUMA-CUMA BARANG <br />KENA PAJAK DAN ATAU JASA KENA PAJAK.<br /><br /><br /> Pasal 1<br /><br />Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:<br /><br />1. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, <br /> Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi <br /> sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif.<br /><br />2. Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak adalah pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk kepentingan <br /> Pengusaha sendiri, pengurus, anggota keluarganya atau karyawannya, selain pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif.<br /><br />3. Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa imbalan <br /> pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, termasuk pemberian <br /> contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.<br /><br />4. Pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak adalah pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan kepada pihak lain tanpa imbalan pembayaran.<br /><br />5. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan.<br /><br />6. Barang Kena Pajak adalah meliputi produk utama, produk sampingan, dan limbah.<br /><br />7. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.<br /><br />8. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.<br /><br /><br /> Pasal 2<br /><br />Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum <br />merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak <br />Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.<br /><br /><br /> Pasal 3<br /><br />(1) Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak.<br /><br />(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dibayar sendiri oleh pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.<br /><br />(3) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran.<br /><br />(4) Dalam Faktur Pajak identitas Pengusaha Kena Pajak dan Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak adalah sama yaitu Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.<br /><br />(5) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.<br /><br /><br /> Pasal 4<br /><br />(1) Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak baik yang dilakukan secara tersendiri atau menyatu dengan barang yang dijual terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak.<br /><br />(2) Atas Pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak.<br /><br />(3) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.<br /><br />(4) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar merupakan Pajak Keluaran.<br /><br />(5) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.<br /><br /><br /> Pasal 5<br /><br />(1) Disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak produksi sendiri yang tergolong mewah, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.<br /><br />(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak dan dicantumkan dalam Faktur Pajak yang diterbitkan.<br /><br />(3) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Harga Jual setelah dikurangi laba <br /> kotor.<br /><br /><br /> Pasal 6<br /><br />Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini <br />dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 18 Pebruari 2002<br />DIREKTUR JENDERAL<br /><br />ttd<br /><br />HADI POERNOMOUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-2413336153417491802009-06-04T22:38:00.001-07:002009-06-04T22:38:16.963-07:00PERBEDAAN KURS OLEH PEMUNGUT PPNSURAT<br />S-268/PJ.52/2003<br />Ditetapkan tanggal 19 Maret 2003<br />PENJELASAN PENGISIAN DAN PEMBETULAN SPT<br />Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 30 Oktober 2002 perihal SSP & Faktur Pajak Valasdapat kami jelaskan sebagai berikut:<br />1. Dalam surat tersebut secara garis besar Saudara menyatakan sebagai berikut: <br />a. Pada bulan Januari 2002 Saudara menerbitkan Faktur Pajak untuk BUMN sebagai Wajib Pungut dalam Valas dengan Kurs Januari Rp. 8500,-/US $. <br />b. Atas Faktur Pajak yang diterbitkan tersebut dilaporkan pada SPT Masa PPN masa Januari yang tercantum dalam induk SPT Masa beserta daftar lampiran A3 sebesar 40 US $ = Rp. 340.000,-. <br />c. Selanjutnya pada bulan berikutnya diterima SSP dan copy Faktur Pajak yang dicoret dengan kurs Rp. 8.300,-/US $ atau senilai Rp. 332.000,-. Hal tersebut menyebabkan terjadinya selisih sebesar Rp. 8000,- akibat adanya perbedaan antara jumlah SSP belum diterima dengan SSP sudah diterima. <br />d. Pertanyaan Saudara sehubungan dengan ilustrasi kasus di atas adalah sebagai berikut: <br />a. Bagaimana mengisi posisi induk SPT Masa pada kolom SSP sudah diterima dan mengurangkan pada kolom SSP yang belum diterima. <br />b. Apakah harus dilakukan pembetulan setiap bulan mengingat kurs pajak bias berubah setiap pekan. <br />c. Apabila SSP untuk bulan yang sama diterima pada bulan yang berbeda dengan nilai kurs yang berbeda pula, maka apakah akan terjadi pembetulan dua kali untuk masa yang sama.<br />2. Dalam lampiran III Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-12/PJ/1995 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dan SPT Masa PPN Bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran Yang Menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, Keterangan dan Dokumen yang harus Dilampirkan, serta Buku Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-386/PJ/2002, antara lain mengatur sebagai berikut: <br />a. Halaman 9 poin B.1.3.1. Penyerahan kepada Pemungut PPN. Diisi dengan jumlah Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut PPN. Penyerahan kepada Pemungut PPN dilaporkan dalam Masa Pajak diterimanya pembayaran atas tagihan dari Pemungut PPN. <br />b. Halaman 14 poin C.4:1.1 SSP telah diterima (terlampir) Diisi dengan jumlah PPN yang telah dipungut dan disetor oleh Pemungut PPN sesuai dengan SSP yang dilampirkan (hanya menyangkut SSP untuk Masa Pajak yang dilaporkan). <br />c. Halaman 15 poin C.4.1.2 SSP belum diterima. Diisi dengan jumlah PPN yang telah dipungut oleh Pemungut PPN akan tetapi SSP yang bersangkutan belum diterima oleh PKP sampai saat jatuh tempo pemasukan SPT Masa Pajak yang bersangkutan. <br />3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-549/PJ/2000 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah diubah terakhir dengan KEP-433/PJ/2002, antara lain mengatur sebagai berikut: <br />a. Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa dalam hal kurs yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak Standar berbeda dengan kurs yang berlaku pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, Faktur Pajak Standar dapat dibetulkan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam lampiran III huruf C Keputusan ini. <br />b. Ketentuan sebagaimana diatur dalam lampiran III huruf c adalah sebagai berikut: <br />1. Pengusaha Kena Pajak rekanan wajib membuat Faktur Pajak Standar pada saat melakukan penagihan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak. <br />2. Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dikonversi ke dalam rupiah dengan menggunakan kurs yang berlaku menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. <br />3. Dalam hal kurs sebagaimana dimaksud dalam butir 1 berbeda dengan kurs sebagaimana dimaksud dengan butir 2, Pemungut Pajak Pertambahan Nilai membetulkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dengan menyesuaikan jumlah uang, baik Dasar Pengenaan Pajak maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dengan cara mencoret angka yang akan diperbaiki dan mencantumkan angka yang seharusnya serta membubuhkan paraf di samping angka yang diperbaiki tersebut (tidak boleh dihapus atau di tip ex). <br />4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pada butir 2 dan 3 diatas serta memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1, kami tegaskan sebagai berikut: <br />a. Kolom SSP telah diterima diisi dengan jumlah PPN yang telah dipungut dan disetor oleh Pemungut PPN sesuai dengan SSP yang dilampirkan (hanya menyangkut SSP untuk Masa Pajak yang dilaporkan). Kolom SSP belum diterima diisi dengan jumlah PPN yang telah dipungut oleh Pemungut PPN akan tetapi SSP yang bersangkutan belum diterima oleh PKP sampai saat jatuh tempo pemasukan SPT Masa Pajak yang bersangkutan. Pengurangan pada kolom SSP belum diterima dilakukan pada masa Pelaporan SPT Masa berikutnya saat SSP tersebut diterima oleh PKP. <br />b. Jika nilai kurs yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN berbeda dengan kurs saat pembayaran oleh Pemungut PPN maka atas SPT tersebut harus dibetulkan sesuai dengan kurs pada saat pembayaran. <br />c. Selanjutnya kami menghimbau, untuk masa-masa pajak berikutnya agar penyerahan kepada Pemungut PPN dilaporkan dalam Masa Pajak diterimanya pembayaran atas tagihan dari Pemungut PPN, sehingga kewajiban untuk melakukan pembetulan SPT akibat perbedaan kurs dapat dihindari.<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR PPN DAN PTLL,<br />ttd<br />I MADE GDE ERATAUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-81533555607595640672009-06-04T22:36:00.000-07:002009-06-04T22:37:37.685-07:00PERATURAN PAJAK TENTANG SEWAUNDANG-UNDANG<br />NOMOR 7 TAHUN 1983<br />Ditetapkan tanggal 31 Desember 1983<br />PAJAK PENGHASILAN<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang :<br />a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional; <br />b. bahwa sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam menunjang pembiayaan pembangunan. <br />c. bahwa sistem perpajakan yang tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku belum sepenuhnya dapat menggerakkan peran serta semua lapisan subyek pajak dalam peningkatan penerimaan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional; <br />d. bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan meningkat, sesuai dengan perkembangan kemampuan riil rakyat dan laju pembangunan nasional; <br />e. bahwa sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; <br />f. bahwa oleh karena itu sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya, pajak perseroan, pajak pendapatan, dan pajak atas bunga, dividen dan royalti yang berlaku dewasa ini pada khususnya perlu di perbaharui dan disesuaikan sehingga lebih memberikan kepastian hukum, sederhana, mudah pelaksanaannya, serta lebih adil dan merata; <br />g. bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak Penghasilan;<br />Mengingat :<br />1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; <br />2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Haluan Negara; <br />3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);<br />Dengan persetujuan<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,<br />M E M U T U S K A N :<br />Dengan mencabut :<br />1. Pasal 15 ke 4 dan ke 5 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah, dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943); <br />2. Pasal 9, Pasal 12 ke 4 dan ke 5, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);<br />Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br />BAB I<br />KETENTUAN UMUM<br />Pasal 1<br />Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.<br />BAB II<br />SUBYEK PAJAK<br />Pasal 2<br />(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah : <br />a. 1) Orang pribadi atau perseorangan;<br />2) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;<br />b. badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.<br />(2) Subyek Pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri.<br />(3) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah : <br />a. orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas bulan atau orang yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;<br />b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;<br />c. bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.<br />(4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.<br />(5) Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya.<br />(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan.<br />Pasal 3<br />Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah : <br />a. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;<br />b. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan;<br />c. Perusahaan Jawatan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.<br />BAB III<br />OBYEK PAJAK<br />Pasal 4<br />(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya : <br />a. Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan; <br />b. honorarium, hadiah undian dan penghargaan; <br />c. laba bruto usaha; <br />d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;<br />e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya; <br />f. bunga; <br />g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;<br />h. royalti; <br />i. sewa dari harta; <br />j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; <br />k. keuntungan karena pembebasan utang.<br />(2) Pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.<br />(3) Tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah : <br />a. harta hibahan atau bantuan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak yang bersangkutan;<br />b. warisan;<br />c. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi bea siswa;<br />d. penggantian berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati dalam bentuk natura, dengan ketentuan, bahwa yang memberikan penggantian adalah Pemerintah atau Wajib Pajak menurut Undang-undang ini dan Wajib Pajak yang memberikan penggantian tersebut, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1 huruf d tidak Mengurangkan penggantian itu sebagai biaya;<br />e. keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya, dengan syarat : <br />1) pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama memiliki paling sedikit 90 % (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;<br />2) pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;<br />3) pengenaan pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin.<br />f. harta yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;<br />g. dividen yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain Bank atau lembaga Keuangan lainnya, dari Perseroan lain di Indonesia dengan syarat, bahwa perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen dan kedua badan tsb mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya;<br />h. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh karyawan, dan penghasilan dana pensiun serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;<br />i. penghasilan Yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum; <br />j. penghasilan Yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk kepentingan umum; <br />k. pembagian keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali apabila ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan, karena terdapat penyalahgunaan;<br />l. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana yang berasal dari investasi untuk kepentingan pemodal, berupa :<br />1) dividen dari Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia,<br />2) bunga obligasi, dan<br />3) keuntungan dari penjualan atau pengalihan sepanjang seluruh penghasilan bersih yang diterima atau diperoleh dibagikan kepada para pemodal sebagai bagian keuntungan atau dividen;<br />m. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Modal Ventura yang berupa bagian keuntungan dari badan usaha yang didirikan di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan keuntungan dari penjualan atau pengalihan penyertaan dengan persyaratan : <br />1) penyertaan modal dari perusahaan Modal Ventura tersebut dilakukan pada badan usaha <br />yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dan<br />2) penghasilan tersebut berasal dari badan usaha yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek.<br />n. <br />Pasal 5<br />(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah : <br />a. penghasilan dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya;<br />b. penghasilan induk perusahaan dan badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa di Indonesia, yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).<br />(2) Apabila induk perusahaan dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia berdasarkan pasal 26, maka : <br />a. penghasilan bentuk usaha tetap itu tidak boleh dikurangi dengan biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk perusahaan atau badan lain tersebut;<br />b. pajak induk perusahaan atau badan lain itu tidak boleh dikreditkan dengan pajak bentuk usaha tetap.<br />Pasal 6<br />(1) Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi : <br />a. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan;<br />b. penyusutan atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan dan amortisasi atas biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;<br />c. iuran kepada dana pensiun yang mendapat persetujuan Menteri Keuangan;<br />d. kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu;<br />e. Sisa Hasil Usaha Koperasi sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk anggota.<br />(2) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br />(3) Jika penghasilan bruto sesudah dikurangi biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan dalam : <br />a. 5 (lima) tahun, atau<br />b. lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi tidak lebih dari 8 (delapan) tahun khusus untuk jenis-jenis usaha tertentu, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita.<br />Pasal 7<br />(1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya : <br />a. Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;<br />b. Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;<br />c. Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;<br />d. Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.<br />(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.<br />(3) Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />Pasal 8<br />(1) Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, begitu pula kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan isteri dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 dan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya.<br />(2) Penghasilan anak belum dewasa yang bukan dari pekerjaan dan penghasilan dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha anggota keluarga lainnya, digabung dengan penghasilan orang tuanya.<br />Pasal 9 <br />(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan : <br />a. pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan atau badan lainnya kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk embagian Sisa Hasil Usaha dari Koperasi yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha sehubungan dengan jasa anggota, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau anggota;<br />b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah;<br />c. premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa kecuali jika dibayarkan pihak pemberi kerja dan premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;<br />d. pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi, dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi keperluan pegawai dari Wajib Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan keputusan Menteri Keuangan;<br />e. pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, yang dibayarkan kepada pemegang saham, atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa;<br />f. harta yang dihibahkan, bantuan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;<br />g. Pajak Penghasilan;<br />h. biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya;<br />i. sumbangan.<br />(2) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tidak diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10)<br />Pasal 10 <br />(1) Dalam melakukan penyusutan dan amortisasi terhadap harta dan penghitungan keuntungan atau kerugian dalam hal penjualan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka harga perolehannya adalah jumlah sesungguhnya dikeluarkan, sedangkan dalam hal pengalihan harta nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan, kecuali : <br />a. dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya yang diterima oleh pihak yang melakukan pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;<br />b. dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, dasar penilaian harta bagi yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;<br />c. dalam hal penyerahan harta hibahan, pemberian bantuan yang bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang dipergunakan oleh yang menerima penyerahan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan penyerahan.<br />(2) Harta yang telah dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk menerima atau memperoleh penghasilan, harga perolehan atau nilai perolehannya disesuaikan dengan penyusutan, dan/atau amortisasi, tambahan, perbaikan atau tambahan yang dilakukan.<br />(3) Penilaian persediaan hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan, yang didasarkan atas pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok yang dilakukan secara rata-rata ataupun yang dilakukan dengan mendahulukan persediaan yang didapat pertama.<br />Pasal 11 <br />(1) Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, dengan suatu masa manfaat yang lebih dari satu tahun, kecuali tanah.<br />Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan harus dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf b.<br />(2) Penyusutan yang dapat dilakukan dalam suatu tahun pajak adalah jumlah penyusutan dari setiap golongan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dari penyusutan untuk setiap golongan harta ditetapkan dengan mengalihkan dasar penyusutan golongan itu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dengan tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).<br />(3) Untuk menghitung penyusutan, harta yang dapat disusutkan dibagi menjadi golongan-golongan harta sebagai berikut : <br />a. Golongan 1 :<br />harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 4 (empat) tahun;<br />b. Golongan 2 :<br />harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 4 (empat) tahun dan tidak lebih dari 8 (delapan) tahun;<br />c. Golongan 3 :<br />harta yang dapat disusutkan dan yang tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 8 (delapan) tahun;<br />d. Golongan Bangunan :<br />bangunan dan harta tak gerak lainnya, termasuk tambahan, perbaikan atau perubahan yang dilakukan.<br />(4) Dasar penyusutan setiap golongan harta untuk suatu tahun pajak sama dengan jumlah awal pada tahun pajak untuk golongan harta itu ditambah dengan tambahan, perbaikan atau perubahan dan dikurangkan dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).<br />(5) Jumlah awal dari masing-masing golongan 1, golongan 2 dan golongan 3 untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, dikurangi dengan penyusutan yang diperkenankan pada tahun pajak sebelumnya.<br />(6) Jumlah awal dari Golongan Bangunan untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, yaitu sebesar harga atau nilai perolehan.<br />(7) Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian : <br />a. karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana atau karena penghentian sebagian besar usaha, maka suatu jumlah sebesar harga sisa buku dikurangi dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan, dan jumlah sebesar harga sisa buku itu merupakan kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan, sedangkan hasil penjualan atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan;<br />b. karena sebab biasa, yaitu lain dari yang tersebut pada huruf a, maka penerimaan netto dari harta yang bersangkutan dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan.<br />(8) Jika pengurangan yang dimaksud dalam ayat (7) dalam suatu tahun pajak menghasilkan dasar penyusutan di bawah nol, maka dasar penyusutan itu harus dinaikkan menjadi nol, dan jumlah yang sama dengan kenaikan itu harus ditambahkan pada penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.<br />(9) Tarif penyusutan tiap tahun pajak untuk :<br />a. Golongan 1 : 50% (lima puluh persen);<br />b. Golongan 2 : 25% (dua puluh lima persen);<br />c. Golongan 3 : 10% (sepuluh persen);<br />d. Golongan bangunan : 5% (lima persen).<br />(10) Harga perolehan dari harta tak berwujud yang dipergunakan dalam perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, seperti penyewaan harta berwujud, diamortisasi dengan tarif berdasarkan masa manfaatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) huruf a atau huruf b atau huruf c, atau dengan tingkat tarif Golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam ayat (11), atau dengan mempergunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) atau ayat (13).<br />(11) Biaya pendirian dan biaya perluasan modal satuan perusahaan diamortisasi dengan tingkat tarif penyusutan Golongan 1, kecuali apabila Wajib Pajak menganggapnya sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a sesuai dengan pembukuannya.<br />(12) Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, dan hak pengusahaan hutan, diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi, setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.<br />(13) Biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.<br />(14) Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan untuk menentukan jenis-jenis harta yang termasuk dalam masing-masing golongan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan memperhatikan masa manfaat dari jenis harta yang bersangkutan.<br />Pasal 12<br />(1) Tahun Pajak adalah tahun takwim, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.<br />(2) Wajib Pajak tidak diperbolehkan mengubah tahun pajak tanpa mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.<br />Pasal 13<br />(1) Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia, sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan undang-undang ini.<br />(2) Pada setiap tahun pajak berakhir Wajib Pajak menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan perhitungan rugi-laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.<br /> <br />Pasal 14<br />(1) Norma penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan peredaran atau penerimaan bruto dan untuk menentukan penghasilan netto berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />(2) Wajib Pajak yang peredaraan usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya yang<br />berjumlah kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dapat menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, asal hal itu diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.<br />(3) Jumlah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, dan karenanya tidak diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan Norma Penghitungan tanpa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).<br />(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran atau penerimaan brutonya.<br />(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau menyelenggarakan pencataan peredaran atau menyelenggarakan pencatatan penerimaan bruto tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakannya sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang ini, atau tidak memperlihatkan buku dan catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan tersebut, penghasilan nettonya dihitung dengan menggunakan norma penghitungan.<br />(7) Pajak yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br />Pasal 15<br />Menteri Keuangan dapat mengeluarkan keputusan untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan Pasal 16.<br />BAB IV<br />CARA MENGHITUNG PAJAK<br />Pasal 16<br />(1) Penghasilan kena pajak, sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak, dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d.<br />(2) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).<br />(3) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.<br />Pasal 17<br />(1) Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak, kecuali atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, adalah sebagai berikut :<br />Penghasilan kena Pajak<br />sampai dengan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Tarif pajak<br />15% (lima belas-persen) <br />di atas Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) s/d Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 25% (dua puluh lima-persen) <br />di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 35% (tiga puluh lima persen) <br /><br />(2) Jumlah penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />(3) Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.<br />(4) Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan yang kewajiban pajak Subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai setelah permulaan tahun pajak atau berakhir dalam tahun pajak, maka pajak yang terutang adalah sebanyak jumlah hari dari bagian tahun pajak dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk satu tahun pajak yang dihasilkan karena penerapan ayat (1) dan ayat (2).<br />Penghasilan netto yang diperoleh selama bagian dari tahun pajak dihitung terlebih dahulu menjadi jumlah setahun.<br />(5) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.<br />Pasal 18 <br />(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang ini.<br />(2) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya.<br />(3) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (1) huruf e dan ayat (2) Pasal ini : <br />a. dalam hal Wajib Pajak adalah badan : <br />1. hubungan antara dua atau lebih Wajib Pajak yang berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung;<br />2. hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada pihak yang lain, atau hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir;<br />b. dalam hal Wajib Pajak adalah orang pribadi atau perseorangan :<br />keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat atau keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan kesamping satu derajat.<br />(4) Dua pihak atau lebih yang masing-masing merupakan perseroan, persekutuan, atau perkumpulan lainnya yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, pengenaan pajaknya dihitung dengan menggunakan lapisan tarif terendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, hanya diterapkan satu kali saja.<br />Pasal 19 <br />Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan faktor penyesuaian dalam hal terjadi ketidak serasian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan yang disebabkan karena perkembangan harga. <br />BAB V<br />PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN<br />Pasal 20<br />(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak boleh Wajib Pajak sendiri.<br />(2) Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri tersebut, merupakan angsuran pajak yang akan dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.<br />(3) Masa pajak dipergunakan sebagai jangka waktu untuk menentukan besarnya Obyek Pajak dan besarnya pajak yang terutang, yang harus dilunasi sebagai angsuran dalam tahun berjalan.<br />(4) Masa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah 1 (satu) tahun atau selama jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />Pasal 21 <br />(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh : <br />a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, dan honorarium dengan nama apapun sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau oleh orang lain yang dilakukan di Indonesia;<br />b. bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap, dan pembayaran lain, dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang dibebankan kepada keuangan negara;<br />c. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun;<br />d. perusahaan dan badan-badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas.<br />(2) Bagian penghasilan yang dipotong pajak untuk setiap masa pajak adalah bagian penghasilan yang melebihi seperdua belas dari penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br />(3) Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapat pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, ia harus menyerahkan surat pernyataan kepada pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana pensiun, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarganya.<br />(4) Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan digunakan oleh pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana pensiun, untuk menetapkan besarnya penghasilan kena pajak, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan memasukkan surat pernyataan baru tentang adanya perubahan.<br />(5) Tarif pemotongan pajak atas gaji, upah, dan honorarium adalah sama dengan tarif penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br />(6) Jumlah pajak yang dipotong atas bagian upah setiap masa pajak akan dimuat dalam buku petunjuk yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).<br />(7) Setiap orang yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang secara benar dan tepat telah dipotong pajaknya, jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (5) merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang ini.<br />(8) Setiap orang yang mempunyai penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan setiap orang yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja diharuskan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br />Pajak yang terutang seluruhnya dikurangi dengan pajak yang telah dipotong sebagai kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.<br />(9) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk tentang pemotongan pajak atas pembayaran gaji, upah, honorarium dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa lain yang diberikan.<br />Pasal 22<br />(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang Import atau kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara.<br />(2) Dasar pemungutan dan besarnya pungutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan, bahwa jumlah pungutan itu diperkirakan mendekati jumlah pajak yang terutang atas penghasilan dari kegiatan usaha yang bersangkutan.<br />Pasal 23<br />(1) Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau yang terutang oleh Badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dipotong pajak sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto, oleh pihak yang berwajib membayarkan :<br />a. dividen dari perseroan dalam negeri;<br />b. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;<br />c. sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br />d.. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa managemen yang dilakukan di Indonesia.<br />(2) Orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br />(3) Bunga dan Dividen tertentu yang tidak melampaui suatu jumlah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br />Pasal 24<br />(1) Pajak yang dikenakan dalam suatu Tahun Pajak yang dihitung menurut ketentuan Undang-undang ini dikreditkan dengan pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang sama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.<br />(2) Kredit yang diperbolehkan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri itu untuk tahun pajak yang bersangkutan, terbatas pada jumlah pajak yang dihitung atas penghasilan luar negeri, berdasarkan Undang-undang ini.<br />(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang dapat dikreditkan, penghasilan-penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 26 dianggap berasal dari Indonesia, dan dalam menentukan sumber penghasilan lainnya dipergunakan prinsip yang sama.<br />(4) Jika pajak penghasilan luar negeri yang diminta untuk dikreditkan itu ternyata dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.<br />Pasal 25<br />(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak, adalah sebesar pajak yang terutang pada tahun pajak yang lalu dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan pajak serta pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud masing-masing dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi dengan banyaknya masa pajak.<br />(2) Yang dimaksud dengan pajak yang terhutang dalam ayat (1) adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.<br />(3) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tertentu untuk setiap masa pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.<br />Pasal 26 <br />(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terhutang oleh badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau oleh Wajib Pajak dalam negeri, dipotong pajak yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan : <br />a. dividen dari perseroan dalam negeri;<br />b. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;<br />c. sewa, royalti, dan penghasilan lain karena penggunaan harta;<br />d. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia;<br />e. keuntungan sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.<br />Pasal 27<br />Pengaturan lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.<br />BAB VI<br />KREDIT PAJAK, PELUNASAN KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK,<br />SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK<br />Pasal 28 <br />Bagi Wajib Pajak dalam negeri, pajak yang terhutang untuk seluruh tahun pajak menurut undang-undang ini dikurangi dengan kredit pajak berupa : <br />a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21;<br />b. pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 22;<br />c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;<br />d. pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;<br />e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25.<br />Pasal 29<br />Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari pada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.<br />Pasal 30<br />(1) Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi-laba, sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br /><br />(2) Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak, jumlah pajak yang terhutang, jumlah pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.<br />(3) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang pribadi atau perseorangan : <br />a. yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;<br />b. yang memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br />(4) Jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terhutang menurut undang-undang ini.<br />(5) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti, bahwa jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan itu tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya.<br />Pasal 31<br />(1) Apabila pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari pada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan atau diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.<br />(2) Sebelum dilakukan pengembalian atau diperhitungkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana<br />dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku, dan catatan lainnya, serta atas hal lain yang dianggapnya perlu untuk menetapkan besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.<br />BAB VII<br />KETENTUAN LAIN-LAIN<br />Pasal 32<br />Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kecuali apabila tata cara pengenaan pajak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.<br />BAB VIII<br />KETENTUAN PERALIHAN<br />Pasal 33<br />(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tangal 30 Juni 1984 serta yang berakhir antara tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 30 Desember 1984 dapat memilih cara menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pendapatan 1944, atau berdasarkan<br />ketentuan dalam Undang-undang ini.<br />(2) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yang: <br />a. jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sampai selesai;<br />b. jangka waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum tahun pajak 1984.<br />(3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.<br />Pasal 34 <br />Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan di bidang pengenaan Pajak Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944 dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru. <br />BAB IX<br />KETENTUAN PENUTUP<br />Pasal 35<br />Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.<br />Pasal 36<br />(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.<br />(2) Undang-undang ini disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.<br />Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br />Disahkan di : Jakarta<br />Pada tanggal : 31 Desember 1983<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd.<br />SOEHARTO<br />Diundangkan di : Jakarta<br />Pada tanggal : 31 Desember 1983<br />MENTERI/SEKRETARIS NEGARA<br />REPUBLIK INDONESIA,<br />ttd.<br />SUDHARMONO, S.H. <br />________________________________________<br />PENJELASAN<br />ATAS<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 7 TAHUN 1983<br />TENTANG<br />PAJAK PENGHASILAN<br />UMUM<br />1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat (2) sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan Undang-undang. <br />2. Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu membiayai Pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. <br />3. Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan Undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila. <br />4. Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan) dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami serta mematuhinya. <br />5. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai Undang-undang, yaitu : <br />(a) Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan. <br />(b) Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut. <br />(c) Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen dan royalty, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen dan royalty yang bersangkutan. <br />(d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun (MPS-Akhir). <br />6. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur : <br />(a) semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam Undang-undang ini.<br />(b) ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br />Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarip dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarip pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak.<br />Struktur tarip disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarip pajak.<br />Tarip untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarip untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarip lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut :<br />(a) sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarip yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.<br />(b) keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarip yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.<br />(c) meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarip marginal tertinggi hanya 35% (tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.<br />(d) mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak.<br />PASAL DEMI PASAL<br />Pasal 1<br /> Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak atas penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perseorangan maupun badan yang terhutang selama satu tahun pajak.<br />Pasal 2<br /> Ayat (1) <br /> Pengertian Subyek Pajak mencakup, baik orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi maupun badan.<br />Huruf a <br />1) Orang pribadi atau perseorangan adalah Subyek Pajak, baik apabila mereka bertempat tinggal di Indonesia maupun apabila mereka bertempat tinggal di luar Indonesia.<br />Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak pada saat lahir di Indonesia, atau bila seseorang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka ia menjadi Subyek Pajak pada saat pertama kali berada di Indonesia.<br />Jumlah 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tersebut tidaklah harus berturut- turut.<br />Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.<br />Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi Subyek Pajak di Indonesia apabila mereka dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek Pajak di Indonesia pada saat tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.<br />2) Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti, yaitu menggantikan yang berhak. <br />Bagi warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak pada saat timbulnya warisan dimaksud (sejak saat meninggalnya pewaris), dan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada mereka yang berhak (ahli waris).<br />Warisan baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang belum terbagi itu memberikan penghasilan.<br /><br /> Huruf b <br /> Badan-badan seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga merupakan Subyek Pajak pada saat didirikannya badan usaha atau organisasi tersebut, atau pada waktu memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia.<br />Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak setelah penyelesaian likuidasi, dan bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, tidak lagi menjadi Subyek Pajak Indonesia pada saat terputusnya hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu sejak tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.