Wednesday, June 3, 2009

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 855/KMK.01/1993

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43/KMK.01/1996

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 855/KMK.01/1993
TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR
DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 88/KMK.01/1995

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri serta
mendorong ekspor non migas, dipandang perlu menyempurnakan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
855/KMK.01/1993 tanggal 23 Oktober 1993 yang telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 88/KMK.01/1995 tanggal 14 Februari 1995;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Pengusaha Kena Pajak
Berstatus Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan
Berikat (KB);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 tentang Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
88/KMK.01/1995;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 855/KMK.01/1993 TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE)
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR :
88/KMK.01/1995.


Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 88/KMK.01/1995 sebagai berikut :

1. Mengubah Pasal 2 ayat (5), dan ayat (6), serta menambah ayat baru dengan ayat (8), yang berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 2

(5) Pengeluaran barang dan/atau bahan dari EPTE ke perusahaan industri di DPIL atau EPTE
lainnya atau Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang tidak dipungut.

(6) Penyerahan kembali Barang Kena Pajak (BKP) hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) kepada PKP EPTE, PPN
dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(8) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama
dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor".


2. Menambah Pasal 13a, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 13a

(1) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, menggunakan Formulir EPTE-7 yang diberi
cap "Fasilitas Bapeksta Keuangan LPS-KB/EPTE Nomor ...... tanggal ...... dengan Kontrak
Nomor ...... tanggal ........... ".

(2) Penyerahan barang oleh produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari dalam DPIL ke
EPTE wajib disertai LPS-KB/EPTE yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh
Pemerintah.

(3) Formulir EPTE-7 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diisi secara lengkap dan benar oleh
Pengusaha EPTE dalam rangkap 4 untuk selanjutnya diajukan kepada Pejabat Hanggar di
EPTE.

(4) Pejabat Hanggar di EPTE berdasarkan Formulir EPTE-7 memberikan persetujuan masuk pada
Formulir EPTE-7 dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Bapeksta Keuangan;
d. Produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan".


3. Mengubah Pasal 18, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 18

(1) Pengusaha EPTE dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahan kepada
perusahaan industri yang berada di dalam DPIL, Pengusaha EPTE, Perusahaan Pengolahan Di
Kawasan Berikat (PPDKB), kecuali pekerjaan pemeriksaan awal dan pemeriksaan akhir,
sortasi dan pengepakan.

(2) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh jenis produk
dan harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya
barang dan/atau bahan dari EPTE.

(3) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan melalui kontrak
yang sekurang-kurangnya memuat jangka waktu, jumlah barang dan/atau bahan yang
diterima dari Pengusaha EPTE, dan jumlah hasil pekerjaan yang dikembalikan kepada
Pengusaha EPTE.

Khusus terhadap pekerjaan subkontrak kepada perusahaan industri yang berada di dalam
DPIL harus mempertaruhkan jaminan yang diserahkan kepada Bendaharawan Kantor
Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE, berupa :
a. Jaminan Bank; atau
b. Surety Bond atau Custome Bond yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang
disetujui Menteri Keuangan; atau
c. Surat Sanggup Bayar (SSB) yang diendorse oleh Bank yang disetujui oleh Menteri
Keuangan.

(4) Penyerahan barang dan/atau bahan dari Pengusaha EPTE kepada perusahaan industri
pelaksana subkontrak di dalam DPIL dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A
sebagaimana contoh dalam Lampiran XI-A dalam rangkap dua.

Pekerjaan sub kontrak dari Pengusaha EPTE ke Pengusaha EPTE lainnya atau PPDKB
dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A yang dilampiri Formulir EPTE-9 atau
EPTE-10.

(5) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11A untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11A dilampiri EPTE-9/EPTE-10 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima pekerjaan
subkontrak yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk
selanjutnya berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan
terhadap barang dan/atau bahan yang akan diserahkan kepada pelaksana subkontrak.

(6) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan pengeluaran pada Formulir EPTE-11A dan mendistribusikannya untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB).

(7) Penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP subkontraktor di dalam DPIL
kepada Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11-B sebagaimana
contoh dalam Lampiran XIB dalam rangkap 2 (dua).

Khusus penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak dari Pengusaha EPTE/PPDKB ke
Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11B dengan dilampiri Formulir
EPTE-9 atau KB-6.

(8) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11B untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11B dilampiri EPTE-9/KB-6 untuk perusahaan penerima pekerjaan subkontrak PPDKB
yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk selanjutnya
berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan terhadap
barang dan/atau bahan yang akan dimasukkan kembali ke dalam EPTE.

(9) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan masuk pada Formulir tersebut dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan sub kontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB)".


4. Mengubah Pasal 19, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 19

(1) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke dalam DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat dengan tujuan reparasi dan/atau dipinjamkan kepada perusahaan industri/
sub-kontraktor sebagai alat produksi untuk membuat barang yang dipesan oleh perusahaan
EPTE, dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-12 untuk penerima subkontrak di DPIL
atau EPTE-12 yang dilampiri EPTE-9/KB-7 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima
subkontrak. Formulir PTE-12 sebagaimana contoh Lampiran XII dalam rangkap 4 (empat)
masing-masing untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Peminjam mesin di EPTE/PPDK (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB);
d. KPP tempat penerima pinjaman mesin terdaftar menjadi Wajib Pajak.

(2) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bea
Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 serta PPN dan
PPn BM ditangguhkan. Khusus untuk DPIL dengan menyerahkan Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) kepada Bendaharawan Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE asal mesin dan/atau peralatan pabrik.

(3) Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diizinkan dalam jangka waktu paling lama:
a. Untuk tujuan reparasi, 12 (dua belas) bulan sejak mesin dan/atau peralatan pabrik
dikeluarkan dari EPTE;
b. Untuk tujuan dipinjamkan, 24 (dua puluh empat) bulan sejak mesin dan/atau
peralatan pabrik dikeluarkan dari EPTE.

(4) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat, dan pemasukannya kembali ke EPTE, dilakukan pemeriksaan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(5) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke luar negeri dengan tujuan reparasi
dilakukan dengan menggunakan formulir EPTE-8".


