Wednesday, June 3, 2009

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 855/KMK.01/1993

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43/KMK.01/1996

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 855/KMK.01/1993
TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR
DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 88/KMK.01/1995

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri serta
mendorong ekspor non migas, dipandang perlu menyempurnakan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
855/KMK.01/1993 tanggal 23 Oktober 1993 yang telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 88/KMK.01/1995 tanggal 14 Februari 1995;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Pengusaha Kena Pajak
Berstatus Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan
Berikat (KB);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 tentang Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
88/KMK.01/1995;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 855/KMK.01/1993 TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE)
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR :
88/KMK.01/1995.


Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 88/KMK.01/1995 sebagai berikut :

1. Mengubah Pasal 2 ayat (5), dan ayat (6), serta menambah ayat baru dengan ayat (8), yang berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 2

(5) Pengeluaran barang dan/atau bahan dari EPTE ke perusahaan industri di DPIL atau EPTE
lainnya atau Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang tidak dipungut.

(6) Penyerahan kembali Barang Kena Pajak (BKP) hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) kepada PKP EPTE, PPN
dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(8) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama
dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor".


2. Menambah Pasal 13a, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 13a

(1) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, menggunakan Formulir EPTE-7 yang diberi
cap "Fasilitas Bapeksta Keuangan LPS-KB/EPTE Nomor ...... tanggal ...... dengan Kontrak
Nomor ...... tanggal ........... ".

(2) Penyerahan barang oleh produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari dalam DPIL ke
EPTE wajib disertai LPS-KB/EPTE yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh
Pemerintah.

(3) Formulir EPTE-7 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diisi secara lengkap dan benar oleh
Pengusaha EPTE dalam rangkap 4 untuk selanjutnya diajukan kepada Pejabat Hanggar di
EPTE.

(4) Pejabat Hanggar di EPTE berdasarkan Formulir EPTE-7 memberikan persetujuan masuk pada
Formulir EPTE-7 dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Bapeksta Keuangan;
d. Produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan".


3. Mengubah Pasal 18, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 18

(1) Pengusaha EPTE dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahan kepada
perusahaan industri yang berada di dalam DPIL, Pengusaha EPTE, Perusahaan Pengolahan Di
Kawasan Berikat (PPDKB), kecuali pekerjaan pemeriksaan awal dan pemeriksaan akhir,
sortasi dan pengepakan.

(2) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh jenis produk
dan harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya
barang dan/atau bahan dari EPTE.

(3) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan melalui kontrak
yang sekurang-kurangnya memuat jangka waktu, jumlah barang dan/atau bahan yang
diterima dari Pengusaha EPTE, dan jumlah hasil pekerjaan yang dikembalikan kepada
Pengusaha EPTE.

Khusus terhadap pekerjaan subkontrak kepada perusahaan industri yang berada di dalam
DPIL harus mempertaruhkan jaminan yang diserahkan kepada Bendaharawan Kantor
Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE, berupa :
a. Jaminan Bank; atau
b. Surety Bond atau Custome Bond yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang
disetujui Menteri Keuangan; atau
c. Surat Sanggup Bayar (SSB) yang diendorse oleh Bank yang disetujui oleh Menteri
Keuangan.

(4) Penyerahan barang dan/atau bahan dari Pengusaha EPTE kepada perusahaan industri
pelaksana subkontrak di dalam DPIL dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A
sebagaimana contoh dalam Lampiran XI-A dalam rangkap dua.

Pekerjaan sub kontrak dari Pengusaha EPTE ke Pengusaha EPTE lainnya atau PPDKB
dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A yang dilampiri Formulir EPTE-9 atau
EPTE-10.

(5) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11A untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11A dilampiri EPTE-9/EPTE-10 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima pekerjaan
subkontrak yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk
selanjutnya berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan
terhadap barang dan/atau bahan yang akan diserahkan kepada pelaksana subkontrak.

(6) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan pengeluaran pada Formulir EPTE-11A dan mendistribusikannya untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB).

(7) Penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP subkontraktor di dalam DPIL
kepada Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11-B sebagaimana
contoh dalam Lampiran XIB dalam rangkap 2 (dua).

Khusus penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak dari Pengusaha EPTE/PPDKB ke
Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11B dengan dilampiri Formulir
EPTE-9 atau KB-6.

(8) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11B untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11B dilampiri EPTE-9/KB-6 untuk perusahaan penerima pekerjaan subkontrak PPDKB
yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk selanjutnya
berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan terhadap
barang dan/atau bahan yang akan dimasukkan kembali ke dalam EPTE.