<br />Perlu diperhatikan, bahwa setiap unit tertentu dari badan pemerintah yang melakukan kegiatan usaha secara teratur di bidang sosial ekonomi merupakan Subyek Pajak sebagai badan usaha milik negara.<br />Sudah barang tentu, badan usaha milik negara akan benar-benar dikenakan pajak, apabila terdapat Obyek Pajak, yaitu mendapatkan penghasilan. Demikian pula halnya dengan badan usaha milik daerah.<br />Suatu badan di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak di Indonesia, sejak adanya bentuk usaha tetap itu. <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Cukup jelas.<br /><br /> Ayat (3) <br /> Huruf a <br /> Cukup jelas.<br /><br /> Huruf b <br /> Cukup jelas.<br /><br /> Huruf c <br /> Bentuk usaha tetap di Indonesia dari badan atau perusahaan luar negeri digolongkan sebagai Subyek Pajak dalam negeri.<br />Pada prinsipnya Subyek Pajak dalam negeri akan dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya di manapun diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.<br />Penghasilan dari bentuk usaha tetap sebagai Wajib Pajak dalam negeri dirumuskan tersendiri dalam Pasal 5. Yang dapat mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia bukan saja setiap badan, tetapi juga setiap perusahaan termasuk perusahaan perseorangan di luar Indonesia.<br />Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah wujud tertentu atau sesuatu yang kurang lebih mempunyai sifat tetap, yang dijadikan pusat kegiatan sebagian atau seluruh usaha di Indonesia dari suatu badan atau perusahaan yang didirikan, bertempat kedudukan atau berada di luar Indonesia.<br />Yang dimaksud dengan menjalankan usaha secara teratur ialah melakukan kegiatan usaha yang menunjukkan adanya maksud untuk dilakukan terus-menerus. Misalnya<br />dalam hal pemberian jasa-jasa (furnishing of services), yang di dalamnya termasuk pemberian jasa konsultasi (consultancy services), apabila diberikan satu kali oleh seorang asing yang datang di Indonesia sebagai turis, karena kebetulan diminta oleh seorang temannya di Indonesia, maka pemberian jasa semacam itu belum termasuk kegiatan usaha yang dilakukan secara teratur, dan oleh karena itu belum dapat dianggap adanya bentuk usaha tetap di Indonesia.<br />Namun apabila turis tersebut datang lagi ke Indonesia untuk memberikan jasa konsultasi atas nama suatu perusahaan luar negeri karena misalnya direkomendasikan oleh temannya tersebut di atas, kepada suatu perusahaan di Indonesia, maka telah terdapat suatu petunjuk tentang adanya maksud untuk memberikan jasa konsultasi di Indonesia secara terus-menerus dan oleh karena itu dalam hal ini telah terdapat bentuk usaha tetap di Indonesia.<br />Perusahaan asuransi luar negeri mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila perusahaan tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia, melalui karyawannya atau perwakilan lain, yang bukan merupakan agen yang mempunyai kedudukan bebas (independent).<br />Sebuah perusahaan luar negeri tidak dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila dalam melakukan kegiatannya di Indonesia, dipergunakan perantara atau broker atau agen lain yang sifatnya bebas, asalkan perantara atau agen tersebut bertindak dalam rangka perusahaannya sendiri.<br />Oleh karena itu, bila agen tersebut bertindak sepenuhnya atau hampir sepenuhnya atas nama perusahaan luar negeri, maka perantara atau agen tersebut tidak memenuhi syarat sebagai agen yang mempunyai kedudukan yang bebas, dengan perkataan lain, perantara atau agen tersebut merupakan bentuk usaha tetap dari perusahaan luar negeri tersebut.<br /><br /><br /> Ayat (4) <br /> Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.<br />Subyek Pajak yang benar-benar memperoleh penghasilan dan oleh karena itu berkewajiban untuk membayar pajak, disebut dalam undang-undang ini sebagai Wajib Pajak.<br />Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah seseorang atau suatu badan yang tidak memenuhi syarat-syarat kewajiban subyektif dan obyektif.<br />Perbedaan yang penting dari kewajiban Wajib Pajak dalam negeri dibandingkan dengan kewajiban Wajib Pajak luar negeri adalah bahwa Wajib Pajak dalam negeri, setelah tahun pajak berakhir, berkewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak melaporkan tentang semua penghasilan yang diterima atau diperoleh, penghitungan penghasilan kena pajak, dan pajak yang terhutang.<br />Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak juga melaporkan tentang semua pelunasan atas pajak yang terhutang. Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan itu telah diisi dengan benar dan pajak yang terhutang telah dilunasi sebagaimana mestinya, maka kepada Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak hanya perlu dikeluarkan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar dan/atau tidak lengkap, sehingga pajak yang kurang dibayar perlu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak, ditambah dengan sanksi administrasi yang berkenaan. Sedangkan atas Wajib Pajak luar negeri tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br /><br /> Ayat (5) <br /> Untuk menentukan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia adalah berdasarkan keadaan atau kenyataan yang sebenarnya, sehingga dengan demikian tidak ditentukan berdasarkan hal-hal yang sifatnya formal<br /><br /> Ayat (6) <br /> Dalam hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan.<br />Hal ini berdasarkan pertimbangan praktis untuk memberikan kepastian hukum.<br /><br />Pasal 3<br /> Huruf a dan huruf b <br /> Sesuai dengan kelaziman internasional, anggota perwakilan diplomatik, konsuler dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subyek Pajak di negara tempat mereka mewakili negaranya. Demikian juga halnya dengan anggota Angkatan Bersenjata negara asing dan wakil-wakil organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO), International Monetary Fund (IMF) dan sebagainya. Syarat timbal-balik adalah merupakan kelaziman internasional. Jika mereka mempunyai pekerjaan lain atau usaha, maka pengecualian itu gugur dan akan dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan lain atau kegiatan usahanya.<br /><br /> Huruf c <br /> Berdasarkan tujuan dan sifat dari Perusahaan Jawatan, maka Perusahaan Jawatan dapat dikecualikan sebagai Subyek Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.<br /><br />Pasal 4<br /> Dalam undang-undang ini dianut pengertian penghasilan yang luas, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh seseorang atau badan merupakan ukuran yang terbaik mengenai kemampuan seseorang atau badan untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah guna membiayai kegiatan-kegiatannya baik yang rutin, maupun untuk pembangunan.<br />Ini merupakan salah satu sifat dari sistem Pajak Penghasilan ini yang bertujuan untuk memeratakan beban pembangunan. Setiap tambahan kemampuan ekonomis, dari mana pun datangnya, merupakan tambahan kemampuan untuk ikut memikul biaya kegiatan Pemerintah.<br />Pengertian penghasilan dalam undang-undang ini tidak terikat lagi pada ada tidaknya sumber-sumber penghasilan tertentu seperti yang dianut oleh undang-undang lama. Penghasilan itu dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, dapat dikelompokkan menjadi : <br />• penghasilan dari pekerjaan, yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan publik, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa) pengacara dan sebagainya;<br />• penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan;<br />• penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak, seperti bunga, dividen, royalti, maupun penghasilan dari modal berupa harta tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya; juga termasuk dalam kelompok penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan sebidang tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipakai dalam melakukan kegiatan usaha;<br />• penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan hutang dan lain-lain penghasilan yang tidak termasuk dalam kelompok lain.<br />Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung, yang selanjutnya dipakai untuk memperoleh harta yang tidak terpakai habis sebagai konsumsi dalam satu tahun. Walaupun penghasilan itu dapat dikelompokkan, namun pengertian penghasilan tidak terbatas pada yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan tertentu.<br />Contoh-contoh yang disebut dalam undang-undang ini sekedar untuk memperjelas tentang pengertian penghasilan yang luas, dan tidak terbatas pada apa yang disebutkan oleh undang-undang ini.<br /> Ayat (1) <br /> Huruf a <br /> Semua imbalan atau pembayaran dari pekerjaan dalam hubungan kerja yang dapat berupa upah, gaji, dan sebagainya, termasuk premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja. Pemberian gaji dalam bentuk natura tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima, seperti misalnya perumahan (kecuali di daerah terpencil, yang tidak tersedia rumah yang disewakan), kendaraan bermotor, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d. <br /><br /> Huruf b <br /> Honorarium yang dibayarkan kepada artis, olahragawan, pemberi ceramah seperti pada seminar-seminar internasional. Hadiah undian mencakup juga pengertian hadiah yang diberikan tanpa diundi. <br /><br /> Huruf c <br /> Yang dimaksud dengan laba bruto usaha adalah penghasilan bruto yang diperoleh dari usaha. Laba bruto usaha ditambah penghasilan bruto lainnya sama dengan jumlah penghasilan bruto seluruhnya.<br />Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan perlu dilaporkan laba bruto usaha dan pengurangan yang diperbolehkan oleh undang-undang ini.<br />Jadi tidak dimaksudkan, bahwa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan hanya dilaporkan penghasilan kena pajak. Penambahan penghasilan lain-lain dan pengurangan biaya lain-lain terhadap laba netto dari usaha mencerminkan adanya apa yang disebut dalam dunia perpajakan sebagai kompensasi horisontal. Baik laba netto usaha maupun penghasilan lain-lain setelah dikurangi biaya yang bersangkutan dapat menjadi negatif.<br />Kompensasi horisontal semacam itu diperbolehkan dalam menghitung penghasilan kena pajak.<br /><br /> Huruf d <br /> Apabila seorang Wajib Pajak menjual harta lebih dari harga sisa buku atau harga/nilai perolehan pada saat penjualan, maka selisih harga tersebut merupakan<br />penghasilan. Jika harta yang dijual itu bukan merupakan harta perusahaan dan telah dimiliki sebelum berlakunya undang-undang ini, penghasilan yang diperoleh adalah selisih antara harga penjualan dengan nilai jual pada saat undang-undang ini berlaku.<br />Demikian pula apabila sebuah badan usaha menjual kekayaan kepada pemegang saham misalnya berupa mobil dengan harga sebesar harga sisa bukun Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sedangkan di pasar harganya Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah), maka selisih sebesar Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) merupakan penghasilan bagi badan usaha tersebut dan bagi pemegang saham yang membeli itu, Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) merupakan penghasilan. <br /><br /> Huruf e <br /> Pengembalian pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang setelah ditetapkan kembali ternyata kelebihan bayar, maka kelebihan bayar tersebut adalah penghasilan. <br /><br /> Huruf f <br /> Dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, baik yang dijanjikan maupun tidak. <br /><br /> Huruf g <br /> Ketentuan ini mengatur tentang pengertian penghasilan berupa dividen, yaitu bagian keuntungan yang diterima oleh para pemegang saham atau pemegang polis asuransi.<br />Nama apapun yang diberikan atau dalam bentuk apa bagian keuntungan itu diterima tidak menjadi pertimbangan.<br />Termasuk dalam pengertian dividen adalah :<br />1) Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; <br />2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetorkan; <br />3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan; <br />4) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan; <br />5) apa yang diterima atau diperoleh karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan, yang melebihi jumlah setoran sahamnya; <br />6) pembayaran kembali seluruh atau sebagian dari modal yang telah disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; <br />7) pembayaran atas tanda-tanda laba, termasuk apa yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda tersebut; <br />8) laba dari obligasi yang ikut serta dalam pembagian laba; <br />9) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. <br />Perlu ditegaskan di sini, bahwa dari apa yang disebut pada angka 1 sampai dengan angka 9 di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian dividen atau pembagian keuntungan perusahaan mencakup pengertian yang luas, yaitu setiap pembagian keuntungan perusahaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.<br />Dalam praktek sering dijumpai pembagian/pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dengan pengalihan harta perusahaan kepada pemegang saham atau peserta dengan penggantian harga di bawah harga pasar.<br />Selisih antara harga pasar dengan harga yang dibayar oleh pemegang saham adalah merupakan pembayaran dividen secara terselubung (lihat penjelasan ayat (1) huruf d).<br />Contoh :<br />Suatu harta PT. A berupa mobil yang mempunyai harga sisa buku sebesar Rp.1.000.000,00 sedangkan harga pasar sebesar Rp.5.000.000,00. Mobil tersebut dialihkan kepada pemegang saham<br />B dengan penggantian sebesar harga sisa buku, yaitu Rp.1.000.000,00.<br />Disini terdapat pembayaran dividen secara terselubung sebesar Rp.4.000.000,00.<br />Berdasarkan ketentuan ini PT. A harus memotong Pajak Penghasilan sebesar<br />15% x Rp.4.000.000,00 = Rp.600.000,00. <br />Dalam pengertian dividen ini termasuk pula bagian keuntungan yang diterima oleh pengurus dan anggota koperasi. Pada tingkat koperasi, Sisa Hasil Usaha koperasi yang semata-mata berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan anggota tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan.<br />Oleh karena itu, bagi pengurus dan anggota koperasi, pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi yang diterimanya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Apabila pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diterima oleh masing-masing pengurus dan anggota koperasi tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak, maka pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi tersebut tidak terkena pajak. <br /><br /><br /> Huruf h <br /> Yang dimaksud di sini adalah pembayaran royalti atau apapun namanya sehubungan dengan penggunaan hak : hak paten/oktroi, lisensi, merek dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan, cara pengerjaan, hak pengarang dan hak cipta mengenai sesuatu karya di bidang kesenian atau ilmiah, termasuk karya film sinematografi.<br />Pada dasarnya pembayaran royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu pembayaran atas penggunaan :<br />1) hak atas harta tak berwujud : hak pengarang, paten, merek dagang, formula<br />atau rahasia perusahaan; <br />2) hak atas harta berwujud : hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu<br />pengetahuan; <br />3) jasa : pemberian informasi yang diperlukan mengenai usaha dan investasi pada umumnya, pengalaman di bidang industri, perniagaan dan ilmu pengetahuan pada khususnya; yang dimaksudkan dengan informasi di sini adalah informasi yang belum diungkapkan secara terbuka. <br /><br /><br /> Huruf i <br /> Ketentuan ini mengatur penghasilan uang sewa yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta, baik harta gerak misalnya sewa pemakaian mobil dan sebagainya maupun penggunaan harta tak gerak, misalnya sewa rumah. <br /><br /> Huruf j <br /> Contoh : tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala. <br /><br /> Huruf k <br /> Pembebasan hutang oleh pihak yang berpiutang merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berhutang. <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1) huruf f pasal ini bunga merupakan Obyek Pajak.<br />Tabungan masyarakat merupakan pula sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan.<br />Dengan Peraturan Pemerintah, terhadap bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dapat dibebaskan dari pengenaan pajak dengan memperhatikan perkembangan moneter serta pelaksanaan pembangunan. <br /><br /> Ayat (3) <br /> Huruf a <br /> Harta hibahan atau bantuan yang diterima yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan.<br />Ini sebagai imbangan dari Pasal 9 ayat (1) huruf f undang-undang ini yang mengatur,bahwa harta hibahan atau bantuan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pihak pemberi. <br /><br /> Huruf b <br /> Warisan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang di terima ahli waris tidak merupakan Obyek Pajak, walaupun warisan itu jumlahnya besar.<br />Warisan sebagai Subyek Pajak, baru dikenakan pajak apabila warisan tersebut memberikan penghasilan, misalnya sewa yang diterima dari rumah warisan. <br /><br /> Huruf c <br /> Pembayaran oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, misalnya karena kecelakaan, kerugian atau karena meninggalnya tertanggung, demikian juga penerimaan pembayaran bea siswa dari perusahaan asuransi tidak merupakan penghasilan. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c undang-undang ini ditentukan, bahwa premi asuransi jiwa, kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, kecuali premi tersebut ditanggung oleh pemberi kerja. <br /><br /> Huruf d <br /> Bila seorang pemberi kerja yang merupakan Wajib Pajak menurut pengertian undang- undang ini memberi kenikmatan berupa natura kepada karyawan atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan bagi pihak-pihak penerima. Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam bentuk natura ialah suatu tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh tidak dalam bentuk uang, seperti kenikmatan mempergunakan mobil perusahaan dengan cuma-cuma, kenikmatan mendiami rumah yang disewa oleh perusahaan atau rumah milik perusahaan, pemberian beras dengan cuma-cuma, dan sebagainya.<br />Bagi pihak pemberi kerja jumlah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya.<br />Kenikmatan pemakaian rumah yang diberikan oleh Pemerintah kepada pegawai Pemerintah, Pejabat Negara dan Pejabat Lembaga Pemerintah non Departemen lainnya, tidak merupakan penghasilan bagi pihak yang bersangkutan.<br />Dalam pengertian Pemerintah termasuk Perusahaan Jawatan. Apabila yang memberi kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang menerima.<br />Contoh : <br />Seorang pegawai bangsa Indonesia yang bekerja di salah satu perwakilan diplomatik, memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan- kenikmatan lainnya, maka kenikmatan-kenikmatan tersebut harus dimasukkan sebagai penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan tidak merupakan Subyek Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong pembayaran oleh pemberi kerja kepada pegawai atau karyawannya dilakukan dalam bentuk uang, sehingga dengan demikian mempermudah pengenaan pajaknya. <br /><br /> Huruf e <br /> Seseorang yang mengalihkan harta atau anggota persekutuan firma, perseroan komanditer, kongsi yang mengalihkan harta persekutuan untuk mendirikan Perseroan Terbatas dengan pembayaran berupa saham (inbreng), maka keuntungan berupa selisih antara harga sisa buku dengan nilai jual harta tersebut, tidak merupakan penghasilan, apabila setelah terjadinya pengalihan, pihak yang mengalihkan harta atau pihak-pihak yang mengalihkan harta secara bersama-sama, memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari seluruh nilai saham disetor dari Perseroan Terbatas yang menerima pengalihan. Syarat 90% (sembilan puluh persen) tersebut harus dipenuhi pada saat terjadinya pengalihan yang bersangkutan. <br /><br /> Huruf f <br /> Harta yang dialihkan kepada perseroan, persekutuan atau badan-badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal tidak dikenakan pajak pada saat pengalihan kepada perseroan itu, melainkan dikemudian hari, apabila harta itu dijual atau dialihkan lagi; oleh karena itu penilaian harta tersebut ketika perseroan menerima pengalihan harus sama dengan harga sisa buku pada saat pengalihan. <br /><br /> Huruf g <br /> Dividen yang diperoleh atau diterima oleh perseroan dalam negeri dari perseroan lain, tidak dianggap sebagai penghasilan, apabila perseroan yang menerima tersebut tidak sekedar membungakan uang yang sedang tidak dipakai, melainkan pada dasarnya bersifat kekal dan kedua perseroan tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan jalur usaha. Dividen sebagai hasil pembungaan uang, sementara uang itu tidak terpakai, dikenakan pajak.<br />Contoh :<br />PT. A pabrik tekstil, PT. B pabrik benang tenun. Antara PT. A dan PT. B ada hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. PT. A memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari saham yang disetor PT. B, maka dividen yang diterima atau diperoleh PT. A dan PT. B tidak termasuk dalam pengertian penghasilan.<br />Apabila badan yang menerima atau memperoleh dividen memiliki saham 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari nilai saham yang disetor, sedangkan kedua badan tersebut tidak mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya, maka dividen yang diterima atau diperoleh tidak termasuk dalam pengecualian sebagai Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.<br />Contoh :<br />PT. X pabrik tekstil. PT. Y pabrik minuman. PT. X memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari saham yang disetor dari PT. Y. Antara PT. X dan PT. Y tidak terdapat hubungan ekonomis dalam jalur usahanya.<br />Oleh karena itu, dividen yang diterima atau diperoleh PT. X dari PT. Y tidak dikecualikan sebagai Obyek Pajak. Dengan perkataan lain, dividen yang diterima atau diperoleh PT. X dari PT. Y merupakan Obyek Pajak.<br /><br /> Huruf h <br /> Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pembentukannya telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, baik yang dibayar secara berkala dan yang dibayar sekaligus oleh pemberi kerja maupun oleh Wajib Pajak sendiri tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak. <br /><br /> Huruf i <br /> Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum adalah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :<br />1) kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan; <br />2) kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum; <br />3) kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan mencari laba. <br />Laba yayasan yang tidak termasuk pengertian penghasilan adalah tidak lain daripada kelebihan hasil usaha yang terjadi karena realisasi penerimaan melebihi realisasi biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br />Laba ini tidak termasuk dalam pengertian Obyek Pajak menurut undang-undang ini, sepanjang laba tersebut semata-mata merupakan kelebihan hasil usaha sebagai diuraikan di atas, yang telah diperhitungkan untuk melakukan kegiatan sosial yayasan atau perkumpulan tersebut. Apabila pembayaran balas jasa yang diterima cukup tinggi sehingga kelebihan itu dibagikan kepada pengurus yayasan maka kegiatan yayasan itu tidak lagi semata-mata untuk kepentingan umum dan kelebihan tersebut merupakan bagian penghasilan yang dikenakan pajak.<br /><br /> Huruf j <br /> Penghasilan yayasan dari modal yang ditanam di luar kegiatan yang semata-mata untuk kepentingan umum yang digunakan untuk membiayai kegiatan sosial yayasan, tidak merupakan Obyek Pajak. Misalnya suatu yayasan atau wakaf dalam membiayai kegiatan sosialnya menerima sumbangan. Kelebihan sumbangan yang diterima dari keperluan biaya kegiatan tersebut ditanam di luar kegiatan sosialnya. Hasil yang diperoleh dari penanaman modal ini sepanjang dipergunakan untuk membiayai kegiatan sosialnya, tidak merupakan Obyek Pajak. <br /><br /> Huruf k <br /> Pembagian keuntungan yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan, tidak merupakan Obyek Pajak. Namun, undang-undang memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan Pajak Penghasilan atas pembagian keuntungan tersebut di atas jika ketentuan ini disalahgunakan, sehingga dapat merugikan Keuangan Negara. <br /><br /><br /><br />Pasal 5<br /> Ayat (1) <br /> Penghasilan yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut : <br /> Huruf a <br /> Yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah penghasilan dari kegiatan usaha yang dilakukan bentuk usaha tetap itu atau dari harta yang dikuasai atau dimiliki oleh bentuk usaha tetap tersebut. Jadi semua penghasilan yang berkenaan dengan kegiatan usaha atau harta bentuk usaha tetap yang bersangkutan, baik yang diperoleh di Indonesia maupun yang diperoleh dari luar Indonesia merupakan penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan ini, misalnya penghasilan dari pemilikan saham-saham di luar negeri oleh bentuk usaha tetap di Indonesia merupakan penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia. <br /><br /> Huruf b <br /> Bila induk perusahaan atau badan lain di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa, melakukan kegiatan yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetapnya di Indonesia, maka penghasilan dari kegiatan tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan, agar supaya penghasilan kegiatan-kegiatan tertentu yang pada hakekatnya termasuk kegiatan usaha tetap, dapat dikenakan pajak kepada bentuk usaha tetap tersebut untuk mencegah adanya alasan, bahwa kegiatan-kegiatan tertentu tidak termasuk kegiatan- kegiatan bentuk usaha tetap, padahal Pajak Penghasilan atas kegiatan-kegiatan itu seharusnya menjadi tanggung jawab bentuk usaha tetap itu. <br /><br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Undang-undang ini tidak bermaksud untuk mengenakan pajak atas bentuk usaha tetap, apabila diperoleh penghasilan oleh induk perusahaan yang tidak ada hubungannya dengan bentuk usaha tetap itu, sedangkan atas penghasilan itu telah dilakukan pemotongan pajakn berdasarkan Pasal 26. Biaya-biaya untuk mendapatkan, mempertahankan dan menagih penghasilan induk perusahaan tersebut juga tidak dapat dibebankan kepada bentuk usaha tetap di Indonesia. <br /><br />Pasal 6<br /> Termasuk dalam biaya usaha (biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) sehari-hari adalah biaya pembelian bahan baku, bahan penolong dan pembungkus, sewa dan royalti, biaya perjalanan untuk melakukan pekerjaan, pajak-pajak tidak langsung misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh harta mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun hanya boleh mengurangi penghasilan kena pajak melalui penyusutan atau amortisasi.<br />Apabila dana pensiun yang dibentuk oleh perusahaan atau dana pensiun lain, mendapat persetujuan Menteri Keuangan, maka iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan.<br /> Ayat (1) <br /> Huruf a <br /> Penghasilan kena pajak diperoleh dengan jalan menjumlahkan semua penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak dan menguranginya dengan biaya-biaya atau pengurangan yang diperbolehkan oleh pasal ini.<br />Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah biaya atau pengeluaran yang ada hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Dalam biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dari usaha (yang dapat disebut sebagai biaya usaha sehari-hari), termasuk pembayaran gaji kepada pegawai perusahaan yang bersangkutan, kecuali pembayaran yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan (kenikmatan mendiami rumah dengan cuma-cuma). Pembayaran premi oleh pemberi kerja untuk pegawai dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan, sedangkan bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Gaji kepada pegawai yang juga merupakan pemegang saham, apabila berlebih-lebihan yaitu melampaui gaji pegawai lain yang bukan pemegang saham, yang melakukan pekerjaan, tugas atau jabatan yang kurang lebih sama dengan pemegang saham itu, maka kelebihannya itu tidak diperbolehkan mengurangi penghasilan. Dalam biaya ini termasuk pula bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang perusahaan, kecuali apabila jumlahnya melampaui jumlah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).<br />Bunga yang dibayarkan sehubungan dengan bunga hutang pribadi tidak boleh mengurangi penghasilan, sebab bunga semacam ini merupakan penggunaan dari penghasilan. Pembayaran bunga yang dilakukan untuk menyelundupkan pajak yang dapat terjadi dalam hal ada hubungan istimewa juga tidak boleh mengurangi penghasilan kena pajak. <br /><br /> Huruf b <br /> Istilah penyusutan untuk harta berwujud dan amortisasi untuk harta tak berwujud atau hak sudah lazim dipergunakan dalam bidang akuntansi. <br /><br /> Huruf c <br /> Cukup jelas. <br /><br /> Huruf d <br /> Penggunaan penghasilan tidak dapat dipakai sebagai faktor pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pembelian barang untuk dipakai sendiri dan bukan untuk dipergunakan dalam kegiatan usaha atau bukan untuk dipakai guna mendapatkan penghasilan tidak diperkenankan untuk disusutkan. Apabila barang yang dipakai sendiri itu dijual dengan rugi, maka kerugian itu juga tidak dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Perlu ditegaskan bahwa barang yang kerugian penjualannya dapat mengurangi penghasilan kena pajak adalah barang yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan usaha (juga yang dipakai untuk mendapatkan penghasilannya), maka kerugian penjualan tanah yang termasuk kekayaan perusahaan dapat mengurangi penghasilan kena pajak.<br />Hal ini perlu ditegaskan karena berdasarkan Pasal 11 ayat (1), tanah tidak termasuk harta yang dapat disusutkan. <br /><br /> Huruf e <br /> Sisa Hasil Usaha koperasi sehubungan dengan kegiatan yang semata-mata dari dan untuk anggota, tidak dikenakan pajak pada tingkat koperasi. <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri, untuk menghitung penghasilan kena pajak, masih diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (lihat penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 7). <br /><br /> Ayat (3) <br /> Jika setelah penghasilan bruto dikurangkan beban-beban yang diperbolehkan berdasarkan ayat (1) menghasilkan kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan selama 5 (lima)tahun dihitung sejak tahun yang berikut sesudah tahun dideritanya kerugian itu.<br />Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, bagi jenis-jenis usaha tertentu, yang menurut pertimbangan obyektif tidak menghasilkan laba dalam lima tahun, kerugian yang dideritanya dapat dikompensasikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. <br /><br /><br />Pasal 7<br /> Ayat (1) <br /> Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk sampai kepada penghasilan kena pajak diberikan pengurangan yang dinamakan penghasilan tidak kena pajak. Untuk Wajib Pajak sendiri jumlah penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).<br />Apabila Wajib Pajak kawin, maka jumlah itu ditambah dengan Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal isteri memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, maka penghasilan tidak kena pajak untuk isteri Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) sedangkan untuk menghitung pajak atas penghasilan suami diberikan pengurangan sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah).<br />Dalam hal demikian, ketika pemberi kerja menghitung penghasilan kena pajak untuk memotong pajak dari penghasilan isteri, telah dikurangkan sejumlah Rp.960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah), tetapi tidak lagi diberikan tambahan pengurangan sebesar Rp.480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah).<br />Dalam hal isteri menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha, besarnya penghasilan tidak kena pajak ditambah dengan Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).<br />Tambahan pengurangan sebesar Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) diberikan kepada isteri, apabila isteri menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan, sedangkan suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan apapun.<br />Dalam hal demikian, tambahan pengurangan untuk tanggungan keluarga diberikan kepada isteri tersebut. Dengan pengurangan yang demikian kepada pemberi kerja diberikan kemudahan dalam melaksanakan pemotongan pajak atas penghasilan pegawai atau karyawannya, sebab pemberi kerja tidak dibebani kewajiban terlalu banyak untuk meneliti lebih jauh tentang isteri bekerja atau tidak, penghasilan isteri telah kena pajak atau tidak, dan sebagainya.<br />Untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak tiri, cucu, dan sebagainya yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Wajib Pajak diberikan pengurangan sebesar Rp.480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) dengan paling banyak untuk 3 (tiga) orang.<br />Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam 12 (dua belas) bulan berturut-turut dari suatu tahun pajak, tidak diberikan potongan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Bagi orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri, penghasilan kena pajak, adalah jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).<br /><br /> Ayat (2) <br /> Untuk menghitung jumlah pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak, ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau pada saat menjadi Subyek Pajak dalam negeri.<br />Misalnya pada 1 Januari seorang Wajib Pajak kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak.<br />Jika pada pertengahan tahun lahir anak kedua, maka untuk tahun pajak ketika anak kedua lahir dihitung kawin dengan 1 (satu) orang anak. <br /><br /> Ayat (3) <br /> Menteri Keuangan diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak, dengan memperhatikan perubahan-perubahan di bidang perekonomian dan moneter. <br /><br />Pasal 8<br /> Ayat (1) <br /> Berdasarkan ayat ini, penghasilan begitu pula kerugian seorang wanita, yang telah kawin pada awal tahun pajak, dianggap penghasilan atau kerugian suaminya.<br />Ketentuan ini lebih menekankan pada segi-segi kemampuan ekonomis, yaitu bahwa suami dan isteri merupakan suatu kesatuan dan dengan adanya ketentuan tersebut, pengenaan pajak tidak kehilangan unsur progresif dalam penerapan tarif.<br />Penggabungan penghasilan tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai karyawati, atau suami memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawan, dan atas penghasilan dimaksud telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, kecuali apabila penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya adalah anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya dari suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d.<br />Ini berarti, bahwa terhadap mereka (yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan/karyawati) dalam pengenaan pajak diberikan jumlah pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk dirinya masing-masing sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).<br />Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diberikan beberapa contoh sebagai berikut : <br />a. Saat yang menentukan : <br />1. Seorang wanita yang kawin sesudah tanggal 1 Januari (dalam hal tahun pajak sama dengan tahun takwim), maka secara fiskal ia pada tahun tersebut belum dianggap kawin, sehingga pengenaan pajaknya masih dikenakan pada diri masing-masing suami dan isteri. Penghasilan atau kerugian wanita tersebut baru dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dimulai pada tahun pajak berikutnya.<br />2. Suami-isteri yang telah kawin sejak menetap di Indonesia, maka sejak mereka menetap di Indonesia penghasilan atau kerugian isteri dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya.<br />b. Penghasilan isteri sebagai karyawati : <br />1. Isteri dan suami kedua-duanya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawati/karyawan dan masing-masing telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. <br />Dalam hal demikian tidak ada penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya. Pajak mereka sebagai karyawan/karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Terhadap mereka tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 undang-undang ini.<br />2. Isteri memperoleh penghasilan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 undang-undang ini. <br />Selain itu ia juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawati, misalnya penghasilan dari usahanya membuka salon kecantikan.<br />Suaminya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 undang-undang ini.<br />Dalam hal ini, penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya ialah hanya penghasilan dari usahanya membuka salon kecantikan.<br />Pajak penghasilan atas penghasilan isteri sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Hal yang demikian juga berlaku dalam hal suami dan/atau isteri tidak nyata-nyata dipotong pajak oleh pemberi kerja, sebab jumlah penghasilannya berada di bawah penghasilan tidak kena pajak. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang, yang perlu dipertanggungjawabkan melalui penyampaian surat Pemberitahuan Tahunan, hanya didasarkan atas besarnya penghasilan suami ditambah penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan saja.<br />Dalam penghitungan penghasilan kena pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, mereka masih diperbolehkan melakukan pengurangan sebesar Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, di samping jumlah sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami dari pekerjaan diperhitungkan sebagai kredit.<br />3. Isteri memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. <br />Suaminya di samping memperoleh penghasilan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawan, misalnya penghasilan dari usaha taksi.<br />Dalam hal ini penghasilan isteri tidak dianggap sebagai penghasilan suaminya dan pajaknya yang telah dipotong berdasarkan Pasal 21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang didasarkan atas jumlah penghasilan suami yang berasal dari pekerjaan sebagai karyawan dan dari hasil usaha taksi. Dalam penghitungan pajak atas nama suami tersebut, pengurangan sebagai penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan untuk suami sebesar Rp.960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebab dalam status kawin. Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami sebagai karyawan diperhitungkan sebagai kredit dari pajak yang terhutang.<br />4. Isteri memperoleh penghasilan selain sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan dari usaha salon kecantikan. <br />Demikian pula suami selain memperoleh penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan dari usaha taksi. Dalam hal demikian penghasilan isteri yang dianggap penghasilan suami ialah hanya penghasilan dari usaha salon kecantikan.<br />Pajak penghasilan atas penghasilan isteri dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final.<br />Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang yang harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sebesar pajak yang terhutang atas jumlah penghasilan suami dari pekerjaan dan dari usaha taksi, serta penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan. Dalam penghitungan pajak di luar pajak yang telah dipotong dan dibayar oleh pemberi kerja isteri, pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebab berada dalam status kawin. (Tambahan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tidak lagi diberikan karena telah diperhitungkan pada waktu pemotongan Pajak Penghasilan sebagai karyawati).<br /><br /> Ayat (2) <br /> Penghasilan anak, termasuk anak angkat, yang belum dewasa juga digabungkan dengan penghasilan orang tuanya.<br />Sesuai dengan tujuan pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang belum dewasa maka pengertian belum dewasa dalam ketentuan perpajakan, seyogyanya memperhatikan pula ketentuan mengenai hal yang sama dalam undang-undang lain, termasuk pula ketentuan dalam bidang ketenagakerjaan, bahwa orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 (delapan belas) tahun ke atas, dengan catatan bahwa anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah kawin meskipun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun, dianggap telah dewasa. Bagi anak laki-laki maupun perempuan yang telah berumur 18(delapan belas) tahun atau bagi anak yang telah kawin, di masyarakat dinyatakan sebagai orang yang telah mampu melakukan tindakan hukum sendiri dan dianggap telah mampu bahkan wajib untuk mencari nafkahnya sendiri. Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, maka pengertian dewasa dalam undang-undang ini, ialah laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 (delapan belas) tahun ke atas atau telah kawin walaupun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun.<br /><br />Pasal 9<br /> Ayat(1) <br /> Huruf a <br /> Dividen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya, karena dividen adalah bagian dari penghasilan badan tersebut yang dimaksudkan untuk dikenakan pajak oleh undang-undang ini, sehingga apabila dividen diperkenankan untuk dikurangkan, maka akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak dari badan yang memberikan. Atas dividen yang dibagikan oleh badan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 23 atau Pasal 26 undang-undang ini. <br /><br /> Huruf b <br /> Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada umumnya dimaksudkan untuk perluasan perusahaan dan untuk menjamin kelangsungan perusahaan. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan sedemikian, tidak dapat dibebankan sebagai pengurangan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam hubungan ini perlu diadakan pembedaan antara cadangan dengan penyisihan. Penyisihan dimaksudkan untuk beban atau kewajiban yang sudah pasti ada, akan tetapi jumlahnya belum diketahui secara tepat, misalnya penyisihan untuk Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), tambahan pajak dan lain-lain.<br />Bagi jenis-jenis usaha tertentu, secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang mungkin akan terjadi, misalnya usaha bank dan asuransi. Mengenai hal ini, undang-undang ini menunjuk Peraturan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaannya.<br /><br /> Huruf c <br /> Premi asuransi yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan. Pada saat pemegang polis menerima pembayaran, pembayaran ini bukan merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c. <br /><br /> Huruf d <br /> Semua kenikmatan yang diberikan kepada karyawan/ karyawati, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pemberi kerja, sebab pemberian kenikmatan tersebut bukan sebagai penghasilan bagi penerima (karyawan/karyawati), sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d.<br />Berkenaan dengan daerah terpencil, maka Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan tentang pengertian daerah terpencil, yaitu daerah yang tidak terdapat tempat tinggal yang disewa, sehingga oleh karena itu perusahaan harus menyediakan tempat tinggal untuk pegawai atau karyawan/karyawati. Dengan demikian hanya pengeluaran untuk itu boleh dikurangkan.<br /><br /> Huruf e <br /> Sebagai contoh misalnya seorang ahli yang kebetulan juga pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa sebagai seorang ahli untuk badan tersebut. Untuk jasa tersebut ia memperoleh bayaran Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), padahal untuk hal yang sama oleh ahli lain hanya harus dibayar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).<br />Karena adanya hubungan istimewa tersebut, maka Rp. 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) tidak boleh dikurangkan karena sudah melebihi kewajaran.<br />Bagi ahli yang juga pemegang saham tersebut pembayaran itu dikenakan pajak sebagai dividen.<br /><br /> Huruf f <br /> Harta yang dihibahkan, warisan dan pembayaran bantuan tidak boleh dikurangkan karena bagi pihak penerima bukan merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b. <br /><br /> Huruf g <br /> Pajak Penghasilan tidak boleh dikurangkan, karena bukan biaya untuk memperoleh atau menagih penghasilan, dan jumlah pajak yang terhutang itu dihitung atas penghasilan kena pajak sebagai hasil perhitungan setelah dilakukan pengurangan yang diperbolehkan. <br /><br /> Huruf h <br /> Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya tidak merupakan biaya perusahaan, melainkan penggunaan dari penghasilan, oleh karena itu pengeluaran demikian tidak boleh mengurangi penghasilan kena pajak. <br /><br /> Huruf i <br /> Sumbangan dalam bentuk apapun juga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan. <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Biaya ini misalnya biaya iklan besar-besaran sehubungan dengan diperkenalkannya produk baru dan yang tidak akan dikeluarkan lagi dalam beberapa tahun mendatang, maka biaya tersebut tidak boleh langsung dikurangkan dari penghasilan, melainkan harus melalui amortisasi. <br /><br />Pasal 10<br /> Ayat (1) <br /> Dalam hal pembelian biasa, maka dasar penilaian adalah harga perolehan.<br />Dalam hal tukar menukar atau dalam hal dibeli dari Wajib Pajak lain yang mempunyai hubungan istimewa, maka dipakai nilai perolehan yaitu harga yang harus dibayar berdasarkan harga pasar yang wajar.