5. Menyempurnakan Formulir EPTE-12 sehingga menjadi sebagaimana dimaksud dalam lampiran
Keputusan ini.


6. Mengubah Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 20

(2) Barang yang akan dikeluarkan ke dalam DPIL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebanyak-banyaknya berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dari nilai realisasi ekspor
dan/atau pemindahan ke EPTE lainnya/PPDKB.

(3) Pengaturan jumlah pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
terhadap pengiriman barang dalam rangka subkontrak.


7. Mengubah Pasal 28, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 28

Dalam hal diperlukan pengaturan teknis lebih lanjut atas Keputusan ini, pengaturannya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Pajak, Kepala Bapeksta Keuangan baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing".


Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR'IE MUHAMMAD




PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, dipandang perlu memberikan kemudahan di bidang perpajakan;
b. bahwa kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean
ke dalam EPTE/KB, dan tidak dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE/KB;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 16B Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994,
dipandang perlu mengatur pemberian kemudahan di bidang perpajakan tersebut dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS
ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT
(KB).


Pasal 1

(1) Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut EPTE adalah suatu tempat atau
bangunan dari suatu perusahaan industri dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan
ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, perpajakan dan tata niaga impor, yang diperuntukkan
bagi pengolahan barang dan/atau bahan yang berasal dari luar daerah pabean Indonesia, Kawasan
Berikat, EPTE lainnya, atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama
untuk tujuan ekspor.

(2) Kawasan Berikat (Bonded Zone) ialah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean
Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang
yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa
terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan/atau pungutan negara lainnya sampai barang
tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau reekspor.


Pasal 2

Atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam EPTE/KB diberikan
penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.


Pasal 3

(1) Penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut.

(2) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada
perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih
lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang
yang diekspor.


Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.


Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas dan
Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993, dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MOERDIONO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 4





PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

UMUM

Dalam rangka untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, maka dipandang perlu memberikan kemudahan (fasilitas) di bidang
perpajakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean, dan tidak
dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan B
arang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE dan perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak
yang berlaku, maka dipandang perlu mengatur pemberian fasilitas di bidang perpajakan tersebut dengan
Peraturan Pemerintah.


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Dengan ketentuan ini, maka ketentuan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas
dan Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993 yang
menyangkut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tidak berlaku lagi.
Ketentuan selebihnya, masih berlaku.

Pasal 6

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3621


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43/KMK.01/1996

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 855/KMK.01/1993
TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR
DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 88/KMK.01/1995

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri serta
mendorong ekspor non migas, dipandang perlu menyempurnakan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
855/KMK.01/1993 tanggal 23 Oktober 1993 yang telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 88/KMK.01/1995 tanggal 14 Februari 1995;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Pengusaha Kena Pajak
Berstatus Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan
Berikat (KB);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 tentang Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
88/KMK.01/1995;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 855/KMK.01/1993 TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE)
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR :
88/KMK.01/1995.


Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 88/KMK.01/1995 sebagai berikut :

1. Mengubah Pasal 2 ayat (5), dan ayat (6), serta menambah ayat baru dengan ayat (8), yang berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 2

(5) Pengeluaran barang dan/atau bahan dari EPTE ke perusahaan industri di DPIL atau EPTE
lainnya atau Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang tidak dipungut.

(6) Penyerahan kembali Barang Kena Pajak (BKP) hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) kepada PKP EPTE, PPN
dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(8) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama
dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor".


2. Menambah Pasal 13a, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 13a

(1) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, menggunakan Formulir EPTE-7 yang diberi
cap "Fasilitas Bapeksta Keuangan LPS-KB/EPTE Nomor ...... tanggal ...... dengan Kontrak
Nomor ...... tanggal ........... ".

(2) Penyerahan barang oleh produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari dalam DPIL ke
EPTE wajib disertai LPS-KB/EPTE yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh
Pemerintah.

(3) Formulir EPTE-7 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diisi secara lengkap dan benar oleh
Pengusaha EPTE dalam rangkap 4 untuk selanjutnya diajukan kepada Pejabat Hanggar di
EPTE.

(4) Pejabat Hanggar di EPTE berdasarkan Formulir EPTE-7 memberikan persetujuan masuk pada
Formulir EPTE-7 dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Bapeksta Keuangan;
d. Produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan".


3. Mengubah Pasal 18, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 18

(1) Pengusaha EPTE dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahan kepada
perusahaan industri yang berada di dalam DPIL, Pengusaha EPTE, Perusahaan Pengolahan Di
Kawasan Berikat (PPDKB), kecuali pekerjaan pemeriksaan awal dan pemeriksaan akhir,
sortasi dan pengepakan.

(2) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh jenis produk
dan harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya
barang dan/atau bahan dari EPTE.

(3) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan melalui kontrak
yang sekurang-kurangnya memuat jangka waktu, jumlah barang dan/atau bahan yang
diterima dari Pengusaha EPTE, dan jumlah hasil pekerjaan yang dikembalikan kepada
Pengusaha EPTE.

Khusus terhadap pekerjaan subkontrak kepada perusahaan industri yang berada di dalam
DPIL harus mempertaruhkan jaminan yang diserahkan kepada Bendaharawan Kantor
Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE, berupa :
a. Jaminan Bank; atau
b. Surety Bond atau Custome Bond yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang
disetujui Menteri Keuangan; atau
c. Surat Sanggup Bayar (SSB) yang diendorse oleh Bank yang disetujui oleh Menteri
Keuangan.

(4) Penyerahan barang dan/atau bahan dari Pengusaha EPTE kepada perusahaan industri
pelaksana subkontrak di dalam DPIL dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A
sebagaimana contoh dalam Lampiran XI-A dalam rangkap dua.

Pekerjaan sub kontrak dari Pengusaha EPTE ke Pengusaha EPTE lainnya atau PPDKB
dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A yang dilampiri Formulir EPTE-9 atau
EPTE-10.

