Tuesday, October 27, 2009

PAJAK KERJASAMA OPERASI (JOINT OPERATION)

PERMOHONAN PENEGASAN PENGENAAN PAJAK



Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal XXX, dan Nomor XXX tanggal XXX, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.

Dalam sura tersebut Saudara mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1.

Dalam rangka pelaksanaan suatu kontrak Jasa dengan salah satu Kontraktor Production Sharing (KPS) XXX, PT. ABC akan membentuk suatu Kerja Sama Operasi (KSO) dengan 2 perusahaan swasta lainnya, yaitu PT. DEF dan YYY dengan nama KSO HWI;
2.

Lingkup pekerjaan HWI adalah :




1)


Jasa Rekayasa Teknis;




2)


Jasa Manajemen Material;




3)


Jasa Supervisi Konstruksi;




4)


Jasa Manajemen Kontrak;




5)


Jasa Manajemen peraltan Konstruksi;




6)


Jasa Pelaksana Konstruksi.

1.

Dalam surat tersebut Saudara membreikan contoh transaksi yang Saudara lakukan yang berhubungan dengan jasa konstruksi, jasa sertifikasi dan jasa perantara;
2.

Saudara mohon penegasan atas Permasalahan yang berhubungan dengan Kerjasama Operasi.
1.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur :
1.

Pasal 2 ayat (1) huruf b, yang menjadi Subjek Pajak adalah antara lain badan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang atau orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana;
2.

Pasal 23 ayat (1) huruf c, atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong oleh pihak yang membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.
2.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh, antara lain diatur :
1.

Pasal 1
Ayat (1)
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya;
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruti untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.
2.

Lampiran II angka 3, Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin/listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, perkiraan penghasilan nrtonya adalah 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;
3.

Lmpiran II angka 4 huruf a dan b, perkiraan penghasilan neto untuk jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi adalah 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;
4.

Lampiran II angka 2 huruf a, perkiraan penghasilan neto untuk jasa teknik dan jasa manajemen adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;
5.

Lampiran II angka 2 huruf m, perkiraan penghasilan neto untuk jasa perantara adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;
6.

Lampiran II angka 1 huruf d, perkiraan penghasilan neto untuk jasa penilai adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
3.

Sesuai dengan Romawi I angka 1 Suar Edaran Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan :




1)


Jenis usaha jasa konstruksi adalah terdiri atas usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi;




2)


Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk perawatannya;

1.

Sesuai dengan Romawi I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.222/1984 tentang Jasa Teknik dan Jasa Manajemen Menurut Pasal 23 dan Pasal 26 UU PPH, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik ialah pemberian jasa dalam bentuk pembeiran informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalambidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan.
2.

Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ./1994 tentang pemecahan Bukti Potong PPh Pasal 23 antara lain ditegaskan bahwa atas penghasilan berupa bunga, sewa dan lain-lain yang diterima atau diperoleh Joint Operation (J.O) dari WP Badan Dalam Negeri dan perorangan yang ditunjuk, dipotong Pasal 23. Pemotongan tersebut tidak akan diperhitungkan sebagai kredit pajak para anggotanya sejalan dengan perhitungan penghasilan tersebut pada penghasilan J.O. Adapun besarnya PPh Pasal 23 yang dapat dikreditkan adalah sesuai dengan perjanjian J.O yang telah disepakati bersama. Agar pengkreditan pemotongan PPh Pasal 23 sejalan dengan pengkreditan oleh para anggota J.O, maka Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota.
3.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan :
1.

Kerjasama Operasi (KSO) adalah merupakan kerjasama operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan. Dengan demikian bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana dimakusd dalam Pasal 2 huruf b UU PPh, dan oleh karenanya pengenaan PPh atas penghasilan dari proyek ersebut dikenakan pada masing-masing badan anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya;
2.

Mengingat bahwa Kerjasama Operasi bukan merupakan Subjek Pajak, maka Kerjasama Operasi tidak berkewajiban utnuk menyampaikan laporan dan membayar PPh Pasal 25 serta PPh Pasal 29, sedangkan kewajiban yang ada hanya sebagai Wajib Pajak pemotong/pemungut PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atau PPN;
3.

Pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil (KPS) membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26 atas nama KSO qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing.
4.

Pemberian NPWP adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan dan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN yang dilakukan oleh KSO terhadap objek atas imbalan yang dibayarkan.
5.

Tarif PPh Pasal 23 transaksi yang Saudara contohkan adalah sebagai berikut :




1)


Atas Jasa pelaksanaan konstruksi wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% X 13 1/3% atau 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;




2)


Atas jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 26 2/3% atau 4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;




3)


Jasa sertifikasi termasuk dalam jasa penulai sehingga wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 50% atau 7,5% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;




4)


Jasa subkontrak yang dilakukan oleh KSO kepada perusahaan lain termasuk dalam Jasa perantara sehingga wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;

Demikian harap maklum.




A.n.


Direktur
Direktur Peraturan Perpajakan,

ttd.

Herry Sumardjito
NIP 060061993

Tembusan :

1.

Direktur Jenderal Pajak;
2.

Direktur Pajak Penghasilan;
3.

Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus;
4.

Kepala KPP PMA Lima.



Perhitungan Pajak Atas Joint Operation
bman, 2 Januari 2008
Saya ingin bertanya mengenai masalah perhitungan pajak atas perusahaan joint operation,cara pembukuannya dan apa ada landasan hukum yang mengatur tentang JO. Terima kasih

Jawaban :
7 Januari 2008
Yth. Bman

Pengertian Joint Operation
Pengertian JO dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut bahwa JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.
Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative JO.
a. Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
b. Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.

Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Atas JO
Kecuali reksadana, penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak secara spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak. Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan.
a. Aspek PPh - Administrative JO.
Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh pasal 21/ pasal 23/ pasal 26/ pasal 4 ayat 2). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya.
Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak dapat mengkreditkan PPh pasal 23 yang dipotong oleh Project Owner pada saat pembayaran uang muka dan termin. Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh pasal 23 tersebut sebagai kredit pajak, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 mengatur mekanisme pemecahan bukti potong sebagai berikut:
1. Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan / atau pemotongan PPh pasal 23, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong kepada Project Owner yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh pasal 23 atas nama JO.qq. perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.
2. Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 23 atas nama JO, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 23 kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian melalui proses pemindahbukuan masing-masing anggota JO dapat mengkreditkan PPh pasal 23 tersebut.
Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 juncto KEP-161/PJ/2001 mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa Administrative JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK 12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode equity.
b. Aspek PPh Non-Administrative JO
Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 23 tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).
Perlakuan PPN Atas JO
Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002 diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama Operasi termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-Administrative JO yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-masing anggota, Administrative–JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.