<br />Contoh dari pertukaran adalah :<br /> PT. A PT. B <br /> harta X harta Y <br />harga sisa buku Rp.10.000.000,- Rp.12.000.000,- <br />harga pasar Rp.20.000.000,- Rp.20.000.000,- <br />Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) ini merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan. Nilai perolehan ini juga menjadi penerimaan netto untuk keperluan penerapan Pasal 11 ayat (7) huruf b undang-undang ini. Sedangkan selisih antara harga pasar dengan harga sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak.<br />Bagi PT. A terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp.10.000.000,- =<br />Rp. 10.000.000,- sedangkan bagi PT. B terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,-<br />dikurangi Rp. 12.000.000,- = Rp. 8.000.000,-.<br />Pengecualian dari ketentuan tentang penerapan harga perolehan atau nilai perolehan tersebut adalah dalam hal-hal :<br /> Huruf a <br /> Terdapat pertukaran saham dari suatu badan dengan harta orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, maka dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya adalah sama dengan nilai harta yang dialihkan (perubahan bentuk dari perseorangan menjadi badan tidak mengakibatkan terhutangnya pajak, dan apabila saham-saham tersebut dialihkan dengan memperoleh laba, maka laba ini baru dikenakan pajak); <br /><br /> Huruf b <br /> Bagi badan atau perseroan yang menerima harta sebagai pertukaran atas saham- sahamnya dasar penilaian harta adalah nilai harta atau harga sisa buku harta yang dipertukarkan; <br /><br /> Huruf c <br /> Contoh :<br />Seseorang yang menerima warisan suatu harta, maka nilai perolehannya adalah harga perolehan bagi pewaris dalam hal harta tersebut tidak boleh disusutkan, atau harga sisa buku harta tersebut pada saat dialihkan dalam hal harta tersebut boleh disusutkan. Dalam hal ini berlaku juga asas yang sama dengan huruf a dan huruf b, yaitu apabila harta warisan tersebut dijual, keuntungan penjualan itu dikenakan pajak.<br />Contoh yang sama berlaku juga untuk harta hibahan dan pemberian bantuan yang bebas pajak. <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Dalam hal ada tambahan, perbaikan, dan pengeluaran lain yang secara wajar telah dikeluarkan untuk meningkatkan kapasitas dari harta yang bersangkutan, maka harga perolehan harus disesuaikan dengan pengeluaran tersebut. <br />Tambahan dapat berarti pengeluaran untuk memperoleh suatu aktiva tambahan, dan dapat pula seperti dimaksudkan dalam ayat ini, yaitu pengeluaran untuk menambah kapasitas dari suatu aktiva tertentu.<br />Yang dimaksudkan dengan penyesuaian atas harga perolehan suatu harta adalah : <br />• pengurangan nilai karena penyusutan; <br />• penambahan nilai karena adanya tambahan pengeluaran untuk tambahan, perbaikan atau perubahan untuk meningkatkan kapasitas harta yang bersangkutan.<br />Misalnya suatu harta mempunyai jumlah awal Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dalam tahun berjalan telah dilakukan tambahan atau perbaikan sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), maka jumlah awal tahun berikutnya adalah Rp. 100.000.000,- ditambah Rp. 25.000.000,- dikurangi penyusutan.<br />Pembebanan pengeluaran sehubungan dengan perkiraan harta pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu : <br />a. pengeluaran yang dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya pemeliharaan dan reparasi yang biasanya dilakukan secara berkala, yang dilakukan untuk memelihara manfaat teknis dari harta yang bersangkutan;<br />b. pengeluaran yang dilakukan, yang tidak dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya rehabilitasi, biaya reparasi besar, yang biasanya dilakukan untuk meningkatkan kembali kapasitas atau menambah kapasitas harta yang bersangkutan.<br />Pengeluaran yang termasuk kelompok b, yang masa manfaatnya tidak hanya dinikmati pada tahun pengeluaran itu saja, melainkan untuk beberapa jangka waktu tertentu, maka wajar apabila pengeluaran tersebut dibebankan kepada perkiraan harta (dikapitalisasi) dan selanjutnya dilakukan penyusutan sesuai masa manfaat dari harta yang bersangkutan.<br /><br /> Ayat (3) <br /> Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu :<br />a. barang jadi;<br />b. barang dalam proses produksi;<br />c. bahan baku dan bahan pelengkap.<br />Ketentuan dalam ayat ini mengatur, bahwa penilaian persediaan barang hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan. Sedangkan penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata ataupun dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (dengan menggunakan metode first in first out atau disingkat FIFO).<br />Contoh : <br />1. persediaan awal 100 satuan @ Rp. 9,00 <br />2. pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 12,00 <br />3. pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 11,25 <br />4. penjualan/dipakai 100 satuan <br />5. penjualan/dipakai 100 satuan<br />persediaan akhir 100 satuan<br />• penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan cara : rata-rata : <br />No Didapat Dipakai Sisa/persediaan <br />1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00 <br />2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 200 s.a Rp10,50=Rp2.100,00 <br />3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00 300 s a Rp10,75=Rp 3.225,00 <br />4. 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 200 s a Rp10,75=Rp2.150,00 <br />5. 100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 <br />• penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan<br />cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama : <br />No Didapat Dipakai Sisa/persediaan <br />1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00 <br />2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 100 s.a Rp 9,00=Rp 900,00 <br /> 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00 <br />3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00 <br /> 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00 <br /> 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00 <br />4. 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00 <br /> 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00 <br />5. 100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00 <br />Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.<br /><br />Pasal 11<br /> Pembebanan biaya untuk menghasilkan (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, berdasarkan undang-undang ini dilakukan melalui penyusutan (apabila mengenai harta berwujud) dan amortisasi (jika berkenaan dengan harta tak berwujud atau biaya lain), yang untuk keduanya berlaku prinsip-prinsip yang sama.<br />Dalam sistem penyusutan menurut ketentuan ini, semua aktiva dikelompokkan menjadi empat golongan harta, sesuai dengan masa manfaatnya. Untuk masing-masing golongan harta ditentukan persentase penyusutannya dan persentase tersebut diterapkan atas suatu jumlah yang menjadi dasar penyusutan. Apabila dalam suatu tahun pajak tidak ada tambahan aktiva dan tidak ada aktiva yang ditarik dari pemakaian, maka jumlah harga sisa buku tahun yang lalu, yang menjadi jumlah awal tahun ini langsung dapat dikalikan dengan persentase tarip penyusutan.<br /> Ayat (1) <br /> Yang dapat disusutkan adalah semua harta yang berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk memperoleh penghasilan.<br />Tanah tidak dapat disusutkan kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah yang dipergunakan oleh perusahaan genteng.<br />Dengan demikian, yang boleh disusutkan bukan hanya harta perusahaan, tetapi juga harta yang dipakai untuk memperoleh penghasilan, misalnya biaya untuk membangun rumah, yang dipakai untuk memperoleh sewa.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Setiap macam harta digolongkan ke dalam golongan harta menurut umur ekonomisnya. Untuk setiap golongan harta ditentukan berapa tarip atau persentase penyusutannya.<br />Penggolongan harta diatur dalam ayat (3), misalnya untuk mesin yang termasuk dalam Golongan 2, tarip atau persentase penyusutannya adalah 25% (dua puluh lima persen), yang diterapkan atas jumlah awal tahun dari golongan harta itu ditambah pembelian atau tambahan, dikurangi penerimaan netto harta yang dijual.<br /><br /> Ayat (3) <br /> Ayat ini membagi harta menjadi 4 (empat) golongan. Masing-masing golongan harta dapat terdiri dari bermacam-macam jenis harta dengan masa manfaat yang hampir sama. Agar Wajib Pajak mudah mengikuti perkembangan harta, baik berupa pengurangan ataupun penambahan, maka harus dibuat catatan atau daftar harta untuk setiap golongan harta, yang berisi antara lain tahun perolehan/pembelian, harga perolehan, golongan harta, dan tarip penyusutan sehingga sewaktu-waktu dapat diketahui jumlah penyusutan yang telah dilakukan terhadap masing-masing harta tersebut. Hal ini penting bagi Wajib Pajak, terutama bila terjadi penarikan karena sebab yang luar biasa, lihat penjelasan ayat (7).<br />Bagi golongan bangunan dan harta tak gerak lainnya harus dibuat perkiraan sendiri secara terpisah untuk masing-masing bangunan dan harta tak gerak lainnya.<br /><br /> Ayat (4) <br /> Penghitungan dasar penyusutan adalah jaminan awal dari tahun pajak, ditambah dengan tambahan-tambahan, baik tambahan berupa harta baru maupun tambahan atas harta yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas harta yang bersangkutan, perbaikan-perbaikan atau perubahan-perubahan dan dikurangi dengan pengurangan-pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). <br /><br /> Ayat (5) <br /> Untuk golongan bukan bangunan, yaitu Golongan 1, Golongan 2, dan Golongan 3 jumlah awal dari golongan itu adalah harga sisa buku tahun sebelumnya yang tetap terbuka untuk penambahan harta baru dan pengurangan dengan penerimaan netto harta yang dijual, lalu diterapkan tarip penyusutan. Bila dalam tahun berjalan terjadi tambahan pengeluaran untuk memperoleh harta perusahaan yang menurut undang-undang ini dapat disusutkan, maka jumlah awal ditambah dengan pengeluaran untuk memperoleh harta baru tersebut. Bila salah satu jenis harta tidak dipakai lagi dan dijual (karena sebab biasa), maka penerimaan netto dari penjualan tersebut dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan. <br /><br /> Ayat (6) <br /> Untuk Golongan Bangunan, penyusutan dihitung dari harga perolehan. <br /><br /> Ayat (7) <br /> Huruf a <br /> Beberapa macam harta ada kemungkinan tidak dapat dipakai lagi, misalnya karena terkena bencana. Dapat juga karena perusahaan menghentikan sebagian besar produksinya, karena sebab-sebab di luar kekuasaan perusahaan.<br />Penarikan harta tersebut disebut penarikan dari pemakaian karena sebab luar biasa.<br />Jumlah sebesar harga sisa buku harta tersebut dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan, dan jumlah tersebut dibebankan pada perkiraan rugi laba dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br />Apabila harta tersebut dijual atau mendapat penggantian asuransi, maka harga penjualan atau penggantian asuransi tersebut merupakan penghasilan dalam tahun<br />pajak yang bersangkutan.<br />CONTOH PENYUSUTAN GOLONGAN 1 <br />1984 : Jumlah awal per 1-1-1984 =Rp. 0,00 <br /> Tambahan : mobil "A" = Rp.1.500,00 <br /> mobil "B" = Rp.2.500,00 <br /> mobil "C" = Rp.1.200,00 <br /> ---------------------------------- <br /> =Rp.5.200,00 <br /> Pengurangan .................................. =Rp. 0,00 <br /> Penghitungan Penyusutan<br />Jumlah awal (1-1-1984)......................................<br />Tambahan ("A","B","C").....................................<br />Pengurangan.....................................................<br />Dasar penyusutan ............................................<br />Penyusutan (50%) ............................................<br />Jumlah awal per 1-1-1985 ................................. <br />1985 : Tambahan : mobil "D =Rp.3.000,00 <br /> Pengurangan :<br />mobil "C" terbakar<br />(karena sebab luar biasa)<br />harga perolehan (1984) =Rp.1.200,00 <br /> telah disusut (1984) =Rp. 600,00 <br /> harga sisa buku (1985) =Rp. 600,00 <br /> penggantian asuransi =Rp. 800,00 <br /> Penghitungan Penyusutan<br />Jumlah awal (1-1-1985)....................................... =Rp.2.600,00 <br /> Tambahan ("D") ......................................... =Rp.3.000,00 <br />(Rugi) Pengurangan (harga sisa buku "C")........... =(Rp. 600,00) <br /> --------------------- <br /> Dasar penyusutan ........................... = Rp.5.000,00 <br /> Penyusutan (50%) .............................. =(Rp.2.500,00) <br /> --------------------- <br /> Jumlah awal per 1-1-1986 ................................. = Rp.2.500,00 <br />(Laba) Penghasilan penggantian asuransi mobil "C")... = Rp. 800,00 <br /><br /><br /> Huruf b <br /> Penarikan yang lain dari yang disebut di atas, disebut penarikan dari pemakaian karena sebab biasa, misalnya karena harta tersebut dijual. Penerimaan netto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang seharusnya dan benar-benar dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut, dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan.<br />Contoh (lanjutan penghitungan pada Huruf a)<br /> Jumlah awal per 1-1-1986 .............. =Rp.2.500,00 <br />1985 : Tambahan ............................ =Rp. 0,00 <br /> Pengurangan : mobil "B" dijual<br />(karena sebab biasa)<br />harga perolehan (1984) =Rp.2.500,00 <br /> telah disusut (1984 & 1985) =Rp.1.875,00 <br /> harga sisa buku (1986) =Rp. 625,00 <br /> harga penjualan =Rp.1.000,00 <br /> Penghitungan Penyusutan<br />Jumlah awal (1-1-1986)......... =Rp. 2.500,00 <br /> Tambahan .................... =Rp. 0,00 <br /> Pengurangan (harga jual "B") ........ =(Rp. 1.000,00) <br /> ----------------------- <br /> Dasar penyusutan .......... =Rp. 1.500,00 <br /> Penyusutan (50%) .............. =(Rp. 750,00) <br /> ----------------------- <br /> Jumlah awal per 1-1-1987 ........ =Rp. 750,00 <br />Catatan : harga sisa buku sebesar Rp. 625,00 tidak dihiraukan. <br /><br /><br /><br /> Ayat (8) <br /> Dasar penyusutan tidak boleh negatif; bila negatif, maka jumlah yang menyebabkan negatif ditambahkan sebagai penghasilan. Apabila jumlah yang menjadi dasar penyusutan itu negatif, maka berarti, bahwa penerimaan netto dari harta yang tidak dipakai lagi dalam kegiatan usaha lebih besar dari (melebihi) jumlah awal tahun yang menjadi dasar penyusutan. Dengan perkataan lain, hasil penjualan lebih besar dari harga sisa buku golongan harta yang bersangkutan, oleh karena itu selisih tersebut merupakan laba penjualan aktiva yang berdasarkan undang-undang ini dikenakan pajak pada saat keuntungan tersebut diterima atau diperoleh.<br />Contoh :<br />Harga sisa buku harta Golongan 1<br />per 1-1-1984 Rp.1.000.000,- <br />Penarikan dari pemakaian dalam tahun 1984 <br /> Harga penjualan Rp. 1.500.000,- <br /> Biaya penjualan Rp. 200.000,- <br /> <br />---------------------- <br />Penerimaan netto penjualan harta Rp.1.300.000,- <br /> --------------------- <br />Selisih negatif Rp. 300.00,- <br />Maka dasar penyusutan untuk tahun 1984 Rp. n i h i l <br />Selisih sebesar Rp. 300.000,- merupakan penghasilan tahun pajak 1984.<br /><br /> Ayat (9) <br /> Tarip penyusutan ditentukan oleh masa manfaat dari harta yang dapat disusutkan. <br /><br /> Ayat (10) <br /> Dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa biaya untuk memperoleh penghasilan kena pajak yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dikurangkan sekaligus dari penghasilan. Harga perolehan dari harta tak berwujud dan biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan tarip yang berlaku bagi Golongan 1 atau Golongan 2 atau Golongan 3, atau diamortisasi dengan menggunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) dan ayat (13). <br /><br /> Ayat (11) <br /> Biaya pendirian dan perluasan modal dapat diamortisasi sebagai Golongan 1 atau dibebankan sebagai biaya menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a.<br />Wajib Pajak dapat memilih untuk mengamortisasi atau membebankan sebagai biaya. Apabila Wajib Pajak memilih pembebanan sekaligus, hal itu harus sesuai dengan pembukuannya, artinya akan dibebankan dalam tahun buku yang dipilihnya.<br /><br /> Ayat (12) <br /> Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi dan hak pengusahaan hutan dapat dikurangkan sebagai amortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.<br />Artinya adalah bahwa persentase amortisasi dari biaya tersebut setiap tahun pajak harus sama dengan persentase penambangan atau penebangan setiap tahunnya dari taksiran jumlah seluruh produksinya. Sebagai contoh dalam hal konsesi pertambangan yang ditaksir mempunyai deposit 100.000 ton, dan dalam satu tahun diproduksi sebanyak 10.000 ton.<br />Dengan demikian hak penambangan tersebut dalam tahun pajak itu diamortisasi 10% (sepuluh persen). Namun demikian, tidak boleh dilakukan amortisasi lebih dari 20% (dua puluh persen) dalam satu tahun pajak.<br /><br /> Ayat (13) <br /> Khusus mengenai bidang penambangan minyak dan gas bumi, biaya memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi dengan metode satuan produksi tanpa pembatasan persentase tertentu. <br /><br /> Ayat (14) <br /> Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan tentang penggolongan harta yang dapat disusutkan. Dalam keputusan tersebut, penggolongan jenis harta ke dalam golongan harta didasarkan pada masa manfaat dari jenis harta tersebut serta jenis usaha yang bersangkutan. <br /><br /><br />Pasal 12<br /> Ayat (1) <br /> Pada dasarnya tahun pajak adalah tahun takwim (tahun kalender). Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim, yaitu tahun buku yang meliputi periode selama 12 (dua belas) bulan. Apabila pembukuan Wajib Pajak meliputi periode yang kurang atau lebih dari 12 (dua belas) bulan, maka penghitungan pajak didasarkan atas tahun takwim yang bersangkutan, dengan memperlihatkan bulan-bulan takwim dari tahun tersebut.<br />Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku, maka hal ini harus diberitahukan pada waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak.<br />Penyebutan tahun pajak :<br />Tahun pajak yang sama dengan tahun takwim penyebutan tahun pajak tersebut adalah tahun takwim itu. Apabila tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan mempergunakan tahun yang didalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.<br />Contoh : <br />a. Tahun pajak sama dengan tahun takwim :<br />Pembukuan 1 Januari s/d 31 Desember 1985.<br />Tahun pajak ialah tahun 1985. <br />b. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim : <br />1) Pembukuan 1 Juli 1985 s/d 30 Juni 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985,<br />karena tahun 1985 mempunyai enam bulan pertama dari tahun pajak. <br />2) Pembukuan 1 April 1985 s/d 31 Maret 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985,<br />karena tahun 1985 mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu. <br />3) Pembukuan 1 Oktober 1985 s/d 30 September 1986. <br />c. Tahun pajak ialah tahun 1986, karena tahun 1986 mempunyai lebih dari<br />enam bulan dari tahun pajak itu.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Pemakaian tahun pajak, baik berdasarkan tahun takwim atau tahun buku harus taat asas.<br />Hal ini terutama untuk mencegah kemungkinan adanya penggeseran laba atau rugi, apabila Wajib Pajak diberi kebebasan untuk setiap saat berganti tahun pajaknya.<br />Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak ingin mengadakan perubahan tahun pajak, maka kepadanya diwajibkan untuk terlebih dahulu meminta persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.<br /><br />Pasal 13<br /> Ayat (1) <br /> Setiap Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia. Pembukuan tersebut harus terdapat dan diselenggarakan di Indonesia, sebab pembukuan itu adalah dasar untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak, yang dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga harus dapat diperiksa di Indonesia, untuk mengetahui bahwa pembukuan itu telah dilakukan dengan benar, sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Dari pembukuan harus dapat diketahui laba netto dari usaha atau penghasilan netto.<br />Dari laba netto atau dari penghasilan netto tersebut selanjutnya akan dihitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak tersebut. Karena pembukuan yang dipakai oleh Wajib Pajak menjadi titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak, maka pembukuan harus berdasarkan suatu cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia.<br />Pembukuan dapat diselenggarakan dengan Stelsel Kas maupun Stelsel Akrual. Stelsel Kas ialah suatu metode penghitungan yang didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut metode ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.<br />Yang dimaksud dengan Stelsel Akrual ialah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya, yaitu penghasilan tersebut ditetapkan pada waktu diperoleh, dan biaya ditetapkan pada waktu terhutang.<br />Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.<br />Contoh : <br />a. Penghasilan : <br />1) Penjualan<br />Jumlah penyerahan = Rp. 10.500,00<br />Terdiri dari : <br />• penyerahan yang telah diterima<br />pembayarannya = Rp. 10.000,00 <br />• penyerahan yang belum diterima<br />pembayarannya = Rp. 500,00<br />Stelsel Akrual :<br />penghasilan (penjualan) = Rp. 10.500,00<br />Stelsel Kas :<br />Penghasilan (penjualan) = Rp. 10.000,00<br />Yang Rp. 500,00 ditetapkan sebagai penghasilan pada periode berikutnya apabila telah diterima tunai. <br />2) Penghasilan berupa bunga Pinjaman selama 6 bulan (1 September 1984 s/d 28 Februari 1985). <br />Jumlah pinjaman Rp.10.000,00 dengan bunga sebesar 12% per tahun dan dibayar pada<br />akhir masa pinjaman. <br />Penghitungan bunga :<br />1-9-1984 s/d 31-12-1984 = 4 bulan = Rp. 400,00<br />1-1-1985 s/d 2-2-1985 = 2 bulan = Rp. 200,00<br />Stelsel Akrual : <br /> Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 400,00 <br /> 1985 = Rp. 200,00 <br />Stelsel Kas : <br /> Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 0,00<br />(belum diterima tunai) 1985 = Rp. 600,00<br />(saat diterima tunai) <br /><br />b. Biaya (dalam hal ini diberi contoh sewa)<br />Sewa mobil selama 4 bulan (1 Oktober 1984 s/d 31 Januari 1985).<br />Harga sewa sebesar Rp. 4.000,00 dibayar pada awal masa sewa.<br />Penghitungan sewa :<br />1-10-1984 s/d 31-12-1984 = 3 bulan = Rp. 3.000,00<br />1-1-1985 s/d 31-1-1985 = 1 bulan = Rp. 1.000,00 <br />Stelsel akrual :<br />biaya sewa tahun 1984 = Rp. 3.000,00 <br />1985 = Rp. 1.000,00 <br />Stelsel kas :<br />biaya sewa tahun 1984 = Rp. 4.000,00<br />(saat dibayar tunai) 1985 = Rp. 0,00<br />Stelsel Kas biasanya digunakan oleh perusahaan perorangan yang kecil atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang/jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, Jasa dan biaya operasi lainnya.<br />Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.<br />Oleh karena itu untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, dalam memakai stelsel kas harus diperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut :<br />1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun bukan.<br />Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan pula seluruh pembelian dan persediaannya. <br />2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. <br />3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsistent). <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Ketentuan pada ayat ini untuk memberikan penegasan tentang penggunaan sistem dan prinsip pembukuan yang harus dilakukan secara taat asas (konsistent). <br /><br />Pasal 14<br /> Ayat (1) dan ayat (2) <br /> Pada hakekatnya untuk dapat memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dengan sebaik-baiknya diperlukan adanya pembukuan. Undang-undang bermaksud mendorong semua Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, namun disadari pula bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan itu.<br />Wajib Pajak yang diizinkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan lengkap meliputi para Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah kurang dari<br />Rp.60.000.000,- setahun.<br />Untuk mereka ini perlu adanya suatu cara yang terbuka dan adil, disamping perlunya pembinaan agar supaya mereka kemudian dapat dan mampu menyelenggarakan pembukuan.<br />Norma Penghitungan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai sebagai cara untuk menentukan peredaran bruto atau penerimaan bruto dan yang pada akhirnya untuk menentukan penghasilan netto.<br />Pada dasarnya Norma Penghitungan ini hanya dipergunakan untuk penghitungan atau penentuan penghasilan netto dalam hal :<br />- tidak adanya dasar penghitungan lain yang lebih baik, yaitu pembukuan.<br />- pembukuan Wajib Pajak yang ternyata diselenggarakan tidak benar.<br />Adapun wujud Norma Penghitungan itu ialah suatu persentase atau angka perbandingan lainnya yang disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian yang cermat sehingga : <br />• sederhana, <br />• terperinci menurut kelompok jenis usaha, <br />• dibedakan dalam beberapa klasifikasi kota/tempat, <br />• dibedakan untuk Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan<br />brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- dengan yang lebih dari Rp.60.000.000,-,<br />• tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan.<br />Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya pegangan lain, namun masih tetap dapat dipertanggung jawabkan kesederhanaan, keterbukaan dan kewajarannya. Norma Penghitungan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan netto yang harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />Oleh karena Wajib Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung berapa penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna.<br />Hanya apabila terbukti bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan data yang benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan. Norman Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak, juga sekaligus untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar. Norma Penghitungan dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />Pegangan yang ditetapkan Menteri Keuangan itu harus memuat : <br />a. kaitan-kaitan yang harus dipergunakan untuk menentukan besarnya : <br />• peredaran (jumlah karyawan, jumlah meja bagi usaha rumah makan, jumlah mesin bagi usaha industri, jumlah kamar bagi usaha hotel, dan lain-lain),<br />• penghasilan bruto (jumlah pembelian bahan, jumlah gaji karyawan, dan lain-lain), <br />• penghasilan netto (jumlah pengeluaran nyata atau tingkat biaya hidup dan lain-lain);<br />b. pokok-pokok cara yang harus diperhatikan dalam menyusun Norma Penghitungan; <br />c. cara-cara menyempurnakan Norma Penghitungan.<br /><br /> Ayat (3) <br /> Cukup jelas. <br /><br /> Ayat (4) <br /> Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan untuk<br />memilih menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap menyelenggarakan pembukuan.<br />Dalam hal Wajib Pajak tersebut ternyata tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netto dihitung dengan Norma Penghitungan dan pajak yang dihasilkan dari penghitungan tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan, sebagaimana diatur dalam ayat (7).<br />Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak dirangsang untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar dan lengkap. Oleh karena itu Norma Penghitungan perlu disusun sebaik-baiknya dengan memperhatikan perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien. Bagi Wajib Pajak yang jujur yang dalam usahanya tidak berhasil memperoleh penghasilan seperti perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien, penggunaan Norma Penghitungan dapat merugikannya.<br />Untuk menghindari diterapkan Norma Penghitungan yang dapat merugikannya tersebut, Wajib Pajak dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar dan lengkap, sehingga penghitungan pajaknya didasarkan atas keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuannya.<br /><br /> Ayat (5) <br /> Wajib Pajak yang memilih untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, dengan sendirinya harus dapat menunjukkan bahwa jumlah peredaran dari usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) yang dapat dibuktikan dari catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto, yang diselenggarakannya. <br /><br /> Ayat (6) <br /> Menurut ketentuan ini, penghasilan netto dihitung berdasarkan Norma Penghitungan terhadap Wajib Pajak yang : <br />a. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang;<br />b. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran bruto atau penerimaan brutonya, akan tetapi tidak menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diwajibkan;<br />c. tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak.<br />Perlu ditegaskan, yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan adalah Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dan Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun akan tetapi memilih atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. <br /><br /> Ayat (7) <br /> Pajak Penghasilan yang dihasilkan dari penghasilan netto yang dihitung dengan menerapkan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. <br /><br />Pasal 15<br /> Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan-golongan Wajib Pajak tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Dalam praktek sering dijumpai kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan dan penghasilan kena pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu, sehingga berdasarkan pertimbangan praktis, oleh undang-undang ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk mengeluarkan Keputusan untuk menentukan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto, yang dengan sendirinya akan menjadi dasar penghitungan penghasilan kena pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut. <br />Pasal 16<br /> Penghasilan kena pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang. Seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) dikenal 2 (dua) golongan Wajib Pajak yaitu :<br />Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.<br />Bagi Wajib Pajak dalam negeri terdapat 2 (dua) cara pada dasarnya untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak :<br />- cara penghitungan biasa,<br />- cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan.<br />Ayat (1) <br /> Cara penghitungan biasa<br />Contoh : <br />- Penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun pajak menurut Pasal 4 ayat (1) Rp.50.000.000,- <br />- Biaya-biaya menurut Pasal 6 ayat (1) :<br />biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan penyusutan dan amortisasi iuran kepada dana pensiun <br /> Rp. 30.000.000,- <br /> Rp. 6.000.000,- <br /> Rp. 1.000.000,- <br /> ----------------------------------- <br /> Rp. 37.000.000,- <br /> ------------------------- <br />- Penghasilan netto ............................... Rp.13.000.000,- <br />- Kompensasi kerugian tahun-tahun yang lalu Rp. 2.000.000,- <br />- Penghasilan kena pajak (bagi badan, selain badan koperasi) ............. Rp.11.000.000,- <br />- Bagi badan koperasi diperbolehkan untuk mengurangkan pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diperoleh dari kegiatan dari dan untuk anggota. <br />- Pengurangan untuk Wajib Pajak pribadi Pasal 7 ayat (1), misal Wajib Pajak kawin dengan tanggungan 2 (dua) orang anak ........ Rp. 2.400.000,- <br /> ----------------------- <br />- Penghasilan kena pajak ......................... Rp. 8.600.000,-<br />============ <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Penggunaan Norma Penghitungan dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu, yaitu Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).<br />Bagi Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), menurut ketentuan undang-undang ini tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Terhadap mereka penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan dengan mempergunakan Norma Penghitungan.<br />Akan tetapi, bila diinginkan oleh Wajib Pajak, penghitungan penghasilan kena pajak dapat dilakukan dengan cara penghitungan biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan syarat mereka menyelenggarakan pembukuan seperti diatur dalam undang-undang ini (Lihat penjelasan mengenai Pasal 14).<br /><br /> Ayat (3) <br /> Cukup jelas. <br /><br />Pasal 17<br /> Ayat (1) <br /> Bagi Wajib Pajak dalam negeri tarip Pajak Penghasilan diterapkan terhadap seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, dengan sistem yang sangat sederhana.<br />Contoh :<br />Jumlah penghasilan kena pajak Rp. 80.000.000,- <br />Pajak Penghasilan yang terhutang :<br />15% x Rp.10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-<br />25% x Rp.40.000.000,- = Rp.10.000.000,-<br />35% x Rp.30.000.000,- = Rp.10.500.000,- <br />--------------------------------- <br />Jumlah penghasilan kena pajak Rp.80.000.000,- Pajak = Rp.22.000.000,- <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Batas lapisan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut. <br /><br /> Ayat (3) <br /> Misalnya Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 1.050.650,- (satu juta lima puluh ribu enam ratus lima puluh rupiah), maka untuk penerapan tarip penghasilan kena pajak dibulatkan menjadi Rp. 1.050.000,- (satu juta lima puluh ribu rupiah). <br /><br /> Ayat (4) <br /> Misalnya seorang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) maka penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :<br />Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp. 1.000.000,-<br />Penghasilan setahun sebesar :<br />360<br />--------- x Rp. 1.000.000,- Rp. 4.000.000,- <br />3 x 30 <br />Penghasilan tidak kena pajak Rp. 960.000,- <br /> ----------------------- <br />Penghasilan kena pajak Rp. 3.040.000,- <br />Pajak Penghasilan yang terhutang<br />(setahun) 15% x Rp. 3.040.000,- Rp. 456.000,- <br />Jadi Pajak Penghasilan yang terhutang selama bagian dari tahun pajak, yaitu selama 3 (tiga) bulan adalah <br />3 x 30<br />---------- x Rp. 456.000,- Rp. 114.000,- <br />360 <br /><br /><br /> Ayat (5) <br /> Cukup jelas. <br /><br />Pasal 18<br /> Ayat (1) <br /> Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengeluarkan Keputusan tentang besarnya perbandingan antara hutang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.<br />Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara hutang dan modal (debtequity ratio). Apabila perbandingan antara hutang dan modal sangat besar (di atas batas-batas kewajaran) maka sebenarnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian undang-undang menentukan adanya modal terselubung.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penyelundupan pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Dalam hal terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan di bawah semestinya atau pun pembebanan biaya melebihi yang seharusnya, bila terjadi transaksi antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br />Demikian pula kemungkinan dapat terjadi adanya penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai hutang.<br />Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya yang seharusnya akan terjadi apabila di antara pihak-pihak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.<br />Begitu juga, apabila berdasarkan penelitian yang dilakukan ternyata terdapat penyertaan atau modal terselubung seolah-olah merupakan hutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan hutang tersebut sebagai modal perusahaan.<br />Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang yang sebenarnya merupakan penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan kepada pemegang saham yang menerima atau memperolehnya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.<br />Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, bunga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan, tetapi sebaliknya dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham tidak boleh dikurangkan.<br /><br /> Ayat (3) <br /> Huruf a <br /> Hubungan Istimewa dianggap ada bila dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama.<br />Yang dimaksud dengan pemilikan atau penguasaan ini adalah bila yang memiliki perusahaan-perusahaan tersebut memegang saham mayoritas yang dapat mempengaruhi jalannya perusahaan. Hubungan istimewa juga dapat dirumuskan sebagai berikut : <br />• Badan AA mempunyai penyertaan pada perusahaan BB sebesar 25% (dua puluh lima persen), maka AA dan BB mempunyai hubungan istimewa.<br />• Seseorang YY mempunyai 25% (dua puluh lima persen) penyertaan pada perusahaan AA dan juga 25% (dua puluh lima persen) penyertaan pada perusahaan BB, maka antara YY, AA dan BB mempunyai hubungan istimewa. <br /><br /> Huruf b <br /> Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah garis keturunan, lurus satu derajat adalah ayah, ibu dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah keturunan, kesamping satu derajat adalah saudara.<br />Yang dimaksud dengan keluarga semenda garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis kesamping satu derajat adalah ipar.<br /><br /><br /> Ayat (4) <br /> Dalam hal terdapat beberapa pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, maka tarip terendah 15% (lima belas persen) hanya dapat diberlakukan satu kali saja.<br />Dalam hal salah satu pihak menderita kerugian, kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan terhadap penghasilan pihak lainnya, akan tetapi berlaku kompensasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).<br /><br />Pasal 19<br /> Dalam hal terjadi ketidak serasian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan yang disebabkan oleh karena perkembangan harga yang menyolok, maka Pemerintah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian misalnya dengan menerapkan indeksasi. <br />Pasal 20<br /> Ayat (1) <br /> Pelunasan pajak dalam tahun berjalan, agar pada akhir tahun mendekati jumlah pajak yang terhutang, dilakukan melalui : <br />a. pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan (pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal dan jasa-jasa tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.<br />b. disamping pelunasan pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain, Wajib Pajak sendiri juga diwajibkan untuk melakukan pembayaran dalam tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan cicilan atau angsuran pembayaran pajak yang nantinya dapat diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang mengenai seluruh tahun pajak yang bersangkutan. <br /><br /> Ayat (3) <br /> Cukup jelas. <br /><br /> Ayat (4) <br /> Cukup jelas. <br /><br />Pasal 21<br /> Ayat (1) <br /> Yang wajib memotong Pajak Penghasilan atau disebut pemotong pajak menurut ketentuan ini ialah : <br />a. perusahaan orang pribadi atau badan yang merupakan induk atau cabang perusahaan yang membayar gaji, upah, honorarium, dan imbalan lainnya kepada karyawan atau orang lain, dengan syarat, bahwa pekerjaan itu dilakukan di Indonesia. Dalam pengertian pemberi kerja tidak harus Subyek Pajak menurut undang-undang ini, tetapi dapat juga setiap orang atau badan yang dalam hubungan kerja membayarkan gaji, upah, dan sebagainya;<br />b. misalnya gaji yang dibayarkan kepada pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, karena dibebankan kepada Keuangan Negara, maka harus dipotong Pajak Penghasilan. Dalam pengertian Keuangan Negara termasuk Keuangan PemerintahDaerah.<br />c. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, baik uang pensiun yang dibayarkan kepada pensiunan pegawai atau karyawan maupun kepada ahli warisnya.<br />Dalam pengertian pensiun, termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayar secara berkala maupun tidak;<br />d. perusahaan atau badan-badan, dalam hal terdapat pembayaran kepada tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri atas jasa yang dilakukan di Indonesia. Dalam pengertian perusahaan, termasuk Perusahaan Jawatan, dan dalam pengertian badan termasuk badan perwakilan negara asing dan badan internasional.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Yang dipotong pajak adalah bagian penghasilan setiap bulan yang melebihi seperdua belas dari penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Misalnya seorang karyawan kawin dengan tanggungan 3 (tiga) orang, penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp. 2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) atau setiap bulan Rp. 240.000,- (dua ratus empat puluh ribu rupiah). Apabila penghasilan karyawan itu sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tiap bulan, maka penghasilan yang dipotong pajak adalah sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). <br /><br /> Ayat (3) <br /> Sesuai dengan sifat Pajak Penghasilan sebagai pajak perorangan dan bukan pajak kebendaan, artinya keluarga Wajib Pajak yang menjadi tanggungan penuh turut menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang, maka kebenaran Surat Pernyataan Wajib Pajak mengenai susunan keluarganya mutlak perlu. Sebagai alat pembanding dapat juga dipergunakan Kartu Keluarga Wajib Pajak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat. <br /><br /> Ayat (4) <br /> Cukup jelas. <br /><br /> Ayat (5) <br /> Cukup jelas. <br /><br /> Ayat (6) <br /> Dalam Buku Petunjuk Direktur Jenderal Pajak dimuat tabel yang dapat dipakai pemberi kerja untuk memotong besarnya Pajak Penghasilan yang harus disetorkannya ke Kas Negara. <br /><br /> Ayat (7) <br /> Jika pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan dengan benar, maka pada akhir tahun pajak terhadap karyawan atau orang-orang yang Pajak Penghasilannya telah dipotong tersebut, tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang telah dipotong dengan benar dinyatakan final berdasarkan ketentuan undang-undang ini.<br /><br /> Ayat (8) <br /> Bagi karyawan yang mempunyai penghasilan lain disamping upah/gajinya, maka mereka diwajibkan mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan juga diberlakukan terhadap mereka yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.<br /><br /> Ayat (9) <br /> Untuk mempermudah pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak yang membayarkan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk Pemotongan Pajak Penghasilan. <br /><br />Pasal 22<br /> Ayat (1) <br /> Ketentuan ini mengatur wewenang Menteri Keuangan untuk menetapkan badan tertentu, baik swasta maupun pemerintah sebagai pemungut Pajak Penghasilan, yang telah sangat dibatasi untuk mengurangi pungutan-pungutan pendahuluan yang berlebihan. Pajak Penghasilan dipungut atas Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha dengan atau melalui pemungut tersebut.<br />Undang-undang ini dengan tegas menentukan, bahwa hanya dari kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran barang dan jasa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan dengan atau melalui pemungut-pemungut yang ditunjuk itu saja yang dapat dipungut Pajak Penghasilan.<br />Dengan pembayaran barang dan jasa dari belanja negara dimaksudkan ialah, pembayaran pembelian barang dan pembayaran penggantian jasa dengan menggunakan Keuangan Negara baik Pusat maupun Daerah.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Besarnya Pajak Penghasilan yang dipungut tersebut dengan sendirinya harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga mendekati jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas Wajib Pajak bersangkutan.<br />Untuk itu Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan dasar dan besarnya pungutan, yang disesuaikan dengan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terhutang untuk seluruh tahun pajak yang dihitung berdasarkan undang-undang ini.<br /><br />Pasal 23<br /> Ayat (1) <br /> Pembayaran dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan atas jasa teknik dan jasa manajemen yang merupakan penghasilan, harus dilunasi Pajak Penghasilannya selama tahun berjalan melalui pemotongan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri di Indonesia atau badan pemerintah yang melakukan pembayaran itu.<br />Pembayaran bunga dan imbalan lain sehubungan dengan peminjaman uang dari Bank atau lembaga keuangan lainnya, tidak dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang membayarkan.<br />Tarip yang diterapkan di sini adalah tarip terendah, yaitu 15% (lima belas persen), karena Wajib Pajak yang Pajak Penghasilannya dipotong, masih wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk melakukan penghitungan pajak yang terhutang untuk seluruh penghasilannya dalam satu tahun pajak.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Disamping badan, baik swasta maupun pemerintah, orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat juga ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong Pajak Penghasilan dari pembayaran-pembayaran tersebut di atas.<br />Wewenang menunjuk orang pribadi untuk menjadi pemotong pajak atas penghasilan dari modal ini ada pada Direktur Jenderal Pajak. Orang pribadi berkewajiban memotong pajak sejak ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /><br /> Ayat (3) <br /> Yang dimaksud dengan bunga dan dividen tertentu dalam ayat ini adalah : <br />a. bunga yang dibayarkan oleh bank atau Kantor Pos atas tabungan dari penabung kecil;<br />b. dividen yang diterima atau diperoleh pemegang sertifikat saham PT Danareksa,<br />yang jumlahnya tidak melebihi suatu jumlah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.