(5) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11A untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11A dilampiri EPTE-9/EPTE-10 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima pekerjaan
subkontrak yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk
selanjutnya berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan
terhadap barang dan/atau bahan yang akan diserahkan kepada pelaksana subkontrak.

(6) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan pengeluaran pada Formulir EPTE-11A dan mendistribusikannya untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB).

(7) Penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP subkontraktor di dalam DPIL
kepada Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11-B sebagaimana
contoh dalam Lampiran XIB dalam rangkap 2 (dua).

Khusus penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak dari Pengusaha EPTE/PPDKB ke
Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11B dengan dilampiri Formulir
EPTE-9 atau KB-6.

(8) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11B untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11B dilampiri EPTE-9/KB-6 untuk perusahaan penerima pekerjaan subkontrak PPDKB
yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk selanjutnya
berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan terhadap
barang dan/atau bahan yang akan dimasukkan kembali ke dalam EPTE.

(9) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan masuk pada Formulir tersebut dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan sub kontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB)".


4. Mengubah Pasal 19, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 19

(1) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke dalam DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat dengan tujuan reparasi dan/atau dipinjamkan kepada perusahaan industri/
sub-kontraktor sebagai alat produksi untuk membuat barang yang dipesan oleh perusahaan
EPTE, dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-12 untuk penerima subkontrak di DPIL
atau EPTE-12 yang dilampiri EPTE-9/KB-7 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima
subkontrak. Formulir PTE-12 sebagaimana contoh Lampiran XII dalam rangkap 4 (empat)
masing-masing untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Peminjam mesin di EPTE/PPDK (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB);
d. KPP tempat penerima pinjaman mesin terdaftar menjadi Wajib Pajak.

(2) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bea
Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 serta PPN dan
PPn BM ditangguhkan. Khusus untuk DPIL dengan menyerahkan Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) kepada Bendaharawan Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE asal mesin dan/atau peralatan pabrik.

(3) Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diizinkan dalam jangka waktu paling lama:
a. Untuk tujuan reparasi, 12 (dua belas) bulan sejak mesin dan/atau peralatan pabrik
dikeluarkan dari EPTE;
b. Untuk tujuan dipinjamkan, 24 (dua puluh empat) bulan sejak mesin dan/atau
peralatan pabrik dikeluarkan dari EPTE.

(4) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat, dan pemasukannya kembali ke EPTE, dilakukan pemeriksaan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(5) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke luar negeri dengan tujuan reparasi
dilakukan dengan menggunakan formulir EPTE-8".


5. Menyempurnakan Formulir EPTE-12 sehingga menjadi sebagaimana dimaksud dalam lampiran
Keputusan ini.


6. Mengubah Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 20

(2) Barang yang akan dikeluarkan ke dalam DPIL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebanyak-banyaknya berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dari nilai realisasi ekspor
dan/atau pemindahan ke EPTE lainnya/PPDKB.

(3) Pengaturan jumlah pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
terhadap pengiriman barang dalam rangka subkontrak.


7. Mengubah Pasal 28, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 28

Dalam hal diperlukan pengaturan teknis lebih lanjut atas Keputusan ini, pengaturannya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Pajak, Kepala Bapeksta Keuangan baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing".


Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR'IE MUHAMMAD


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, dipandang perlu memberikan kemudahan di bidang perpajakan;
b. bahwa kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean
ke dalam EPTE/KB, dan tidak dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE/KB;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 16B Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994,
dipandang perlu mengatur pemberian kemudahan di bidang perpajakan tersebut dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS
ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT
(KB).


Pasal 1

(1) Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut EPTE adalah suatu tempat atau
bangunan dari suatu perusahaan industri dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan
ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, perpajakan dan tata niaga impor, yang diperuntukkan
bagi pengolahan barang dan/atau bahan yang berasal dari luar daerah pabean Indonesia, Kawasan
Berikat, EPTE lainnya, atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama
untuk tujuan ekspor.

(2) Kawasan Berikat (Bonded Zone) ialah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean
Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang
yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa
terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan/atau pungutan negara lainnya sampai barang
tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau reekspor.


Pasal 2

Atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam EPTE/KB diberikan
penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.


Pasal 3

(1) Penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut.

(2) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada
perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih
lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang
yang diekspor.


Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.


Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas dan
Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993, dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MOERDIONO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 4





PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

UMUM

Dalam rangka untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, maka dipandang perlu memberikan kemudahan (fasilitas) di bidang
perpajakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean, dan tidak
dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan B
arang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE dan perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak
yang berlaku, maka dipandang perlu mengatur pemberian fasilitas di bidang perpajakan tersebut dengan
Peraturan Pemerintah.


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Dengan ketentuan ini, maka ketentuan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas
dan Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993 yang
menyangkut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tidak berlaku lagi.
Ketentuan selebihnya, masih berlaku.