(9) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan masuk pada Formulir tersebut dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan sub kontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB)".


4. Mengubah Pasal 19, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 19

(1) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke dalam DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat dengan tujuan reparasi dan/atau dipinjamkan kepada perusahaan industri/
sub-kontraktor sebagai alat produksi untuk membuat barang yang dipesan oleh perusahaan
EPTE, dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-12 untuk penerima subkontrak di DPIL
atau EPTE-12 yang dilampiri EPTE-9/KB-7 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima
subkontrak. Formulir PTE-12 sebagaimana contoh Lampiran XII dalam rangkap 4 (empat)
masing-masing untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Peminjam mesin di EPTE/PPDK (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB);
d. KPP tempat penerima pinjaman mesin terdaftar menjadi Wajib Pajak.

(2) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bea
Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 serta PPN dan
PPn BM ditangguhkan. Khusus untuk DPIL dengan menyerahkan Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) kepada Bendaharawan Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE asal mesin dan/atau peralatan pabrik.

(3) Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diizinkan dalam jangka waktu paling lama:
a. Untuk tujuan reparasi, 12 (dua belas) bulan sejak mesin dan/atau peralatan pabrik
dikeluarkan dari EPTE;
b. Untuk tujuan dipinjamkan, 24 (dua puluh empat) bulan sejak mesin dan/atau
peralatan pabrik dikeluarkan dari EPTE.

(4) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat, dan pemasukannya kembali ke EPTE, dilakukan pemeriksaan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(5) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke luar negeri dengan tujuan reparasi
dilakukan dengan menggunakan formulir EPTE-8".


5. Menyempurnakan Formulir EPTE-12 sehingga menjadi sebagaimana dimaksud dalam lampiran
Keputusan ini.


6. Mengubah Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 20

(2) Barang yang akan dikeluarkan ke dalam DPIL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebanyak-banyaknya berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dari nilai realisasi ekspor
dan/atau pemindahan ke EPTE lainnya/PPDKB.

(3) Pengaturan jumlah pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
terhadap pengiriman barang dalam rangka subkontrak.


7. Mengubah Pasal 28, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 28

Dalam hal diperlukan pengaturan teknis lebih lanjut atas Keputusan ini, pengaturannya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Pajak, Kepala Bapeksta Keuangan baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing".


Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR'IE MUHAMMAD




PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, dipandang perlu memberikan kemudahan di bidang perpajakan;
b. bahwa kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean
ke dalam EPTE/KB, dan tidak dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE/KB;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 16B Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994,
dipandang perlu mengatur pemberian kemudahan di bidang perpajakan tersebut dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS
ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT
(KB).


Pasal 1

(1) Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut EPTE adalah suatu tempat atau
bangunan dari suatu perusahaan industri dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan
ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, perpajakan dan tata niaga impor, yang diperuntukkan
bagi pengolahan barang dan/atau bahan yang berasal dari luar daerah pabean Indonesia, Kawasan
Berikat, EPTE lainnya, atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama
untuk tujuan ekspor.

(2) Kawasan Berikat (Bonded Zone) ialah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean
Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang
yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa
terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan/atau pungutan negara lainnya sampai barang
tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau reekspor.


Pasal 2

Atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam EPTE/KB diberikan
penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.


Pasal 3

(1) Penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut.

(2) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada
perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih
lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang
yang diekspor.


Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.


Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas dan
Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993, dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MOERDIONO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 4





PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

UMUM

Dalam rangka untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, maka dipandang perlu memberikan kemudahan (fasilitas) di bidang
perpajakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean, dan tidak
dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan B
arang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE dan perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak
yang berlaku, maka dipandang perlu mengatur pemberian fasilitas di bidang perpajakan tersebut dengan
Peraturan Pemerintah.


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Dengan ketentuan ini, maka ketentuan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas
dan Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993 yang
menyangkut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tidak berlaku lagi.
Ketentuan selebihnya, masih berlaku.

Pasal 6

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3621


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43/KMK.01/1996

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 855/KMK.01/1993
TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR
DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 88/KMK.01/1995

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri serta
mendorong ekspor non migas, dipandang perlu menyempurnakan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
855/KMK.01/1993 tanggal 23 Oktober 1993 yang telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 88/KMK.01/1995 tanggal 14 Februari 1995;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Pengusaha Kena Pajak
Berstatus Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan
Berikat (KB);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 tentang Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
88/KMK.01/1995;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 855/KMK.01/1993 TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE)
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR :
88/KMK.01/1995.


Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 88/KMK.01/1995 sebagai berikut :

1. Mengubah Pasal 2 ayat (5), dan ayat (6), serta menambah ayat baru dengan ayat (8), yang berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 2

(5) Pengeluaran barang dan/atau bahan dari EPTE ke perusahaan industri di DPIL atau EPTE
lainnya atau Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang tidak dipungut.

(6) Penyerahan kembali Barang Kena Pajak (BKP) hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) kepada PKP EPTE, PPN
dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(8) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama
dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor".


2. Menambah Pasal 13a, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 13a

(1) Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL
kepada perusahaan EPTE untuk diolah lebih lanjut, menggunakan Formulir EPTE-7 yang diberi
cap "Fasilitas Bapeksta Keuangan LPS-KB/EPTE Nomor ...... tanggal ...... dengan Kontrak
Nomor ...... tanggal ........... ".

(2) Penyerahan barang oleh produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari dalam DPIL ke
EPTE wajib disertai LPS-KB/EPTE yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh
Pemerintah.

(3) Formulir EPTE-7 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diisi secara lengkap dan benar oleh
Pengusaha EPTE dalam rangkap 4 untuk selanjutnya diajukan kepada Pejabat Hanggar di
EPTE.

(4) Pejabat Hanggar di EPTE berdasarkan Formulir EPTE-7 memberikan persetujuan masuk pada
Formulir EPTE-7 dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Bapeksta Keuangan;
d. Produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan".


3. Mengubah Pasal 18, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 18

(1) Pengusaha EPTE dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahan kepada
perusahaan industri yang berada di dalam DPIL, Pengusaha EPTE, Perusahaan Pengolahan Di
Kawasan Berikat (PPDKB), kecuali pekerjaan pemeriksaan awal dan pemeriksaan akhir,
sortasi dan pengepakan.

(2) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh jenis produk
dan harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya
barang dan/atau bahan dari EPTE.

(3) Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan melalui kontrak
yang sekurang-kurangnya memuat jangka waktu, jumlah barang dan/atau bahan yang
diterima dari Pengusaha EPTE, dan jumlah hasil pekerjaan yang dikembalikan kepada
Pengusaha EPTE.

Khusus terhadap pekerjaan subkontrak kepada perusahaan industri yang berada di dalam
DPIL harus mempertaruhkan jaminan yang diserahkan kepada Bendaharawan Kantor
Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE, berupa :
a. Jaminan Bank; atau
b. Surety Bond atau Custome Bond yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang
disetujui Menteri Keuangan; atau
c. Surat Sanggup Bayar (SSB) yang diendorse oleh Bank yang disetujui oleh Menteri
Keuangan.

(4) Penyerahan barang dan/atau bahan dari Pengusaha EPTE kepada perusahaan industri
pelaksana subkontrak di dalam DPIL dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A
sebagaimana contoh dalam Lampiran XI-A dalam rangkap dua.

Pekerjaan sub kontrak dari Pengusaha EPTE ke Pengusaha EPTE lainnya atau PPDKB
dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A yang dilampiri Formulir EPTE-9 atau
EPTE-10.

(5) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11A untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11A dilampiri EPTE-9/EPTE-10 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima pekerjaan
subkontrak yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk
selanjutnya berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan
terhadap barang dan/atau bahan yang akan diserahkan kepada pelaksana subkontrak.

(6) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan pengeluaran pada Formulir EPTE-11A dan mendistribusikannya untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB).

(7) Penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP subkontraktor di dalam DPIL
kepada Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11-B sebagaimana
contoh dalam Lampiran XIB dalam rangkap 2 (dua).

Khusus penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak dari Pengusaha EPTE/PPDKB ke
Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11B dengan dilampiri Formulir
EPTE-9 atau KB-6.

(8) Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11B untuk perusahaan subkontrak di DPIL atau
EPTE-11B dilampiri EPTE-9/KB-6 untuk perusahaan penerima pekerjaan subkontrak PPDKB
yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk selanjutnya
berdasarkan Formulir tersebut Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan terhadap
barang dan/atau bahan yang akan dimasukkan kembali ke dalam EPTE.

(9) Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan
persetujuan masuk pada Formulir tersebut dan mendistribusikan untuk :
a. Pejabat Hanggar di EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Pelaksana pekerjaan subkontrak (dalam hal pelaksana pekerjaan sub kontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB)".