<br />Ketentuan ini dimaksudkan agar terhadap penabung kecil atau pemegang sertifikat saham PT Danareksa yang pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam setahun tidak melampaui jumlah penghasilan tidak kena pajak.<br />Apabila terhadap penabung kecil atau pemegang sertifikat saham tersebut dilakukan pemotongan pajak, maka hal tersebut menjadikan beban bagi mereka untuk mengurus pengembaliannya.<br />Pembebasan pemotongan pajak atas bunga dan dividen tersebut tidak berarti bahwa bunga dan dividen itu dikecualikan sebagai Obyek Pajak, tetapi dikenakan pajak apabila bunga atau dividen jumlahnya melampaui penghasilan tidak kena pajak.<br /><br />Pasal 24<br /> Ayat (1) <br /> Pajak Penghasilan luar negeri adalah pajak yang dipungut di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di sana, yang merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia.<br />Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan luar negeri dari Wajib Pajak dalam negeri.<br />Dengan demikian, maka Pajak Penghasilan luar negeri yang dikenakan atas badan luar negeri yang membayarkan dividen tidak dapat dikreditkan ada pajak dari Wajib Pajak Indonesia yang menerima dividen itu. Dengan perkataan lain Pajak Penghasilan yang dikreditkan dari pajak yang terhutang di Indonesia hanya Pajak Penghasilan yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bersangkutan.<br />Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas semua penghasilan dari manapun diperoleh, termasuk penghasilan yang diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri.<br />Atas penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tersebut, dengan sendirinya telah dikenakan pajak oleh negara asal penghasilan tersebut. Pajak Penghasilan yang telah dibayar di negara asing tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang, sepanjang mengenai tahun pajak yang sama.<br />Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang dibayar di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di sana dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan yang terhutang, untuk tahun pajak yang sama.<br />Contoh : <br />a. Seorang konsultan Indonesia A bekerja selama setahun di Philipina dan memperoleh imbalan (fee) dari jasa yang dilakukan di sana sebesar x. Pajak yang dikenakan di Philipina atas fee tersebut misalnya 50% x X. Maka jumlah sebesar 50% x X tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas A.<br />b. Seorang pribadi B mendepositokan uangnya di salah satu bank di Inggris.<br />Bunga deposito yang diterima sebesar Y.<br />Tarip pajak atas bunga deposito di sana, misalnya sebesar 30%.<br />Maka jumlah sebesar 30% x Y tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas B. <br />c. PT AB di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z, Incorporated di Amerika. <br />Misalnya Z, Incorporated memperoleh keuntungan sebesar ... US$ 100.000 <br />Pajak Penghasilan atas Z,<br />Incorporated (Corporate income tax) : 48% (US$. 48.000,-) <br /> -------------------- <br /> US$. 52.000,- <br />Pajak atas dividen misalnya 38% (US$. 19.760,-) <br /> -------------------- <br />Dividen yang dikirimkan ke Indonesia US$. 32.240,- <br />d. Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas PT AB adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$. 19.760,-<br />e. Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z, Incorporated sebesar US$.48.000,- tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang atas PT AB, karena pajak sebesar US$. 48.000,- tersebut tidak dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh<br />PT. AB dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z, Incorporated di Amerika.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang adalah sebesar Pajak Penghasilan yang sebenarnya terhutang (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Akrual) dan telah dibayar (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Kas) di luar negeri, akan tetapi paling banyak sebesar hasil penerapan tarip pajak Indonesia, terhadap penghasilan luar negeri tersebut yang dihitung menurut undang-undang ini. <br /><br /> Ayat (3) <br /> Ini merupakan penegasan bahwa penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (ketentuan tentang sumber penghasilan) ini berlaku juga bagi beberapa jenis penghasilan lainnya yang ada kaitannya dengan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, ketentuan tentang sumber penghasilan misalnya dalam hal penghasilan yang berkenaan dengan harta (berupa sewa), menurut ketentuan tentang sumber yang dianut oleh Pasal 26, penghasilan diperoleh di negara tempat harta itu dipergunakan.<br />Jenis penghasilan lainnya berkenaan dengan harta tersebut misalnya dalam hal harta tersebut dijual, keuntungan dari penjualan harta tersebut merupakan penghasilan yang diperoleh di negara tempat harta itu berada atau dipergunakan, sebab di negara tersebut sewa itu dikenakan Pajak Penghasilan, jadi sumbernya berada di negara tempat menghasilkan sewa yang bersangkutan.<br /><br /> Ayat (4) <br /> Misalnya apabila ternyata dalam tahun 1985 terdapat pengurangan atau pengembalian Pajak Penghasilan luar negeri mengenai Pajak Penghasilan luar negeri tahun 1984 sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), maka pengurangan atau pengembalian pajak sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak 1985. <br /><br />Pasal 25<br /> Ketentuan dalam pasal ini mengatur tentang pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan, yang mengandung pengertian-pengertian : <br />a. berapa besarnya angsuran; <br />b. dasar penghitungan besarnya angsuran.<br /> Ayat (1) <br /> Untuk mempermudah pengertian, diberikan contoh penghitungan angsuran pembayaran pajak untuk tahun 1985 sebagai berikut : <br />Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak 1984 Rp.10.000.000,- <br />Dikurangi : <br />a. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja Rp. 3.000.000,- <br />b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain dari kegiatan usaha Rp. 2.000.000,- <br />c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan dari modal (sewa,bunga dsb). Rp. 500.000,- <br />d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri Rp. 1.500.000,- <br /> ------------------- <br /><br /> Rp. 7.000.000,- <br /> ----------------------- <br />Selisih Rp. 3.000.000,-<br />============ <br />Selisih sebesar Rp. 3.000.000,- ini dibagi dengan banyaknya masa pajak dalam tahun 1985.<br />Apabila masa pajak yang dipakai untuk melunasi pajak dalam tahun berjalan adalah satu bulan, maka dalam satu tahun pajak ada dua belas masa pajak, maka jumlah angsuran setiap masa pajak <br />Rp.3.000.000,- =Rp.250.000,- <br />--------------------- <br />12 <br /><br /><br /> Ayat (2) <br /> Dengan dilakukannya pembaharuan undang-undang perpajakan ini, maka apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak telah diisi sebagaimana mestinya, dan penghitungan pajak yang terhutang telah dilakukan dengan benar serta jumlah pajak yang terhutang itu telah dibayar lunas, maka tidak akan ada lagi ketetapan pajak yang akan dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.<br />Apabila ada ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka itu berarti, bahwa pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan dan yang telah dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak, ternyata kurang daripada yang seharusnya menurut undang-undang.<br />Oleh karena itu, apabila ada ketetapan pajak, maka pengertian Pajak Penghasilan yang terhutang pada dasarnya adalah berdasarkan ketetapan pajak itu. Kecuali apabila dalam tahun berikutnya penghasilan Wajib Pajak bertambah besar dan penghitungan pajak dilakukan dengan benar, maka Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuann Tahunan tahun yang berikutnya akan lebih besar.<br />Jumlah angsuran pajak dalam tahun berjalan sesudah itu yang dilunasi oleh Wajib Pajak sendiri adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya itu dibagi dua belas. Pada prinsipnya, dengan demikian, Pajak Penghasilan yang terhutang adalah jumlah Pajak Penghasilan yang diketahui dari tahun pajak yang terakhir.<br />Jika Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan lebih kecil daripada pajak yang telah disetor selama tahun pajak yang bersangkutan dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan hutang pajak lain, sebelum diputus oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai pengembalian atau perhitungan kelebihan tersebut, besarnya angsuran bulanan sama besar dengan bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan itu disampaikan. Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka angsuran dari bulan yang berikutnya, setelah tanggal keputusan itu, didasarkan atas jumlah pajak yang terhubung menurut keputusan tersebut. Apabila pajak yang terhutang menurut ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir mengandung kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya, maka pajak yang menjadi dasar untuk menentukan besarnya angsuran dalam tahun berjalan, dihitung kembali berdasarkan pajak yang terhutang sebelum dilakukan kompensasi kerugian. Dalam hal ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan tidak ada, maka pengaturan tentang besarnya angsuran sebagai perkiraan jumlah pajak yang akan terhutang, diatur dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 27.<br /><br /> Ayat (3) <br /> Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak sedapat mungkin diusahakan sesuai dengan besarnya pajak yang terhutang untuk masa pajak yang bersangkutan. Untuk Wajib Pajak lembaga keuangan misalnya, besarnya angsuran ini adalah lebih sesuai jika didasarkan pada Laporan Keuangan terakhir, sedang Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha milik Daerah didasarkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perusahaan tahun pajak yang bersangkutan.<br />Jenis usaha apa saja yang dapat menghitung besarnya angsuran pajak untuk setiap masa pajak dengan menggunakan dasar lain daripada Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Ketetapan pajak terakhir akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br />Pasal 26<br /> Pasal ini mengatur tentang pemotongan pajak bagi Wajib Pajak luar negeri, yang memuat hal-hal sebagai berikut: <br />a. dasar pemotongan pajak, adalah jumlah bruto dari pembayaran-pembayaran tersebut kepada Wajib Pajak luar negeri;<br />b. tarip pajak, adalah 20% (dua puluh persen);<br />c. sifat pemotongan, yaitu bahwa Pajak Penghasilan yang dipotong tersebut bersifat final.<br />Yang diwajibkan oleh undang-undang ini untuk memotong pajak adalah juga Wajib Pajak orang pribadi yang membayar atau terhutang bunga, dividen, dan sebagainya. Final berarti Wajib Pajak tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan hal mana berbeda dengan istilah rampung dalam sistem baru, yang berarti bahwa Wajib Pajak masih wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />Pasal 27<br /> Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25, termasuk penerapan tarip rata-rata atas penghasilan berupa uang pesangon dan uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus. <br />Pasal 28<br /> Pajak Penghasilan yang telah dilunaskan dalam tahun berjalan baik yang dibayar oleh Wajib Pajak sendiri maupun yang dipungut atau dipotong oleh pihak lain, jumlah keseluruhannya dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang.<br />Contoh :<br />Pajak Penghasilan yang terhutang.......................... Rp.10.000.000,- <br />Kredit-kredit pajak : <br />- Pemotongan pajak dari pekerjaan berdasarkan Pasal 21 Rp. 1.000.000,- <br />- Pungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari usaha berdasarkan Pasal 22 Rp. 2.000.000,- <br />- Pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari modal berdasarkan pasal 23 Rp. 1.000.000 <br />- Kredit pajak penghasilan luar negeri berdasarkan Pasal 24 Rp. 3.000.000,- <br />- Pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan berdasarkan Pasal 25 Rp. 2.000.000,- <br /> ---------------------- <br /> Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp. 9.000.000,-<br />----------------------- <br /> Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp. 1.000.000,-<br />============ <br /><br />Pasal 29<br /> Dalam contoh seperti dikemukakan pada penjelasan Pasal 28, maka kekurangan Pajak Penghasilan yang terhutang sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) harus dilunasi terlebih dahulu sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan, yaitu selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir. <br />Pasal 30<br /> Ayat (1) <br /> Setiap Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran atau penerimaan bruto Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) atau lebih, harus dilampiri dengan Laporan Keuangan. <br /><br /> Ayat (2) <br /> Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, merupakan kewajiban untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan tentang materi pengenaan pajak menjadi pembayaran uang pajak ke Kas Negara. Oleh sebab itu undang-undang ini menetapkan bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan harus memuat data-data yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang, serta kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak. <br /><br /> Ayat (3) <br /> Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />Kewajiban ini tidak berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi : <br />a. yang tidak mempunyai penghasilan lain dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.<br />b. yang menerima atau memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah penghasilan tidak kena pajak, misalnya : <br />seorang Wajib Pajak kawin dengan tanggungan keluarga 3 orang sedang isterinya tidak memperoleh penghasilan dari pekerjaan atau dari usaha, maka penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp. 2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).<br />Apabila penghasilan netto sebesar Rp. 2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu rupiah) atau kurang, maka ia tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br /><br /> Ayat (4) <br /> Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terhutang secara benar berdasarkan ketentuan undang-undang ini, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, kepadanya tidak perlu lagi diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan. <br /><br /> Ayat (5) <br /> Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan yang diperoleh lain daripada pemeriksaan, bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terhutang sebagaimana mestinya menurut Undang-undang. <br /><br />Pasal 31<br /> Ayat (1) <br /> Kelebihan pembayaran pajak dapat dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya;<br />Contoh :<br />Pajak Penghasilan yang terhutang Rp.10.000.000,- <br />Kredit-kredit pajak : <br />- Pemotongan pajak dari pekerjaan berdasarkan Pasal 21 Rp. 1.000.000,- <br />- Pemungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari usaha berdasarkan Pasal 22 Rp. 4.000.000,- <br />- Pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari modal berdasarkan Pasal 23 Rp. 1.000.000,- <br />- Pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun<br />berjalan berdasarkan Pasal 25 Rp. 6.000.000,- <br /> <br />---------------------- <br />Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp.12.000.000,- <br /> ---------------------- <br />Kelebihan pembayaran pajak Rp. 2.000.000,-<br />============ <br />Kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp. 2.000.000,- ini dapat dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan dan sebagainya dari Wajib Pajak, sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.<br />Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah : <br />a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang; <br />b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.<br />Oleh karena itu, untuk kepentingan penelitian dan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku-buku dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang kebenaran jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan ini adalah untuk memastikan, bahwa uang yang akan dibayarkan kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.<br />Yang dimaksud dengan pemeriksaan lain-lain termasuk pemeriksaan setempat, melakukan pencocokan terhadap pihak lain yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak, dan sebagainya.<br /><br />Pasal 32<br /> Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian Umum dari penjelasan ini, ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan tata cara pengenaan pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang cara pemungutan, sanksi-sanksi berkenaan dengan kesalahan, ketidakpatuhan, pelanggaran, dan kejahatan, kecuali apabila tata cara pengenaan pajak ditentukan lain dalam undang-undang ini. <br />Pasal 33<br /> Ayat (1) <br /> Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya merupakan tahun buku, maka ada kemungkinan bahwa sebagian dari tahun pajak itu termasuk di dalam tahun takwim 1984. Menurut ketentuan ayat ini, maka apabila 6 (enam) bulan dari tahun pajak itu termasuk dalam tahun takwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih apakah mau mempergunakan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 atau Ordonansi Pajak Perseroan 1925, ataupun memilih penerapan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang-undang ini. Kesempatan memilih semacam itu berlaku pula bagi Wajib Pajak yang lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun pajaknya termasuk di dalam tahun takwim 1984. <br /><br /> Ayat (2) <br /> Huruf a <br /> Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya terbatas misalnya fasilitas perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang sudah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983 masih tetap dapat dinikmati sampai dengan habisnya fasilitas perpajakan tersebut. <br /><br /> Huruf b <br /> Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidak ditentukan, tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal berlakunya undang-undang ini, misalnya <br />• fasilitas perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa, berupa pembebasan Pajak Perseroan atas laba usaha dan pembebasan Bea Meterai Modal atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;<br />• fasilitas perpajakan yang diberikan kepada perusahaan Perseroan Terbatas yang menjual saham-sahamnya melalui Pasar Modal, berupa keringanan tarip Pajak Perseroan, berdasarkan Keputusan Menteri keuangan No. 112/KMK.04/1979 tanggal 27 Maret 1979. <br /><br /><br /> Ayat (3) <br /> Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan kontrak Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini.<br />Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang ini.<br /><br />Pasal 34<br /> Cukup jelas. <br />Pasal 35 <br /> Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.<br />Peraturan Pemerintah dimaksud antara lain mengenai : <br />a. Penerapan faktor penyesuaian untuk menghitung penghasilan yang berasal dari keuntungan karena penjualan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan penerapan tarip efektip rata-rata atas keuntungan tersebut ;<br />b. Pedoman penyusutan dan amortisasi;<br />c. Semua peraturan yang diperlukan, agar Undang-undang ini dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.<br />Pasal 36<br /> Ayat (1) <br /> Ayat ini menegaskan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.<br />Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya sama dengan tahun takwim, maka Undang-undang ini berlaku bagi mereka itu sejak tahun pajak 1984. Untuk Wajib Pajak yang mempergunakan tahun buku yang berlainan dengan tahun takwim, maka Undang-undang ini akan berlaku untuk tahun buku yang dimulai sesudah 1 Januari 1984.<br /><br /> Ayat (2) <br /> Cukup jelas. <br /><br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3263 <br /><br /><br /><br /><br />UNDANG-UNDANG<br />NOMOR 7 TAHUN 1991<br />Ditetapkan tanggal 30 Desember 1991<br />PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang : <br />a. bahwa dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, telah diatur mengenai kewajiban perpajakan sehubungan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Subyek Pajak perseorangan maupun badan guna mewujudkan semangat kegotong-royongan nasional dalam pembiayaan Negara dan pelaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara;<br />b. bahwa untuk menampung perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan perkembangan dunia usaha pada khususnya, dipandang perlu untuk mengadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;<br />Mengingat : <br />1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;<br />2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263); <br />Dengan persetujuan<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br />Pasal I <br />Mengubah beberapa ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagai berikut : <br />1. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: <br />"a penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun dan/atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;"<br /> b. hadiah undian dan penghargaan;"<br />2. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d diubah sehingga berbunyi : <br />"d. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Pemerintah atau Wajib Pajak menurut Undang-undang ini, dengan ketentuan bahwa bagi pemberi kerja imbalan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto kecuali untuk daerah terpencil yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah;"<br />3. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf g diubah sehingga berbunyi : <br />"g. dividen atau bagian keuntungan yang diterima atau diperoleh Perseroan Terbatas dalam negeri, Koperasi, atau Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;"<br />4. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) ditambah huruf l dan m, yang berbunyi : <br />"l. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana yang berasal dari investasi untuk kepentingan pemodal, berupa :<br /> 1) dividen dari Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia,<br /> 2) bunga obligasi, dan<br /> 3) keuntungan dari penjualan atau pengalihan sekuritas, sepanjang seluruh penghasilan bersih yang diterima atau diperolehnya dibagikan kepada para pemodal sebagai bagian keuntungan atau dividen;<br />m. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Modal Ventura yang berupa bagian keuntungan dari badan usaha yang didirikan di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan keuntungan dari penjualan atau pengalihan penyertaannya, dengan persyaratan :<br /> 1) penyertaan modal dari perusahaan Modal Ventura tersebut dilakukan pada badan usaha yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dan<br /> 2) penghasilan tersebut berasal dari badan usaha yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek."<br />5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a diubah sehingga berbunyi : <br />"a. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, meliputi biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan tertentu di daerah terpencil yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;"<br />6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d diubah sehingga berbunyi : <br />"d. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu di daerah terpencil dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan bagi penerima imbalan dimaksud bukan merupakan penghasilan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d;"<br />7. Ketentuan Pasal 11 ditambah dengan ayat (15) dan ayat (16) yang berbunyi : <br />"(15) Wajib Pajak yang menanamkan modalnya di daerah terpencil dapat melakukan penyusutan atas harta yang dimiliki dan dipergunakan untuk kegiatan usaha di daerah terpencil dengan menggunakan metode penyusutan :<br /> a. metode garis lurus yang masa penyusutannya dapat kurang dari 20 (dua puluh) tahun, atau<br /> b. metode menurun secara berimbang, dengan ketentuan untuk Golongan Bangunan tetap menggunakan metode garis lurus yang masa penyusutannya dapat kurang dari 20 (dua puluh) tahun, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.<br />(16) Biaya untuk memperoleh harta tak berwujud tertentu dalam bidang pertambangan umum yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dalam rangka penanaman modal di daerah terpencil, dapat diamortisasi dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) huruf b, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan."<br />8. Ketentuan Pasal 13 ditambah ayat (3) yang berbunyi : <br />"(3) Bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal asing, Kontrak Karya, dan Kontrak Bagi Hasil, disamping dalam Bahasa Indonesia dan mata uang rupiah, atas ijin Menteri Keuangan pembukuan atau pencatatannya dapat menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah untuk kepentingan perpajakan dengan ketentuan bahwa Surat pemberitahuan harus diisi dalam bahasa Indonesia dan mata uang rupiah termasuk kewajiban pembayaran pajaknya, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan."<br />9. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : <br />"(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terhutang oleh Badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, atau Wajib Pajak Badan dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri selain bank dan lembaga keuangan lainnya, dipotong pajak oleh pihak yang berwajib membayarkan :<br /> a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :<br /> 1) dividen dari perseroan dalam negeri, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf g, huruf l, dan huruf m Undang-undang ini;<br /> 2) bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-undang ini;<br /> 3) sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br /> b. sebesar 9% (sembilan persen) dari jumlah bruto atas imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia."<br />Pasal II<br />Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1992.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br />Disahkan di Jakarta<br />pada tanggal 30 Desember 1991<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd.<br />SOEHARTO<br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 30 Desember 1991<br />MENTERI/SEKRETARIS NEGARA<br />REPUBLIK INDONESIA<br />ttd.<br />MOERDIONO<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1991 NOMOR 93<br />________________________________________<br />PENJELASAN<br />ATAS<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 7 TAHUN 1991<br />TENTANG<br />PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983<br />TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br />UMUM <br />Bahwa dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah diatur mengenai pengenaan Pajak Penghasilan, yang pada dasarnya menyangkut subyek pajak, obyek pajak, tarif pajak dan cara menghitung jumlah pajak yang terutang.<br />Sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan perkembangan dunia usaha pada khususnya, serta dengan memperhatikan jiwa Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, perlu dilakukan perubahan atas beberapa ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, agar dapat menampung perkembangan dimaksud.<br />Pasal 4 ayat (3) huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 menetapkan bahwa dividen yang diterima atau diperoleh suatu perseroan dari penyertaannya pada perseroan lain bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan, sepanjang penyertaan tersebut meliputi minimal 25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor serta kedua badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya.<br />Ketentuan ini mendorong terjadinya integrasi vertikal yang kurang sesuai dengan semangat pemerataan kesempatan berusaha. Oleh karena itu terhadap ketentuan di atas perlu diadakan perubahan dengan tetap menjaga prinsip progresivitas dalam pengenaan Pajak Penghasilan.<br />Bentuk-bentuk usaha berupa Perusahaan Reksa Dana (Investment Fund) dan perusahaan Modal Ventura (Venture Capital) merupakan wahana pembiayaan yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam pemerataan kesempatan usaha terutama bagi para pemodal kecil dan pengusaha kecil dan menengah termasuk koperasi.<br />Selain itu kedua wahana pembiayaan tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menunjang investasi yang pada gilirannya akan membantu perkembangan perekonomian nasional. Oleh karena itu dipandang perlu untuk diberikan insentif perpajakan.<br />Untuk mendorong perkembangan perekonomian di daerah terpencil termasuk di Indonesia bagian Timur, perlu diberikan insentif di bidang perpajakan berupa perlakuan perpajakan atas imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu yang dapat lebih menarik orang bekerja di daerah terpencil.<br />Selain itu untuk meningkatkan penanaman modal di daerah tersebut perlu diberikan kemudahan berupa keluwesan dalam menggunakan metode penyusutan dan amortisasi agar lebih menarik bagi para penanam modal.<br />Guna meningkatkan penanaman modal yang berasal dari luar negeri yang gilirannya akan meningkatkan kesempatan kerja maka kepada para penanam modal dari luar negeri perlu diberikan kemudahan dalam penyelenggaraan pembukuan dengan tetap berpegang pada ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.<br />PASAL DEMI PASAL<br />Pasal I<br />Angka 1<br />Pasal 4<br /> Ayat (1)<br /> Huruf a<br /> Termasuk dalam penghasilan adalah semua imbalan atau pembayaran dari pekerjaan dalam hubungan kerja yang dapat berupa upah, gaji, dan sebagainya, termasuk premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja. Pemberian imbalan dalam bentuk natura tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima seperti misalnya perumahan, kendaraan bermotor, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja, terkecuali yang dilakukan di daerah terpencil, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d.<br />Pasal 4<br /> Ayat (1)<br /> Huruf b<br /> Hadiah undian mencakup juga pengertian hadiah yang diberikan tanpa diundi.<br />Angka 2<br />Pasal 4<br /> Ayat (3)<br /> Huruf d<br /> Bila seorang pemberi kerja yang merupakan Wajib Pajak menurut pengertian Undang-undang ini memberi imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan kepada karyawan atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan tersebut bukan merupakan penghasilan bagi pihak penerima.Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam bentuk natura ialah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh tidak dalam bentuk uang, seperti kenikmatan mempergunakan mobil perusahaan dengan cuma-cuma, kenikmatan mendiami rumah yang disewa oleh perusahaan atau rumah milik perusahaan, pemberian beras dengan cuma-cuma, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja, pengeluaran-pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan di daerah terpencil.<br />Pengertian daerah terpencil antara lain ditentukan oleh mudah tidaknya dijangkau oleh transportasi umum baik darat, laut maupun udara, dan keadaan prasarana ekonomi dan sosialnya sangat terbatas sehingga penanam modal yang menanamkan modal di daerah tersebut harus membangun sendiri prasarana yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan usahanya, seperti jalan lingkungan, jembatan, pelabuhan, rumah sakit, sekolah. Kenikmatan pemakaian rumah yang diberikan oleh Pemerintah kepada pegawai Pemerintah, Pejabat Negara dan Pejabat Lembaga Pemerintah Non Departemen lainnya, tidak merupakan penghasilan bagi pihak yang bersangkutan. Dalam Pengertian Pemerintah termasuk Perusahaan Jawatan. Apabila yang memberi imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.<br /> Contoh : Seorang pegawai bangsa Indonesia yang bekerja di salah satu perwakilan diplomatik, memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya, maka kenikmatan-kenikmatan tersebut harus dimasukkan sebagai penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan tidak merupakan Subyek Pajak.<br />Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong pembayaran oleh pemberi kerja kepada pegawai atau karyawannya dilakukan dalam bentuk uang, sehingga dengan demikian mempermudah pengenaan pajaknya.<br />Angka 3 <br />Pasal 4 <br /> Ayat (3) <br /> Huruf g <br /> Dengan ketentuan ini, dividen atau bagian keuntungan yang diterima atau diperoleh Perseroan Terbatas dalam negeri, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD), dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak termasuk sebagai Obyek Pajak Penghasilan. Yang dimaksud dengan BUMN dalam ayat ini adalah Perusahaan Perseroan (PERSERO), Bank Pemerintah, dan Pertamina. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal ini penerima dividen atau bagian keuntungan adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti perseorangan baik dalam negeri maupun luar negeri, Firma, Perseroan Komanditer (Comanditaire Venootschap) dan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau bagian keuntungan tersebut tetap dikenakan Pajak Penghasilan. <br />Angka 4 <br />Pasal 4 <br /> Ayat (3) <br /> Huruf l <br /> Perusahaan Reksa Dana (Investment Fund) adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau penjualan sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan Reksa Dana merupakan salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana dari investasinya adalah berupa dividen, bunga obligasi atau keuntungan dari penjualan sekuritas. Dengan ketentuan ini, maka dividen dan bunga obligasi serta keuntungan dari penjualan sekuritas yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana tidak termasuk obyek Pajak Penghasilan.Perlakuan perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perkembangan perusahaan Reksa Dana yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan pemodal kecil, sekaligus dapat mendorong pengembangan perusahaan Reksa Dana dan perkembangan Pasar Modal.<br />Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana dari sumber-sumber di atas bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut : <br /> a. penghasilan te rsebut berupa dividen yang berasal dari perseroan yang didirikan di Indonesia dan/atau bunga dari obligasi yang diperdagangkan di Pasar Modal di Indonesia serta keuntungan dari penjualan sekuritas yang diperdagangkan di Pasar Modal di Indonesia, dan <br />b. seluruh penghasilan bersih yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana tersebut dibagikan sebagai dividen kepada para pemodal.<br /><br /> Apabila perusahaan Reksa Dana yang bersangkutan tidak memenuhi kedua persyaratan tersebut, misalnya dengan menahan sebagian labanya, maka atas seluruh penghasilannya akan dikenakan Pajak Penghasilan. Demikian pula penghasilan dari sumber-sumber penghasilan selain yang memenuhi persyaratan tersebut, dikenakan Pajak Penghasilan.<br />Mengingat bahwa penghasilan berupa dividen, bunga obligasi dan keuntungan karena penjualan sekuritas tidak dikenakan Pajak Penghasilan, maka dalam hal terdapat kerugian pada suatu tahun, kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan baik dengan penghasilan dari sumber penghasilan lainnya maupun dengan penghasilan tahun-tahun berikutnya (kompensasi vertikal dan horizontal).<br />Dividen dan bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa Dana tidak dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23.<br />Namun demikian dividen yang dibagikan kepada para pemodal dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 oleh perusahaan Reksa Dana. <br /> Huruf m <br /> Perusahaan Modal Ventura (Ventura Capital Company) adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai perusahaan pasangan usaha dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.<br />Dengan ketentuan ini, bagian keuntungan yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha serta keuntungan yang diterima atau diperoleh dari penjualan atau pengalihan penyertaannya tidak termasuk sebagai obyek Pajak Penghasilan, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: <br /> a. perusahaan pasangan usaha dari perusahaan Modal Ventura berusaha dalam sektor-sektor usaha tertentu, termasuk perusahaan menengah dan kecil, dan <br />b. perusahaan pasangan usaha tersebut bukan perusahaan yang telah menjual sahamnya di Bursa Efek di Indonesia. <br /><br /> Mengingat perusahaan Modal Ventura memperoleh fasilitas perpajakan, agar kegiatan perusahaan Modal Ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas, misalnya untuk meningkatkan kegiatan ekspor non migas, maka kegiatan dari perusahaan pasangan usaha dimana perusahaan Modal Ventura memiliki penyertaan tersebut dipandang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Mengingat pula bahwa perusahaan Modal Ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan Modal Ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke Pasar Modal. Oleh karena itu adalah tepat apabila perusahaan Modal Ventura yang melakukan penyertaan pada perusahaan yang telah "go public" tidak memperoleh fasilitas perpajakan.<br />Sebagai akibat dari adanya ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf m ini, maka atas dividen atau bagian keuntungan yang diterima atau diperoleh perusahaan Modal Ventura yang memenuhi persyaratan tersebut tidak dilakukan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 oleh pihak yang wajib membayarkan. <br />Pasal 6 <br /> Ayat (1) <br /> Huruf a <br /> Penghasilan Kena Pajak diperoleh dengan jalan menjumlahkan semua penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak dan menguranginya dengan biaya-biaya atau pengurangan yang diperbolehkan oleh Pasal ini. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah biaya atau pengeluaran yang ada hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Dalam pengertian biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dari usaha, termasuk pemberian imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu di daerah terpencil.<br />Pembayaran premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan oleh pemberi kerja untuk pegawai dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sedangkan bagi pegawai yang bersangkutan, premi tersebut merupakan penghasilan.<br />Gaji kepada pegawai yang juga merupakan pemegang saham, apabila berlebih-lebihan, yaitu melampaui gaji pegawai lain yang bukan pemegang saham yang melakukan pekerjaan, tugas atau jabatan yang kurang lebih sama dengan pemegang saham itu, maka kelebihannya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.<br />Dalam biaya ini termasuk pula bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang perusahaan, kecuali apabila jumlahnya melampaui jumlah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). Dalam menentukan besarnya bunga yang dapat dikeluarkan dari penghasilan bruto perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan tentang pengeluaran atau biaya bunga yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).<br />Bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sebab bunga semacam ini merupakan penggunaan dari penghasilan. <br />Angka 6 <br />Pasal 9 <br /> Ayat (1) <br /> Huruf d <br /> Semua pemberian imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan kepada karyawan atau pemberi jasa, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, kecuali pemberian penggantian atau imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan tertentu yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan di daerah terpencil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. <br />Angka 7 <br />Pasal 11 <br /> Ayat (15) <br /> Untuk mendorong investasi di daerah terpencil, maka kepada para penanam modal yang menanamkan modalnya di daerah terpencil perlu diberikan insentif dalam menggunakan metode penyusutan. Kepada para penanam modal tersebut diberikan pilihan dalam menerapkan metode penyusutan yaitu metode garis lurus (straight line) yang masa penyusutannya dapat kurang dari 20 (dua puluh) tahun, atau metode menurun secara berimbang (declining balance) atas harta yang dimiliki dan dipergunakan untuk kegiatan usaha di daerah terpencil, diluar golongan bangunan dengan ketentuan sebagai berikut : <br /> a. Dalam hal metode penyusutan yang digunakan dalam metode garis lurus meskipun dapat kurang dari 20 (dua puluh) tahun tetapi tidak boleh lebih pendek dari masa manfaat harta yang disusutkan; <br /> b. Dalam hal metode penyusutan yang digunakan adalah metode menurun secara berimbang, maka penyusutan harus dilakukan berdasarkan ayat (9); <br /> c. Metode penyusutan harus diterapkan secara taat asas. <br /> Atas harta Golongan Bangunan tetap disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus yang masa penyusutannya dapat kurang dari 20 (dua puluh) tahun tetapi tidak boleh lebih pendek dari masa manfaatnya.<br />Pengertian Golongan Bangunan dalam ayat ini meliputi pula prasarana, seperti jalan lingkungan, jembatan, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, yang dimiliki dan digunakan dalam kegiatan usaha Wajib Pajak di daerah terpencil.<br />Keluwesan dalam menggunakan metode penyusutan ini hanya diberlakukan terhadap harta yang diperoleh dan digunakan sejak tanggal 1 Januari 1992.<br />Pengertian daerah terpencil dalam Pasal ini adalah sama dengan pengertian daerah terpencil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d dan Pasal 6 ayat (1) huruf a. <br /> Ayat (16) <br /> Bagi perusahaan-perusahaan dalam bidang pertambangan umum yang menanamkan modalnya di daerah terpencil diberikan perlakuan amortisasi yang berbeda dengan ketentuan amortisasi sebagaimana diatur dalam ayat (10), ayat (11) dan ayat (12). Biaya untuk memperoleh harta tak berwujud tertentu dimaksud dapat amortisasi dengan metode menurun secara berimbang dengan tarif 25% (dua puluh lima persen).<br />Dalam hal perusahaan telah menerapkan ayat (10),ayat (11) dan ayat (12), maka perusahaan tersebut tidak boleh menerapkan amortisasi berdasarkan ayat ini. <br />Angka 8 <br />Pasal 13 <br /> Ayat (3) <br /> Ketentuan ini memberikan kemungkinan bagi penanaman modal asing, Kontrak Karya, dan Kontrak Bagi Hasil di samping menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata uang rupiah, dalam menyelenggarakan pembukuan atau pencatatannya dapat pula menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain rupiah atas ijin Menteri Keuangan. Sedangkan Surat Pemberitahuan (SPT) tetap harus diisi dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dalam satuan mata uang rupiah, demikian pula pembayaran kewajiban pajaknya harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah. <br />Angka 9 <br />Pasal 29 <br /> Ayat (1) <br /> Dengan ketentuan ini, maka terhadap penghasilan berupa imbalan atas jasa teknik dan jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia oleh Wajib Pajak dalam negeri, dipotong pajak sebesar 9% (sembilan persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkannya.<br />Sedangkan atas penghasilan lainnya sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2) dan angka 3) huruf a ayat ini tetap dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkannya. <br />Pasal II<br /> Cukup jelas<br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3459 <br /><br /><br />UNDANG-UNDANG<br />NOMOR 10 TAHUN 1994<br />Ditetapkan tanggal 9 Nopember 1994<br /> <br />PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991<br /> <br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br /> <br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /> <br />Menimbang : <br />a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991; <br />b. bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian seperti tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan seiring dengan itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang memadai terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991; <br />c. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991;<br /> <br />Mengingat : <br />1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; <br />2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun1994(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566); <br />3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459); <br /> <br />MEMUTUSKAN :<br /> <br />Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991.<br /> <br />Pasal I<br />Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun1991, sebagai berikut :<br /> <br />1. Ketentuan Pasal 1 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 1<br />Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak."<br /> <br />2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 2<br /> (1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah :<br /> a. 1) orang pribadi;<br /> 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang <br /> berhak;<br />b. badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk badan usaha lainnya;<br /> c. bentuk usaha tetap.<br /> <br /> (2) Subyek pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri.<br /> <br /> (3) Yang dimaksud dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah :<br />a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;<br /> b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;<br /> c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.<br /> <br /> (4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah :<br />a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;<br />b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.<br /> <br />(5) Yang dimaksudkan dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :<br /> a. tempat kedudukan manajemen;<br /> b. cabang perusahaan;<br /> c. kantor perwakilan;<br /> d. gedung kantor;<br /> e. pabrik;<br /> f. bengkel;<br />g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; <br /> h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;<br /> i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;<br /> j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang <br /> dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;<br /> k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;<br />l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.<br /> <br />(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya."<br /> <br />3. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 2 dan Pasal 3 yang dijadikan Pasal 2A, yang berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 2A<br />(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.<br /> <br />(2) Kewajiban pajak subyektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.<br /> <br />(3) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.<br /> <br />(4) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.<br /> <br />(5) Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.<br /> <br />(6) Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak."<br /> <br />4. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 3<br /> <br /> Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :<br /> a. badan perwakilan negara asing;<br />b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;<br />c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia;<br />d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia."<br /> <br />5. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 4<br /> <br />(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :<br />a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;<br /> b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;<br /> c. laba usaha;<br /> d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :<br />1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;<br />2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;<br />3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil-alihan usaha;<br />4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;<br /> e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;<br /> f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;<br />g. deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;<br /> h. royalti;<br /> i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br /> j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;<br /> k. keuntungan karena pembebasan utang;<br /> l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;<br /> m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;<br /> n. premi asuransi;<br />o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya;<br /> p. tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.<br /> <br />(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> <br /> (3) Yang tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah :<br /> a. 1) bantuan atau sumbangan;<br />2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;<br /> b. warisan;<br />c. harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;<br />d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah;<br />e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;<br />f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;<br />g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;<br />h. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;<br /> i. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana;<br />j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :<br />1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan<br /> 2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia."<br /> <br />6. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 5<br /> <br /> (1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :<br />a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;<br />b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;<br />c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.<br /> <br />(2) Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.<br /> <br /> (3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :<br />a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br />b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah : <br />1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;<br /> 2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;<br /> 3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;<br />c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan."<br /> <br />7. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 6<br /> <br />(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :<br />a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;<br />b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;<br /> c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;<br />d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;<br /> e. kerugian karena selisih kurs mata uang asing;<br /> f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;<br /> g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.<br /> <br />(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. <br /> <br />(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."<br /> <br />8. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 7<br /> <br /> (1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar :<br />a. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;<br />b. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;<br />c. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);<br />d. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.<br /> <br /> (2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.<br /> <br />(3) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut pada ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan."<br /> <br />9. Ketentuan Pasal 8 disempurnakan dan ditambah dengan beberapa ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:<br /> <br />"Pasal 8<br /> <br />(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.<br /> <br /> (2) Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila :<br /> a. suami-isteri telah hidup terpisah;<br />b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.<br /> <br />(3) Penghasilan netto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan netto mereka.<br /> <br />(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c."<br /> <br />10. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 9<br /> <br />(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :<br />a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;<br />b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;<br />c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan;<br />d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;<br />e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;<br />f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;<br />g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;<br /> h. Pajak Penghasilan;<br />i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;<br />j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;<br />k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.<br /> <br />(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A."<br /> <br />11. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 10<br /> <br />(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.<br /> <br />(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.<br /> <br />(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.<br /> <br /> (4) Apabila terjadi pengalihan harta :<br />a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;<br />b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.<br /> <br />(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.<br /> <br />(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama."<br /> <br />12. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 11<br /> <br />(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang memiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.<br /> <br />(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir <br /> masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.<br /> <br />(3) Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut.<br /> <br />(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.<br /> <br />(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.<br /> <br />(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut :<br /> ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br /> Kelompok Harta Masa Manfaat Tarif Penyusutan sebagaimana <br /> berwujud dimaksud pada<br /> ---------------------------------------------<br /> Ayat (1) Ayat (2)<br /> ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br /> I. Bukan Bangunan<br /> Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%<br /> Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%<br /> Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%<br /> Kelompok 4 20 Tahun 5% 10% <br /> <br /> II. Bangunan<br /> Permanen 20 Tahun 5% -<br /> Tidak Permanen 10 Tahun 10% -<br /> <br /> ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br /> <br />(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.<br /> <br />(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.<br /> <br />(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.<br /> <br />(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.<br /> <br />(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.:<br /> <br />13. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12 yang dijadikan Pasal 11A, yang berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 11A<br /> <br />(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.<br /> <br /> (2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut :<br /> --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br /> Kelompok Harta tak Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan Metode<br /> berwujud -----------------------------------------------------<br /> Garis Lurus Garis Menurun<br /> --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br /> <br /> Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%<br /> KelompoK 2 8 Tahun 12,5% 25%<br /> Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%<br /> Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%<br /> --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br /> <br />(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ayat (2).<br /> <br />(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.<br /> <br />(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20 % (dua puluh persen) setahun.<br /> <br />(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ayat (2).<br /> <br />(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak seperti tersebut pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.<br /> <br />(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan."<br /> <br />14. Ketentuan Pasal 12 dihapus.<br /> <br />15. Ketentuan Pasal 13 dihapus.<br /> <br />16. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 14<br /> <br />(1) Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk menentukan peredaran bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> <br />(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.<br /> <br />(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br /> <br />(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung Penghasilan Netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.<br /> <br />(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto atau tidak memperlihat pembukuan atau pencatatan peredaran bruto atau bukti-bukti pendukungnya, sehingga tidak diketahui besarnya peredaran bruto yang sebenarnya, maka peredaran bruto dan penghasilan netonya dihitung berdasarkan norma penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br /> <br />(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya tetapi dapat diketahui peredaran bruto yang sebenarnya, maka penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.<br /> <br />(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan."<br /> <br />17. Ketentuan Pasal 15 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 15<br /> <br />Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan." <br /> <br />18. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 16<br /> <br />(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.<br /> <br />(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).<br /> <br />(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.<br /> <br />(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan."<br /> <br />19. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 17<br /> <br />(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut :<br /> <br /> Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak<br /> <br /> sampai dengan Rp 25.000.000,00 10%<br /> (dua puluh lima juta rupiah) (sepuluh persen) <br /> <br /> di atas Rp 25.000.000,00 15 %<br /> (dua puluh lima juta rupiah) s/d (lima belas persen)<br /> Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)<br /> <br /> di atas Rp 50.000.000,00 30 %<br /> (lima puluh juta rupiah) (tiga puluh persen)<br /> <br /> <br />(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan menjadi serendah-rendahnya 25 % (dua puluh lima persen).<br /> <br />(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br /> <br />(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.<br /> <br />(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.<br /> <br />(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.<br /> <br />(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)."<br /> <br />20. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 18<br /> <br />(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.<br /> <br />(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :<br />a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau<br />b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal 50 % (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.<br /> <br />(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.<br /> <br />(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :<br />a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25 % (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan modal 25% (dua lima puluh persen) atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau<br />b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau<br />c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.<br /> <br />(5) Apabila Wajib Pajak badan dalam negeri memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya, maka lapisan tarif rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 hanya diterapkan pada 1 (satu) Wajib Pajak saja."<br /> <br />21. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : <br /> <br />"Pasal 19<br /> <br />(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.<br /> <br />(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan keputusan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)."<br /> <br />22. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 20<br /> <br />(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.<br /> <br />(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> <br />(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final."<br /> <br />23. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 21<br /> <br />(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh :<br />a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;<br />b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;<br />c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;<br />d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;<br />e. perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.<br /> <br />(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:<br /> a. badan perwakilan negara asing;<br /> b. organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> <br />(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.<br /> <br />(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> <br />(5) Tarif pemotongan atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan tarif pajak sebagaimana tersebut dalam Pasal 17.<br /> <br />(6) Pajak yang telah dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari 1 (satu) pemberi kerja sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali pegawai atau pensiunan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final menurut Undang-undang ini.<br /> <br />(7) Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan pemotongan pajak yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan tertentu.<br /> <br />(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak."<br /> <br />24. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 22<br /> <br />(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.<br /> <br />(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan."<br /> <br />25. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 23<br /> <br />(1) Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :<br /> a. sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :<br /> 1) dividen;<br />2) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;<br /> 3) royalti;<br />4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;<br />b. sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi;<br /> c. sebesar 15 % (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan netto atas :<br /> 1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br />2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.<br /> <br />(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /> <br />(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br /> <br /> (4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas :<br /> a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;<br />b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;<br /> c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;<br /> d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;<br /> e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j; <br /> f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;<br />g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya."<br /> <br />26. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 24<br /> <br />(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.<br /> <br />(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilanyang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.<br /> <br />(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :<br />a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;<br />b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;<br />c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;<br />d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;<br />e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.<br /> <br />(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.<br /> <br />(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.<br /> <br />(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan."<br /> <br />27. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 25<br /> <br />(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.<br /> <br />(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.<br /> <br />(3) Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar dari angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut, maka besarnya angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir.<br /> <br />(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar daripada angsuran pajak bulan yang lalu, yang dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.<br /> <br />(5) Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu lebih kecil dari jumlah Pajak Penghasilan yang telah dibayar, dipotong dan/atau dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan, maka besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sampai dikeluarkannya keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan untuk bulan-bulan berikutnya angsuran pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan tersebut.<br /> <br />(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, apabila :<br /> a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;<br /> b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;<br />c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;<br />d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;<br />e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;<br /> f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br /> <br />(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> <br />(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah."<br /> <br />28. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 26<br /> <br />(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan :<br /> a. dividen;<br />b. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;<br /> c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br /> d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;<br /> e. hadiah dan penghargaan;<br /> f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.<br /> <br />(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto.<br /> <br /> (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> <br />(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20 % (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan.<br /> <br />(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali :<br />a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;<br />b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap."<br /> <br />29. Ketentuan Pasal 27 dihapus.<br /> <br />30. Judul Bab VI diubah, sehingga menjadi sebagai berikut :<br /> <br />"BAB VI<br />PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN<br /> <br />31. Ketentuan Pasal 28 disempurnakan dan ditambah dengan ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 28<br /> <br />(1) (1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa :<br />a. a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;<br />b. b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;<br />c. c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;<br />d. d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;<br />e. e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;<br />f. f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).<br /> <br />(2) (2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."<br /> <br />32. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 28 dan Pasal 29 yang dijadikan Pasal 28 A, yang berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 28A<br /> <br />Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya."<br /> <br />33. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:<br /> <br />"Pasal 29<br /> <br />Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan."<br /> <br />34. Ketentuan Pasal 30 dihapus.<br /> <br />35. Ketentuan Pasal 31 dihapus.<br /> <br />36. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan Pasal 31A dalam Bab VII tentang Ketentuan Lain-lain, yang berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 31 A<br /> <br />Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah."<br /> <br />37. Ketentuan Pasal 32 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 32<br /> <br />Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan."<br /> <br />38. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 33 dan Pasal 34 yang dijadikan Pasal 33A dan BAB VIII tentang Ketentuan Peralihan, yang berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 33A<br /> <br />(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.<br /> <br />(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.<br /> <br />(3) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan, berakhir pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2).<br /> <br />(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."<br /> <br />39. Ketentuan Pasal 34 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 34<br /> <br />Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini."<br /> <br />40. Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />"Pasal 35<br /> <br />Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."<br /> <br />Pasal II<br /> <br />Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984."<br /> <br />Pasal III<br /> <br />Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /> <br />Disahkan di Jakarta<br />Pada tanggal 9 Nopember 1994<br /> <br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br /> ttd<br />S O E H A R T O<br /> <br />Diundangkan di Jakarta<br />Pada tanggal 9 November 1994<br /> <br />MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA<br />REPUBLIK INDONESIA,<br /> ttd<br />MOERDIONO<br /> <br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 60<br /> <br />PENJELASAN<br />ATAS<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 10 TAHUN 1994<br />TENTANG<br />PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG<br />PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN<br />UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991<br /> <br />UMUM<br />Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai peran serta <br />masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan.<br /> <br />Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang <br />merupakan landasan pemungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sebagai hasil reformasi undang-undang perpajakan tahun 1983 telah diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagai landasan hukum pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku sejak tahun 1984, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991.<br /> <br />Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi di berbagai bidang, disadari bahwa banyak bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang aspek perpajakannya belum diatur atau belum cukup diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Selain dari pada itu, Undangundang <br />tersebut belum sepenuhnya menampung amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1993. Oleh karena itu, dipandang sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991.<br /> <br />Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor. 7 Tahun 1991 adalah sebagai berikut :<br />a. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;<br />b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya;<br />c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan, pemerataan pembangunan, dan investasi di seluruh wilayah Republik Indonesia;<br />d. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;<br />e. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam rangka pengentasan kemiskinan;<br />f. Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup;<br />g. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.<br /> <br />Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, dengan pokok-pokok sebagai berikut :<br />a. Dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan nasional, diatur ketentuan-ketentuan yang menunjang kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pengenaan pajak;<br />b. Ketentuan mengenai Subyek Pajak diatur secara lebih luwes agar dapat mengikuti perkembangan sosial ekonomi dan perkembangan bentuk-bentuk aktifitas bisnis yang timbul dan berkembang di masyarakat;<br />c. Kesempatan mengenai Obyek Pajak diatur dengan lebih rinci, jelas dan tegas untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pengenaan pajak;<br />d. Dalam rangka menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya;<br />e. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pengeluaran untuk biaya pelatihan, magang, dan bea siswa dapat dibebankan sebagai biaya;<br />f. Dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan nasional di segala bidang, dapat diberikan fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;<br />g. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun yang diatur selaras dengan kebijakan pemerintah dalam pemerataan pembangunan nasional;<br />h. Untuk menunjang program pemerintah dalam pelestarian ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup, ditegaskan bahwa biaya pengolahan limbah boleh dibebankan sebagai biaya dan diatur mengenai pembentukan atau pemupukan cadangan untuk biaya reklamasi;<br />i. Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam hal penghitungan penyusutan atas harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha serta lebih menyelaraskan pembukuan Wajib Pajak untuk kepentingan fiskal, maka kepada Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk memilih metode penyusutan atas harta berwujud bukan bangunan;<br />j. Kebijaksanaan di bidang tarif pajak dilakukan dengan mengatur kembali besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dan besarnya lapisan tarif pajak dengan tetap mempertahankan progresivitas tarif yang diberlakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan, dengan mempertimbangkan kesempatan melakukan pengembangan kegiatan usaha dan persaingan dunia usaha dalam era globalisasi;<br />k. Mencegah penghindaran pajak melalui penundaan pembagian laba dalam waktu yang tidak ditentukan atas penanaman modal di luar negeri;<br />l. Perluasan dalam sistem pemotongan dan pemungutan pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, menggali potensi fiskal yang tersedia, dan menunjang sistem "self assessment" melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien;<br />m. Dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak serta untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, diatur pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan-penghasilan tertentu.<br /> <br />PASAL DEMI PASAL <br />Pasal I<br /> Angka 1<br /> Pasal 1<br />Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap Subyek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. <br />Subyek Pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjeknya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. <br />Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang ini adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.<br /> <br /> Angka 2<br /> Pasal 2<br /> Ayat (1)<br />Pengertian Subyek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.<br /> <br /> Huruf a<br />Orang pribadi sebagai Subyek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subyek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subyek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.<br /> <br /> Huruf b<br />Pengertian badan sebagai Subyek Pajak terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk badan usaha lainnya.<br /> <br />Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan Subyek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subyek Pajak.<br /> <br />Perkumpulan sebagai Subyek Pajak adalah perkumpulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dan/atau memberikan jasa kepada anggota. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.<br /> <br /> Huruf c<br /> Lihat ketentuan pada ayat (5) dan penjelasannya.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Subyek Pajak dibedakan antara Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri. Subyek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentukusaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan obyektif.<br /> <br />Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :<br />a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.<br />b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.<br />c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.<br /> <br />Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br /> <br /> Ayat (3)<br /> Huruf a<br />Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subyek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.<br /> <br />Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.<br /> <br /> Huruf b<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Huruf c<br />Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subyek Pajak dalam negeri dianggap Subyek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. <br />Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. <br />Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.<br /> <br />Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subyek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subyek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada obyeknya.<br /> <br /> Ayat (4)<br /> Huruf a dan huruf b<br />Subyek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subyek Pajak luar negeri. <br />Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subyek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subyek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.<br /> <br />Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subyek Pajak luar negeri tersebut.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha ("place of business") yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.<br /> <br />Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.<br /> <br />Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.<br /> <br />Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.<br /> <br />Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.<br /> <br /> Ayat (6)<br />Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.<br /> <br />Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. <br />Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.<br /> <br /> Angka 3<br /> Pasal 2A<br />Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subyektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subyek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subyek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif menjadi penting.<br /> <br /> Ayat (1)<br />Kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subyektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.<br /> <br />Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi Subyek Pajak dalam negeri.<br /> <br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (3)<br />Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subyektifnya dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia.<br /> <br /> Ayat (4)<br />Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Subyek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.<br /> <br />Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orang pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subyektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.<br /> <br /> Ayat (6)<br />Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subyek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subyek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.<br /> <br /> Angka 4<br /> Pasal 3<br /> Huruf a dan huruf b<br />Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat serta pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subyek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.<br /> <br />Pengecualian sebagai Subyek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah warga negara Indonesia.<br /> <br />Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatannya, maka ia termasuk Subyek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.<br /> <br />Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan pembebasan pajak kepada pejabat perwakilan Indonesia atas penghasilan lain di luar jabatannya, maka berlaku asas timbal balik.<br /> <br /> Huruf c<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Huruf d<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 5<br /> Pasal 4<br /> Ayat (1)<br />Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.<br /> <br />Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.<br /> <br />Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :<br />- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;<br /> - penghasilan dari usaha dan kegiatan;<br />- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;<br />- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.<br /> <br />Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. <br />Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Obyek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.<br /> <br />Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.<br /> <br /> Huruf a<br />Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Obyek Pajak. <br /> <br />Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.<br /> <br /> Huruf b<br />Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.<br /> <br />Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.<br /> <br /> Huruf c<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Huruf d<br />Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.<br /> <br />Misalnya PT. S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual sesuai dengan harga pasar sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT. S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp.20.000.000,00 ( dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT. S, dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.<br /> <br />Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Obyek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambil alihan usaha merupakan penghasilan.<br /> <br />Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.<br /> <br />Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br /> <br /> Huruf e<br />Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Obyek Pajak.<br /> <br />Sebagai contoh Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.<br /> <br /> Huruf f<br />Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.<br /> <br />Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi di jual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.<br /> <br /> Huruf g<br />Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian deviden adalah :<br /> <br />1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;<br /> <br />2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;<br /> <br />3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran kecuali saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham baru dan revaluasi aktiva tetap;<br /> <br /> 4) pembagian laba dalam bentuk saham;<br /> <br /> 5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;<br /> <br />6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;<br /> <br />7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;<br /> <br />8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;<br /> <br /> 9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;<br /> <br /> 10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;<br /> <br /> 11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;<br /> <br />12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.<br /> <br />Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai deviden. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.<br /> <br /> Huruf h<br />Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan :<br />1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;<br />2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak ("driling rig"), dan sebagainya;<br />3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. <br />Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi disini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.<br /> <br /> Huruf i<br />Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.<br /> <br /> Huruf j <br />Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.<br /> <br /> Huruf k<br />Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.<br /> <br /> Huruf l<br />Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter.<br /> <br />Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak, dengan syarat dilakukan secara taat asas.<br /> <br /> Huruf m<br />Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.<br /> <br /> Huruf n<br /> Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.<br /> <br /> Huruf o<br />Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya ditentukan berdasarkan volume ekspor, satuan produksi atau satuan penjualan, adalah penghasilan bagi perkumpulan tersebut.<br /> <br /> Huruf p<br />Tambahan kekayaan netto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Obyek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan netto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Obyek Pajak, maka tambahan kekayaan netto tersebut merupakan penghasilan.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Obyek Pajak. <br />Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. <br />Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikan perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.<br /> <br />Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.<br /> <br /> Ayat (3)<br /> Huruf a<br />Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Obyek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br /> <br />Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT. A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT. B. Apabila PT. B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT. A, maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT. A merupakan Obyek Pajak.<br /> <br />Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Obyek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br /> <br /> Huruf b<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Huruf c<br />Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan Obyek Pajak.<br /> <br /> Huruf d<br />Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. <br />Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan merupakan Obyek Pajak.<br /> <br />Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak, maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. <br />Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.<br /> <br /> Huruf e<br />Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Obyek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.<br /> <br /> Huruf f<br />Berdasarkan ketentuan ini, deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, tidak termasuk Obyek Pajak. Yang dimaksud dengan badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah pada ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, bank pembangunan daerah, dan Pertamina.<br /> <br />Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer dan sebagainya, maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap merupakan Obyek Pajak.<br /> <br /> Huruf g <br />Pengecualian sebagai Obyek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Obyek Pajak adalah:<br />1) iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya.<br /> <br />Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Obyek Pajak.<br /> <br />2) penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. <br />Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. <br />Oleh karena itu, penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.<br /> <br /> Huruf h<br />Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Obyek Pajak.<br /> <br /> Huruf i<br />Perusahaan reksa dana adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan reksa dana merupakan salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana dari investasinya dapat berupa deviden dan bunga obligasi.<br /> <br />Karena perusahaan reksa dana pada umumnya berbentuk perseroan terbatas, sesuai dengan ketentuan pada ayat (3) huruf f, deviden tersebut bukan merupakan Obyek Pajak. Agar tidak mengurangi dana yang tersedia untuk dibagikan kepada para pemodal, terutama pemodal kecil, bunga obligasi juga bukan merupakan Obyek Pajak bagi perusahaan reksa dana.<br /> <br /> Huruf j<br />Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. <br />Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai Obyek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.<br /> <br />Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, maka deviden yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan Obyek Pajak.<br /> <br />Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.<br /> <br /> Angka 6<br /> Pasal 5<br />Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.<br /> <br /> Ayat (1)<br /> Huruf a<br />Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.<br /> <br /> Huruf b<br />Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.<br /> <br />Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.<br /> <br />Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.<br /> <br />Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.<br /> <br /> Huruf c<br />Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y. <br />Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.<br /> <br />Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.<br /> <br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (3)<br /> Huruf a<br />Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /> <br /> Huruf b dan huruf c<br />Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. <br />Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.