Pasal 6

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3621

KAWASAN BERIKAT

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
291/KMK.05/1997
Ditetapkan tanggal 26 Juni 1997
KAWASAN BERIKAT
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tentang Tempat Penimbunan Berikat berupa Kawasan Berikat dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3568);
4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
5. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3613);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638);
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.05/1997 tentang Tatalaksana Kepabeanan Di Bidang Impor;
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 488/KMK.05/1996 tentang Tata Laksana Kepabeanan Di Bidang Ekspor.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KAWASAN BERIKAT.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.
2. Penyelenggara Kawasan berikat (PKB) adalah perseroan terbatas, koperasi yang berbentuk badan hukum atau yayasan yang memiliki, menguasai, mengelola dan menyediakan sarana dan prasarana guna keperluan pihak lain di KB yang diselenggarakannya berdasarkan persetujuan untuk menyelenggarakan KB.
3. Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) adalah perseroan terbatas atau koperasi yang melakukan kegiatan usaha industri di KB.
4. Barang Modal atau Peralatan adalah barang yang dipergunakan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat dalam rangka pembangunan/konstruksi KB dan peralatan atau perlengkapan yang diperlukan seperti generating set, air conditioner atau peralatan listrik lainnya.
5. Peralatan Perkantoran adalah peralatan yang dibutuhkan untuk keperluan kantor Penyelenggara Kawasan Berikat yang tidak akan habis dipakai seperti komputer, mesin fotocopy, atau mesin fax.
6. Menteri adalah Menteri Keuangan.
7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
8. Kepala Kantor adalah Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi Kawasan Berikat yang bersangkutan.
9. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.
10. Kantor adalah Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
Pasal 2
Penetapan suatu kawasan atau tempat sebagai KB serta pemberian persetujuan PKB dilakukan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 3
(1) Perusahaan yang dapat diberikan persetujuan sebagai PKB adalah perusahaan:
a. dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);
b. dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau seluruh modal sahamnya dimiliki oleh peserta asing;
c. Non PMA/PMDN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT);
d. Koperasi yang berbentuk badan hukum; atau
e. Yayasan.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan PKB, perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mempunyai kawasan yang berlokasi di kawasan industri;
(3) Dalam hal kawasan yang dimiliki perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di dalam daerah yang tidak mempunyai kawasan industri, maka kawasan tersebut harus termasuk di dalam kawasan peruntukan industri yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II;
(4) Dalam hal suatu perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memiliki industri sebelum ditetapkannya Keputusan ini, perusahaan industri yang bersangkutan dapat ditetapkan menjadi PKB yang bertindak sebagai PDKB.
Pasal 4
(1) Permohonan persetujuan PKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, diajukan oleh pengusaha kepada Presiden RI melalui Menteri setelah fisik bangunan berdiri dengan menggunakan contoh dalam Lampiran I Keputusan ini, dengan melampirkan :
a. fotocopy Surat Persetujuan Usaha, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan dan Persetujuan lainnya yang diperlukan dari Instansi teknis terkait;
b. fotocopy Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau Yayasan yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang;
c. fotocopy bukti kepemilikan atau penguasaan suatu bangunan, tempat, atau Kawasan yang mempunyai batas-batas yang jelas (pagar pemisah);
d. fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan tahun terakhir bagi Perusahaan yang sudah wajib menyerahkan SPT;
e. peta lokasi/tempat yang akan dijadikan KB yang telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat;
g. Berita Acara Pemeriksaan Lokasi KB yang dibuat oleh Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuknya;
(2) pendapat dari Direktur Jenderal tentang dapat diberikannya persetujuan PKB.
a. Perusahaan yang akan menyelenggarakan KB dapat mengajukan permohonan persetujuan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum fisik bangunan berdiri dengan menggunakan contoh pada Lampiran I Keputusan ini dengan melampirkan :
b. fotocopy Surat Persetujuan Usaha Industri dan Persetujuan lainnya yang diperlukan dari Instansi teknis terkait;
c. fotocopy Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau Yayasan yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang;
d. fotocopy bukti kepemilikan atau penguasaan suatu bangunan atau tempat yang mempunyai batas-batas yang jelas (pagar pemisah);
f. fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan tahun terakhir bagi Perusahaan yang sudah wajib menyerahkan SPT;
g. rencana peta lokasi/tempat yang akan dijadikan KB;
(3) keterangan tertulis dari pemilik kawasan industri bahwa perusahaan tersebut berlokasi di kawasan industri yang bersangkutan beserta peta lokasi dan peta letak bangunan;pendapat dari Direktur Jenderal tentang dapat diberikannya persetujuan PKB.KB yang penyelenggaraanya dilakukan oleh PKB dapat diperuntukkan bagi satu perusahaan atau lebih yang melakukan kegiatan industri pengolahan.
Pasal 5
(1) Pengusaha yang telah mendapatkan persetujuan PDKB atau persetujuan berusaha di KB dari PKB wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal melalui PKB dalam waktu 14 (empat belas) hari sebelum memulai kegiatannya, dan menggunakan Lampiran II Keputusan ini dengan melampirkan :
a. bukti kepemilikan/penguasaan lokasi perusahaan industri di KB dilampiri surat rekomendasi PKB;
b. fotocopy Surat Persetujuan Usaha Industri dan Persetujuan lainnya yang diperlukan dari Instansi teknis terkait;
c. fotocopy Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang;
d. fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan tahun terakhir bagi Perusahaan yang sudah wajib menyerahkan SPT;
e. peta lokasi/tempat yang akan dijadikan PDKB;
f. saldo awal bahan baku, bahan dalam proses, barang jadi, barang modal dan peralatan pabrik.
(2) Direktur Jenderal memberitahukan kepada Kepala Kantor tentang PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan contoh pada Lampiran III Keputusan ini.
Pasal 6
(1) PKB berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan sebagai berikut :
a. membuat pembukuan atau catatan serta menyimpan dokumen impor atas barang modal dan peralatan yang dimasukkan untuk keperluan pembangunan/konstruksi dan peralatan perkantoran KB;
b. menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan;
c. memberikan persetujuan PDKB kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di KB yang dikelolanya;
d. memasang tanda nama perusahaan dan fasilitas yang dimiliki di tempat yang dapat dilihat umum dengan jelas;
e. melaporkan kepada Kepala Kantor apabila terdapat PDKB yang tidak beroperasi;
f. menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun;
g. menyediakan ruangan dan sarana kerja untuk Pejabat Bea dan Cukai;
h. menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan KB apabila dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak.
(2) PKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan asal impor yang dipergunakan untuk membangun konstruksi serta peralatan perkantoran tanpa persetujuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 7
(1) PDKB berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan sebagai berikut :