4. Mengubah Pasal 19, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 19

(1) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke dalam DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat dengan tujuan reparasi dan/atau dipinjamkan kepada perusahaan industri/
sub-kontraktor sebagai alat produksi untuk membuat barang yang dipesan oleh perusahaan
EPTE, dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-12 untuk penerima subkontrak di DPIL
atau EPTE-12 yang dilampiri EPTE-9/KB-7 untuk pengusaha EPTE/PPDKB penerima
subkontrak. Formulir PTE-12 sebagaimana contoh Lampiran XII dalam rangkap 4 (empat)
masing-masing untuk :
a. Pejabat Hanggar EPTE;
b. Pengusaha EPTE;
c. Peminjam mesin di EPTE/PPDK (dalam hal pelaksana pekerjaan subkontrak adalah
pengusaha EPTE/PPDKB);
d. KPP tempat penerima pinjaman mesin terdaftar menjadi Wajib Pajak.

(2) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bea
Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 serta PPN dan
PPn BM ditangguhkan. Khusus untuk DPIL dengan menyerahkan Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) kepada Bendaharawan Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE asal mesin dan/atau peralatan pabrik.

(3) Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diizinkan dalam jangka waktu paling lama:
a. Untuk tujuan reparasi, 12 (dua belas) bulan sejak mesin dan/atau peralatan pabrik
dikeluarkan dari EPTE;
b. Untuk tujuan dipinjamkan, 24 (dua puluh empat) bulan sejak mesin dan/atau
peralatan pabrik dikeluarkan dari EPTE.

(4) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke DPIL atau EPTE lainnya atau
Kawasan Berikat, dan pemasukannya kembali ke EPTE, dilakukan pemeriksaan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(5) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke luar negeri dengan tujuan reparasi
dilakukan dengan menggunakan formulir EPTE-8".


5. Menyempurnakan Formulir EPTE-12 sehingga menjadi sebagaimana dimaksud dalam lampiran
Keputusan ini.


6. Mengubah Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 20

(2) Barang yang akan dikeluarkan ke dalam DPIL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebanyak-banyaknya berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dari nilai realisasi ekspor
dan/atau pemindahan ke EPTE lainnya/PPDKB.

(3) Pengaturan jumlah pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
terhadap pengiriman barang dalam rangka subkontrak.


7. Mengubah Pasal 28, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 28

Dalam hal diperlukan pengaturan teknis lebih lanjut atas Keputusan ini, pengaturannya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Pajak, Kepala Bapeksta Keuangan baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing".


Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR'IE MUHAMMAD


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, dipandang perlu memberikan kemudahan di bidang perpajakan;
b. bahwa kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean
ke dalam EPTE/KB, dan tidak dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE/KB;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 16B Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994,
dipandang perlu mengatur pemberian kemudahan di bidang perpajakan tersebut dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS
ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT
(KB).


Pasal 1

(1) Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut EPTE adalah suatu tempat atau
bangunan dari suatu perusahaan industri dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan
ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, perpajakan dan tata niaga impor, yang diperuntukkan
bagi pengolahan barang dan/atau bahan yang berasal dari luar daerah pabean Indonesia, Kawasan
Berikat, EPTE lainnya, atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama
untuk tujuan ekspor.

(2) Kawasan Berikat (Bonded Zone) ialah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean
Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang
yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa
terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan/atau pungutan negara lainnya sampai barang
tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau reekspor.


Pasal 2

Atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam EPTE/KB diberikan
penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.


Pasal 3

(1) Penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut.

(2) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada
perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih
lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang
yang diekspor.


Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.


Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas dan
Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993, dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MOERDIONO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 4





PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1996

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK BERSTATUS ENTREPOT PRODUKSI
UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE) DAN PERUSAHAAN PENGOLAHAN DI KAWASAN BERIKAT (KB)

UMUM

Dalam rangka untuk lebih meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri
serta mendorong ekspor non migas, maka dipandang perlu memberikan kemudahan (fasilitas) di bidang
perpajakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penangguhan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang modal dan/atau bahan dari luar daerah pabean, dan tidak
dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan B
arang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE dan perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak
yang berlaku, maka dipandang perlu mengatur pemberian fasilitas di bidang perpajakan tersebut dengan
Peraturan Pemerintah.


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Dengan ketentuan ini, maka ketentuan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas
dan Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993 yang
menyangkut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tidak berlaku lagi.
Ketentuan selebihnya, masih berlaku.

Pasal 6

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3621

No comments:

Post a Comment