<br /> <br />Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.<br /> <br /> Angka 7<br /> Pasal 6<br /> Ayat (1)<br />Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.<br /> <br />Disamping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /> <br /> Huruf a<br />Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak. Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br /> <br /> Contoh :<br />Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari :<br /> a) penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak<br /> sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf g sebesar Rp 100.000.000,00<br /> b) penghasilan bruto di luar ad. a) sebesar Rp 300.000.000,00(+)<br /> -------------------------------<br /> Jumlah penghasilan bruto Rp 400.000.000,00<br /> ==============<br /> <br />Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 Rp.200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.<br /> <br />Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham yang sudah beredar atau untuk melakukan akuisisi saham milik pemegang saham pendiri atau lama tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang deviden yang diterimanya tidak merupakan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, kecuali bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk melakukan penyertaan pada perusahaan yang baru didirikan atau mengambil bagian dalam "right issue" oleh perusahaan yang telah lama berdiri. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi. <br /> <br />Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br /> <br />Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir, yaitu Wajib Pajak telah menyerahkan penagihan piutang tersebut kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau telah mendapat keputusan Pengadilan.<br /> <br />Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. <br /> <br />Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentu natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. <br /> <br />Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.<br /> <br />Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /> <br />Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.<br /> <br />Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai (BM), Pajak Pembangunan I (PP.I), dapat dibebankan sebagai biaya.<br /> <br />Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan.. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /> <br /> Huruf b<br />Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.<br /> <br />Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.<br /> <br />Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.<br /> <br /> Huruf c<br />Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br /> <br /> Huruf d <br />Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuannya semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /> <br />Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br /> <br /> Huruf e<br />Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap, pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, Pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.<br /> <br />Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing tersebut.<br /> <br /> Huruf f<br />Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan dalam rangka menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.<br /> <br /> Huruf g<br />Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan netto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.<br /> <br /> Contoh :<br />PT. A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya rugi laba fiskal PT. A sebagai berikut :<br /> 1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00<br /> 1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)<br /> 1998 : laba fiskal Rp N I H I L<br /> 1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00<br /> 2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00<br /> <br /> Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :<br /> Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00 <br /> -----------------------------------(+)<br /> sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)<br /> Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00) <br /> ------------------------------------<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 1998 Rp N I H I L<br /> -----------------------------------<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00 <br /> -----------------------------------(+)<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00 <br /> -----------------------------------(+)<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)<br /> ===================<br /> <br />Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2000, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.<br /> <br /> Ayat (3)<br />Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br /> <br /> Angka 8<br /> Pasal 7<br /> Ayat (1)<br />Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.<br /> <br />Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 1.728.000,00. (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah).<br /> <br />Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.<br /> <br /> Contoh :<br />Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 5.184.000,00 {Rp 1.728.000,00 + Rp 864.000,00 + (3 x Rp 864.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja, diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 1.728.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 6.912.000,00 (Rp 5.184.000,00 + Rp 1.728.000,00).<br /> <br /> Ayat (2)<br />Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.<br /> <br />Misalnya, pada tanggal 1 Januari 1995 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 1995, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 1995 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.<br /> <br /> Ayat (3)<br />Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga pokok setiap tahunnya.<br /> <br /> Angka 9<br /> Pasal 8<br />Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.<br /> <br /> Ayat (1)<br />Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenakan pajak sebagai satu kesatuan. <br />Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:<br />a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan <br />b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.<br /> <br /> Contoh :<br />Wajib pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha sebesarRp.100.000.000,00, mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar Rp.50.000.000,00. Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka penghasilan sebesar Rp 50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.<br /> <br />Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan sebesar Rp 75.000.000,00, maka seluruh penghasilan isteri sebesar Rp 125.000.000,00 (Rp 50.000.000,00 + Rp.75.000.000,00 ) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut A dikenakan pajak atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00 (Rp.100.000.000,00 + Rp 50.000.000,00 + Rp 75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00 tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan suami.<br /> <br /> Ayat (2) dan Ayat (3)<br />dalam hal suami-isteri telah hidup terpisah, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Namun, apabila suami-isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan netto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan netto.<br /> <br /> Contoh :<br />Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis adalah sebagai berikut :<br /> <br />Dari contoh pada ayat (1), apabila isterinya menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp.225.000.000,00.<br /> <br />Misalnya pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp.56.250.000,00, maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut :<br /> <br /> - Suami : 100.000.000,00 x Rp 56.250.000,00 =Rp 225.000.000,00<br /> ----------------------<br /> 225.000.000,00<br /> <br /> - Isteri : 125.000.000,00 x Rp 56.250.000,00 = Rp 31.250.000,00<br /> ----------------------<br /> 225.000.000,00<br /> <br /> Ayat (4)<br />Penghasilan anak yang belum dewasa yang tidak digabung dengan penghasilan orang tuanya hanya penghasilan yang berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau kegiatan dari orang yang mempunyai hubungan istimewa dengan anak tersebut.<br /> <br />Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.<br /> <br />Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan maka pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.<br /> <br /> Angka 10<br /> Pasal 9<br /> Ayat (1)<br />Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br /> <br />Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.<br /> <br /> Huruf a<br />Pembagian laba dengan aman dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran deviden kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran deviden oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.<br /> <br /> Huruf b<br />Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.<br /> <br /> Huruf c<br />Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi dikemudian hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, dan cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br /> <br /> Huruf d<br />Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Obyek Pajak. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Obyek Pajak.<br /> <br /> Huruf e<br />Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Obyek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.<br /> <br />Dalam hal pemberian kepada pegawai yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam, antar jemput karyawan, penyediaan makanan dan minuman serta penginapan untuk awak kapal, dan sejenisnya, pemberian tersebut bukan merupakan imbalan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.<br /> <br /> Huruf f<br />Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. <br />Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br /> <br />Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). <br />Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp.2.000.000,00, (dua juta rupiah) maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut, jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai deviden.<br /> <br /> Huruf g<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Huruf h<br />Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.<br /> <br /> Huruf i<br />Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.<br /> <br /> Huruf j<br />Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.<br /> <br /> Huruf k<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (2)<br />Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukansesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.<br /> <br /> Angka 11<br /> Pasal 10<br />Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.<br /> <br /> Ayat (1)<br />Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.<br /> <br />Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.<br /> <br /> Contoh :<br /> <br /> PT. A PT. B<br /> ------------------- --------------------<br /> ( Harta X ) ( Harta Y )<br /> Nilai sisa buku Rp 10.000.000,00 Rp 12.000.000,00<br /> <br /> Harga Pasar Rp 20.000.000,00 Rp 20.000.000,00<br /> <br />Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000,00, maka jumlah sebesar Rp.20.000.000,00 merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima. <br /> <br />Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT. A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00), dan PT. B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp.12.000.000,00).<br /> <br /> Ayat (3)<br />Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.<br /> <br />Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.<br /> <br /> Contoh :<br />PT. A dan PT. B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT. C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut :<br /> <br /> PT A PT B<br /> Nilai sisa buku Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00<br /> Harga Pasar Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00<br /> <br /> <br />Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT. A dan PT. B dalam rangka peleburan menjadi PT. C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian, PT. A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp.200.000.000,00) dan PT. B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000,00 (Rp 450.000.000,00 - Rp 300.000.000,00). <br />Sedangkan PT. C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000,00 (Rp.300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00).<br /> <br />Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, misalnya atas dasar nilai sisa buku ("pooling of interest"). Dalam hal demikian PT. C membukukan penerimaan harta dari PT. A dan PT. B tersebut sebesar Rp 500.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00). <br /> <br /> Ayat (4)<br />Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /> <br />Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Penyerahan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta.<br /> <br />Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut.<br /> <br /> Contoh :<br />Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp.25.000.000,00 kepada PT. Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp 20.000.000,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp 40.000.000,00. Dalam hal ini PT. Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT. Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp.20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp.15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp 25.000.000,00) merupakan Obyek Pajak.<br /> <br /> Ayat (6)<br />Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.<br /> <br />Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama ("first-in first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.<br /> <br /> Contoh :<br /> 1. Persediaan Awal 100 satuan @ Rp 9,00<br /> 2. Pembelian 100 satuan @ Rp 12,00<br /> 3. Pembelian 100 satuan @ Rp 11,25<br /> 4. Penjualan/dipakai 100 satuan <br /> 5. Penjualan/dipakai 100 satuan <br /> <br /> Penghitungan harga pokok dan nilai persediaan dengan menggunakan cara <br /> rata-rata misalnya sebagai berikut :<br /> <br /> No. Didapat Dipakai Sisa/Persediaan<br /> <br /> 1. 100s @Rp 9,00 = Rp 900,-<br /> 2. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 200s @Rp. 10,50 = Rp. 2.100,-<br /> 3. 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,- 300s @Rp. 10,75 = Rp. 3.225,-<br /> 4. 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,- 200s @Rp. 10,75 = Rp. 2.150,-<br /> 5. 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,- 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,-<br /> <br />Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara FIFO misalnya sebagai berikut :<br /> <br /> <br /> No. Didapat Dipakai Sisa/Persediaan<br /> <br /> 1. 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,-<br /> 2. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,-<br /> 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,-<br /> 3. 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,- 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,-<br /> 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,-<br /> 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-<br /> <br /> 4. 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,- 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,-<br /> 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-<br /> <br /> 5. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-<br /> <br /> <br />Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.<br /> <br /> Angka 12<br /> Pasal 11<br /> Ayat (1) dan Ayat (2)<br />Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Tanah tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan batu bata. <br />Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah (a) dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau "straight-line method"), atau (b) dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau "declining-balance method"). Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. <br /> <br />Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.<br /> <br />Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.<br /> <br />Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil ("small tools") yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.<br /> <br /> Contoh Penggunaan metode garis lurus :<br /> <br />Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp.5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 : 20).<br /> <br /> Contoh Penggunaan metode saldo menurun :<br /> <br />Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juni 1995 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut :<br /> <br /> Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku<br /> <br /> 0 150.000.000,00<br /> 1 50% 75.000.000,00 75.000.000,00<br /> 2 50% 37.500.000,00 37.500.000,00<br /> 3 50% 18.750.000,00 18.750.000,00<br /> 4 disusutkan <br /> sekaligus 18.750.000,00 0<br /> <br /> Ayat (3) dan Ayat (4)<br />Ketentuan ini mengatur saat mulainya penyusutan, yaitu pada tahun dilakukannya pengeluaran, atau pada tahun selesainya pengerjaan suatu harta. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan. Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.<br /> <br /> Contoh 1<br />Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp.100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 1995 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 1996. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada tahun pajak 1996.<br /> <br /> Contoh 2 <br /> PT. X yang bergerak di bidang perkebunan kopi membeli traktor pada tahun 1999. <br />Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2000. <br />Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2000.<br /> <br /> Ayat (5)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (6)<br />Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.<br /> <br />Yang dimaksud bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.<br /> <br /> Ayat (7)<br />Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.<br /> <br /> Ayat (8) dan Ayat (9)<br />Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.<br /> <br />Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan netto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut, dan/atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br /> <br />Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.<br /> <br /> Ayat (10)<br />Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.<br /> <br /> Ayat (11)<br />Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak. <br /> <br /> Angka 13<br /> Pasal 11A<br /> Ayat (1)<br />Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode (a) dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau (b) dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.<br /> <br />Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. <br />Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.<br /> <br /> Ayat (3)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (4)<br />Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.<br /> <br />Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah setinggi-tingginya 20 % (dua puluh persen) setahun.<br /> <br /> Contoh :<br />Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. JIka dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30 % (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30 % (tiga puluh perseratus) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20 % (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp 100.000.000,00.<br /> <br /> Ayat (6)<br />Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.<br /> <br /> Ayat (7)<br /> Contoh :<br />PT. X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT. X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut :<br /> <br /> Harga perolehan Rp 500.000.000,00<br /> Amortisasi yang telah dilakukan <br /> 100.000.000/200.000.000 <br /> barel (50 %) Rp 250.000.000,00<br /> NIlai buku harta Rp 250.000.000,00<br /> Harga jual harta Rp 300.000.000,00<br /> <br />Dengan demikian jumlah nilai buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.<br /> <br /> Ayat (8)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 14<br /> Pasal 12<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 15<br /> Pasal 13<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 16<br /> Pasal 14<br />Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.<br /> <br />Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.<br /> <br />Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan netto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.<br /> <br /> Ayat (1)<br />Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya peredaran bruto dan besarnya penghasilan netto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal : <br />a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan atau catatan peredaran bruto yang lengkap, atau<br />b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.<br /> <br />Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.<br /> <br />Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan netto.<br /> <br /> Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4)<br />Norma Penghitungan Penghasilan Netto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tentang peredaran brutonya. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan netto. <br /> <br />Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Netto terhadap Wajib Pajak yang peredaran bruto sebenarnya tidak dapat diketahui, yaitu Wajib Pajak yang : <br /> <br />a. Wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau catatan peredaran bruto atau bukti-bukti pembukuan atau bukti-bukti pencatatan peredaran bruto, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui;<br />b. dianggap menyelenggarakan pembukuan karena tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak tentang keinginannya untuk menghitung penghasilan netto dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui;<br /> <br />c. telah menyatakan keinginannya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan mengenai peredaran brutonya, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui.<br /> <br /> Ayat (6)<br />Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak yang sebenarnya dapat diketahui namun penghasilan nettonya tidak dapat dihitung, yaitu terhadap Wajib Pajak yang :<br />a. a. Wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui;<br />b. b. dianggap menyelenggarakan pembukuan seperti dimaksud pada ayat (4) tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui.<br /> <br /> Ayat (7)<br />Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.<br /> <br /> Angka 17<br /> Pasal 15<br />Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah ("build, operate, and transfer").<br /> <br />Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.<br /> <br /> Angka 18<br /> Pasal 16<br />Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.<br /> <br />Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan norma penghitungan.<br /> <br />Disamping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.<br /> <br />Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara :<br />(1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;<br /> (2) Wajib Pajak luar negeri lainnya.<br /> <br /> Ayat (1)<br />Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut <br /> - Peredaran bruto Rp 300.000.000,00<br /> - Biaya untuk mendapatkan, menagih <br /> dan memelihara penghasilan Rp 255.000.000,00 <br /> ---------------------------- (-)<br /> - Laba usaha (penghasila netto usaha ) Rp 45.000.000,00<br /> - Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00<br /> - Biaya untuk mendapatkan, <br /> menagih dan memelihara<br /> penghasilan lainnya tersebut Rp 3.000.000,00 <br /> -------------------------- (-)<br /> Rp 2.000.000,00 <br /> ----------------------------- (+)<br /> Jumlah seluruh penghasilan netto Rp 47.000.000,00<br /> - Kompensasi kerugian Rp 2.000.000,00 <br /> ----------------------------- (-)<br /> - Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib <br /> Pajak badan) Rp 45.000.000,00<br /> - Pengurangan berupa Penghasilan Tidak <br /> Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang <br /> pribadi (isteri + 3 anak) Rp 5.184.000,00 <br /> ------------------------------ (-)<br /> - Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib <br /> Pajak orang pribadi) Rp 39.816.000,00<br /> ================<br /> <br /> Ayat (2)<br /> Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan <br /> pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan <br /> Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengan contoh sebagai berikut : <br /> <br /> - Peredaran bruto Rp 300.000.000,00<br /> - Penghasilan netto (menurut Norma <br /> Penghitungan) misalnya 20 % Rp 60.000.000,00<br /> - Penghasilan netto lainnya Rp 5.000.000,00<br /> ---------------------------- (+)<br /> - Jumlah seluruh penghasilan nettoRp 65.000.000,00<br /> - Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + <br /> 3 anak) Penghasilan Kena Pajak Rp 5.184.000,00<br /> ---------------------------- (-)<br /> Penghasilan Kena Pajak Rp 59.816.000,00<br /> =================<br /> <br /> Ayat (3)<br />Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak badan dalam negeri. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.<br /> <br /> Contoh :<br /> - Peredaran bruto Rp 400.000.000,00<br /> - Biaya untuk mendapatkan, menagih <br /> dan memelihara penghasilan Rp 275.000.000,00<br /> <br /> --------------------------- (-)<br /> Rp 125.000.000,00<br /> - Penghasilan bunga Rp 5.000.000,00<br />- Penjualan langsung barang oleh kantorpusat yang sejenisdengan barang yangdijual bentuk usaha tetap Rp 200.000.000,00<br /> - Biaya untuk mendapatkan, menagihdan memelihara <br /> penghasilan Rp 150.000.000,00<br /> -------------------------- (-) <br /> Rp 50.000.000,00<br />- - Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap <br />Rp 2.000.000,00<br /> ------------------------------- (+)<br /> Rp 182.000.000,00<br /> - Biaya-biaya menurut Pasal ayat (3) Rp 7.000.000,00<br /> ------------------------------ (-) <br /> - Penghasilan Kena Pajak Rp 175.000.000,00<br /> ================= <br /> Ayat (4)<br /> Contoh :<br />Misalnya orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp 10.000.000,00 maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut :<br /> <br /> Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 10.000.000,00<br /> Penghasilan setahun sebesar :<br /> 360 x Rp 10.000.000,00 Rp 40.000.000,00<br /> ---------<br /> 3 x 30<br /> Penghasilan Tidak Kena Pajak <br /> (isteri + 3 anak) Rp 5.184.000,00<br /> -------------------------- (-)<br /> Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00<br /> ===============<br /> <br /> Angka 19<br /> Pasal 17<br /> Ayat (1)<br /> Contoh :<br /> Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 120.000.000,00<br /> Pajak Penghasilan terutang : <br /> 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 <br /> 15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00<br /> 30% x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00<br /> --------------------------- (+)<br /> Rp 27.250.000,00<br /> ==============<br /> <br />Tarif pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sama dengan tarif pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.<br /> <br /> Ayat (3)<br />Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.<br /> <br /> Ayat (4)<br /> Contoh :<br />Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.<br /> <br /> Ayat (5) dan Ayat (6)<br /> Contoh ( berdasarkan contoh dalam Pasal 16 ayat (4)) :<br /> Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00<br /> Pajak Penghasilan setahun : <br /> 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00<br /> 15% x Rp 9.816.000,00 = Rp 1.472.400,00<br /> --------------------------<br /> Rp 3.972.400,00<br /> =============<br /> Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan).<br /> (3 x 30) x Rp 3.972.400,00 = Rp 993.100,00<br /> -------------<br /> 360<br /> <br /> Ayat (7)<br />Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, pemerataan, dan dalam pengenaan pajak.<br /> <br /> Angka 20<br /> Pasal 18<br /> Ayat (1)<br />Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.<br /> <br />Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal ("debt-equity ratio"). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar yang melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanam modal di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya deviden.<br /> <br /> Contoh :<br />PT. A dan PT. B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 1995 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp 100.000.000,00.<br /> <br />Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saatdiperolehnya deviden dan dasar penghitungannya.<br /> <br /> Ayat (3)<br />Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. <br />Apabila terdapat hubungan istimewa kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.<br /> <br />Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya diantara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.<br /> <br />Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.<br /> <br />Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai deviden yang dikenakan pajak.<br /> <br /> Ayat (4)<br />Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :<br /> a. kepemilikan atau penyertaan modal;<br /> b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.<br /> <br />Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.<br /> <br /> Huruf a<br />Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25 % (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.<br /> <br />Misalnya, PT. A mempunyai 50 % (lima puluh persen) saham PT. B, pemilikkan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. <br />Selanjutnya apabila PT.B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. C maka PT. A sebagai pemegang saham PT. B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. C sebesar 25 % (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT. A, PT. B dan PT. C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT. A juga memiliki 25 % (dua puluh lima persen) saham PT. D, maka antara PT. B, PT. C, dan PT. D dianggap terdapat hubungan istimewa. <br /> Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.<br /> <br /> Huruf b<br />Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.<br /> <br />Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.<br /> <br /> Huruf c<br />Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara.<br /> <br />Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Berdasarkan ketentuan ini, Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lainnya, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak dimaksud penerapan lapisan tarif rendah hanya diberikan satu kali saja yaitu terhadap Wajib Pajak induknya. <br />Sedangkan terhadap Wajib Pajak lainnya dalam satu grup, Pajak Penghasilan yang terutang dihitung langsung berdasarkan tarif yang lebih tinggi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak induk tersebut atau tarif tertinggi.<br /> <br />Yang dimaksud dengan lapisan tarif rendah adalah lapisan tarif di bawah lapisan tarif tertinggi yang diterapkan terhadap Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak induk dimaksud.<br /> <br /> Contoh :<br />PT. A memiliki saham PT. B sebesar 50 % (lima puluh persen) dan PT. B memiliki saham PT. C sebesar 60 % (enam puluh persen). Penghasilan Kena Pajak atau kerugian fiskal tahun 1995 untuk masing-masing badan misalnya sebagai berikut :<br /> <br /> PT. A Penghasilan Kena Pajak : Rp 200.000.000,00<br /> PT. B Rugi Fiskal : (Rp 40.000.000,00)<br /> PT. C Penghasilan Kena Pajak : Rp 70.000.000,00<br /> <br /> Penghitungan pajak yang terutang : <br /> <br /> PT. A : <br /> 10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00<br /> 15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00<br /> 30 % x Rp 125.000.000,00 = Rp 45.000.000,00<br /> -------------------------- (+)<br /> Rp 51.250.000,00<br /> ==============<br /> <br /> PT. B : Nihil<br />Kerugian fiskal sebesar Rp 40.000.000,00 tidak boleh diperhitungkan terhadap penghasilan netto PT. A dan PT C.<br /> <br /> PT. C :<br /> 30 % x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00<br /> ==============<br />Atas Penghasilan Kena Pajak PT. C sebesar Rp 70.000.000,00 langsung diterapkan tarif 30 % (tiga puluh persen), karena penerapan tarif rendah hanya dilakukan pada satu Wajib Pajak yaitu PT. A.<br /> <br /> Angka 21<br /> Pasal 19<br /> Ayat (1)<br />Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.<br /> <br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 22<br /> Pasal 20<br /> Ayat (1)<br />Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui :<br />a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dalam Pasal 21, pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.<br />b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.<br /> <br /> Ayat (2) <br />Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.<br /> <br /> Ayat (3)<br />Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.<br /> <br />Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.<br /> <br /> Angka 23<br /> Pasal 21<br /> Ayat (1)<br />Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.<br /> <br /> Huruf a<br />Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.<br /> <br />Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem.<br /> <br />Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.<br /> <br /> Huruf b<br />Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Negara Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.<br /> <br /> Huruf c<br />Dana pensiun atau badan lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.<br /> <br />Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala atau pun tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun , penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari tua.<br /> <br /> Huruf d<br />Dalam pengertian badan termasuk organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.<br /> <br /> Huruf e<br />Perusahaan, badan, atau penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian badan termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, dan perkumpulan. Kegiatan yang diselenggarakan misalnya olahraga, keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.<br /> <br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (3)<br />Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.<br /> <br />Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.<br /> <br /> Ayat (4)<br />Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan memperhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.<br /> <br /> Ayat (5)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (6)<br />Apabila pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan penyetoran pajak dengan benar, maka pada akhir tahun pajak terhadap pegawai atau orang pribadi yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja, yang pajaknya telah dipotong tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, kecuali pegawai atau orang pribadi tersebut memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final menurut Undang-undang ini, misalnya pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7).<br /> <br /> Ayat (7)<br /> Misalnya, penghasilan tertentu dari kegiatan seperti hadiah olah raga dan undian.<br /> <br /> Ayat (8)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 24<br /> Pasal 22<br /> Ayat (1) dan Ayat (2)<br /> Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah :<br />- Bendaharawan pemerintah, termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;<br />- badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor, atau kegiatan usaha di bidang lain.<br /> <br />Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini, dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.<br /> <br />Dalam hubungan ini Menteri Keuangan menetapkan besarnya pungutan tersebut bersifat final.<br /> <br />Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan antara lain :<br />- penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;<br /> - tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang;<br />- prosedur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.<br /> <br /> Angka 25<br /> Pasal 23<br /> Ayat (1)<br />Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.<br /> <br />Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan netto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk deviden, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan netto.<br /> <br />Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.<br /> <br />Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggota-anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan netto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netto, Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihak yang terkait.<br /> <br /> Ayat (3)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Ayat (4)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 26<br /> Pasal 24<br />Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.<br /> <br /> Ayat (1)<br />Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.<br /> <br /> Contoh :<br /> <br />PT. A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Deviden adalah 38% penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut :<br /> <br /> Keuntungan Z Inc. US$ 100,000.00<br /> Pajak Penghasilan (Corporate income tax) : 48 %US$ 48,000.00<br /> ----------------------- (-)<br /> US$ 52,000.00<br /> Pajak atas deviden (38 %) US$ 19,760.00<br /> ----------------------- (-)<br /> Deviden yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00<br /> <br />Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT. A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$ 19,760.00.<br /> <br />Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT. A, karena pajak sebesar US$ 48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.<br /> <br /> Ayat (2)<br />Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini.<br /> <br />Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).<br /> <br /> Ayat (3) dan Ayat (4)<br />Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurutUndang-undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting. <br />Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.<br /> <br />Mengingat Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura, karena rumah tersebut terletak di Singapura.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp 5.000.000,00, yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp 5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996.<br /> <br /> Ayat (6)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 27<br /> Pasal 25<br />Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.<br /> <br /> Ayat (1)<br /> Contoh 1 :<br /> Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan <br /> Pajak Penghasilan tahun 1994 Rp 50.000.000,00<br /> dikurangi :<br /> a. Pajak Penghasilan yang dipotong <br /> pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00 <br /> b. Pajak Penghasilan yang dipungut <br /> oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00<br /> c. Pajak Penghasilan yang dipotong <br /> oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00<br /> d. Kredit Pajak Penghasilan luar <br /> negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00<br /> ------------------------- (+)<br /> Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00<br /> ------------------------- (-)<br /> Selisih Rp 15.000.000,00<br /> ==============<br /> <br />Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 1995 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 12).<br /> <br /> Contoh 2 : <br />Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 1994, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 1995 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 6).<br /> <br /> Ayat (2)<br />Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah tahun berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1). Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.<br /> <br /> Contoh :<br />Pajak pada bulan Maret 1995, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 1994, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.<br /> <br />Namun apabila dalam bulan September 1994 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 1994 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 adalah berdasarkan perhitungan rata-rata angsuran bulanan tahun lalu, yaitu sebesar Rp 750.000,00 (9 x Rp 1.000.000,00 : 12).<br /> <br /> Ayat (3) dan Ayat (4)<br />apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menghasilkan angsuran pajak lebih besar dari pada angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, maka angsuran bulanan dihitung menurut surat ketetapan pajak terakhir.<br /> <br />Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan jumlah angsuran pajak yang lebih besar dari jumlah angsuran pajak bulan sebelumnya, maka angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak terakhir. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.<br /> <br /> Contoh : <br />Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 1994 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1992 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00. Selanjutnya dalam bulan Oktober 1994 diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1993 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 1.500.000,00.<br /> <br />Berdasarkan ketentuan pada ayat (3), maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Maret 1995 adalah sebesar Rp 1.500.000,00 dengan perhitungan angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 1993, sedangkan besarnya angsuran pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (2).<br /> <br />Selanjutnya apabila dalam bulan Oktober 1995 diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak 1994 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan sebesar Rp 1.750.000,00, maka berdasarkan ketentuan pada ayat (4), besarnya angsuran pajak mulai bulan Nopember 1995 adalah sebesar Rp.1.750.000,00<br /> <br /> Ayat (5)<br />Apabila pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan lebih kecil dari pada pajak yang telah dibayar, dipotong, dan dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan, dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan utang pajak lain, sebelum Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan mengenai pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak tersebut, besarnya angsuran bulanan adalah sama dengan angsuran pajak bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.<br /> <br />Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka angsuran bulanan dari bulan berikutnya setelah tanggal keputusan itu, dihitung berdasarkan keputusan tersebut.<br /> <br /> Contoh :<br />Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995 menunjukkan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 40.000.000,00, sedangkan angsuran bulanan dalam tahun 1994 sebesar Rp 1.000.000,00.<br /> <br />Atas permohonan pengembalian pembayaran pajak tahun 1994 tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan bulan Agustus 1995 yang menghasilkan besarnya angsuran untuk setiap bulan menjadi nihil. <br />Berdasarkan ketentuan ini besarnya angsuran pajak setiap bulan untuk bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 1995 sebesar Rp 1.000.000,00 dan mulai bulan September 1995 adalah nihil.<br /> <br /> Ayat (6)<br />Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br /> <br /> Contoh 1 :<br /> - Penghasilan PT. X tahun 1994 Rp 120.000.000,00<br /> - Sisa kerugian tahun sebelumnya<br /> yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00<br /> - Sisa kerugian yang belum di-<br /> kompensasikan tahun 1994 Rp 30.000.000,00<br /> <br /> Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 1995 adalah:<br /> - Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak <br /> Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = <br /> Rp 90.000.000,00<br /> - Pajak Penghasilan terutang :<br /> 10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00<br /> 15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00<br /> 30 % x Rp 40.000.000,00 = Rp 12.000.000,00<br /> ------------------------- (+)<br /> Rp 18.250.000,00<br /> ==============<br /> <br />Apabila pada tahun 1994 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT. X tahun 1995 = 1/12 x Rp 18.250.000,00 = Rp 1.520.833,33 (dibulatkan Rp.1.520.833,00 ).<br /> <br /> Contoh 2 :<br />Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 1994 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari pengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 1994 sebesar Rp 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 1994, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 1995 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.