a. membuat pembukuan atau catatan serta menyimpan dokumen atas pemasukan, pemindahan dan pengeluaran barang dan/atau bahan di KB;
b. menyelenggarakan pembukuan tentang pemasukan, pemindahan, dan pengeluaran barang dan/atau bahan ke dan dari KB sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan;
c. memberi kode untuk setiap jenis barang sesuai dengan sistem pembukuan perusahaan secara konsisten;
d. menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun;
e. menyediakan ruangan dan sarana kerja untuk Pejabat Bea dan Cukai;
f. menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan KB apabila dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak;
g. membuat dan mengirim laporan 3 (tiga) bulanan kepada Kepala Kantor selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya tentang persediaan bahan baku, barang dalam proses dan barang jadi dengan menggunakan contoh pada Lampiran IVA, IVB, dan IVC Keputusan ini.
(2) PDKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan pabrik asal impor yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB tanpa persetujuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 8
(1) PKB dan PDKB bertanggung jawab terhadap Bea Masuk (BM), Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor yang terutang atas barang yang dimasukkan atau dikeluarkan dari KB.
(2) PKB dan PDKB dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal barang yang ada di KB :
a. musnah tanpa sengaja; dan/atau
b. diekspor; dan/atau
c. diekspor kembali; dan/atau
d. diimpor untuk dipakai; dan/atau
e. dimasukkan ke KB lainnya.
Pasal 9
(1) Pemasukan barang impor berupa barang modal atau peralatan yang dipergunakan untuk pembangunan/konstruksi, perluasan, penyelenggaraan kantor KB diberlakukan tatalaksana kepabeanan di bidang impor.
(2) Pemasukan barang modal atau peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi, barang dan/atau bahan ke KB dapat dilakukan dari :
a. Tempat Penimbunan Sementara;
b. Gudang Berikat;
c. KB lainnya;
d. PDKB dalam satu KB;
e. Produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan;
e. DPIL.
(3) Barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terkena peraturan larangan impor tidak diperbolehkan dimasukkan ke KB.
(4) Pemasukan barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, c, d dan f tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal.
(5) Pemasukan barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan ketentuan tataniaga di bidang impor.
(6) Pemasukan barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), huruf a, b, c, dan d mempergunakan dokumen BC 2.3 yang dilampiri dengan B/L atau AWB, Invoice, Packing List dan dokumen pendukung lainnya.
(7) Pemasukan barang atau bahan dari Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan f, menggunakan Formulir BC 4.0 yang dilampiri faktur pajak dan dokumen pendukung lainnya.
Pasal 10
(1) Pengeluaran barang hasil olahan PDKB dapat dilakukan dengan tujuan:
a. ekspor;
b. KB lainnya;
c. PDKB dalam satu KB;
d. ETP; atau
e. DPIL.
(2) Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)/Pemberitahuan Ekspor Barang Tertentu (PEBT) (BC 3.0/BC 3.1) dan formulir BC 2.3 dan diberlakukan ketentuan pabean di bidang ekspor.
(3) Pengeluaran barang asal impor yang tidak diolah di KB dan akan diekspor kembali dilakukan dengan menggunakan PEBT dan formulir BC 2.3.
(4) Pengeluaran barang hasil pengolahan dari KB ke KB lainnya untuk diolah lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3. dilampiri kontrak pembelian.
(5) Pengeluaran barang hasil pengolahan dari PDKB ke PDKB lainnya dalam satu KB untuk diolah lebih lanjut atau untuk pengepakan hasil produksi, dilakukan dengan menggunakan formulir B 2.3. dilampiri kontrak pembelian.
(6) Pengeluaran barang hasil olahan dari PDKB ke ETP, dilakukan dengan menggunakan BC 2.3.
(7) Pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB dengan tujuan ke DPIL, dapat dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB/BC 2.0) sesuai tatalaksana kepabeanan di bidang impor, setelah ada realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya dalam jumlah sebanyak-banyaknya 25% (dua puluh lima persen) dari nilai realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya.
(8) Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal.
Pasal 11
(1) Pengeluaran barang dan/atau bahan dari KB, yang berkaitan dengan sebagian kegiatan pengolahan, kecuali pekerjaan pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, sortasi dan pengepakan, yang disubkontrakkan kepada perusahaan industri yang berada di KB lainnya atau DPIL, dapat dilakukan oleh PDKB.
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dengan melampirkan perjanjian subkontrak yang bersangkutan.
(3) Untuk subkontrak yang berkaitan dengan perusahaan di DPIL, pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan fisik dan dapat dilaksanakan setelah dipertaruhkan jaminan yang dapat berupa jaminan tunai, jaminan bank, customs, bond, dan Surat Sanggup Bayar (SSB) bagi perusahaan yang tergolong dalam Daftar Putih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(4) Pekerjaan yang disubkontrakkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak pengeluaran barang dan/atau bahan dari KB.
Pasal 12
(1) Mesin dan/atau peralatan pabrik yang akan dipergunakan untuk mengerjakan pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dapat dipinjamkan oleh PDKB kepada PDKB lainnya atau Subkontraktor di DPIL untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 2 (dua) kali 12 (dua belas) bulan.
(2) Atas pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipinjamkan kepada subkontraktor di DPIL dilakukan pemeriksaan fisik dan PDKB wajib mempertaruhkan jaminan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (3).
Pasal 13
(1) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari KB dengan tujuan untuk direparasi di luar negeri dapat dilaksanakan dengan menggunakan PEBT dan formulir BC 2.3.
(2) Dalam hal reparasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di DPIL dapat dilaksanakan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dan mempertaruhkan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan dilakukan pemeriksaan fisik.
(3) Mesin dan/atau peralatan yang direparasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimasukkan kembali ke dalam KB selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak bulan pengeluaran mesin dan/atau peralatan dari KB.
Pasal 14
Terhadap impor barang, pemasukan Barang Kena Pajak (BKP), pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) ke dan/atau dari KB diberikan fasilitas sebagai berikut :
a. atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap sebagai PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;
b. atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;
c. atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB diberikan penangguhan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;
d. atas pemasukan BKP dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
e. atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
f. atas pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontraktor, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
g. atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP di DPIL atau PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
h. atas peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
i. atas pemasukan BKC dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, diberikan pembebasan Cukai;
j. penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor;
k. pengeluaran barang dari KB yang ditujukan kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, Cukai dan Pajak dalam rangka impor, diberikan pembebasan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor.
Pasal 15
Mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipergunakan dalam kegiatan produksi di PDKB dapat diganti dengan ketentuan bahwa mesin dan/atau peralatan yang diganti tersebut :