<br /> <br /> Contoh 3 :<br />Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT. B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 1995 membayar angsuran bulanan sebesar Rp.15.000.000,00.<br /> <br />Dalam bulan Juni 1995 pabrik milik PT. B terbakar, oleh karena itu berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 1995 angsuran bulanan PT. B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00.<br /> <br />Sebaliknya apabila PT. B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka kewajiban angsuran bulanan PT. B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /> <br /> Ayat (7)<br />Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.<br /> <br />Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.<br /> <br />Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br /> <br />Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.<br /> <br />Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu yang angsuran pajaknya dapat dihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.<br /> <br /> Ayat (8)<br />Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun. <br />Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara, pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelaziman internasional, dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.<br /> <br /> Angka 28<br /> Pasal 26<br />Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.<br /> <br />Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.<br /> <br /> Ayat (1)<br />Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20 % (dua puluh persen) dari jumlah bruto.<br /> <br /> Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam <br /> <br />1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk deviden, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br /> 2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;<br /> 3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun;<br /> 4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.<br /> <br />Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subyek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subyek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20 % (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.<br /> <br />Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20 % (dua puluh persen).<br /> <br /> Ayat (2) dan Ayat (3)<br />Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjulan harta dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.<br /> <br />Ketentuan ini tidak ditetapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).<br /> <br /> Ayat (4)<br />Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).<br /> <br /> Contoh :<br /> Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia <br /> Rp 17.500.000.000,00 <br /> <br /> Pajak Penghasilan :<br /> 10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00<br /> 15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00 <br /> 30 % x Rp 17.425.000.000,00 = Rp 5.235.000.000,00<br /> ---------------------------------- (+)<br /> Rp 5.241.250.000,00<br /> ------------------------------------- (-)<br /> Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp 12.258.750.000,00<br /> Pajak Penghasilan yang dipotong sebesar 20 % Rp. 2.451.750.000,00<br /> ===================<br /> <br />Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut sebesar Rp.12.258.750.000,00 ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.<br /> <br /> Ayat (5)<br />Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.<br /> <br /> Contoh : <br />A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT. B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1995. Pada tanggal 20 April 1995 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 1995. Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 1995. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 1995 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT. B.<br /> <br />Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 1995, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT. B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.<br /> <br /> Angka 29<br /> Pasal 27<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 30<br /> Judul Bab VI diganti menjadi "PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN".<br /> <br /> Angka 31<br /> Pasal 28<br /> Ayat (1)<br />Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.<br /> <br /> Contoh :<br /> Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,00<br /> Kredit pajak :<br /> Pemotongan pajak dari <br /> pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00<br /> Pemungutan pajak oleh pihak <br /> lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00<br /> Pemotongan pajak dari modal <br /> (Pasal 23) Rp 5.000.000,00<br /> Kredit pajak luar negeri <br /> (Pasal 24) Rp 15.000.000,00<br /> Dibayar sendiri oleh Wajib <br /> Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00<br /> --------------------------- (+)<br /> Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,00<br /> ------------------------- (-)<br /> Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,00<br /> ==============<br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 32<br /> Pasal 28 A<br />Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.<br /> <br />Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah :<br /> <br /> a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang;<br />b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.<br /> <br />Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.<br /> <br />Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.<br /> <br /> Angka 33<br /> Pasal 29<br />Ketentuan Pasal ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunnan Pajak Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun takwim, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 September.<br /> <br /> Angka 34<br /> Pasal 30<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 35<br /> Pasal 31<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 36<br /> Pasal 31 A<br />Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.<br /> <br />Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan ini dapat pula diberikan untuk mendorong perkembangan daerah yang terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan<br /> <br /> Kemudahan yang diberikan terbatas dalam bentuk :<br /> a. penyusutan dan amortisasi yang lebih dipercepat;<br /> b. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun;<br />c. pengurangan Pajak Penghasilan atas deviden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.<br /> <br />Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara atau negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.<br /> <br /> Angka 37<br /> Pasal 32<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 38<br /> Pasal 33 A<br /> Ayat (1)<br />Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 1995 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun takwim), maka tahun buku tersebut adalah tahun pajak 1994. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. <br />Sedangkan bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995, wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 1995 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.<br /> <br /> Ayat (2) dan Ayat (3)<br />Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai fasilitas perpajakan tentang saat mulai berproduksi yang diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 1995 dapat menikmati fasilitas perpajakan yang diberikan sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan yang bersangkutan. Dengan demikian sejak 1 Januari 1995 keputusan tentang saat mulai berproduksi tidak diterbitkan lagi.<br /> <br /> Ayat (4)<br />Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud.<br /> <br />Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditanda tangani setelah berlakunya Undang-undang ini.<br /> <br /> Angka 39<br /> Pasal 34<br /> Cukup jelas<br /> <br /> Angka 40<br /> Pasal 35<br />Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diaturdalam Undang-undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan agar Undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.<br /> <br />Pasal II<br /> Cukup jelas<br /> <br />Pasal III<br /> Cukup jelas<br /> <br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3567<br /><br /><br /><br />UNDANG-UNDANG<br />Nomor 17 Tahun 2000<br />Ditetapkan Tanggal 2 Agustus 2000<br /> <br />PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br /> <br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /> <br /> <br />Menimbang :<br />bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;<br /> <br />Mengingat :<br />1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999; <br />2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); <br />3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);<br /> <br />Dengan Persetujuan<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />MEMUTUSKAN :<br /> <br />Menetapkan :<br />UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.<br /> <br />Pasal I<br />Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang :<br />a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);<br />b. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567); diubah sebagai berikut :<br /> <br /> <br />1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 2<br />1. Yang menjadi Subjek Pajak adalah : <br />a. 1) orang pribadi; <br />b. 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; <br />c. badan; <br />d. bentuk usaha tetap. <br />2. Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. <br />3. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah : <br />a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; <br />b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; <br />c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. <br />4. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah : <br />a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; <br />b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. <br />5. Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : <br />a. tempat kedudukan manajemen; <br />b. cabang perusahaan; <br />c. kantor perwakilan; <br />d. gedung kantor; <br />e. pabrik; <br />f. bengkel; <br />g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; <br />h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; <br />i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; <br />j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; <br />k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; <br />l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia. <br />6. Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.#<br />2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 3<br />Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :<br />a. badan perwakilan negara asing; <br />b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; <br />c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : <br />1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; <br />2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; <br />d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.#<br /> <br />3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat (3) huruf a dan huruf f diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 4<br />1. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : <br />a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; <br />b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; <br />c. laba usaha; <br />d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : <br />1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; <br />2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; <br />3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; <br />4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; <br />e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; <br />f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; <br />g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; <br />h. royalti; <br />i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; <br />j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; <br />k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; <br />l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; <br />m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; <br />n. premi asuransi; <br />o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; <br />p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. <br />2. Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />3. Yang Tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah : <br />a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;<br />2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; <br />b. warisan; <br />c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; <br />d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah; <br />e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; <br />f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : <br />1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan <br />2. bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut; <br />g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; <br />h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; <br />i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi; <br />j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha; <br />k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : <br />1. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan <br />2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.# <br />4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf h, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :<br />#Pasal 6<br />1. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : <br />a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; <br />b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; <br />c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; <br />d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; <br />e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing; <br />f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; <br />g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan; <br />h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : <br />1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; <br />2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; <br />3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan <br />4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak,yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. <br />2. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. <br />3. Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.#<br /> <br />5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 7<br />1. Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar : <br />1. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; <br />2. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; <br />3. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); <br />4. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. <br />2. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. <br />3. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.#<br />6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:<br /> <br />#Pasal 9<br />1. Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : <br />a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; <br />b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; <br />c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; <br />d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; <br />e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; <br />f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; <br />g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; <br />h. Pajak Penghasilan; <br />i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; <br />j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; <br />k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. <br />2. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A.#<br />7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (9), dan ayat (11) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 11<br /> (1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. <br /> (2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. <br /> (3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. <br /> (4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih,dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. <br /> (5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut. <br /> (6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut :<br /> <br /> <br /> Kelompok Harta Berwujud Masa Tarif penyusutan<br /> Manfaat sebagaimana dimaksud dalam<br />Ayat (1) Ayat (2)<br /> <br />I. Bukan bangunan<br /> Kelompok 1 4 tahun 25% 50%<br /> Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%<br /> Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%<br /> Kelompok 4 20 tahun 5% 10%<br /> <br />II. Bangunan<br /> Permanen 20 tahun 5%<br /> Tidak Permanen 10 tahun 10% <br /> <br /> (7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. <br /> (8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut. <br /> (9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut. <br /> (10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. <br /> (11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.#<br />8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11A berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 11A<br />1. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas. <br />2. Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut :<br /> <br /> <br /> Kelompok Harta Masa Tarif Amortisasi berdasarkan<br /> Tak Berwujud Manfaat metode<br />Garis Lurus Saldo Menurun <br /> <br /> Kelompok 1 4 tahun 25% 50%<br /> <br /> Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%<br /> <br /> Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%<br /> <br /> Kelompok 4 20 tahun 5% 10% <br /> <br /> <br />3. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). <br />4. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. <br />5. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud dalam ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. <br />6. Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). <br />7. Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut. <br />8. Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.# <br />9. Ketentuan Pasal 14 Ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, serta ayat (6) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 14<br />1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. <br />2. Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. <br />3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. <br />4. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. <br />5. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. <br />6. Dihapus. <br />7. Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.#<br /> <br />10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 17<br />1. Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi : <br /> a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut : <br /> Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak <br /> sampai dengan Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) 5% (lima persen)<br /> di atas Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) s.d. Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 10% (sepuluh persen)<br /> di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 15% (lima belas persen)<br /> di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) s.d. Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 25% (dua puluh lima persen)<br /> di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 35% (tiga puluh lima persen)<br /> b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut : <br /> Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak<br /> sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 10% (sepuluh persen)<br /> di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 15% (lima belas persen)<br /> di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen)<br />2. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen). <br />3. Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. <br />4. Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. <br />5. Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. <br />6. Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari. <br />7. Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).#<br />11. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5) dihapus, serta diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 18<br />1. Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. <br />2. Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut : <br />a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau <br />b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor. <br />3. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.<br />(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.<br />4. Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila : <br />a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau <br />b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau <br />c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat. <br />5. dihapus.#<br /> <br />12. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan ayat (7) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 21<br />1. Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh : <br />a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; <br />b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan; <br />c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun; <br />d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; <br />e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. <br />2. Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. <br />3. Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. <br />4. Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. <br />5. Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. <br />6. dihapus. <br />7. dihapus. <br />8. Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.#<br /> <br />13. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dana ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 23<br />1. Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan : <br />a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : <br />1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; <br />2. bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; <br />3. royalti; <br />4. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; <br />b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; <br />c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas : <br />1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; <br />2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. <br />2. Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. <br />3. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). <br />4. Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas : <br />a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank; <br />b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi; <br />c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f; <br />d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j; <br />e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i; <br />f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; <br />g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.# <br />14. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 25<br />1. Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan : <br />a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan <br />b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. <br />2. Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. <br />3. dihapus. <br />4. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. <br />5. dihapus. <br />6. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu : <br />a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian; <br />b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; <br />c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; <br />d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; <br />e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; <br />f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. <br />7. Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. <br />8. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. <br />9. Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini.#<br />15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 26<br />1. Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan : <br />a. dividen; <br />b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; <br />c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; <br />d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; <br />e. hadiah dan penghargaan; <br />f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya. <br />2. Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. <br />3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. <br />4. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan. <br />5. Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali : <br />a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; <br />b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.# <br />16. Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 A berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 31 A<br />(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :<br />a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;<br />b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;<br />c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan<br />d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah;<br />(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.#<br /> <br />17. Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang masuk dalam BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai berikut :<br />#Pasal 31 B<br />1. Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas : <br />a. pembebasan utang; <br />b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang; <br />c. perubahan utang menjadi penyertaan modal; <br />2. Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.<br /> <br />Pasal 31 C<br />1. Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar. <br />2. Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.#<br /> <br />18. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :<br /> <br />#Pasal 32<br /> <br />Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun2000.#<br />19. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:<br /> <br />#Pasal 32 A<br />Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.#<br /> <br />Pasal II<br />Undang-undang ini dapat disebut #Undang-undang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan <br />1984.#<br /> <br />Pasal III<br />Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /> <br />Disahkan di : Jakarta<br />pada tanggal : 2 Agustus 2000<br /> <br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />ttd<br />ABDURRAHMAN WAHID<br /> <br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 2 Agustus 2000<br /> <br />SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,<br />ttd<br />DJOHAN EFFENDI<br /> <br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127<br /> <br />PENJELASAN<br />ATAS<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 17 Tahun 2000<br />TENTANG<br />PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG<br />NOMOR 7 Tahun 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN<br /> <br />I. UMUM<br />1. Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. <br />2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. <br />3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut : <br />a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; <br />b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; <br />c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. <br />4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut : <br />a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. <br />b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan. <br />c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. <br /> <br />II. PASAL DEMI PASAL<br />Pasal I<br />Angka 1<br />Pasal 2<br />Ayat (1)<br />Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.<br />Huruf a<br />Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.<br />Huruf b<br />Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.<br />Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu :<br />1. dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; <br />2. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; <br />3. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan <br />4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.<br />Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan.<br />Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.<br />Huruf c<br />Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.<br />Ayat (2)<br />Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.<br />Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :<br />a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. <br />b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. <br />c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.<br />Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.<br />Ayat (3)<br />Huruf a<br />Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.<br />Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.<br />Huruf b<br />Cukup jelas<br />Huruf c<br />Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.<br />Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.<br />Ayat (4)<br />Huruf a dan huruf b<br />Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. <br />Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri.<br />Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.<br />Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.<br />Ayat (5)<br />Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.<br />Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.<br />Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.<br />Ayat (6)<br />Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.<br />Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadan yang sebenarnya. <br />Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.<br />Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.<br />Angka 2<br />Pasal 3<br />Huruf a dan huruf b<br />Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.<br />Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.<br />Huruf c<br />Cukup jelas<br />Huruf d<br />Cukup jelas<br />Angka 3<br />Pasal 4<br />Ayat (1)<br />Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.<br />Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.<br />Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :<br />• penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; <br />• penghasilan dari usaha dan kegiatan; <br />• penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; <br />• penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.<br />Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.<br />Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.<br />Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.<br />Huruf a<br />Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.<br />Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.<br />Huruf b<br />Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.<br />Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.<br />Huruf c<br />Cukup Jelas<br />Huruf d<br />Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.<br />Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). <br />Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar <br />Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.<br />Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.<br />Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.<br />Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil <br />termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br />Huruf e<br />Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak.Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.<br />Huruf f<br />Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan <br />pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.<br />Huruf g<br />Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau <br />pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen <br />adalah :<br />1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; <br />2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; <br />3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; <br />4. pembagian laba dalam bentuk saham; <br />5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; <br />6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; <br />7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; <br />8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; <br />9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; <br />10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; <br />11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; <br />12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.<br />Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.<br />Huruf h<br />Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan :<br />1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan; <br />2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya; <br />3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.<br />Huruf i<br />Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.<br />Huruf j<br />Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya #alimentasi# atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.<br />Huruf k<br />Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.<br /> <br />Huruf l<br />Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat azas.<br />Huruf m<br />Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.<br />Huruf n<br />Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.<br />Huruf o<br />Cukup jelas<br />Huruf p<br />Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.<br />Ayat (2)<br />Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Objek Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.<br />Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. <br />Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.<br />Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.<br />Ayat (3)<br />Huruf a<br />Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999tentang Pengelolaan Zakat.<br />Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan Objek Pajak.<br />Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri <br />Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.<br />Huruf b<br />Cukup Jelas<br />Huruf c<br />Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan Objek Pajak.<br />Huruf d<br />Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan merupakan Objek Pajak.<br />Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkannorma penghitungan khusus deemed profit, maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.<br />Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.<br />Huruf e<br />Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1)huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.<br />Huruf f<br />Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerimadividen tersebut memperoleh penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dalam ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, bank pembangunan daerah, dan Pertamina.<br />Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badanbadan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan Objek Pajak.<br />Huruf g<br />Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.<br />Huruf h<br />Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatifatau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />Huruf i<br />Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badantersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak.<br />Huruf j<br />Perusahaan reksa dana adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali,atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan reksadana merupakan salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya.<br />Dalam rangka mendorong tumbuhnya perusahaan reksadana, maka bunga obligasi yang diterima oleh perusahaan reksadana dikecualikan sebagai Objek Pajak selama lima tahun pertama sejak perusahaan reksadana tersebut didirikan atau sejak diperolehnya izin usaha.<br />Huruf k<br />Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.<br />Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, maka dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan Objek Pajak.<br />Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.<br />Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan padaperusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.<br />Angka 4<br />Pasal 6<br />Ayat (1)<br />Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.<br />Huruf a<br />Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.<br />Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br />Contoh :<br />Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari :<br />a. penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf h sebesar Rp 100.000.000,00<br />b. penghasilan bruto lainnya sebesar Rp 300.000.000,00 <br />Jumlah penghasilan bruto Rp 400.000.000,00<br /> ==============<br /> <br />Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar # x Rp 200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00. <br />Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.<br />Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br />Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.<br />Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.<br />Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br />Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel dan Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.<br />Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br />Huruf b<br />Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.<br />Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.<br />Huruf c<br />Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br />Huruf d<br />Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.<br />Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.<br />Huruf e<br />Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.<br />Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter dapat dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing tersebut.<br />Huruf f<br />Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.<br />Huruf g<br />Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.<br />Huruf h<br />Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.<br />Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, namun dapat juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.<br />Ayat (2)<br />Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.<br />Contoh :<br />PT. A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp. 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :<br /> 1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00<br /> 1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)<br /> 1998 : laba fiskal Rp N I H I L<br /> 1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00<br /> 2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00<br /> Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :<br /> Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00<br /> ------------------------------ (+)<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)<br /> Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00)<br /> ------------------------------ (+)<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 1998 Rp N I H I L<br /> ------------------------------ (+)<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00<br /> ------------------------------ (+)<br /> Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)<br /> Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00<br /> ------------------------------ (+)<br />Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)<br />Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.<br />Ayat (3)<br />Dalam menghitung Laba Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br />Angka 5<br />Pasal 7<br />Ayat (1)<br />Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. <br />Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.<br />Contoh :<br />Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 8.640.000,00 {Rp 2.880.000,00 + Rp 1.440.000,00 + (3 x Rp 1.440.000,00)}. <br />Sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2.880.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 11.520.000,00 (Rp 8.640.000,00 + Rp 2.880.000,00).<br />Ayat (2)<br />Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.<br />Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2001 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.<br />Ayat (3)<br />Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.<br />Angka 6<br />Pasal 9<br />Ayat (1)<br />Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. <br />Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan <br />memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.<br />Huruf a<br />Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.<br />Huruf b<br />Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.<br />Huruf c<br />Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi dikemudian <br />hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk usaha bank, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, <br />cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />Huruf d<br />Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.<br />Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.<br />Huruf e<br />Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.<br />Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.<br />Huruf f<br />Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.<br />Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).<br />Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.<br />Huruf g<br />Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada tahun zakat tersebut dibayarkan.<br />Huruf h<br />Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.<br />Huruf i<br />Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut <br />tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.<br />Huruf j<br />Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.<br />Huruf k<br />Cukup Jelas<br />Ayat (2)<br />Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.<br />Angka 7<br />Pasal 11<br />Ayat (1) dan ayat (2)<br />Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan batu bata.<br />Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.<br />Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah :<br />a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau<br />b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas.<br />Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.<br />Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.<br />Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.<br />Contoh penggunaan metode garis lurus :<br />Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 : 20).<br />Contoh penggunaan metode saldo menurun :<br />Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut :<br /> <br /> <br />Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku<br />Harga Perolehan 150.000.000,00<br /> <br />2000 50% 75.000.000,00 75.000.000,00<br />2001 50% 37.500.000,00 37.500.000,00<br />2002 50% 18.750.000,00 18.750.000,00<br />2003 disusutkan sekaligus 18.750.000,00 0<br /> <br />Ayat (3) dan ayat (4)<br />Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. <br />Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.<br />Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.<br />Contoh 1.<br />Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2000 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2001. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2001.<br />Contoh 2.<br />Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut :<br /> <br /> <br />Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku<br /> <br />Harga Perolehan 100.000.000,00<br />2000 ½ X 50% 25.000.000,00 75.000.000,00<br />2001 50% 37.500.000,00 37.500.000,00<br />2002 50% 18.750.000,00 18.750.000,00<br />2003 50% 9.375.000,00 9.375.000,00<br />2004 disusutkan sekaligus 9.375.000,00 0<br /> <br />Contoh 3.<br />PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2000.<br />Ayat (5)<br />Cukup jelas<br />Ayat (6)<br />Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.<br />Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.<br />Ayat (7)<br />Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.<br />Ayat (8) dan ayat (9)<br />Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.<br />Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br />Ayat (10)<br />Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar Jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.