a. diekspor kembali; dan/atau
b. dipindahtangankan kepada PDKB lain; dan/atau
c. dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan di bidang impor, dan/atau
d. dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 16
Barang-barang asal impor berupa makanan dan/atau minuman yang dimaksudkan untuk dikonsumsi di dalam KB atau barang impor lainnya selain dimaksud dalam Pasal 14 wajib dilunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sesuai tatalaksana kepabeanan di bidang impor dan cukai di Kantor Pabean sebelum dimasukkan ke dalam KB.
Pasal 17
(1) Atas pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB ke DPIL dikenakan BM, Cukai, PPN, PPn BM ,dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang terhadap pengeluaran tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor.
(2) Dasar penghitungan pungutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. BM berdasarkan tarif bahan baku dengan pembebasan yang berlaku pada saat impor untuk dipakai dan nilai pabean yang terjadi pada saat barang dimasukkan ke KB;
b. Cukai berdasarkan ketentuan perundang-undangan cukai yang berlaku;
c. PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan harga penyerahan.
(3) Pemeriksaan Pabean di KB dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 18
(1) PDKB dapat dimasukkan di dalam Daftar Putih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) apabila telah memenuhi persyaratan :
a. selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut tidak pernah melakukan pelanggaran;
b. selalu memenuhi kewajiban pabean dan perpajakan dengan baik dan tepat waktu;
c. hasil post audit menunjukkan profil perusahaan baik.
(2) Daftar Putih dapat diberikan kepada perusahaan yang baru berdiri berdasarkan permohonan PDKB yang bersangkutan.
(3) PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikeluarkan dari Daftar Putih apabila di kemudian hari ternyata telah melakukan pelanggaran salah satu dari persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 19
(1) Untuk pengamanan hak keuangan negara dan menjamin dipenuhinya ketentuan-ketentuan kepabeanan dan cukai yang berlaku, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan audit atas pembukuan, catatan, dan dokumen KB yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KB dan pemindahan barang di dalam KB, serta pencacahan sediaan barang.
(2) Berdasarkan hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kedapatan selisih kurang jumlah dan/atau jenis barang atau ditemui adanya penggunaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, PKB dan/atau PDKB bertanggung jawab atas pelunasan BM, Cukai, PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 Impor yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari pungutan negara yang terutang.
(3) Apabila hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kedapatan selisih lebih jumlah dan/atau jenis barang maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 20
(1) Dalam hal hasil audit kepabeanan yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal menunjukkan adanya pelanggaran atas ketentuan Kepabeanan yang mengakibatkan kerugian hak keuangan negara, Menteri dapat membekukan persetujuan PKB atas saran Direktur Jenderal.
(2) Pembekuan persetujuan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan juga dalam hal PKB tersebut :
a. berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya; atau
b. menunjukkan ketidakmampuan dalam penyelenggaraan KB.
(3) Pembekuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi pencabutan bilamana PKB :
a. tidak dapat melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan; atau
b. tidak mampu lagi mengusahakan KB.
(4) Persetujuan PKB yang dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberlakukan kembali bilamana PKB :
a. telah melunasi utangnya; atau
b. telah mampu kembali mengusahakan KB.
(5) Persetujuan PKB dicabut dalam hal :
a. dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya persetujuan, sama sekali tidak melakukan kegiatan;
b. Persetujuan usaha industri sudah tidak berlaku lagi;
c. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
d. bertindak tidak jujur dalam usahanya;
e. setelah proses pembekuan, tidak melaksanakan kewajiban yang diharuskan;
f. atas permohonan sendiri.
(6) Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Presiden RI.
(7) Barang modal atau peralatan dan/atau peralatan perkantoran yang menjadi milik PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dalam waktu 30 hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus:
a. diekspor kembali;
b. dipindahtangankan kepada PKB lain;
c. dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi tatalaksana kepabeanan di bidang impor dan cukai; atau
d. dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
(8) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dipenuhi oleh PKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai.
Pasal 21
(1) Persetujuan PDKB dapat dicabut apabila :
a. dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya persetujuan, sama sekali tidak melakukan kegiatan usaha industri untuk tujuan ekspor;
b. persetujuan usaha industri sudah tidak berlaku lagi;
c. dinyatakan pailit oleh pengadilan;
d. bertindak tidak jujur dalam usahanya;
e. persetujuan PDKB dicabut;
f. atas permohonan sendiri.
(2) Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan PKB atas perintah Direktur jenderal atas nama Menteri.
(3) Barang modal atau peralatan dan/atau barang dan/atau bahan milik PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 30 hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus :
a. diekspor kembali;
b. dipindahtangankan kepada PDKB lain;
c. dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi tatalaksana kepabeanan di bidang impor; atau
d. dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi oleh PDKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai.
Pasal 22
Atas barang dan/atau bahan yang berada di PDKB yang rusak atau busuk, PDKB wajib :
a. mengekspor kembali; dan/atau
b. memusnahkan dibawah pengawasan Kepala Kantor; dan/atau
c. dimasukkan untuk dipakai berdasarkan harga penyerahan.
Pasal 23
Barang sisa dan/atau potongan dari PDKB dapat :
a. dikeluarkan ke DPIL dengan melunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan tatalaksana kepabeanan di bidang impor dan cukai dengan menggunakan pemberitahuan pabean; dan/atau
b. dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai yang mengawasi KB yang bersangkutan.
Pasal 24
Ketentuan teknis lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan ketentuan dalam Keputusan ini diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 25
(1) Dengan berlakunya Keputusan ini, semua Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaannya yang berkaitan dengan KB dan Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Semua urusan kepabeanan di KB dan EPTE yang belum dapat diselesaikan, untuk penyelesaiannya tetap berlaku aturan yang lama sampai dengan 1 April 1997.
Pasal 26
(1) Perusahaan yang mempunyai kegiatan usaha pergudangan di KB sebelum berlakunya Keputusan ini, dapat melaksanakan usahanya sebagai gudang berikat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 399/KMK.01/1996 dalam jangka waktu yang akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan EPTE yang telah diajukan sebelum berlakunya Keputusan ini kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, diselesaikan berdasarkan ketentuan yang lama dan persetujuan EPTE yang akan ditetapkan menjadi penetapan PKB merangkap PDKB sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan ini.
Pasal 27
Ketentuan dalam Keputusan ini tidak berlaku untuk Kawasan Berikat Batam.
Pasal 28
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1997.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juni 1997
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
MAR'IE MUHAMMAD

PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
547/KMK.01/1997
Ditetapkan tanggal 3 Nopember 1997
PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : dst;
Mengingat : dst;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT

Pasal I
Menyempurnakan Pasal 10 ayat (7) Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 10
"(7) Pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB dengan tujuan ke DPIL, dapat dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB/BC 2.0) sesuai tatalaksana kepabeanan di bidang impor, setelah ada realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya dalam jumlah:
a. untuk komponen, yaitu barang atau bahan yang akan dirangkai dan/atau digabungkan dengan barang atau bahan lain dalam perakitan atau pembuatan suatu barang yang lebih tinggi derajatnya yang sifat hakikinya berbeda dari produksi semula, sebanyak-banyaknya berjumlah 50% (lima puluh persen); dan
b. untuk barang lainnya, sebanyak-banyaknya berjumlah 25% (dua puluh lima persen); dari nilai realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya"
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Nopember 1997
MENTERI KEUANGAN
ttd
MAR'IE MUHAMMAD

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DISEMPURNAKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN N

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
292/KMK.01/1998
Ditetapkan tanggal 20 Mei 1998
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DISEMPURNAKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 547/KMK.01/1997
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi, meningkatkan ekspor dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.01/1997.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3717);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.05/1997.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DISEMPURNAKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 547/KMK.01/1997

Pasal I
1. Mengubah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997, sebagai berikut :

a. Mengubah Pasal 2, sehingga menjadi sebagai berikut :
"Pasal 2
(1) Penetapan suatu Kawasan atau tempat sebagai Kawasan Berikat (KB) serta pemberian persetujuan Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) atau PKB merangkap Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) dilakukan dengan Keputusan Menteri.
(2) Bentuk Keputusan pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah sebagaimana contoh dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini".
b. Menambah Pasal 2A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 2A
(1) Di dalam KB dapat dilakukan kegiatan usaha pergudangan atau penimbunan barang;
(2) Tatacara pendirian dan tatalaksana pemasukan barang ke dan dari pergudangan atau penimbunan di KB sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai Keputusan Menteri Nomor 399/KMK.01/1996 tentang Gudang Berikat;
(3) Pembukuan, catatan, dan dokumen KB yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KB harus dipisahkan dengan pembukuan, catatan, dan dokumen yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari pergudangan di KB".
c. Mengubah Pasal 4 ayat (1), sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 4
(1) Permohonan persetujuan PKB sebagaimana dimaksud Pasal 2, diajukan oleh pengusaha kepada Menteri melalui Direktur Jenderal setelah fisik bangunan berdiri dengan menggunakan surat permohonan sebagaimana contoh dalam Lampiran IA Keputusan ini, dengan melampirkan :
a. Fotocopy Surat Persetujuan Usaha, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan dan persetujuan lainnya yang diperlukan dari Instansi teknis terkait;
b. Fotocopy Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT), Koperasi atau Yayasan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. Fotocopy bukti kepemilikan atau penguasaan suatu bangunan, tempat atau kawasan yang mempunyai batas-batas yang jelas (pagar pemisah);
d. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan SPT Tahun PPh Wajib Pajak Badan tahun terakhir bagi perusahaan yang sudah wajib menyerahkan SPT;
e. Peta lokasi/tempat yang akan dijadikan KB yang telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat;
f. Berita Acara Pemeriksaan Lokasi KB yang dibuat oleh Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuknya;
g. Pendapat dari Direktur Jenderal tentang dapat diberikannya persetujuan PKB".
d. Mengubah Pasal 13 ayat (3) sehingga berbunyi sebagai berikut :
"(3) Mesin dan/atau peralatan yang direparasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dimasukkan kembali ke dalam KB selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak bulan pengeluaran mesin dan/atau peralatan dari KB".
e. Mengubah Pasal 20 ayat (6) sehingga berbunyi sebagai berikut :
"(6) Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri".
f. Mengubah Pasal 21 ayat (1) butir e sehingga berbunyi sebagai berikut :
"e. persetujuan PKB dicabut".
2. Mengubah Lampiran I Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 sehingga menjadi sebagaimana contoh dimaksud dalam Lampiran IA Keputusan ini.
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 1998
MENTERI KEUANGAN
ttd
FUAD BAWAZIER
________________________________________
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :
TENTANG
PENETAPAN SEBAGAI KAWASAN BERIKAT DAN PEMBERIAN PERSETUJUAN PENYELENGGARA
KAWASAN BERIKAT (PKB) MERANGKAP PENGUSAHA DI KAWASAN BERIKAT (PDKB) KEPADA
PT.......................YANG BERLOKASI DI .......................................
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa setelah dilakukan penelitian terhadap permohonan PT .................... nomor................diperoleh kesimpulan bahwa lokasi PT ................... telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Kawasan Berikat;
b. bahwa berdasarkan huruf a diatas, dipandang perlu memberikan persetujuan sebagai PKB/PKB merangkap PDKB kepada PT......
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3717);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 jis Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.01/1997 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 292/KMK.01/1998.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN SEBAGAI KAWASAN BERIKAT DAN PEMBERIAN PERSETUJUAN PENYELENGGARA KAWASAN BERIKAT (PKB) PKB MERANGKAP PENGUSAHA DI KAWASAN BERIKAT (PDKB) KEPADA PT ........... YANG BERLOKASI DI ...........
PERTAMA :
Menunjuk dan menetapkan lokasi perusahaan industri PT.................................sebagai Kawasan Berikat serta memberikan persetujuan PKB/PKb merangkap PDKB kepada :
a. Nama Perusahaan :
b. Alamat Kantor Perusahaan :
c. Nama Pemilik/Penanggung Jawab :
d. Alamat Pemilik/Penanggung Jawab :
e. Nomor Pokok Wajib Pajak :
f. Luas Lokasi Kawasan Berikat :
g. Jerus Hasil Produksi :
KEDUA :
Penetapan dan pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA disertai kewajiban untuk :
1. Mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pabean, perpajakan, dan ketentuan lain dibidang impor dan ekspor;
2. Bertanggung jawab atas kebenaran laporan kegiatan operasional Kawasan Berikat yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 jis Nomor 547/KMK.01/1997 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 292/KMK.01/1998;
3. Melaporkan penggunaan bahan baku dan/atau bahan penolong dan hasil olahannya;
4. Mengadakan pembukuan mengenai pemasukan, pengolahan dan pengeluaran barang dari dan ke Kawasan Berikat, menyediakan/memperlihatkan buku-buku yang diperlukan untuk pemeriksaan.
KETIGA :
Penetapan sebagai KB dan pemberian persetujuan PKB/PKB merangkap PDKB sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA, sewaktu-waktu dapat dilakukan pemeriksaan kemudian oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
KEEMPAT :
Penetapan sebagai KB dan pemberian persetujuan PKB/PKB merangkap PDKB dicabut apabila perusahaan memenuhi ketentuan pencabutan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 291/KMK.05/1997.
KELIMA :
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Salinan : Keputusan ini disampaikan kepada Yth.
1. Menko Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri/Kepala BAPPENAS.
2. Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
3. Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM.
4. Gubernur Bank Indonesia.
5. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan
6. Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
7. Direktur Jenderal Pajak
8. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan.
9. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan.
10. Kepala Kantor Bea dan Cukai....................
Petikan : Keputusan ini disampaikan kepada Yth. :
Pimpinan PT ...............................
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI KEUANGAN
ttd
FUAD BAWAZIER