<br />Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.<br />Ayat (11)<br />Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.<br />Angka 8<br />Pasal 11 A<br />Ayat (1)<br />Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode:<br />a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau;<br />b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.<br />Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.<br />Ayat (2)<br />Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. <br />Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. <br />Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas<br />Ayat (4)<br />Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.<br />Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.<br />Ayat (5)<br />Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasiberdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.<br />Contoh :<br />Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp 100.000.000,00.<br />Ayat (6)<br />Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.<br />Ayat (7)<br />Contoh :<br />PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut :<br /> Harga perolehan Rp 500.000.000,00<br /> Amortisasi yang telah dilakukan<br /> 100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp 250.000.000,00<br /> Nilai buku harta Rp 250.000.000,00<br /> Harga jual harta Rp 300.000.000,00<br /> <br />Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.<br />Ayat (8)<br />Cukup jelas<br />Angka 9<br />Pasal 14<br />Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.<br />Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.<br />Ayat (1)<br />Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan Norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:<br />a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau<br />b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.<br />Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.<br />Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.<br />Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)<br />Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.<br />Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.<br />Ayat (5)<br />Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :<br />a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;<br />b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan;<br />sehingga karena itu mengakibatkan peredaran bruto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan netonya dapat dihitung dengan cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />Ayat (6)<br />Cukup jelas<br />Ayat (7)<br />Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.<br />Angka 10<br />Pasal 17<br />Ayat (1)<br />Huruf a<br />Contoh penghitungan Pajak Terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi<br />Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00<br />Pajak Penghasilan terutang :<br />5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00<br />10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00<br />15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00<br />25% x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00<br />35% x Rp. 50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00<br /> --------------------------- (+)<br /> Rp 53.750.000,00 <br /> <br />Huruf b<br />Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap :<br />Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00<br />Pajak Penghasilan terutang :<br />10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00<br />15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00<br /> 30% x Rp.150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00<br /> -------------------------- (+)<br /> Rp 57.500.000,00 <br /> <br />Ayat (2)<br />Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.<br />Ayat (3)<br />Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.<br />Ayat (4)<br />Contoh :<br />Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.Ayat (5) dan ayat (6)<br />Contoh<br />Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4))Rp 34.816.000,00 <br />Pajak Penghasilan setahun :<br /> 5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00<br />10% x Rp 9.816.000,00 = Rp 981.600,00<br /> ------------------------ (+)<br /> Rp 2.231.600,00<br /> <br />Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)(3x30) : 360 x Rp 2.231.600,00 = Rp. 557.900,00<br />Ayat (7)<br />Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur dalam ayat (1). <br />Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.<br />Angka 11<br />Pasal 18<br />Ayat (1)<br />Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio).<br />Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.<br />Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.<br />Ayat (2)<br />Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.<br />Contoh :<br />PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. <br />Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. <br />Dalam tahun 2000 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp 100.000.000,00.<br />Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.<br />Ayat (3)<br />Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. <br />Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.<br />Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.<br />Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.<br />Ayat (3a)<br />Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.<br />Ayat (4)<br />Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :<br />a. kepemilikan atau penyertaan modal;<br />b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.<br />Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.<br />Huruf a<br />Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.<br />Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.<br />Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.<br />Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.<br />Huruf b<br />Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.<br />Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.<br />Huruf c<br />Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara.<br />Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.<br />Ayat (5)<br />Cukup jelas<br />Angka 12<br />Pasal 21<br />Ayat (1)<br />Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.<br />Huruf a<br />Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.<br />Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem.<br />Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.<br />Huruf b<br />Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.<br />Huruf c<br />Dana pensiun atau badan lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.<br />Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak, yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari tua.<br />Huruf d<br />Dalam pengertian badan termasuk organisasi internasioal yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.<br />Huruf e<br />Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. <br />Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan misalnya kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas<br />Ayat (3)<br />Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.<br />Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunantermasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.<br />Ayat (4)<br />Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.<br />Ayat (5)<br />Cukup jelas<br />Ayat (6)<br />Cukup jelas<br />Ayat (7)<br />Cukup jelas<br />Ayat (8)<br />Cukup jelas<br />Angka 13<br />Pasal 23<br />Ayat (1)<br />Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.<br />Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan neto.<br />Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.<br />Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.<br />Ayat (2)<br />Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto. <br />Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto, Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihak yang terkait.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas<br />Angka 14<br />Pasal 25<br />Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.<br />Ayat (1)<br />Contoh 1 :<br />Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2000 Rp 50.000.000,00 dikurangi :<br />a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00<br />b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00<br />c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00<br />d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00<br /> -------------------------- (+)<br /> Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00<br /> -------------------------- (-)<br /> Selisih Rp 15.000.000,00<br /> <br />Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).<br />Contoh 2 :<br />Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2000, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2001 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 <br />dibagi 6).<br />Ayat (2)<br />Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).<br />Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.<br />Contoh :<br />Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.<br />Apabila dalam bulan September 2000 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2000 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 tetap sama dengan angsuran bulan Desember yaitu nihil.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas<br />Ayat (4)<br />Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.<br />Contoh :<br />Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00.<br />Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />Ayat (5)<br />Cukup jelas<br />Ayat (6)<br />Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br />Contoh 1 :<br /> Penghasilan PT X tahun 2000 Rp 120.000.000,00<br /> Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp150.000.000,00<br />Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2000 Rp 30.000.000,00<br />Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2001 adalah :<br />Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00.Pajak Penghasilan terutang :<br /> 10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00<br /> 15% x Rp 40.000.000,00 = Rp 6.000.000,00<br /> -------------------------- (+)<br />Rp 11.000.000,00<br />Apabila pada tahun 2000 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp 11.000.000,00 = Rp 916.666,67 (dibulatkan Rp 916.666,00).<br />Contoh 2 :<br />Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2000 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 2000 sebesar Rp 72.000.000,00. <br />Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 2000, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2001 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.<br />Contoh 3 :<br />Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2000 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00.<br />Dalam bulan Juni 2000 pabrik milik PT B terbakar, oleh karena itu berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00.<br />Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br />Ayat (7)<br />Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.<br />Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.<br />Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.<br />Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.<br />Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, yang angsuran pajaknya dapat dihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.<br />Ayat (8)<br />Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara, pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelaziman internasional, dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.<br />Ayat (9)<br />Sebagaimana diatur dalam ayat (7), besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, ditetapkan tersendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan. Angsuran pokok bagi Wajib Pajak tersebut, merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, sepanjang Wajib Pajak tersebut tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Apabila Wajib Pajak tersebut juga menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, maka dalam menghitung pajaknya, seluruh penghasilannya digunggungkan dan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum, sedangkan pajak yang telah dibayar merupakan kredit pajak.<br />Angka 15<br />Pasal 26<br />Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.<br />Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.<br />Ayat (1)<br />Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.<br />Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam :<br />1) penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap sehubungan dengan interest swap dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;<br />2) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;<br />3) hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun;<br />4) pensiun dan pembayaran berkala lainnya.<br />Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.<br />Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).<br />Ayat (2) dan ayat (3)<br />Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan harta dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.<br />Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).<br />Ayat (4)<br />Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).<br />Contoh :<br />Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia Rp 17.500.000.000,00<br />Pajak Penghasilan :<br />10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00<br />15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00<br />30% x Rp 17.400.000.000,00 = Rp 5.220.000.000,00<br /> --------------------------------- (+)<br /> Rp 5.232.500.000,00 (-)<br />Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp 12.267.500.000,00<br />Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang<br /> 20% X 12.267.500.000 = Rp 2.453.500.000,00<br /> <br />Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak sebesar Rp 12.267.500.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.<br />Ayat (5)<br />Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.<br />Contoh :<br />A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001. Pada tanggal 20 April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2001.<br />Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2001 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.<br />Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2001, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.<br />Angka 16<br />Pasal 31 A<br />Ayat (1)<br />Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.<br />Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan pajak juga diberikan untuk mendorong pengembangan daerah terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan.<br />Fasilitas perangsang penanaman ini dapat dinikmati selama 6 (enam) tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak berhak mengurangkan dari penghasilan neto sebesar 5% (lima persen) dari jumlah realisasi penanaman.<br />Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas<br />Angka 17<br />Pasal 31 B<br />Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap sektor perbankan, usaha investasi, kesempatan kerja, dan makro ekonomi. Hal tersebut terjadi terutama karena banyaknya utang luar negeri dan dalam negeri (dalam valuta asing) yang mengalami kenaikan drastis sebagai akibat terdepresiasinya secara signifikan nilai rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Dalam rangka upaya pemulihan kegiatan perekonomian nasional Pemerintah perlu menempuh kebijakan khusus restrukturisasi utang. Restrukturisasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembebasan (sebagian atau seluruh) utang, pengalihan harta untuk Prakarsa Jakarta.<br />Ayat (1)<br />Fasilitas pajak yang diberikan masa berlakunya terbatas hanya untuk tahun-tahun pajak 2000, 2001 dan 2002. Adapun fasilitas pajak yang dimaksud adalah berupa keringanan Pajak Penghasilan dalam bentuk :<br />a. pembebasan sebagian serta pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang atas pembebasan utang yang diberikan oleh kreditur;<br />b. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang sepanjang harta tersebut dinilai sebesar nilai buku pihak yang mengalihkan;<br />c. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas perubahan utang menjadi penyertaan modal sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar utang.<br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br /> Pasal 31 C<br /> Ayat (1)<br /> Cukup jelas<br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br /> Angka 18<br /> Pasal 32<br /> Cukup jelas<br /> Angka 19<br /> Pasal 32 A<br />Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara.<br /> <br />PASAL II<br />Cukup Jelas<br /> <br />PASAL III<br />Cukup jelas<br /> <br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3985<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PERATURAN PEMERINTAH<br />NOMOR 29 TAHUN 1996<br />Ditetapkan tanggal 18 April 1996<br />PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang :<br />a. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilandari persewaan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek PajakPenghasilan; <br />b. bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan wajib melunasiPajak Penghasilan atas penghasilan tersebut; <br />c. bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dengan peraturan pemerintah;<br />Mengingat :<br />1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; <br />2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan TataCara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566); <br />3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3263);sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILANATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN. <br />Pasal 1<br />Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.<br />Pasal 2<br />Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang atau dipotong oleh penyewa yang bertindak sebagai Pemotong Pajak.<br />Pasal 3<br />1. Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanahdan/atau bangunan dan bersifat final. <br />2. Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.<br />Pasal 4<br />1. Dalam hal atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh mulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku telah dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka pemotongan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final. <br />2. Dalam hal atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh mulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku telah dipotong PajakPenghasilan yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ataubelum dipotong Pajak Penghasilan, maka Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari persewaantanah dan/atau bangunan wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang kurang atau belumdipotong sejumlah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan pembayaran Pajak Penghasilan tersebut bersifat final. <br />3. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dipenuhi, maka penghasilan daripersewaan tanah dan/atau bangunan tersebut dikenakan pajak berdasarkan tarif umum sesuaidengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimantelah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan berlaku sanksi-sanksinyasesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />Pasal 5<br />Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />Pasal 6<br />Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 18 April 1996<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />S O E H A R T O<br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 18 April 1996<br />MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA<br />REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />M O E R D I O N O<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 46 <br />________________________________________<br />PENJELASAN ATAS<br />PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 29 TAHUN 1996<br />TENTANG<br />PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN<br /> <br />UMUM<br />Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, maka penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang tersebut. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka perlu diatur cara pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah.<br />PASAL DEMI PASAL<br />Pasal 1<br /> Cukup jelas<br />Pasal 2 <br />Apabila yang membayar sewa tanah dan/atau bangunan tersebut bukan Pemotong Pajak Penghasilan, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh yang menyewakan sebagai berikut : <br />a. Sebesar 6% (enam persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final dalam hal yang menyewakan adalah Wajib Pajak badan; <br />b. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan bersifat final dalam hal yang menyewakan adalah orang pribadi. <br />Apabila yang membayar sewa tanah dan/atau bangunan tersebut adalah Pemotong PajakPenghasilan, maka Pajak Penghasilan yang terutang dipotong oleh penyewa atau yangmembayarkan sebagai berikut : <br />a. Sebesar 6% (enam persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan danbersifat final dalam hal yang menyewakan adalah Wajib Pajak badan; <br />b. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan danbersifat final dalam hal yang menyewakan adalah orang pribadi. <br />Pasal 3a<br /> Ayat (1)<br /> Cukup jelas<br /> Ayat (2)<br /> Cukup jelas<br />Pasal 4<br /> Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) <br />Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperolehmulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku, pengenaan PajakPenghasilannya adalah : <br />a. Apabila penghasilan tersebut telah dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 sebesar 6% (enam persen) untuk Wajib Pajak badan atau sebesar 12% (dua belas persen) untuk Wajib Pajak orang pribadi, dan atas pemotongan Pajak Penghasilan tersebut ditetapkan sebagai pemotongan pajak yang bersifat final. <br />b. Apabila atas penghasilan tersebut belum dipotong Pajak Penghasilan atau telah dipotong Pajak Penghasilan yang jumlahnya kurang dari 6% (enam persen) untuk Wajib Pajak badan atau kurang dari 10% (sepuluh persen) untuk Wajib Pajak orang pribadi, maka atas kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut wajib dibayar sendiri oleh yang menyewakan, dan atas pembayaran Pajak Penghasilan tersebut ditetapkan sebagai pemotongan pajak yang bersifat final. <br />c. Apabila atas kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut tidak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, maka atas penghasilan tersebut akan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. <br /><br />Pasal 5<br /> Cukup jelas<br />Pasal 6<br /> Cukup jelas<br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3636<br /><br /><br /><br /><br />PERATURAN PEMERINTAH <br />NOMOR 5 TAHUN 2002 <br />Ditetapkan Tanggal 23 Maret 2002<br />PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan dari persewaan tanah dan/ atau bangunan baik badan maupun orang pribadi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ atau Bangunan; <br />Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945; <br />2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); <br />3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); <br />4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3636); <br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN. <br />Pasal 1<br />Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ atau Bangunan, diubah sebagai berikut : <br />1. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: <br />"Pasal 2<br />(1) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang diterima atau diperoleh dari penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh penyewa. <br />(2) Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan."<br />2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: <br />"Pasal 3<br />Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/ atau bangunan dan bersifat final."<br />Pasal II<br />Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002. <br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /> <br /> Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 Maret 2002<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />MEGAWATI SOEKARNOPUTRI<br /> <br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 Maret 2002<br />SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA<br />ttd<br />BAMBANG KESOWO<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 10<br />________________________________________<br />PENJELASAN<br />ATAS<br />PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 5 TAHUN 2002<br />TENTANG <br />PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN<br />UMUM<br />Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ atau Bangunan, telah ditetapkan tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima badan dari persewaan tanah dan/ atau bangunan sebesar 6% (enam persen) dan atas penghasilan yang diterima orang pribadi dari persewaan tanah dan/ atau bangunan sebesar 10% (sepuluh persen). Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan dari persewaan tanah dan/ atau bangunan tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan tarif yang sama yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) baik atas penghasilan yang diterima badan maupun orang pribadi. <br />PASAL DEMI PASAL<br />Pasal 1<br />Angka 1<br />Pasal 2 <br />Cukup jelas<br />Angka 2 <br />Pasal 3<br />Cukup Jelas <br />Pasal II<br />Cukup jelas<br /> <br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4174<br /> <br />Salinan sesuai dengan aslinya<br />Deputi Sekretaris Kabinet<br />Bidang Hukum dan<br />Perundang-undangan,<br /> <br />Lombock V. NahattandsUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-75994154671195516532009-06-04T22:34:00.000-07:002009-06-04T22:35:28.836-07:00MASA KREDIT PAJAKPENJELASAN<br />ATAS<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 18 TAHUN 2000<br />TENTANG<br />PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983<br />TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA<br />DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br /><br /><br />Ayat (9)<br />Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara lain karena Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan, dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.<br />Contoh :<br />Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2001 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2001 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lambat Masa Pajak Oktober 2001.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8516098465371532886.post-74827247094277738222009-06-04T22:33:00.001-07:002009-06-04T22:34:17.517-07:00KASUS KURS PAJAK FAKTUR PAJAKTANGGAPAN ATAS SURAT PT KEY MANAGEMENT CONSULTANT<br />Sehubungan surat Saudara tanggal 25 Februari 2000 dan faksimile tanggal 14 Maret 2000 dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat dan faksimile tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut :<br /> a. Pertanyaan PPh :<br /> 1) Pada saat pendirian dalam tahun 1996, modal dasar suatu PT adalah sebesar US $100,000 dan modal yang ditempatkan sebesar US $25,000 dengan kurs Rp. 2.500,00. Pada tahun 1998 terdapat sisa modal yang belum ditempatkan sebesar US $75,000 dan disetor penuh dengan kurs Rp. 7.500,00. Atas permasalahan tersebut, Saudara menanyakan perlakuan perpajakan terhadap selisih kurs yang terjadi.<br /> 2) Berkaitan dengan kunjungan seminggu sekali ke klien yang dilaksanakan oleh perusahaan Saudara untuk memberikan jasa konsultan di bidang manajemen, Saudara menanyakan apakah kegiatan ini termasuk dalam pengertian ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen sesuai SE-02/PJ.42/2000 tanggal 11 Februari 2000.<br /> b. Pertanyaan PPN :<br /> 1) Apakah pengenaan PPN terutang sebesar 1% x harga jual emas perhiasan yang disamakan dengan PKP Pedagang Eceran yang diatur dalam SE-31/PJ.52/1995 tanggal 11 Juli 1995 tentang pengkreditan Pajak Masukan atas impor dan penyerahan emas batangan yang PPN-nya Ditanggung oleh Pemeritah (PPN-DTP) serta atas penyerahan emas perhiasan jo. SE-58/PJ.52/1995 4 Desember 1995 tentang penyempurnaan ke-1 atas SE-31/PJ.52/1995 - seri PPN 23-95 masih berlaku, mengingat dengan berlakunya Keppres Nomor 37 Tahun 1998 tanggal 9 Maret 1998 maka atas impor dan penyerahan emas batangan di dalam Daerah Pabean tidak lagi ditanggung oleh Pemerintah.<br /> 2) Apabila masih berlaku, bagaimana tata cara pengisian Faktur Pajak Standar, dikaitkan dengan pengenaan tarif 1% tersebut.<br />2. Pajak Penghasilan :<br /> a. Pertanyaan sehubungan dengan keuntungan selisih kurs pada saat penyetoran modal.<br /> 1) Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan<br />Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan menyelenggarakan pembukuan yang diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.<br /> 2) Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dibuah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal tidak termasuk sebagai objek pajak.<br /> 3) Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 330/KMK.04/1999 tentang Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-45/PJ.42/1999 antara lain diatur bahwa untuk transaksi dalam tahun berjalan yang dilakukan dengan mata uang dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan.<br /> 4) PSAK No. 21 tentang Akuntansi Ekuitas antara lain mengatur bahwa jenis saham yang dalam akta pendiriannya dalam bentuk Rupiah, setoran saham dalam bentuk mata uang asing dinilai dengan kurs berlaku pada tanggal setoran.<br /> 5) Berdasarkan uraian di atas dengan ini ditegaskan :<br /> - Pencatatan transaksi yang menyangkut modal dalam pembukuan Wajib Pajak dilakukan pada saat dilakukannya penyetoran modal.<br /> Dengan demikian, perbedaan kurs yang terjadi pada saat penempatan modal dan saat penyetorannya tidak menyebabkan keuntungan atau kerugian karena selisih kurs.<br /> - Dalam hal Wajib Pajak telah diijinkan untuk menggunakan mata uang dollar dalam pembukuannya, setoran modal yang diterima dalam mata uang dollar dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan.<br /> - Dalam hal Wajib Pajak menggunakan mata uang Rupiah dalam pembukuannya, penyetoran modal dicatat sebesar jumlah setoran dalam mata uang dollar yang dikonversi ke dalam mata uang Rupiah yang berlaku pada saat transaksi.<br /> b. Pertanyaan sehubungan dengan keikutsertaan secara langsung dalam jasa konsultasi manajemen.<br /> 1) Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 antara lain diatur bahwa jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen.<br /> 2) Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-02/PJ.42/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Jasa Manajemen dan Jasa Konsultan di Bidang Manajemen, dalam pengertian umum yang dimaksud dengan jasa konsultan adalah pemberian advis profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.<br />Pengertian terlibat langsung dalam hal ini adalah apabila konsultan yang bersangkutan ikut serta dalam pelaksanaan manajemen atau terlibat dalam pengendalian manajemen klien yang bersangkutan.<br /> 3) Berdasarkan uraian tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa kunjungan seminggu sekali ke klien untuk memberikan jsa konsultan di bidang manajemen sepanjang PT Key Management Consultant tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan manajemen klien yang bersangkutan, maka pemberian advis profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan bukanlah termasuk dalam pengertian ikut serta secara langsung.<br />3. Pajak Pertambahan Nilai<br /> a. Berdasarkan Pasal 4 huruf a dan b jo. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (UU PPN), PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha sebesar 10%.<br /> b. Berdasarkan Pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999, PKP Toko Emas dan PKP Pabrikan Emas Perhiasan termasuk dalam pengertian Pedagang Eceran, yaitu tidak bertindak sebagai penyalur kepada pedagang lainnya dan menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir.<br /> c. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1986 jo. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1996, atas impor dan penyerahan emas batangan PPN yang terutang Ditanggung Pemerintah (DTP). Dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1998 jo butir 7 huruf b SE-31/PJ.51/1998 tanggal 2 Juni 1998, atas impor dan penyerahan emas batangan terutang PPN.<br /> d. Sesuai butir 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-58/PJ.52/1995 tanggal 4 Desember 1995, PKP Toko Emas maupun PKP Pabrikan Emas Perhiasan yang menggunakan norma dalam penghitungan PPN yang harus disetor disamakan dengan PKP Pedagang Eceran yang menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.<br /> e. Sesuai SE-31/PJ.52/1995 tanggal 11 Juli 1995, agar PPN atas penyerahan emas batangan yang DTP dapat dinikmati baik oleh PKP yang terkait dalam mata rantai industri emas dan perdagangan emas maupun oleh konsumen, sehingga perlakuan PPN atas usaha di bidang emas diatur khusus yang antara lain adalah PKP Toko Emas/PKP Pabrikan Emas Perhiasan dapat menghitung PPN yang harus dibayar oleh PKP yang bersangkutan adalah sebagai berikut :<br /> - PPN yang terutang = 10% x Harga Jual Emas Perhiasan<br /> - PPN DTP atas emas murni yang terkandung dalam emas perhiasan dan Pajak Masukan lainnya yang dapat dikreditkan = 90% x PPN yang terutang.<br /> - PPN yang harus dipungut dari pembeli dan dibayar ke kas negara<br /> = (100% - 90%) x 10% Harga Jual Emas Perhiasan atau 1% x harga Jual Emas Perhiasan.<br /> f. Sesuai butir 1.4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : 06/PJ.52/1995 tanggal 15 Pebruari 1995 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ.52/1996 tanggal 4 Juni 1996, PPN yang harus dibayar ke Kas Negara untuk PKP Pedagang Eceran ditetapkan sebesar 1% dari DPP dan jumlah tersebut merupakan hasil penghitungan antara Pajak Keluaran dan Pajak Masukan, sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang berhubungan dengan kegiatan usaha tidak dapat dikreditkan lagi, kecuali jika Pedagang Eceran tersebut memilih menghitung PPN yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan umum penghitungan PPN.<br /> g. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :<br /> 1) Dengan berlakunya Keppres Nomor 37 Tahun 1998, secara yuridis SE-31/PJ.52/1995 dan SE-58/PJ.52/1995 sudah tidak berlaku sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1998 yaitu sejak 9 Maret 1998.<br />Dengan demikian maka pengusaha emas perhiasan yang membeli emas batangan sebagai bahan baku wajib membayar PPN yang terutang sebesar 10%. Oleh karena itu mekanisme dalam uraian kedua Surat Edaran tersebut tidak berlaku lagi sejak tanggal 9 Maret 1998, sehingga pengusaha emas perhiasan dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan, sesuai dengan mekanisme yang umum berlaku.<br /> 2) Dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1998 tanggal 9 Maret 1998 maka PKP Toko Emas dan PKP Pabrikan Emas dapat memilih sebagai Pedagang Eceran atau sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian PKP Toko Emas dan PKP Pabrikan Emas Perhiasan dapat memilih menghitung PPN yang terutang dengan memilih Nilai Lain sebagai DPP (pengenaan tarif efektif 1%) atau tidak memilih Nilai Lain sebagai DPP (menggunakan mekanisme perhitungan yang umum berlaku sehingga PKP Pabrikan Emas Perhiasan dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan).<br /> 3) Tata cara pengisian Faktur Pajak Standar, mengikuti aturan yang berlaku sesuai Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengna Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (UU PPN 1984).<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUN<br /><br /><br />SURAT<br />S-270/PJ.311/2000<br />Ditetapkan tanggal 6 Juli 2000<br />TANGGAPAN ATAS SURAT PT KEY MANAGEMENT CONSULTANT<br />Sehubungan surat Saudara tanggal 25 Februari 2000 dan faksimile tanggal 14 Maret 2000 dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Dalam surat dan faksimile tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut :<br /> a. Pertanyaan PPh :<br /> 1) Pada saat pendirian dalam tahun 1996, modal dasar suatu PT adalah sebesar US $100,000 dan modal yang ditempatkan sebesar US $25,000 dengan kurs Rp. 2.500,00. Pada tahun 1998 terdapat sisa modal yang belum ditempatkan sebesar US $75,000 dan disetor penuh dengan kurs Rp. 7.500,00. Atas permasalahan tersebut, Saudara menanyakan perlakuan perpajakan terhadap selisih kurs yang terjadi.<br /> 2) Berkaitan dengan kunjungan seminggu sekali ke klien yang dilaksanakan oleh perusahaan Saudara untuk memberikan jasa konsultan di bidang manajemen, Saudara menanyakan apakah kegiatan ini termasuk dalam pengertian ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen sesuai SE-02/PJ.42/2000 tanggal 11 Februari 2000.<br /> b. Pertanyaan PPN :<br /> 1) Apakah pengenaan PPN terutang sebesar 1% x harga jual emas perhiasan yang disamakan dengan PKP Pedagang Eceran yang diatur dalam SE-31/PJ.52/1995 tanggal 11 Juli 1995 tentang pengkreditan Pajak Masukan atas impor dan penyerahan emas batangan yang PPN-nya Ditanggung oleh Pemeritah (PPN-DTP) serta atas penyerahan emas perhiasan jo. SE-58/PJ.52/1995 4 Desember 1995 tentang penyempurnaan ke-1 atas SE-31/PJ.52/1995 - seri PPN 23-95 masih berlaku, mengingat dengan berlakunya Keppres Nomor 37 Tahun 1998 tanggal 9 Maret 1998 maka atas impor dan penyerahan emas batangan di dalam Daerah Pabean tidak lagi ditanggung oleh Pemerintah.<br /> 2) Apabila masih berlaku, bagaimana tata cara pengisian Faktur Pajak Standar, dikaitkan dengan pengenaan tarif 1% tersebut.<br />2. Pajak Penghasilan :<br /> a. Pertanyaan sehubungan dengan keuntungan selisih kurs pada saat penyetoran modal.<br /> 1) Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan<br />Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan menyelenggarakan pembukuan yang diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.<br /> 2) Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dibuah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain diatur bahwa harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal tidak termasuk sebagai objek pajak.<br /> 3) Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 330/KMK.04/1999 tentang Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-45/PJ.42/1999 antara lain diatur bahwa untuk transaksi dalam tahun berjalan yang dilakukan dengan mata uang dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan.<br /> 4) PSAK No. 21 tentang Akuntansi Ekuitas antara lain mengatur bahwa jenis saham yang dalam akta pendiriannya dalam bentuk Rupiah, setoran saham dalam bentuk mata uang asing dinilai dengan kurs berlaku pada tanggal setoran.<br /> 5) Berdasarkan uraian di atas dengan ini ditegaskan :<br /> - Pencatatan transaksi yang menyangkut modal dalam pembukuan Wajib Pajak dilakukan pada saat dilakukannya penyetoran modal.<br /> Dengan demikian, perbedaan kurs yang terjadi pada saat penempatan modal dan saat penyetorannya tidak menyebabkan keuntungan atau kerugian karena selisih kurs.<br /> - Dalam hal Wajib Pajak telah diijinkan untuk menggunakan mata uang dollar dalam pembukuannya, setoran modal yang diterima dalam mata uang dollar dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan.<br /> - Dalam hal Wajib Pajak menggunakan mata uang Rupiah dalam pembukuannya, penyetoran modal dicatat sebesar jumlah setoran dalam mata uang dollar yang dikonversi ke dalam mata uang Rupiah yang berlaku pada saat transaksi.<br /> b. Pertanyaan sehubungan dengan keikutsertaan secara langsung dalam jasa konsultasi manajemen.<br /> 1) Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984 antara lain diatur bahwa jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen.<br /> 2) Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-02/PJ.42/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Jasa Manajemen dan Jasa Konsultan di Bidang Manajemen, dalam pengertian umum yang dimaksud dengan jasa konsultan adalah pemberian advis profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.<br />Pengertian terlibat langsung dalam hal ini adalah apabila konsultan yang bersangkutan ikut serta dalam pelaksanaan manajemen atau terlibat dalam pengendalian manajemen klien yang bersangkutan.<br /> 3) Berdasarkan uraian tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa kunjungan seminggu sekali ke klien untuk memberikan jsa konsultan di bidang manajemen sepanjang PT Key Management Consultant tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan manajemen klien yang bersangkutan, maka pemberian advis profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan bukanlah termasuk dalam pengertian ikut serta secara langsung.<br />3. Pajak Pertambahan Nilai<br /> a. Berdasarkan Pasal 4 huruf a dan b jo. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (UU PPN), PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha sebesar 10%.<br /> b. Berdasarkan Pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999, PKP Toko Emas dan PKP Pabrikan Emas Perhiasan termasuk dalam pengertian Pedagang Eceran, yaitu tidak bertindak sebagai penyalur kepada pedagang lainnya dan menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir.<br /> c. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1986 jo. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1996, atas impor dan penyerahan emas batangan PPN yang terutang Ditanggung Pemerintah (DTP). Dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1998 jo butir 7 huruf b SE-31/PJ.51/1998 tanggal 2 Juni 1998, atas impor dan penyerahan emas batangan terutang PPN.<br /> d. Sesuai butir 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-58/PJ.52/1995 tanggal 4 Desember 1995, PKP Toko Emas maupun PKP Pabrikan Emas Perhiasan yang menggunakan norma dalam penghitungan PPN yang harus disetor disamakan dengan PKP Pedagang Eceran yang menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.<br /> e. Sesuai SE-31/PJ.52/1995 tanggal 11 Juli 1995, agar PPN atas penyerahan emas batangan yang DTP dapat dinikmati baik oleh PKP yang terkait dalam mata rantai industri emas dan perdagangan emas maupun oleh konsumen, sehingga perlakuan PPN atas usaha di bidang emas diatur khusus yang antara lain adalah PKP Toko Emas/PKP Pabrikan Emas Perhiasan dapat menghitung PPN yang harus dibayar oleh PKP yang bersangkutan adalah sebagai berikut :<br /> - PPN yang terutang = 10% x Harga Jual Emas Perhiasan<br /> - PPN DTP atas emas murni yang terkandung dalam emas perhiasan dan Pajak Masukan lainnya yang dapat dikreditkan = 90% x PPN yang terutang.<br /> - PPN yang harus dipungut dari pembeli dan dibayar ke kas negara<br /> = (100% - 90%) x 10% Harga Jual Emas Perhiasan atau 1% x harga Jual Emas Perhiasan.<br /> f. Sesuai butir 1.4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : 06/PJ.52/1995 tanggal 15 Pebruari 1995 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ.52/1996 tanggal 4 Juni 1996, PPN yang harus dibayar ke Kas Negara untuk PKP Pedagang Eceran ditetapkan sebesar 1% dari DPP dan jumlah tersebut merupakan hasil penghitungan antara Pajak Keluaran dan Pajak Masukan, sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang berhubungan dengan kegiatan usaha tidak dapat dikreditkan lagi, kecuali jika Pedagang Eceran tersebut memilih menghitung PPN yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan umum penghitungan PPN.<br /> g. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :<br /> 1) Dengan berlakunya Keppres Nomor 37 Tahun 1998, secara yuridis SE-31/PJ.52/1995 dan SE-58/PJ.52/1995 sudah tidak berlaku sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1998 yaitu sejak 9 Maret 1998.<br />Dengan demikian maka pengusaha emas perhiasan yang membeli emas batangan sebagai bahan baku wajib membayar PPN yang terutang sebesar 10%. Oleh karena itu mekanisme dalam uraian kedua Surat Edaran tersebut tidak berlaku lagi sejak tanggal 9 Maret 1998, sehingga pengusaha emas perhiasan dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan, sesuai dengan mekanisme yang umum berlaku.<br /> 2) Dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1998 tanggal 9 Maret 1998 maka PKP Toko Emas dan PKP Pabrikan Emas dapat memilih sebagai Pedagang Eceran atau sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian PKP Toko Emas dan PKP Pabrikan Emas Perhiasan dapat memilih menghitung PPN yang terutang dengan memilih Nilai Lain sebagai DPP (pengenaan tarif efektif 1%) atau tidak memilih Nilai Lain sebagai DPP (menggunakan mekanisme perhitungan yang umum berlaku sehingga PKP Pabrikan Emas Perhiasan dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan).<br /> 3) Tata cara pengisian Faktur Pajak Standar, mengikuti aturan yang berlaku sesuai Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengna Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (UU PPN 1984).<br />Demikian untuk dimaklumi.<br />A.n. DIREKTUR JENDERAL<br />DIREKTUR,<br />ttd<br />IGN MAYUN WINANGUNUnknownnoreply@blogger.com0