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
349/KMK.01/1999
Ditetapkan tanggal 24 Juni 1999
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 292/KMK.01/1998
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa penggunaan produksi barang hasil olahan di Kawasan Berikat sebagai penunjang industri di Daerah Pabean Indonesia Lainnya perlu semakin ditingkatkan;
b. bahwa perusahaan-perusahaan yang berada di luar Kawasan Berikat yang memproduksi komoditi ekspor perlu ditingkatkan ekspornya;
c. bahwa oleh karena itu, dipandang perlu mengatur kembali jumlah pengeluaran barang hasil olahan PDKB penghasil barang jadi atau barang/bahan yang akan diolah lebih lanjut di Daerah Pabean Indonesia Lainnya, dengan Keputusan Menteri Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3717);
3. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 292/KMK.01/1998;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 292/KMK.01/1998.

Pasal I
Mengubah Pasal 10 ayat (7) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 291/KMK.05/1997, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 10
(7) Pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB dengan tujuan ke DPIL, dapat dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB/BC.2.0) sesuai tatalaksana kepabeanan di bidang impor dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pengeluaran ke DPIL untuk perusahaan-perusahaan yang menggunakan fasilitas Bapeksta Keuangan diperlakukan sama dengan pengeluaran untuk ekspor.
b. Pengeluaran ke DPIL, setelah realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya dalam jumlah :
b.1. untuk barang yang tidak memerlukan proses lebih lanjut, dapat berfungsi sendiri tanpa bantuan barang lainnya dan digunakan oleh konsumen akhir sebanyak-banyaknya 50%;
b.2. barang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf b.1. sebesar 100%; dari nilai realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya."
c.
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1999.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 1999
MENTERI KEUANGAN,
ttd
BAMBANG SUBIANTO

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
94/KMK.05/2000
Ditetapkan tanggal 31 Maret 2000
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 349/KMK.01/1999
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka pemberlakuan Pulau Batam dan Pulau-pulau di sekitarnya sebagai Kawasan Berikat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997, dipandang perlu mengubah Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 349/KMK.01/1999 dengan Keputusan Menteri Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3613);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3581), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 113);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3717);
8. Keputusan Presiden Nomor 355/M Tahun1999;
9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 488/KMK.05/1996 tentang Tatalaksana Kepabeanan Di Bidang Ekspor sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 501/KMK.01/1998;
10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 25/KMK.05/1997 tentang Tatalaksana Kepabeanan Di Bidang Impor;
11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 349/KMK.01/1999;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 349/KMK.01/1999.

Pasal I
Menghapus Pasal 27 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 291/KMK.05/1997 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 349/KMK.01/1999.
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2000.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Maret 2000
MENTERI KEUANGAN
ttd
BAMBANG SUDIBYO

PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
37/KMK.04/2002
Ditetapkan tanggal 12 Februari 2002
PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi, daya saing, beberapa perusahaan yang berstatus Penyelenggara Kawasan Berikat bermaksud melaksanakan kegiatan rekondisi dalam Kawasan Berikat;
b. bahwa kegiatan rekondisi merupakan salah satu bentuk kegiatan industri pengolahan yang dapat dilakukan dalam Kawasan Berikat;
c. bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 94/KMK.05/2000 belum secara tegas mendefinisikan kegiatan industri pengolahan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 Tentang Kawasan Berikat;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612);
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3638) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3717);
7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun2001;
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.05/1997 tentang Tatalaksana Kepabeanan Di Bidang Impor;

9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 94/KMK.05/2000;

10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 488/KMK.05/1996 tentang Tatalaksana Kepabeanan Di Bidang Ekspor;

M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 291/KMK.05/1997 TENTANG KAWASAN BERIKAT.

Pasal I
Ketentuan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 94/KMK.05/2000 diubah dengan menyisipkan satu angka di antara angka 1 dan angka 2 yaitu angka 1a yang berbumyi sebagai berikut:
" 1a. Kegiatan industri pengolahan adalah kegiatan yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi,dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunannya."
Pasal II
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2002

Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum
u.b.
Kepala Bagian Tata Usaha Departemen.


Koemoro Warsito, S.H.
NIP 060041898 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd,-

BOEDIONO